Senin, 26 Oktober 2020

RELASI EKONOMI INDONESIA - JEPANG

 


 

RELASI EKONOMI INDONESIA – JEPANG

Oleh: Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA Medan

Published, Waspada, 27 Okt 2020

 

Indonesia yang sudah lebih enam decade menjadi pasar otomotif, elektronik, optic, dan lain-lain komoditas Jepang sudah waktunya mengkaji (kalibrasi) ulang hubungan asimetrik demikian

 

 PM Jepang yang baru terpilih, Yoshihide Suga, telah melakukan lawatan pertamanya ke Vietnam dan Indonesia. Di Indonesia telah hadir pada tanggal 20 dan 21 Oktober, dan melakukan kunjungan dan pembicaraan resmi dengan Presiden Jokowi di istana Bogor. Sebagaimana tradisi-tradisi sebelumnya, kali inipun Jepang, kembali memberi pinjaman sebesar 50 milyar yen ( Rp 6,95 trilun) dalam jangka waktu 15 tahun

Suga dalam pernyataan resminya sebelum sampai di Jakarta, mengutarakan, bahwa siapapun pemimpin terpilih di Jepang, akan selalu mengutamakan hubungannya dengan Indonesia sebagai negara besar dan pemimpin ASEAN, dan terutama adalah karena Indonesia adalah mitra investasi dan perdagangan utama bagi Jepang.

Pertanyaannya: “bagaimana kwalitas hubungan demikian selama lebih enam decade? Setarakah, atau justru sebaliknya, yakni Indonesia terus meminjam, dan Jepang terus memberi pinjaman?  Secara singkat saya akui hubungan itu tidak setara, alias asimetrik, karena ada yang ber posisi lebih dominan, atau hegemonik. Konstatasi, yang dalam historis, perjalanan atau perkembangannya step by step seharusnya diselaraskan. Tidak dibiarkan permanen, atau bahkan dilembagakan.

Tidak membiarkan terus-menerus investasi asing langsung (Foreign Direct Investmen/FDI) Jepang mendominasi negeri ini sejak akhir kepemimpinan Bung Karno, dan terutama sejak Orde Baru berkuasa. Disengaja atau sebaliknya, relasi ekonomi Jepang – Indonesia telah berpola ketergantungan, patron-klin,alias feodal. Jepang permanen sebagai “produsen”, dan Indonesia hanya sebagai “konsumen/pasar”, bagi produk-produk Jepang.

Produk-produk yang jauh lebih unggul, sebab telah melalui tahap-tahap industrialisasi nan teknologis, seperti, industri-industri manufaktur, yang punya nilai tambah yang lebih unggul, apabila dibandingkan dengan barang-barang yang belum diolah secara manufaktur. Barang-barang yang dalam muara atau implementasinya akan mendatangkan profit yang sangat menguntungkan.

Sebaliknya bagi negara-negara yang tidak memiliki keunggulan teknologis itu, seperti Indonesia hanya akan mendapat nilai kecil atau keuntungan yang tidak sebanding. Nilai yang ibarat antara langit dan bumi, atau kakap dengan teri, yang sangat tak seimbang.

Sesuai dengan hukum, teori, atau praksis keunggulan komparatif (Comparative Advantage, CA) dalam perdagangan dunia, Indonesia hanya bisa menjual/mengekspor komoditas-komoditas yang belum melalui proses-proses teknologis, karena hanya komoditas itu yang dimiliki. Komoditas-komoditas sejenis Sumber Daya Alam (SDA), yang harga atau nilainya sudah pasti jauh lebih murah. Jelas suatu relasi (ekonomi-politik teknologis) yang timpang, alias asimetrik.  

Perdagangan Asimetrik

Bagi nasionalist-nasionalist yang tinggi kesadaran/wawasan kebangsaannya, akan gusar melihat relasi ketimpangan demikian. Mereka akan galau, mengapa barang-barang negeri Sakura tersebut terus-menerus mendominasi pasar negeri ini. Seluruh kenderaan/otomotif, barang-barang elektronik, optic, dan jenis-jenis lain, yang digunakan sehari-hari, nyaris hampir semua milik-dagangan Jepang. Mana buatan Indonesia?

Siapa yang tidak akrab dengan Toyota, Suzuki, Daihatsu, Honda, Mitsubishi, Hino, Isuzu, Fuso, Yamaha, Hitachi, Sony, Mazda, Nissan, Sanyo, Sharf, Toshiba, Panasonic, Canon, Nikon, JVC, Nintendo, Fujitsu dan lain-lain komoditas mereka dinegeri ini. Namun sebaliknya, adakah produk-produk sejenis tersebut, yang diproduksi Indonesia hadir/ada di Tokyo, Osaka, Kyoto, Yokohama, Sapporo, Kobe, Hiroshima, Nagoya, Sendai, Fukuoka, Nagasaki, Chiba, Yamagata, etc?

Jelas/bisa dipastikan tidak ada. Tidak akan ada, karena memang tidak pernah ada. Negeri ini hanya asyik atau keasyikan sebagai penikmat buatan asing, atau pemburu rente. Bangga, terbuai, dan euforia dengan ciptaan luar. Bukan kreasi/buatan sendiri yang seharusnya lebih membanggakan dan menguntungkan. Meminjam litani Prof Dr Sri Edi Swasono (2007), bangsa ini ada kecenderungan terpenjara mental “minder – inferioritas”, yang sadar atau sebaliknya, senang hanya sebagai penikmat, bukan sebagai pencipta/innovator yang membutuhkan tindakan rasional, disiplin, dan kerja keras.

 Sudah enam dekade barang-barang atau komoditas-komoditas teknologis-manufaktur Jepang membanjiri negeri ini, setelah sebelumnya dibanjiri komoditas-komoditas Eropa dan Amerika. Artinya, nyaris tanpa “alih teknologi”. Nyaris tak mau membuat komoditas sendiri. Mengapa negara-negara lain yang se level dengan kita giat melakukannya?

India mengundang Willys dari Inggris, lalu mempelajari dan menirunya dengan membuat mobil sendiri, dengan merk/nama “Tata”. Selanjutnya mengundang Piaggio (vesva) dari Italia, lalu membuat yang sejenis, yang diberi merk Bajay. Tidak ketinggalan negara-negara di Kawasan ini, seperti, Malaysia membuat Proton sebagai duplikasi, kreasi, atau inovasi dari Mitsubishi.

Yang prestisius dan gemilang adalah China. Sejak lama melakukan isolasi, yakni mengasingkan diri, alias tidak mau ikut/masuk organisasi perdagangan dunia (WTO). Akan tetapi sekali masuk merajai lembaga tersebut. Artinya, bukan saja mengikuti peraturan-peraturan yang terdapat di lembaga perdagangan dunia itu, malah sebaliknya mewarnai dan menggunakan wadah tersebut, sungguh-sungguh sebagai ajang kepentingan bisnis dan kekuatan ekonomi nasionalnya.

Dengan komoditas-komoditas yang lebih canggih - teknologis, lebih murah, dan lebih efisien, China berselancar dinegara-negara anggota WTO, yang tidak saja mendatangkan profit yang besar bagi negerinya, jauh di atas itu/terutama dan utama adalah terganggunya (tepatnya tergusurnya) komoditas-komoditas negara-negara lain yang sudah lebih dulu merajai anggota WTO.

Mereka (China) sukses, setelah membangun kekuatan-kekuatan lokalnya, seperti pembangunan mental-budaya (character and national building), kekuatan industri nan teknologis, strategi perdagangan/manajemen yang canggih, dan lain-lain kiat (art) yang berhubungan dengannya, dengan tekad (good and political will) yang sungguh-sungguh membaja.

Seujung rambutpun, negeri itu, tidak mau menjadikan pasarnya dikuasai komoditas asing, sebagaimana yang dilakukan barang-barang manufaktur Jepang di Indonesia sekian lama (bertahun-tahun). Pasar tetap terkendali dibawah otoritas pemerintahannya, sehingga hasil (out put)nya betul-betul untuk kemakmuran bangsa, masyarakat, dan negaranya (bukan unuk segelintir elit yang lazimnya menjadi komprador perusahaan-perusahaan asing).

Mereka membuka lebar-lebar investor asing masuk kenegerinya, namun tetap dibawah kontrol otoritas kekuasaannya. Tidak begitu saja diserahkan ke pasar sebagaimana dikte-dikte kaum liberal yang menganut fundamentalisme pasar (Stiglitz, 2001), melainkan dengan perjanjian yang setara antara kedua pihak. yang saling menguntungkan, dan timbal balik, sesuai dengan prinsip-prinsip atau persaingan pasar bebas (free market).

Alih Teknologi

AS yang masuk ke pasarnya disambut dengan gegap gempita, namun dengan syarat harus melakukan alih teknologi. Yakni mengijinkan China membuat komoditas yang sama, setelah China sanggup membuatnya. Dalam bahasa lain, setelah pakar-pakar negeri Tirai Bambu ini sanggup membuat barang seperti itu, adalah hak China untuk memasarkannya di pasar domestik maupun global.

Metode (imitasi, dan inovasi) yang akhirnya membuat perekonomian China berkembang bagaikan roket membelah langit. Betapa tidak? Semua komoditas-komoditas yang sebelumnya diciptakan negara-negara lain, kini dapat diproduksi China dengan mutu yang lebih baik, harga yang lebih murah, dan lebih efisien.

Konstalasi yang akhirnya membuat Trump naik pitam/berang, ketika ia menjadi Presiden AS tahun 2016. Trump menuding China telah melakukan perdagangan curang, mencuri kekayaan properti AS, dan memaksakan alih teknologi ketika perjanjian investasi, sehingga membuat perdagangan AS dengan China mengalami deficit besar.

Sejauh mana, seperti apa, dan bagaimana deficit demikian, yang bermuara pada perang dagang antar kedua negara, bukanlah pembahasan tulisan ini. Yang pasti adalah bahwa penguasaan teknologi adalah kunci kemajuan (conditio sine quanon) ekonomi. Dengan penguasaan teknologi yang kreatif dan inovatif, komoditas-komoditas yang sebelumnya masih mentah, atau kurang berbobot, akan memiliki nilai lebih yang berlipat-lipat.

Indonesia yang sudah lebih enam dekade menjadi pasar otomotif, elektronik, optic, dan lain-lain komoditas Jepang sudah waktunya mengkaji (kalibrasi) ulang hubungan asimetrik demikian. Pola hubungan harus dirombak agar tidak terus menerus berpola patron – klin nan feodal (oyabun – kobun), ataupun ketergantungan (dependensi), melainkan pola yang timbal balik, yakni Jepang harus memberikan alih teknologi kepada Indonesia.

 Jepang jangan lagi terus-menerus keasyikan dengan metode klasik/lamanya, yakni terus memberi bantuan melalui Official Development Aid (ODA), namun menjeratnya dengan sistim perdagangan yang tidak adil, yakni Jepang mengekspor komoditas yang sudah teknologis dan bernilai tambah, seperti; mesin-mesin, suku cadang, baja, perlengkapan listrik, produk plastic/kimia, suku cadang elektronik,mesin alat transportasi, suku cadang mobil, sementara Indonesia hanya mengekspor; minyak, gas, batu bara, hasl tambang, udang, pulp yang masih alamiah. Ketimpangan yang harus diluruskan. Merdeka

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar