PERSFEKTIF MARHAENISME MEMANDANG
DUNIA PENDIDIKAN DI ERA NEW NORMAL
Oleh : Reinhard Hutapea
Disampaikan pada diskusi GmnI Medan, 2 Oktober 2020,
jam 15.00 WIB, di Jl Kejaksaan No 6, Medan
⌂
Sekapur sirih
Judul ini diberikan Samuel Oktavianus Guru Singa, Ketua Cabang GmnI Medan pada tanggal 28 september 2020, jam 17.40 di rumahku. Pada waktu kutanya bagaimana pendapat mu rupanya dengan keadaan Pendidikan, khususnya sekolah/kuliah on line/daring saat ini. Samuel bilang kurang…..(lupa jelasnya apa yang ia katakan kepada saya).
Namun setelah saya reka-reka kembali, yang dimaksudkan Samuel (semoga tidak keliru) adalah sistim belajar atau perkuliahan yang berlangsung saat ini yang tidak datang ke sekolah/kampus, melainkan dengan metode tatap muka.
Istilah populernya “daring”, belajar melalui computer/android/gawai, sehingga kurang afdol, karena tidak langsung berhadapan. Itulah kira-kira/mungkin dalih dari diberikannya judul ini.
permasalahan
Karena baru sebatas itu diskursusnya, maka saya , mencoba mereka-reka lebih lanjut, pendekatan, persfektif, batasan, ruang lingkup (scope) seperti apa mengulas judul yang masih terlalu umum ini.
Saya mulai dulu dari pembahasan/analisis judul. Judul di atas mengandung kata-kata atau kalimat, yang dapat juga disebut sebagai konsep, yakni; a) persfektif Marhaenisme, b) dunia Pendidikan, dan, c) era new normal. Konsep-konsep ini perlu dipahami.
Ø Apa yang dimaksud persfektif Marhaenisme? Tidakkah itu pengertian yang masih sangat abstrak? Tidakkah pengertian Marhaenisme itu sendiri masih punya tafsir yang sangat banyak?
Ø Dunia pendidikan yang bagaimana? Tidakkah pengertian tentang “dunia Pendidikan” ini masih penuh perdebatan dan kontradiksi ?
Ø New Normal yang bagaimana? Yang disebut Lockdown? PSBB? Yang Protokol Kesehatan versi WHO? Bagaimana dengan socio-cultural Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan yang tidak sekedar harfiah, melainkan konseptual, yakni perlu didekati dengan landasan teori (elaborasi-teorisasi). Pembahasan yang tidak mungkin dilakukan, mengingat keterbatasan waktu.
Oleh karena itu (karena keterbatasan waktu) sebagai pendekatan elementer, judul diatas kita relasikan dengan hal-hal yang elementer juga.
Ø Persfektif Marhaenisme direlasi-konotasikan dengan Pancasila (Marhaenisme itu dianggap saja sama dengan Pancasila).
Ø Dunia Pendidikan dengan Pembukaan UUD 1945, Pasal 31, ayat 1 dan 2 UUD 1945, UU Sisdiknas (UU No 20 Tahun 2003), UU Pendidikan Tinggi
Ø Era New Normal dengan PSBB, Lockdown, Protokol Kesehatan atau AKB, Adaptasi Kebiasaan Baru (Work from home, pakai masker, Jaga jarak, cuci tangan……terutama kuliah/sekolah dari rumah).
Kerangka pemikiran
Kerangka pemikiran ini adalah landasan untuk membahas permasalahan. Sering juga disebut sebagai kerangka teori, konsep, persfektif/pendekatan, atau metodologis. Sebagai Langkah pertama akan dimulai dari landasan ideologis, konstitusional, dan jika memungkinkan dengan teori-teori Pendidikan dari pakar-pakar Pendidikan (Ki Hadjar Dewantara, Paolo Freire, RA. Kartini, Dewi Sartika, Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan dan lain-lain[1]).
Akan diawali dengan deskripsi Pembukaan UUD 1945, Pasal 31 UUD 1945, dan Undang-Undang Sisdiknas
Alinea ke empat Pembukaan UUD 1945
Dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…….
Pasal 31, ayat (1) UUD 1945
Setiap warga negara berhak mendapat Pendidikan.
Pasal 31, ayat (2)
Setiap warga negara wajib mengikuti Pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional
Bab I Ketentuan-Ketentuan Umum/Pengertian
Pasal 1, ayat (1)
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara
Pasal 1, ayat (2)
Pendidikan nasional adalah Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Pasal 1, ayat (3)
Sistim Pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen Pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan Pendidikan nasional
Bab II, Pasal 3 → Fungsi dan Tujuan
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
⌂
Bagaimana dengan historisitas dan empiriknya?
Seperti yang tersirat itukah ?
Mari sama-sama kita diskusikan. Mari sama-sama kita telaah….sudah sesuaikah antara yang tertulis dengan yang tersirat, yang tertulis dengan praksisnya? Tidakkah kontroversial? Tidakkah lebih besar pasak dari tiang? Tidakkah setiap ganti otoritas/Menteri ganti kebijakan?[2]
Demikianlah gambaran, cerminan, dan implementasi Pendidikan selama ini. Khususnya pra Covid-19. Pasca Covid-19, keadaan betul-betul berubah significan. Tidak saja keterpurukan ekonomi yang melanda, jauh dari itu adalah terganggunya proses belajar-mengajar dengan segala resikonya. Lebih jelasnya akan diuraikan dalam makalah yang (entah kenapa) batal dipresentasikan dibawah ini[3].
⌂⌂⌂
PENGARUH EKONOMI TERHADAP KEGIATAN
BELAJAR – MENGAJAR DI ERA COVID-19
Oleh: Reinhard Hutapea
Disampaikan pada WA Conference BEM FISIPOL UDA, 7 september 2020
∏
Pengantar Diskusi
Judul ini diberikan Antonius Samosir, sebagai implementasi diskusi teman-temannya dari BEM FISIP UDA. Katanya, baru dan hanya sebatas itu (sebatas judul) yang dapat diinformsikan. Belum/tidak ada panduan atau Terms of Referencenya (TOR) yang lebih spesifik, seperti apa kira-kira yang diinginkan. Apakah mau/akan menelaah secara umum/nasional, lokal, atau lebih khusus untuk kepentingan internal kampus?
Oleh karena itu saya mencoba merumuskan dua dugaan/hipotesis. Dugaan pertama adalah, maksud dan tujuan judul tersebut adalah bahwa Covid-19 telah menimbulkan keterpurukan ekonomi, yang dalam turunan (derivasi)nya mengganggu proses belajar-mengajar (Hipotesis besarnya). Dugaan selanjutnya (Hipotesis khususnya) adalah sebagai konsekwensi dari keterpurukan ekonomi tersebut, mendorong ketimpangan dan pemarjinalan proses belajar – mengajar, yang semakin lebar dan luas.
Keterpurukan Ekonomi
Untuk mengetahui bagaimana keterpurukan ekonomi akibat Covid-19 dapat dibaca tulisannya Enny Sri Hartati, peneliti senior Institute Development of Economics and Finance pada tanggal 23 Juni 2020 di Harian Kompas.
Menurut Enny dampak ekonomi pandemi Covid-19 sangat berat dan dalam, melebihi krisis ekonomi 1997/1998. Pandemi menghantam semua sisi produksi sekaligus menghilangkan sumber pendapatan sisi konsumsi. Berdasarkan data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), rasio okupansi atau tingkat hunian hotel anjlok, tinggal sekitar 10 persen, dan lebih dari 2000 hotel terpaksa tutup.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mencatat produksi sektor manufaktur turun sekitar 50 persen. Gabungan Industri Kenderaan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memprediksi penjualan mobil anjlok dari 1,1 juta unit pada 2019 menjadi sekitar 400.000 unit pada 2020. Gabungan Industri Elektronika dan Alat-alat Listrik Rumah Tangga (Gabel) melaporkan penurunan produksi 5- - 60 persen. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) memperkirakan penurunan 40- 50 persen.
Di sektor ritel, Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) menyatakan, hanya 50 persen penyewa mal yang bisa buka Kembali setelah tutup lebih dari tiga bulan. Pada hal, selama pembatasan social berskala besar (PSBB), 96 persen mal tutup. Sector usaha mikro,kecil, dan menengah (UMKM) serta sector informal yang pada krisis ekonomi 1998 menjadi penopang justru kini menjadi segmen yang paling berat terkena dampak pandemi.
Kendati PSBB dilonggarkan, aktivitas tetap harus mematuhi protocol Covid-19. Artinya, seluruh kegiatan ekonomi belum dapat Kembali seperti kondisi normal. Seluruh kegiatan ekonomi, baik industri, perdagangan, transportasi, jasa-jasa, maupun yang lainnya, tetap harus melakukan pembatasan. Konsekwensinya, beban biaya operasional meningkat. Artinya, pekerja yang dirumahkan, apalagi yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), tak segera Kembali mendapat pekerjaan.
Dengan demikian, ledakan angka pengangguran dan kemiskinan tak bisa dielakkan. Pada hal sebelum pandemic Covid-19, sudah ada 6,88 juta penganggur per Februari 2020 dan sekitar 24,79 juta penduduk miskin per September 2019 di Indonesia. Jika kapasitas usaha berbagai sektor rata-rata turun 50 persen, angka pengangguran dan kemiskinan berisiko melonjak dua kali lipat.
Hasil simulasi berbagai Lembaga menunjukkan hal serupa. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 2020 minus 0,4 persen, penganggur dapat bertambah sekitar 6 juta orang. Jika pertumbuhan ekonomi minus lebih dari 1 persen, diperkirakan penganggur bisa lebih dari 10 juta orang.
Data sampai dengan awal Juni 2020, beberapa asosiasi telah melaporkan jumlah pekerja yang kena PHK. Pekerja yang kena PHK, antara lain, industri tekstil (2,1 juta orang), transportasi darat (1,4 juta orang), estoran (1 juta orang), sepatu dan alas kaki (500.000 orang), perhotelan (430.000 orang), ritel (400.000 orang), serta farmasi (200.000 orang). Sebagai catatan, tambahan angka pengangguran itu baru dari sektor formal.
Sementara itu, risiko kehilangan pekerjaan pada sektor informal jauh lebih besar, sebab kalangan ini, selain harus kerja secara fisik, tidak bisa secara virtual, sebagaimana pekerja formal. Begitu pula terhadap akses teknologi informasi dan komunikasi, kalangan ini kurang/tidak memiliki, yang (sebagai konsekwensi logisnya) akan menimbulkan ketimpangan atau kesenjangan semakin besar. Dengan kata lain/artinya, mereka tidak dapat mengkapitalisasi peluang yang ada (Teguh Dartanto, dalam Kompas, 16 Juli 2020)
Pada Februari 2020, pekerja di sektor informal ini diperkirakan sebanyak 74,04 juta orang (56,5 persen). Bisa dibayangkan, jika pandemi ini berlangsung lama, kehidupan mereka yang sudah sengsara, akan semakin sengsara.
Seperti apa sengsaranya, kiranya tak perlu kita ulas lebih jauh. Sudah bisa dibayangkan, mereka yang harus kerja setiap hari untuk memenuhi hidupanya pada hari itu juga, tiba-tiba tidak bisa bekerja. Mengenaskan!
Yang jelas Covid-19 telah melesatkan:
· Pengangguran
· Kemiskinan, dan
· Ketidakadilan
yang semakin besar, dalam, dan luas. Yang dalam derivasinya menimbulkan ekses-ekses yang serius terhadap kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Semua segmen kehidupan nyaris terpapar olehnya. Termasuk dunia Pendidikan, yakni terganggunya proses belajar – mengajar.
Terganggunya Proses Belajar – Mengajar ?
Proses belajar – mengajar yang biasanya dilakukan di sekolah/kampus dengan tatap muka, saat ini harus secara on line – daring, alias tak langsung. Suatu perubahan yang radikal/revolusioner, yang mayoritas peserta/stake holdernya belum siap (sungguh-sungguh tak siap/pada gagap tak karuan)
Suasana yang sebetulnya tak perlu terjadi dalam era darurat. Tidakkah sudah lama (40 tahun) UT melakukan proses belajar-mengajar secara daring? Begitu pula pola belajar-mengajar di beberapa perguruan tinggi yang sudah biasa melakukan kuliah daring. Demikian pula di luar negeri/dinegara yang sudah maju, metode belajar-mengajar daring ini sudah biasa dilakukan.
Bagi saya pribadi tidak ada masalah dengan kuliah on line ini. Sudah lama mempraktikkannya, yakni sewaktu tutor di UT, dan bimbingan jarak jauh dengan mahasiswa-mahasiswa di daerah lain.
Di UGM pernah saya temukan, seorang mahasiswa yang berinteraksi dengan Prof Samuel Huntington dari Amerika Serikat (Harvard) via e mail. Mereka balas-balasan melalui alat elektronik tersebut secara interaktif.
Sungguh dinamis dan empirik, sehingga karya ilmiah yang sedang dikerjakannya lebih bermutu (valid and reliable), sebab langsung dapat data dari/langsung dengan pakarnya. Tidak lagi dari sekedar bukunya, melainkan dengan perkembangan terakhir/kekinian dari teori yang ditulis dalam bukunnya, yang tentunya sangat up to date.
Seharusnya metode dan mentalitas seperti itulah yang kita praksiskan dalam era pandemic Covid-19 ini, meski kita tidak menutup mata dengan pendapat-pendapat konvensional, seperti;
· Dalam perkuliahan daring tidak terjadi interaksi (dialog dan komunikasi).
· Peran guru/dosen tidak tergantikan oleh teknologi
· Teknologi hanyalah alat, bukan tujuan.
Pendapat yang tidak saya tentang, namun saya jawab dengan titah Ki Hadjar Dewantoro yang mengatakan bahwa semua tempat adalah sarana belajar. Tidak hanya di tempat-tempat formal, seperti; sekolah, kampus, dan lain-lain sejenisnya. Masyarakat, lingkungan, dan terutama keluarga adalah sarana belajar yang paling efektif.
Demikian pengantar diskusi. Merdeka
Catatan akhir
· Dengan tampilnya malapetaka Covid-19, telah melahirkan ekses-eksesnya. Baik bagi ekonomi, dan atau khususnya proses belajar-mengajar.
· Pendidikan Indonesia masih jauh dari yang diharapkan sebagaimana tertulis dalam UUD, UU Sisdiknas, dan terutama menurut pandangan kaum Nasionalis-Marhaenis
· Kebijakan pemerintah yang disebut dengan Adaptasi Kebiasaan Baru (New normal) masih mencar-cari bentuknya yang pas.
· Diskusi ini barulah dalam tahap elaborasi awal. Harus dilanjutkan jika ingin pemahaman yang lebih bermutu.
[1] Hanya dideskripsikan dalam diskusi/tidak ditulis di makalah ini, mengingat keterbatasan waktu)
[2] Tidak ditulis disini, mengingat keterbatasan waktu. Didiskusikan dengan peserta yang hadir.
[3] Intisari makalah ini adalah Covid-19 telah melumpuhkan perekonomian, yang dalam turunannya banyak menimbulkan pengangguran, kemiskinan, dan selanjutnya mempengaruhi proses belajar-mengajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar