MK HMM I, HUKUM MEDIA MASSA
KULIAH I, 8 OKTOBER 2020, JAM 08.30 SD 10.30
JURUSAN KOMUNIKASI FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
CAT: kuliah daring/virtual/on line, sebelum Covid-19 sudah banyak dipraktekkan komunitas, lembaga, dan institusi-institusi lain. Yang pasti sejak dibentuknya Universitas Terbuka (UT), metode perkuliahannya sudah on line. Beberapa perguruan tinggi ternama yang lain, juga sudah banyak yang mempraktekkannya.
Kuliah daring sudah keniscayaan, mengikuti perkembangan yang ada. Kunci atau kiat utamanya tetap seperti kuliah biasa, yakni ada “minat untuk belajar, ingin tahu, dan berfikir bebas”. Oleh karena itu rajin, bahkan rakuslah membaca……
Sebagai awal kuliah pertama ini bacalah materi di bawah ini secara seksama (tidak sekedar-sekedar, apalagi terpaksa). Jika ada yang tidak dipahami, mau ditanggapi, komentari, atau mau didiskusikan, silakan tulis melalui WA group kita.
Saya mulai dengan mendeskripsikan “sillabus mata kuliah, garis besar perkuliahan, referensi/buku yang disarankan, arti/definisi/jenis hukum, dan Indonesia sebagai negara hukum”.
SILLABUS
Mata kuliah ini membahas sistim hukum yang ditujukan kepada media massa. Hukum yang mengatur media massa berupa UU Pers No 32 Tahun 2002, UU ITE No…….. tentang penyiaran, kode etik jurnalistik, aturan yang diatur dalam aliansi jurnalistik independent dan lain sebagainya, sehingga pembertaan yang dilakukan oleh media massa tidak melanggar hukum dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat
Dalam garis besarnya sillabus ini diturunkan dalam pertemuan-pertemuan kuliah pertama hingga akhir, sebagai berikut:
· Pengertian hukum dan hukum media massa.
· Konsep-konsep hukum media massa.
· Jenis-jenis hukum media massa
· System pers di Indonesia
· Peranan hukum media massa.
· Studi-studi kasus (pembreidelan, hoaks, medsos)
· Dan lain-lain (disesuaikan dengan perkembangan)
Referensi/daftar Pustaka
1. UU Pers
2. UU ITE
3. Pengantar Ilmu Hukum (cat banyak pengarang dan bukunya)
4. Tata Hukum Indonesia (banyak pengarang dan bukunya)
⌂
Arti dan Definisi Hukum
Secara singkat pengertian hukum adalah “peraturan”. Peraturan yang menjadi pedoman terhadap semua aktivitas. Mahasiswa yang kuliah di UDA, mengikuti peraturan yang berlaku di UDA. Seperti apa “peraturan” itu,mahasiswa-mahasiswa yang mengikuti kuliah in telah memahaminya[1].
Begitu pula dalam kehidupan sehari-hari, seperti di rumah, telah ada “peraturan” yang berlaku bagi setiap keluarga (meski itu tidak tertulis). Termasuk dalam pergaulannya dengan lingkungan/masyarakat sekitar, telah diatur oleh “peraturan, norma, atau kaidah”. Lalu apa sesungguhnya “Hukum” itu. Untuk memahaminya, kita ambil pendapat para pakar yang akhli dalam hal itu. Kita catat pakar-pakar tersebut, seperti Palto, Van Kan, Utrecht, JTC. Simorangkir, dan Wiryono Koesoemo.
Plato
Hukum merupakan segala peraturan yang tersusun dengan baik dan teratur yang mempunyai sifat mengikat hakim dan masyarakat.
Van Kan
Hukum merupakan segala peraturan yang mempunyai sifat memaksa yang diadakan untuk mengatur dan melindungi kepentingan di dalam masyarakat.
Utrecht
Hukum merupakan suatu himpunan peraturan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang mengatur tata tertib kehidupan di masyarakat dan harus dipatuhi oleh setiap individu dalam masyarakat, karena pelanggaran akan pedoman hidup dapat mendatangkan Tindakan dari Lembaga pemerintah.
JTC Simorangkir
Hukum merupakan peraturan yang mempunyai sifat memaksa yang menetapkan tingkah laku manusia di masyarakat yang dibuat oleh badan resmi berwajib, pelanggaran atas peraturan tersebut akan diambil Tindakan dengan di kenai hukuman.
Wirjono Koesoemo
Hukum merupakan semua peraturan baik tertulis atau tidak tertulis yang mengatur tata tertib masyarakat dan kepada pelanggar hukum akan dikenai sanksi.
Tujuan hukum untuk mengadakan kebahagiaan, keselamatan, dan ketertiban masyarakat.
Pendapat-pendapat pakar hukum demikian, sedikit banyak, membuat para mahasiswa yang mengambil mata kuliah Hukum Media masa ini, telah memahami apa yang dimaksud dengan dan tujuan dari “hukum”. Sedangkan jenis-jenis hukum dapat dikelompokkan pada;
· Hukum privat (hukum perdata, hukum sipil, hukum dagang)
· Hukum public (hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara)
· Hukum adat.
Jenis-jenis hukum ini silahkan saudara perdalam sendiri, yang jelas, Indonesia adalah negara yang berdasar hukum. Pernyataan ini (negara hukum) ditulis dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Apa, seperti apa, dan bagaimana praksis “negara hukum” itu bacalah dengan seksama tulisan Profesor Saaldi Isra dibawah ini. Baca dengan seksama/serius……Jika ada yang tak dipahami tanya saya via WA group kita
⌂
75 Tahun Negara Hukum Indonesia
Saldi Isra
Hakim Konstitusi RI, Profesor HTN Universitas Andalas
Kompas, 21 Agustus 2020
Setelah perubahan UUD 1945, negara hukum Indonesia tak lagi dalam fase pencarian. Komitmen Bersama membumikannya akan memberi faedah bagi semua orang yang menghuni rumah besar bernama Indonesia.
Menjelang peringatan kemerdekaan ke-58 mendiang Satjipto Rahardjo memulai artikelnya dengan pernyataan, “Pada tanggal 17 Agustus 1945 Negara Indonesialahir sebagai negara baru ditengah-tengah masyarakat negara-negara di dunia. Kecuali pengumuman tentang bentuk negara, Indonesia juga menyatakan diri sebagai negara berdasar hukum (negara hukum)
Dalam suasana peringatan tiga perempat abad kemerdekaan RI, pernyataan itu dapat dilanjutkan dengan pertanyaan: adakah ide “negara hukum” menjadi pokok bahasan dan pergumulan mendalam para penyusun konstitusi Indonesia merdeka? Bagaimana potret negara hukum setelah 75 tahun Indonesia merdeka?
Kedua pertanyaan “sederhana” ini menarik dijelaskan dengan melacak gagasan dan perkembangan kekuasaan kehakiman dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Indonesia. Bagaimanapun, dalam batas-batas tertentu, perjalanan melelahkan membangun kekuasaan kehakiman yang merdeka sekaligus dapat dijadikan teropong dalam menelusuri negara hukum Indonesia.
Perdebatan pendiri bangsa Ketika merumuskan UUD 1945 diujung kekuasaan Jepang, baik di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) maupun di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dapat dikatakan sebagai upaya konkret proses pencarian dan perumusan awal negara Indonesia modern. Selain dasar negara, desain struktur ketatanegaraan Indonesia merdeka termasuk kekuasaan kehakiman jadi isu sentral pembahasan.
Merujuk risalah pembahasan UUD 1945 yang ditulis RM AB Kusuma (2009:364) penyebutan “negara hukum” pertama kali Ketika Soepomo memyampaikan kesimpulan system pemerintahan dalam rancangan UUD, pada rapat besar BPUPKI 15 Juli 1945. Soepomo mengemukakan, “Rancangan UUD menghendaki supremasi hukum. Artinya menghendaki satu negara yang berdasar atas hukum, menghendaki satu rechtstaat, bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtstaat)”. Menegaskan kehendak dimaksud, Soepomo menambahkan, “Sistem pemerintahan konstitusional. Artinya pemerintah yang berdasarkan konstitusi (hukum dasar), bukan pemerintah yang bersifat absolutism (kekuasaan yang tak terbatas)
Meski sempat muncul saat pembahasan, negara hukum tak pernah menjadi rumusan norma dalam rancangan UUD 1945 yang dihasilkan BPUPK. Bahkan Ketika tugas BPUPK berakhir dan pembahasan rancangan UUD dilanjutkan PPKI, perihal negara hukum tak disentuh anggota PPKI. Perkembangan selanjutnya, rumusan negara hukum baru menjadi bagian hukm dasar Ketika UUD 1945 dan Penjelasannya dimuat dalam Berita RI Tahun II No 7, 15 februari 1946. Terlepas dari perdebatan tentang dan sekitar Penjelasan UUD 1945, di antara substansinya adalah pernyataan ihwal “Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat)”
Penegasan “Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum” dalam Penjelasan UUD 1945 jauh dari cukup untuk melacak tipe negara hukum Indonesia. Misalnya, saat Soepomo menyampaikan negara hukum yang dipadankan dengan rechtstaat, apakah tipe negara hukum yang hendak diwujudkan adalah tipe rechtstaat atau tipe rule of law. Keduanya memiliki perbedaan, baik secara konsep maupun latar belakang.secara doktriner, rechtstaat bertumpu pada sistim hukum continental (civil law) yang mengutamakan hukum tertulis dan berkembang secara revolusioner. Sementara rule of law ditopang system hukum common law yang bertumpu pada yurisprudensi dan tumbuh secara evolusi. Boleh jadi, karena di masa pra kemerdekaan hukum Indonesia lebih banyak dipengaruhi tradisi civil law dan istilah yang digunakan pun berasal dari negara-negara penganut civil law, anggapan umum, konstitusi karya pendiri bangsa menghasilkan negara hukum bertipe rechtstaat. Namun, hasil pelacakan risalah, tak ditemukan maksud dan pendapat perumus UUD 1945 (original intent) yang eksplisit menyatakan tipe negara hukum Indonesia rechtstaat.
Sekalipun tak ditemukan original intent tersebut, pendiri negara telah memberikan pijakan penting dalam membangun negara hukum. Setidaknya, kehadiran Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 telah memaktubkan salah satu prinsip negara hukum, yaitu pengakuan atas kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pengakuan pentingnya kemerdekaan kekuasaan kehakiman pula yang jadi fundasi The Spirit of Laws karya Montesquieu. Bagi Montesquieu bila kekuasaan peradilan disatukan dengan kekuasaan legislative, akan lahir peraturan sewenang-wenang sebab hakim merangkap sebagai pembuat hukum. Begitu pula jika digabungkan dengan eksekutif, hakim dapat menjelma jadi penindas.
Intervensi eksekutif
Dibandingkan UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950 menyebut secara eksplisit negara hukum. Dimaktubkan dalam frasa Pasal 1 Ayat (1) kedua konstitusi ini yang menyatakan, “Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum”. Tak berbeda dengan UUD 1945, perihal relasi antar cabang kekuasaan negara, Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950 tak membuat desain hubungan pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi (Mahkamah Agung) dengan kekuasaan negara lain. Muaranya, kemerdekaan kekuasaan kehakiman jadi kabur sehingga mudah ditarik-tarik menjadi penopang kekuasaan lain terutama kekuasaan eksekutif. Praktik di bawah UUD Sementara 1950, MA merupakan subordinasi pemerintah. Bahkan dalam banyak agenda kenegaraan, Ketua MA diberi status setara dengan anggota parlemen.
Setelah Kembali ke UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pemosisian ketua MA sebagai bagian dari eksekutif berlanjut. Ketika pembentukan Kabinet Dwikora, semua Lembaga negara diposisikan sebagai alat revolusi, termasuk MA. Merujuk catatan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP 2016), puncak intervensi terhadap kekuasaan kehakiman Ketika ketua MA menjadi Menteri Koordinator untuk Kompartemen Humum dan Dalam Negeri pada masa cabinet Dwikora. Bhkan , jauh sebelum itu, merujuk hasil penelusuran LeIP, dalam siding MPRS 1960, mulai muncul penegasn untuk mengakhiri doktrin pemisahan kekuasaan.
Secara hukum, intervensi nyata atas kekuasaan kehakiman merdeka dilegitimasi UU No 19/1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. UU ini menegaskan pengadilan mengadili menurut hukum sebagai alat revolusi yang berdasarkan Pancasila menuju masyarakat sosialis Indonesia. Tak hanya itu, dengan alas an demi kepentingan revolusi, presiden dapat turut campur dalam soal-soal pengadilan. Pasca UU No 19/1964, kekuasaan kehakiman ditempatan sebagai kekuasaan yang merdeka di dalam UU No 14/1970. Namun, kemerdekaan dimaksud hanya sebatas pelaksanaan teknis peradilan.
Masalah lain yang tak kalah mendasarnya dalam desain kekuasaan kehakiman yang merdeka, yaitu wewenang di bidang organisasi, administrasi dan finansial badan peradilan tak diselenggarakan MA, tetapi tetap berada di bawah eksekutif, in casu masing-masing departemen. Karena itu, Sebastian Pompe dalam The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse (2005) menyatakan, selama Orde Baru, terutama 1970 – 1985, terjadi kooptasi politik luar biasa atas kekuasaan kehakiman.
Jika dikaitkan dengan pendapat Montesquieu, dalam batas penalaran yang wajar, bentangan empiric di atas menjadi Tindakan nyata menarik kekuasaan kehakiman masuk ke dalam ranah eksekutif. Sebagaimana dibenarkan Tap MPR No X/MPR/1998, pembinaan Lembaga peradilan oleh eksekutif memberikan peluang bagi penguasa mengintervensi proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktik negative pada proses peradilan. Karena itu, harus dipisahkan secara tegas antara fungsi yudisial dan fungsi eksekutif. Tidak hanya dari eksekutif, menjadi keniscayaan memisahkan kekuasaan kehakiman dari semua cabang kekuasaan yang ada.
Spirit memisahkan kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari strategi membangun negara hukum yang dimaktubkan Tap MPR No X?MPR?1998 dituangkan dalam UU No 35/1999. Sebagai revisi UU No 14/1970, substansi UU No 35/1999 intinya menegaskan urusan organisasi, finansial, dan administrative dari pengadilan harus berada di bawah MA. Namun, pengaturan di tingkat UU masih jauh dari cukup. Karena itu, sejalan dengan reformasi konstitusi, pilihan menegaskan kekuasaan kehakiman merdeka dalam konstitusi jadi jalan terbaik. Penataan kekuasaan kehakiman jadi jalan strategis meneguhkan dasar konstitusional negara hukum Indonesia.
Reformasi konstitusi
Melacak Kembali risalah, dari semua substansi perubahan UUD 1945, pembahasan perihal negara hukum jadi salah satu isu krusial. Pembahasan kian strategis karena terkait upaya menata ulang kekuasaan kehakiman dalam struktur kekuasaan negara. Terlebih lagi, Ketika MPR sepakat menghapus Penjelasan UUD 1945 dan memindahkan hal-hal normative dalam penjelasan menjadi norma konstitusi. Salah satu substansi Penjelasan yang diangkat jadi norma konstitusi, “Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat)
Disebabkan tidak ada ketergesa-gesaan, sebagaimana penyusunan UUD oleh pendiri bangsa, pembahasan perihal negara hukum telah dimulai sejak perubahan pertama (1999) dan selesai pada perubahn ketiga (2001). Dalam rentang waktu itu, pengubah UUD 1945 membahas segala sisi yang terkait negara hukum. Sekalipun akhirnya dinormakan dengan “Negara Indonesia adalah negara hukum”, untuk sampai pada norm aini, pengubah UUD 1945 telah menjelaskan beberapa masalah yang dapat dijadikan sebagai original intent dalam meneropong negara hukum Indonesia.
Pertama, pengubah UUD tak membedakan tipe negara hukum atas rechtstaat dan rule of law. Karena melingkupi rechtstaat dan rule of law, karakteristik negara hukum Indonesia lebih luas. Diantara karakteristik yang hamper selalu ditegaskan oleh pengubah UUD adalah adanya jaminan dan penghargaan terhadap HAM; kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan pembatasan kekuasaan negara sehingga mampu menopang bangunan demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy state)
Kedua, Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. Bila dibaca secara seksama risalah perubahan UUD 1945, in casu embahasan negara hukum dalam masa Perubahan Ketiga, Sebagian anggota Panitia Ad Hoc (PAH) MPR memberikan penekanan khusus ihwal “negara hukum yang demokratis”. Beranjak dari pengalaman, sebelum reformasi, negara hukum telah dapat pengakuan, tetapi tak dibangun dan dilaksanakan dengan cara-cara demokratis. Begitu penting makna kata “demokratis”, sebagiannya menghendaki agar norma dalam konstitusi secara secara eksplisit mencantumkan “negara hukum yang demokratis”. Walau akhirnya tidak dicantumkan, ketentuan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan tidak boleh mengabaikan akna “negara hukum yang demokratis”
Ketiga, berpegang pada prinsip supremasi hukum dan sistim konstitusional yang bermuara pada system demokrasi konstitusional. Secara lebih sederhana, demokrasi konstitusional adalah pemerintahan yang kekuasaan politik dibatasi begitu rupa oleh konstitusi/UUD. Pandangan ini sejalan dengan tujuan dibentuknya konstitusi sebagai instrument untuk batasi kekuasaan. Sejak awal diyakini pengubah UUD, kekuasaan zonder pembatasan cenderung disalah gunakan.
Membumikan negara hukum
Di antara tujuan perubahan UUD 1945 adalah menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan HAM sesuai perkembangan paham HAM dan peradaban ummat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citkan UUD 1945. Untuk mencapainya, Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sulit dibantah, pengaturan itu terlepas dari makna hakiki kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagai fundasi menegakkan negara hukum.
Begitu penting memastikan kemandirian kekuasaan kehakiman, UUD 1945 berupaya maksimal mendesain agar kekuasaan di luar yudisial tak mudah menerobos garis pertahanan peradilan. Proses pengisian hakim agung dan hakim konstitusi ditata sedemikian rupa.
Perihal jaminan dan penghargaan terhadap HAM, hasil perubahan UUD 1945 mengatur jauh lebih komprehensif dibandinkan substansi semua konstitusi yang pernh berlaku termasuk UUD 1945 sebelum perubahan. Dengan begitu, pelaku kekuasaan kehakiman (MA dan MK) harus memastikan Tindakan yang mengabaikan HAM akan dikoreksi peradilan dengan wibawa kekuasaan kehakiman yang mandiri. Meskipun secara substansi UUD 1945 hasil perubahan masih memiliki kelemahan, apabila diletakkan dalam desain negara hukum, tak tepat lagi menggunakan alas an karut-marut negara hukum Indonesia disebabkan konstitusi tak mengatur dan menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan HAM. Secara substansial UUD 1945 telah lebih dari cukup menjawab dan mengatur kedua ciri utama negara hukumdimaksud.
Kini, setelah perubahan UUD 1945 negara hukum Indonesia tak lagi berada dalam fase pencarian, ia telah ditemukan. Negara hukum Indonesia pun tak lagi berada dalam perumusan, normanya telah selesai. Sejatinya, yang diperlukan, mengejawantahkan negara hukum Indonesia sehingga memberi faedah bagi semua penghuni rumah besar Indonesia. Jika semua komponen bangsa memiliki komitmen sama, hari-hari menuju Indonesia Emas 2045 akan jadi perjalanan menuai buah manis negara hukum.
Nah……..komitmen ini lah…..yang bermasalah……Merdeka
[1] Misalnya tentang proses belajar-mengajar, telah dibuat ketentuan, yakni setiap 1 sks, waktu yang dibutuhkan adalah 50 menit tatap muka, 60 menit terstruktur, dan 60 menit mandiri. Jadi jika mahasiswa mengambil satu mata kuliah yang nilainya 3 sks, maka yang dibutuhkan untuk belajar adalah, tatap muka 3 X 50 menit, terstruktur 3 X 60 menit, dan mandiri 3 X 60 menit. Begitu pula tentang UTS dan UAS, serta jumlah yang diambil agar lulus S1, sudah ada aturannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar