BK I, POLITIK HUKUM AGRARIA
KULIAH I, SENIN, 5 OKTOBER 2020, JAM 08.30 – 10.30
JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Catatan: kuliah daring/virtual/online bisa lebih efektif daripada kuliah tatap muka. Kuncinya adalah will alias kemauan. Jika kemauannya besar, ia akan lebih sukses daripada kuliah tatap muka. Dalam kuliah daring mahasiswa diajak untuk lebih banyak “membaca” ketimbang kuliah tatap muka. Dan “membaca” inilah kuncinya……. Jika minat “membaca” sudah tumbuh, apalagi sudah mentradisi/melembaga, kuliah sudah berhasil 90 persen.
Pada Kuliah pertama ini akan kita uraikan “Sillabus, referensi, pengertian elementer/dasar, permasalahan agraria, dan perkembangan/informasi terakhir dari politik keagrarian”. Jika ada yang tidak dipahami, tanya/tulis melalui WA group, dan akan saya jawab dan arahkan, agar pemahamannya lebih baik, lebih rasional, atau lebih ilmiah.
⌂
SILLABUS
Mata kuliah ini membahas perumusan kebijakan Hukum Agraria yang akan dan telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah mengenai bagaimana politik (kebijakan) mempengaruhi hukum agrarian dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum agrarian dengan tujuan menciptakan kondisi yang dapat mendukung terwujudnya tujuan hukum agraria. Politik hukum agraria mengatur hubungan hukum antara bangsa, negara, dan masyarakat dengan sumber daya alamnya berdasarkan prinsip-prinsip yang mengarahkan pemerintah untuk mewujudkan tujuan hukum agraria dalam mengatur persediaan, peruntukan, dan penggunaan sumber daya alamnya guna memenuhi kehidupan masyarakat yang terus berubah.
Sillabus ini akan dibagi dalam 12 pertemuan;
1. Pendahuluan . dalam pendahuluan ini akan diuraikan metode belajar daring, sillabus, referensi yang dianjurkan, arti atau definisi Politik Hukum Agraria secara singkat, konflik-konflik agraria secara umum, dan informasi actual-terakhir tentang keagrarian.
2. Arti hukum agrarian/tanah, politik agrarian menurut UUD 1945, Undang Undang Pokok Agraria (UUPA), dan ruang lingkup UUPA.
3. Hukum Agraria sebelum UUPA.
4. Sejarah Pembentukan UUPA
5. Hukum Tanah Nasional
6. Hak atas tanah menurut UUPA
7. Landreform
8. Ketentuan pokok Tata Guna Tanah.
9. Politik hukum
10. Proses legislative di Indonesia
11. Tantangan dan peluang Politik Hukum Agraria.
12. Kesimpulan/penutup
Referensi
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria; Perjalanan Yang Belum Berakhir, IPB Press, Bogor
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria; Dari Desa Ke Agenda Bangsa (orasi), IPB Press, Bogor
Gunawan Wiradi, Metodologi Studi Agraria, IPB Press, Bogor
Prof Dr Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Prof Dr Achmad Sodiki SH, 2013, Politik Hukum Agraria, Konstitusi Press, Jakarta
UU No 5 Tahun 1960 Undang-Undang Pokok Agraria
Perpres No 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria
Mahfud MD
Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional leh pemerintah Indonesia yang meliputi; pertama, pembuatan dan pembangunan hukum harus terkait dengan konteks yang sedang dibutuhkan, kedua; pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi Lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
Urip Santoso (2012:24)
Politik agrarian adalah garis besar kebijakan yang dianut oleh negara dalam memelihara, mengawetkan, memperuntukkan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber alam lainnya, termasuk hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan negara, yang bagi negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Penyumbang konflik agraria;
· Perkebunan
· Property
· Pertanian
· Pertambangan
· Kehutanan
· Infrastruktur
· Pesisir/kelautan
⌂
60 Tahun UUPA, Masih Relevankah?
Maria SW Sumardjono
Guru Besar FH UGM dan AnggotaAKademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Kompas, 24 september 2020
Hukum itu dinamis. Rumusan uandang-undang dapat diubah sesuai ruang dan waktu. Permasalahn pokoknya adalah bagaimana seharusnya perubahan dilakukan?
Undang-Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 (UUPA) dibangun menurut konsepsi Hukum Tanah Nasional (HTN) yang menjadi dasar dari semua kebijakan/peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Tujuan dan prinsip-prinsip/asas-asas dalam HTN menjadi ciri utama HTN, yang membedakannya dengan sistem hukum yang lain. Apabila tujuan dan prinsip/asas it uber(di)ubah, system hukumnya juga berubah dan menjadikannya system hukum di luar HTN.
Hukum itu menghendaki keteraturan atau ketertiban dalam rangka mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, perubahan yang dibuat harus dilakukan secara taat asas, yakni taat pada tujuan dan prinsip/asas hukumnya. Tujuan UUPA adalah mewujudkan keadilan social sesuai amanat Pasal 33, Ayat (3) UUD 1945.
Prinsip-prinsip dasar UUPA tak bisa dihapuskan, tetapi dapat dikembangkan, dipertajam orientasinya, melalui interpretasi ataupun analogi yang dilandasi dengan pemikiran yang kritis-konstruktif. Misalnya, prinsip hak menguasai negara telah diperluas menjadi lima fungsi/kewenangan negara (membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi) dalam hubungan antara negara dengan orang dan tanah
Fungsi sosial yang dilekatkan pada semua hak atas tanah dilengkapi dengan fungsi ekologi sesuai prinsip keberlanjutan. Prinsip land reform dikembangkan menjadi reforma agraria; diperluas subyek dan obyeknya serta dilengkapi dengan penataan akses. Interpretasi itu dilakukan untuk “menghidupkan” prinsip/asas dan bukan untuk mengubah maknanya. Asas hukum itu dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif, ia jiwa atau roh dari suatu UU yang menjadikannya hidup dan ditaati masyarakat secara sukarela.
HTN dibangun berdasarkan konsepsi, kelembagaan, dan asas-asas hukum adat, yang juga bersifat dinamis. Misalnya, asas pemisahan horizontal diterakan dalam UU No 4/1996 ketika mengatur bahwa obyek hak tanggungan (HT) adalah hak atas tanah, bisa tanpa atau berikut bangunan di atasnya.
Melalui interpretasi eksternal Pasal 4 Ayat (2) UUPA, asas pemisahan horizontal dapat diterapkan dalam pemberian hak atas tanah bagi obyek yang berada di bawah tanah, di bawah air, ataupun di ruang udara di atas tanah.
Seseorang dapat memperoleh hak atas tanah yang dikuasainya dalam jangka 20 tahun atau lebih dengan itikad baik, terbuka, dan tak di klaim pihak lain. Sebaliknya, seseorang juga bisa kehilangan hak atas tanahnya dalam jangka waktu tertentu tak melakukan suatu perbuatan hukum atau tindakan terkait bidang tanahnya (rechtsverwerking)
Prinsip peralihan hak (terang, tunai, riil) diadopsi melalui ketentuan bahwa perbuatan hukum yang berakibat terhadap beralihnya hak atas tanah harus dibuat berdasarkan akta pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Dalam kurun 60 tahun, bagaimana ketaatasasan peraturan perundangan pertanahan terhadap tujuan dan prinsip-prinsip UUPA?
Konstruktif atau destruktif?
Pencermatan terhadap peraturan perundangan pertanahan sepanjang enam dasawarsa menunjukkan kecenderungan yang menarik. Telaah berdasarkan strategi penyusunannya (proaktif-reflektif itu cenderung berkarakter positif, yakni taat pada tujuan dan prinsip-prinsip UUPA. Sebaliknya, ketika peraturan perundang-undangan itu disusun secara reaktif dengan tujuan yang bersifat pragmatis, kecenderungannya berkarakter negatif, yakni abai terhadap tujuan dan prinsip-prinsip UUPA. Karakter positif ataupun negatif itu pun ada yang tanpa ataupun disertai catatan.
Secara garis besar, dalam kurun 1960 – 1974, peraturan perundang-undangan pertanahan cenderung disusun secara proaktif-reflektif. Hal ini dapat dilihat dalam pengaturan terkait land reform, pencabutan hak atas tanah dan konsep awal tentang hak pengelolaan (HPL) sebagai fungsi publik. Peraturan perundangan dari 1975 hingga 2010 bergeser dari strategi yang proaktif menjadi lebih cenderung reaktif dan terutama dibentuk untuk memenuhi kebutuhan hukum jangka pendek (pragmatis). Namun karakter positif masih dominan dalam peraturan perundang-undangan selama kurun itu
Pengaturan tentang pembebasan tanah diterbitkan sebagai landasan pembangunan untuk kepentingan umum yang mulai marak pada 1970-an melalui cara musyawarah dengan pemegang hak atas tanah, dengan catatan bahwa bentuk pengaturannya tak tepat. Peraturan terkait penyediaan tanah untuk keperluan perusahaan, kawasan industri, dan perumahan, termasuk pengaturan tentang rumah susun mewarisi peraturan perundangan di kurun waktu tersebut.
Deregulasi ekonomi Oktober 1993 mendorong terbitnya peraturan untuk kemudahan berinvestasi melalui pendekatan yang bersifat konstruktif dengan cara menerbitkan keputusn tentang pemberian dan perpanjangan dan atau pembaruan hak atas tanah bagi perusahaan. Berbagai peraturan diterbitkan dalam rangka memenuhi kebutuhan sesuai perkembangan yang ada. UU No 4/1996 tentang HT dilengkapi peraturan tentang hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai atas tanah, pendaftaran tanah, dan aturan pemilikan rumah tempat tinggal bagi orang asing.
Untuk memfasilitasi ketersediaan tanah bagi kepentingan tanah bagi kepentingan umum diterbitkan Kepres No 55/1993, menggantikan Permendagri No 15/1975. Secara bentuknya Kepres tak tepat, tetapi secara konsep keppres memahami dua cara perolehan tanah dengan mencantumkan alternatif pencabutan hak atas tanah.
Tahun 1998, pasca reformasi, karakter positif tampak dalam serangkaian peraturan yang dilandasi pilihan keadilan korektif mengingat situasi kondisi ekonomi yang cukup sulit bagi rakyat kecil di masa itu. Hal ini tampak dalam peraturan tentang pemberian hak milik untuk rumah sangat sederhana, dan rumah sederhana, pemberian hak milik yang dibeli PNS dari pemerintah dan aturan pemanfaatan tanah kosong untuk tanaman pangan.
Dalam rangka menegakkan prinsip fungsi sosial hak atas tanah, diterbitkan PP N0 36/1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. Untuk pertama kali, sejak pemuatannya dalam Pasal 3 UUPA, diterbitkan peraturan tentang hak ulayat Masyarakat Hukum Adat (MHA) melalui Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No 5/1998.
Peraturan perundang-undangan dalam kurun 2001-2010 menunjukkan kecenderungan reaktif-pragmatis tetapi masih dominan berciri positif. Sebagai dampak desentralisasi, Perpres No 34/2003 terbit untuk memastikan tugas dan kewenangan BPN. Infrastruktur summit mendorong terbitnya peraturan pengadaan tanah, yakni Perpres No 36/2005 yang diubah dengan Perpres No 35/2006. Perpres ini masih mengakomodasi ketentuan pencabutan hak atas tanah. Untuk pertama kali, diterbitkan surat pemberitaan obyek pajak (SPOPP) dilingkungan BPN melalui Keputusan Kepala BPN No 1/2005.
Sejak 2011 sampai kini, kecenderungan karakter peraturan perundang-undangan pertanahan lebih sering bersifat negative atau positif dengan catatan. UU No 2/2012 secara bentuk peraturan sudah tepat, tetapi pendekatan pragmatis dari UU ini ditempuh untuk meminimalisasi penolakan warga masyarakat terdampak melalui Lembaga penitipan ganti kerugian dan meniadakan ketentuan pencabutan hak atas tanah.
Disatu sisi, pihak yang hak atas tanahnya sudah berakhir diberikan ganti kerugian, sedangkan di sisi lain ganti kerugian untuk MHA tak didasarkan pada cara pandang MHA terhadap ruang hidupnya. Akses publik terhadap informasi pertanahan dibatasi dan pengaturan terkait penatausahaan hak ulayat MHA tak lebih maju dibandingkan peraturan terdahulu. Percepatan pendaftaran tanah ditempuh lewat pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL)
Puncaknya, melalui Daftar Inventarisasi Masalah RUU Pertanahan yang tak dilanjutkan pembahasannya pada 23 september 2019 dan pengaturan pertanahan dalam RUU Cipta Kerja, karakter negatif yang cenderung destruktif kian tampak. Tujuan keadilan sosial makin kabur, prinsip UUPA ditinggalkan, putusan MK dilanggar, dan prinsip Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dalam Tap MPR No IX ahun 2001 tak diakomodasi (Maria Sumardjono, Kompas, 22/2 dan 6/6/2020)
RUU yang bias pada kepentingan sekelompok kecil masyarakat yang memiliki akses politik dan akses ekonomi yang didasarkan pada ideologi liberal-kapitalistik itu berdampak pada berkurangnya peran negara. Jika berlanjut, keputusan-keputusan penting menyangkut urusan ekonomi, sosial, dan politik akan sangat dipengaruhi sekelompok masyarakat yang diuntungkan itu. Konsekwensinya, hak kelompok masyarakat yang lebih besar tetapi lemah posisi tawarnya akan semakin terpinggirkan.
Adil, demokratis, berkelanjutan
Untuk mencapai keadilan sosial, perlu reorientasi kebijakan pertanahn yang adil, demokratis, dan berkelanjutan. Pertama, keadilan mana yang harus diterjemahkan dalam kebijakan pertanahan? Pilihan ini tak selalu mudah karena focus pengaturan adalah SDA yang terbatas yang diperebutkan pihak-pihak yang berbeda posisi tawarnya.
Maka, ketika yang jadi tujuan pengaturan adalah akses yang sama bagi semua kelompok masyarakat, keadilan komutatif merupakan pilihan. Namun, Ketika kebijakan itu terkait distribusi akses dan pemanfaatan tanah, ada dua alternatif yang dapat dipilih. Pengaturan yang terkait dengan pihak yang punya kemamuan/posisi tawar yang sama, dapat didasarkan pada keadilan distributif.
Namun, jika pengaturan tentang distribusi akses dan manfaat ini menyangkut pihak-pihak yang tak sama posisi tawarnya, keadilan korektif yang harus diutamakan. Keadilan itu menghendaki keseimbangan diantara berbagai faktor yang tak selalu setara.
Kedua, kebijakan pertanahan harus mencerminkan sifat demokratis, baik dalam proses penyusunannya maupun dalam memberikan kesempatan bagi publik berpartisiasi dalam pengawasan terhadap pelaksanaan suatu kebijakan. Ketiga, aspek keadilan dan demokratis dalam kebijakan itu perlu dilengkapi aspek keberlanjutan demi terwujudnya keadilan atas akses ke SDA antar generasi. Akhirnya, pembentukan peraturan perundang-undangan itu perlu dipandu etika dan bukan oleh kekuasaan. Kekuasaan itu berada di belakang hukum dan berperan dalam penegakannya.
Jika ada yang tidak dipahami, tanya/tulis via WA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar