Minggu, 25 Oktober 2020

BS P III, PANCASILA

 


 

BS P III, PANCASILA

KULIAH III, 26 OKTOBER 2020, JAM 17.00 – 19.00

JURUSAN PEMERINTAHAN/KOMUNIKASI, FISIPOL UDA

PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

 

Pengantar

Dalam kuliah II minggu lalu dikatakan:

Argumentasi mengapa mata kuliah ini diwajibkan bagi seluruh mahasiswa adalah, karena nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila itu semakin jauh dari harapan. Dalam kehidupan sehari-hari sudah banyak ditinggalkan. Masing-masing orang, kecenderungannya lebih dominan memikirkan dirinya sendiri (semakin individualistik). Tidak begitu peduli dengan sesamanya. Banyak yang munafik, enggan bertanggung jawab, feodal, wataknya lemah (Mohtar Lubis, 1977). Dalam kehidupan bernegara ditengarai kecintaanya pada negerinya (nasionalisme) semakin memudar, ekonomi-politiknya semakin liberal-kapitalistik.

Tidak kurang pentingnya adalah praktek/pelaksanan pemerintahan yang penuh dengan KKN, birokrasi yang tak melayani, partai politik yang disfungsional, hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke ata, dan sebagainya adalah fakta bahwa nilai-nilai Pancasila itu masih jauh, bahkan semakin ditinggalkan.

Oleh karena itu perlu di revitalisasi. Dikembalikan kepada marwah, khittah, atau jati dirinya, yakni yang sesuai dengan kelahirannya 1 juni 1945, dan pensahannya tanggal 18 Agustus 1945.

Pada kuliah III ini akan diuraikan sejarah kelahiran dan pelaksanaannya, yakni mengapa sebuah bangsa memerlukan cita-cita, konsepsi, dasar, ideologi, filsafat, dan bagaimana implementasinya pada era pra kemerdekaan, era kemerdekaan, era Orde Lama, era Orde Baru, serta era reformasi. Materi di ambil dari “Materi Ajar Pendidikan Pancasila, 2013,  Dirjen Pendidkan Tinggi Kemendikbud

Cat : Pertanyaan yang ada dalam materi ini hanya untuk pendahuluan sampai Pancasila di era pra kemerdekaan (sampai halaman 7). Pertanyaan untuk selanjutnya, yakni pada era kemerdekaan hingga reformasi, menyusul kemudian (dalam minggu ini juga, sebagai tugas terstruktur. Pelajari dengan seksama….jangan sekedar-sekedar, karena mata kuliah ini bukan sekedar pengetahuan, tapi adalah penghayatan, agardapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

PANCASILA DALAM KAJIAN

SEJARAH BANGSA INDONESIA

Presiden Soekarno pernah mengatakan “ jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Dari perkataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang beragam bagi kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama Cicero (106-42 SM), yang mengungkapkan “Historia Vitae Magistra, yang berarti sejarah memberikan kearifan, sejarah merupakan guru kehidupan”

Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu ada dalam bahaya (Soekarno, 1969:64). Pentingnya cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat oleh cendekiawan-politisi Amerika serikat, John Gardner, “No nation can achieve greatness unless it believes in something has moral dimensions to sustain a great civilization (tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar.

Begitu kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila terus berjaya sepanjang masa. Hal tersebut disebabkan ideologi Pancasila tidak hanya sekedar confin and deepen identitas bangsa Indonesia sendiri sepanjang masa. Sejak Pancasila digali Kembali dan dilahirkan Kembali menjadi Dasar dan Ideologi Negara, maka ia membangunkan dan membangkitkan

identitas yang dormant, yang “tertidur” dan yang “terbius” selama kolonialisme” (Abdulgani, 1979: 22).

 

 A.Pancasila Pra Kemerdekaan

Ketika Dr. Radjiman Wediodiningrat, selaku Ketua Badan dan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), pada tanggal 29 Mei 1945, meminta kepada sidang untuk mengemukakan dasar (negara) Indonesia merdeka, permintaan itu menimbulkan rangsangan anamnesis yang memutar kembali ingatan para pendiri bangsa ke belakang; hal ini mendorong mereka untuk menggali kekayaan, kerohanian, kepribadian dan wawasan kebangsaan yang terpendam lumpur sejarah (Latif, 2011: 4). Begitu lamanya penjajahan di bumi pertiwi menyebabkan bangsa Indonesia hilang arah dalam menentukan dasar negaranya. Dengan permintaan Dr. Radjiman inilah, figur-figur negarawan bangsa Indonesia berpikir keras untuk menemukan kembali jati diri bangsanya.

Pada sidang pertama BPUPKI yang dilaksanakan dari tanggal 29 Mei-1 Juni 1945, tampil berturut-turut untuk berpidato menyampaikan usulannya tentang dasar negara. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin mengusulkan calon rumusan dasar negara Indonesia sebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan, 2) Peri Kemanusiaan, 3) Peri Ketuhanan, 4) Peri Kerakyatan dan 5) Kesejahteraan Rakyat. Selanjutnya Prof. Dr. Soepomo pada

tanggal 30 Mei 1945 mengemukakan teori-teori Negara, yaitu: 1) Teori negara perseorangan (individualis), 2) Paham negara kelas dan 3) Paham negara integralistik. Kemudian disusul oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang mengusulkan lima dasar negara yang terdiri dari: 1) Nasionalisme (kebangsaan Indonesia), 2) Internasionalisme (peri kemanusiaan), 3) Mufakat (demokrasi), 4) Kesejahteraan sosial, dan 5) Ketuhanan Yang Maha Esa (Berkebudayaan) (Kaelan, 2000: 37-40).

Pada pidato tanggal 1 Juni 1945 tersebut, Ir Soekarno mengatakan,“

Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: “Philosofische grond-slag” daripada Indonesia Merdeka. Philosofische grond-slag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia yang kekal dan abadi”(Bahar, 1995: 63).

Begitu hebatnya Ir. Soekarno dalam menjelaskan Pancasila dengan runtut, logis dan koheren, namun dengan rendah hati Ir. Soekarno membantah apabila disebut sebagai pencipta Pancasila. Beliau mengatakan,

“Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekedar penggali Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa

Indonesia. Malah pernah saya katakan, bahwa sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian daripada Pancasila ini saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya... Sebagaimana tiap-tiap manusia, jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah Subhanahu Wataala, diberi ilham oleh Allah Subhanahu Wataala”(Soekarno dalam Latif, 2011: 21).

Selain ucapan yang disampaikan Ir. Soekarno di atas, Pancasila pun merupakan khasanah budaya Indonesia, karena nilai-nilai tersebut hidup dalam sejarah Indonesia yang terdapat dalam beberapa kerajaan yang ada di Indonesia, seperti berikut:1.Pada kerajaan Kutai, masyarakat Kutai merupakan pembuka zaman sejarah Indonesia untuk pertama kali, karena telah menampilkan nilai sosial politik, dan Ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri dan sedekah kepada para Brahmana (Kaelan, 2000: 29). 2.Perkembangan kerajaan Sriwijaya oleh Mr. Muhammad Yamin disebut sebagai Negara Indonesia Pertama dengan dasar kedatuan, itu dapat ditemukan nilai-nilai Pancasila material yang paling berkaitan satu sama lain, seperti nilai persatuan yang tidak terpisahkan dengan nilai ke-Tuhanan yang tampak pada raja sebagai pusat kekuasaan dengan kekuatan religius berusaha mempertahankan kewibawaannya terhadap para datu. Demikian juga nilai-nilai kemasyarakatan dan ekonomi yang terjalin satu sama lain dengan nilai internasionalisme dalam bentuk hubungan dagang yang terentang dari pedalaman sampai ke negeri-negeri seberang lautan pelabuhan kerajaan dan Selat Malaka yang diamankan oleh para nomad laut yang menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan Sriwijaya (Suwarno, 1993: 20-21).

3.Pada masa kerajaan Majapahit, di bawah raja Prabhu Hayam Wuruk dan Apatih Mangkubumi, Gajah Mada telah berhasil mengintegrasikan nusantara. Faktor-faktor yang dimanfaatkan untuk menciptakan wawasan nusantara itu adalah:kekuatan religio magis yang berpusat pada Sang Prabhu, ikatan sosial kekeluargaan terutama antara kerajaan-kerajaan daerah di Jawa dengan Sang Prabhu dalam lembaga Pahom Narandra. Jadi dapatlah dikatakan bahwa nilai-nilai religious sosial dan politik yang merupakan materi Pancasila sudah muncul sejak memasuki zaman sejarah (Suwarno, 1993: 23-24). Bahkan, pada masa kerajaan ini, istilah Pancasila dikenali yang terdapat dalam buku Nagara kertagama karangan Prapanca dan buku Sutasoma karangan Empu Tantular. Dalam buku tersebut istilah Pancasila di samping mempunyai arti “berbatu sendi yang lima” (dalam bahasa Sansekerta), juga mempunyai arti “pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila Krama), yaitu1.Tidak boleh melakukan kekerasan2.Tidak boleh mencuri3.Tidak boleh berjiwa dengki4.Tidak boleh berbohong5.Tidak boleh mabuk minuman keras (Darmodihardjo, 1978: 6).

Kedua zaman, baik Sriwijaya maupun Majapahit dijadikan tonggak sejarah karena pada waktu itu bangsa telah memenuhi syarat-syarat sebagai bangsa yang mempunyai negara. Baik Sriwijaya maupun Majapahit waktu itu merupakan negara-negara yang berdaulat, bersatu serta mempunyai wilayah yang meliputi seluruh Nusantara. Pada zaman tersebut bangsa Indonesia telah mengalami kehidupan yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem, kerta raharja (Darmodihardjo dkk, 1991: 21). Selain zaman kerajaan, masih banyak fase-fase yang harus

dilewati menuju Indonesia merdeka hingga tergalinya Pancasila yang setelah sekian lama tertimbun oleh penjajahan Belanda.

Sebagai salah satu tonggak sejarah yang merefleksikan dinamika kehidupan kebangsaan yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila adalah termanifestasi dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang berbunyi,

“Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Penemuan kembali Pancasila sebagai jati diri bangsa terjadi pada sidang pertama BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI, Ir. Soekarno menyebutkan lima dasar bagi Indonesia merdeka. Sungguh pun Ir. Soekarno telah mengajukan lima sila dari dasar negara, beliau juga menawarkan kemungkinan lain, sekiranya ada yang tidak menyukai bilangan lima, sekaligus juga cara beliau menunjukkan dasar dari segala dasar kelima sila tersebut. Alternatifnya bisa diperas menjadi Tri Sila bahkan dapat dikerucutkan lagi menjadi Eka Sila. Tri Sila meliputi: socio-nationalisme, socio democratie dan ke-Tuhanan. Sedangkan Eka Sila yang dijelaskan oleh Ir. Soekarno yaitu “Gotong Royong” karena menurut Ir. Soekarno negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong (Latif, 2011: 18-19). Tetapi yang lahir pada tanggal 1 Juni itu adalah nama Pancasila (di

samping nama Trisila dan Ekasila yang tidak terpilih) (Notosusanto, 1981: 21). Ini bukan merupakan kelemahan Ir. Soekarno, melainkan merefleksikan keluasan wawasan dan kesiapan berdialog dari seorang negarawan besar. Faktanya Ir, Soekarno diakhir sejarah terbukti sebagai penggali Pancasila, dasar negara Republik Indonesia.

Setelah sidang pertama BPUPKI dilaksanakan, terjadi perdebatan sengit yang disebabkan perbedaan pendapat. Karena apabila dilihat lebih jauh para anggota BPUPKI terdiri dari elit Nasionalis netral agama, elit Nasionalis Muslim dan elit Nasionalis Kristen. Elit Nasionalis Muslim di BPUPKI mengusulkan Islam sebagai dasar Negara, namun dengan kesadaran yang dalam akhirnya terjadi kompromi politik antara Nasionalis netral agama dengan Nasionalis Muslim untuk menyepakati Piagam Jakarta (22 Juni 1945) yang berisi “tujuh kata”: “...dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” (Risalah Sidang BPUPKI, 1995; Anshari, 1981; Darmodihardjo, 1991). Kesepakatan peniadaan tujuh kata itu dilakukan dengan cepat dan legowo demi kepentingan nasional oleh elit Muslim: Moh. Hatta; Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Moh. Hasan dan tokoh muslim lainnya. Jadi elit Muslim sendiri tidak ingin republik yang dibentuk ini merupakan negara berbasis agama tertentu (Eleson dalam Surono dan Endah (ed.), 2010: 37).

Pada awal kelahirannya, menurut Onghokham dan Andi Achdian, Pancasila tidak lebih sebagai kontrak sosial. Hal tersebut ditunjukkan oleh sengitnya perdebatan dan negosiasi di tubuh BPUPKI dan PPKI ketika menyepakati dasar negara yang kelak digunakan Indonesia merdeka (Ali,

2009: 17). Inilah perjalanan The Founding Fathers yang begitu teliti mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan keadaan agar dapat melahirkan dasar negara yang dapat diterima semua lapisan masyarakat Indonesia.

 

 B.Pancasila Era Kemerdekaan

Pada tanggal 6 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang. Sehari kemudian BPUPKI berganti nama menjadi PPKI menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki yang membuat Jepang menyerah kepada Amerika dan sekutunya. Peristiwa ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Untuk merealisasikan tekad tersebut, maka pada tanggal 16 Agustus 1945 terjadi perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks proklamasi yang berlangsung singkat, mulai pukul 02.00-04.00 dini hari. Teks proklamasi sendiri disusun oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Soebardjo di ruang makan Laksamana Tadashi Maeda tepatnya di jalan Imam Bonjol No 1. Konsepnya sendiri ditulis oleh Ir. Soekarno. Sukarni (dari golongan muda) mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Kemudian teks proklamasi Indonesia tersebut diketik oleh Sayuti Melik.

Isi Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan semangat yang tertuang dalam Piagam Jakartatanggal 22 Juni 1945. Piagam ini berisi garis-garis

9pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fasisme serta memuat dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perjanjian San Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu ialah sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (Yamin, 1954: 16). Piagam Jakarta ini kemudian disahkan oleh sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi pembentukan UUD 1945, setelah terlebih dahulu dihapus 7 (tujuh) kata dari kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Awal dekade 1950-an muncul inisiatif dari sejumlah tokoh yang hendak melakukan interpretasi ulang terhadap Pancasila. Saat itu muncul perbedaan perspektif yang dikelompokkan dalam dua kubu. Pertama, beberapa tokoh berusaha menempatkan Pancasila lebih dari sekedar kompromi politik atau kontrak sosial. Mereka memandang Pancasila tidak hanya kompromi politik melainkan sebuah filsafat sosial atau weltanschauung bangsa. Kedua, mereka yang menempatkan Pancasila sebagai sebuah kompromi politik. Dasar argumentasinya adalah fakta yang muncul dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Pancasila pada saat itu benar-benar merupakan kompromi politik diantara golongan nasionalis netral agama (Sidik Djojosukarto dan Sutan takdir Alisyahbana dkk) dan nasionalis Islam (Hamka, Syaifuddin Zuhri sampai Muhammad Natsir dkk) mengenai dasar negara.

 

C. Pancasila Era Orde Lama

Terdapat dua pandangan

besar terhadap Dasar Negara

yang berpengaruh terhadap

munculnya Dekrit Presiden.

Pandangan tersebut yaitu

mereka yang memenuhi

“anjuran” Presiden/ Pemerintah

untuk “kembali ke Undang-

Undang Dasar 1945” dengan

Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta

sebagai Dasar Negara. Sedangkan pihak lainnya menyetujui

‘kembali ke Undang-Undang Dasar 1945”, tanpa cadangan,

artinya dengan Pancasila seperti yang dirumuskan dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan PPKI

tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Dasar Negara. Namun,

kedua usulan tersebut tidak mencapai kuorum keputusan

sidang konstituante (Anshari, 1981: 99).

Majelis (baca: konstituante) ini menemui jalan buntu

pada bulan Juni 1959. Kejadian ini menyebabkan Presiden

Soekarno turun tangan dengan sebuah Dekrit Presiden

yang disetujui oleh kabinet tanggal 3 Juli 1959, yang

kemudian dirumuskan di Istana Bogor pada tanggal 4 Juli

1959 dan diumumkan secara resmi oleh presiden pada

tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 di depan Istana Merdeka

(Anshari, 1981: 99-100). Dekrit Presiden tersebut berisi:

1. Pembubaran konstituante;

2. Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku; dan

3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara.

Sosialisasi terhadap paham Pancasila yang konklusif

menjadi prelude penting bagi upaya selanjutnya; Pancasila

dijadikan “ideologi negara” yang tampil hegemonik. Ikhtiar

tersebut tercapai ketika Ir. Soekarno memberi tafsir

Pancasila sebagai satu kesatuan paham dalam doktrin

 

“Manipol/USDEK”. Manifesto politik (manipol) adalah

materi pokok dari pidato Soekarno tanggal 17 Agustus

1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang

kemudian ditetapkan oleh Dewan Pertimbangan Agung

(DPA) menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Belakangan, materi pidato tersebut dikukuhkan dalam

Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 tahun 1960 dan

Ketetapan MPRS No. 1/MPRS1960 tentang GBHN (Ali,

2009: 30). Manifesto politik Republik Indonesia tersebut

merupakan hasil perumusan suatu panitia yang dipimpin

oleh D.N. Aidit yang disetujui oleh DPA pada tanggal 30

September 1959 sebagai haluan negara (Ismaun, 1978:

105).

Oleh karena itu, mereka yang berseberangan paham

memilih taktik “gerilya” di dalam kekuasaan Ir. Soekarno.

Mereka menggunakan jargon-jargon Ir. Soekarno dengan

agenda yang berbeda. Taktik demikian digunakan oleh

sebagian besar kekuatan politik. Tidak hanya PKI, mereka

yang anti komunisme pun sama (Ali, 2009: 33). Walaupun

kepentingan politik mereka berbeda, kedua arus tersebut

sama-sama menggunakan Pancasila sebagai justifikasi. Ir.

Soekarno menghendaki persatuan di antara beragam

golongan dan ideologi termasuk komunis, di bawah satu

payung besar, bernama Pancasila (doktrin

Manipol/USDEK), sementara golongan antikomunis

mengkonsolidasi diri sebagai kekuatan berpaham Pancasila

yang lebih “murni” dengan menyingkirkan paham

komunisme yang tidak ber-Tuhan (ateisme) (Ali, 2009: 34).

Dengan adanya pertentangan yang sangat kuat

ditambah carut marutnya perpolitikan saat itu, maka Ir.

Soekarno pun dilengserkan sebagai Presiden Indonesia,

melalui sidang MPRS.

 

 

D. Pancasila Era Orde Baru

Setelah lengsernya Ir.

Soekarno sebagai presiden,

selanjutnya Jenderal Soeharto

yang memegang kendali terhadap

negeri ini. Dengan berpindahnya

kursi kepresidenan tersebut, arah

pemahaman terhadap Pancasila

pun mulai diperbaiki.

Pada peringatan hari lahir

Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan,

“Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan

makin bulat tekad kita mempertahankan Pancasila”. Selain

itu, Presiden Soeharto juga mengatakan, “Pancasila sama

sekali bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan,

Pancasila bukan dasar falsafah negara yang sekedar

dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila

harus diamalkan (Setiardja, 1994: 5).

Jadi, Pancasila dijadikan sebagai political force di

samping sebagai kekuatan ritual. Begitu kuatnya Pancasila

digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1 Juni 1968

Presiden Soeharto mengatakan bahwa Pancasila sebagai

pegangan hidup bangsa akan membuat bangsa Indonesia

tidak loyo, bahkan jika ada pihak-pihak tertentu mau

mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari

Pancasila pasti digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah

(ed.), 2010: 42).

Selanjutnya pada tahun 1968 Presiden Soeharto

mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1968

yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila

sebagai dasar negara, yaitu:

Satu : Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa

Dua : Kemanusiaan yang adil dan beradab

Tiga : Persatuan Indonesia

Empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/

perwakilan

Lima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.

Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13

April 1968.

Pada tanggal 22 Maret 1978 ditetapkan ketetapan

(disingkat TAP) MPR Nomor II/MPR/1978 tentang

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila

(Ekaprasetya Pancakarsa) yang salah satu pasalnya

tepatnya Pasal 4 menjelaskan,

“Pedoman Penghayatan dan Pengamalan

pancasila merupakan penuntun dan pegangan

hidup dalam kehidupan bermasyarakat

berbangsa dan bernegara bagi setiap warga

negara Indonesia, setiap penyelenggara negara

serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga

kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah

dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”.

Adapun nilai dan norma-norma yang terkandung

dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila

(Ekaprasetya Pancakarsa) berdasarkan ketetapan tersebut

meliputi 36 butir, yaitu:

1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa

a. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

sesuai dengan agama dan kepercayaan masingmasing

menurut dasar kemanusiaan yang adil dan

beradab.

b. Hormat-menghormati dan bekerja sama antara

pemeluk agama dan penganut-penganut

kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina

kerukunan hidup.

c. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadat

sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

d. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan

kepada orang lain.

2. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab

a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan

persamaan kewajiban antara sesama manusia.

b. Saling mencintai sesama manusia.

c. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepo

seliro.

d. Tidak semena-mena terhadap orang lain.

e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

f. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.

g. Berani membela kebenaran dan keadilan.

h. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian

dari seluruh umat manusia, karena itu

dikembangkan sikap hormat menghormati dan

bekerja sama dengan bangsa lain.

3. Sila Persatuan Indonesia

a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan

dan keselamatan bangsa dan negara di atas

kepentingan pribadi dan golongan.

b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan

negara.

c. Cinta tanah air dan bangsa.

d. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air

Indonesia.

e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan

bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

a. Mengutamakan kepentingan negara dan

masyarakat.

b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.

c. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil

keputusan untuk kepentingan bersama.

15

d. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh

semangat kekeluargaan.

e. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab

menerima dan melaksanakan hasil keputusan

musyawarah.

f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan

sesuai dengan hati nurani yang luhur.

g. Keputusan yang diambil harus

dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan

Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan

martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan

keadilan.

5. Sila Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia

a. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur

yang mencerminkan sikap dan suasana

kekeluargaan dan kegotong-royongan.

b. Bersikap adil.

c. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.

d. Menghormati hak-hak orang lain.

e. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.

f. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.

g. Tidak bersifat boros.

h. Tidak bergaya hidup mewah.

i. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan

kepentingan umum.

j. Suka bekerja keras.

k. Menghargai hasil karya orang lain.

l. Bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata

dan berkeadilan sosial.

Nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas 36 butir

tersebut, kemudian pada tahun 1994 disarikan/dijabarkan

kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4. Perbedaan

yang dapat digambarkan yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7

(tujuh) butir; Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh) butir; Sila

Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Keempat, menjadi 10

(sepuluh) butir; dan Sila Kelima, menjadi 11 (sebelas) butir.

Sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangundangan

di negara Indonesia diatur dalam Ketetapan

MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan,

“Amanat penderitaan rakyat hanya dapat

diberikan dengan pengamalan Pancasila secara

paripurna dalam segala segi kehidupan

kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan

pelaksanaan secara murni dan konsekuen jiwa

serta ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk

menegakkan Republik Indonesia sebagai suatu

negara hukum yang konstitusionil sebagaimana

yang dinyatakan dalam pembukaan UUS 1945”

(Ali, 2009: 37).

Ketika itu, sebagian golongan Islam menolak

reinforcing oleh pemerintah dengan menyatakan bahwa

pemerintah akan mengagamakan Pancasila. Kemarahan

Pemerintah tidak dapat dibendung sehingga Presiden

Soeharto bicara keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27

Maret 1980. Intinya Orba tidak akan mengubah Pancasila

dan UUD 1945, malahan diperkuat sebagai comparatist

ideology. Jelas sekali bagaimana pemerintah Orde Baru

merasa perlu membentengi Pancasila dan TAP itu meski

dengan gaya militer. Tak seorang pun warga negara berani

keluar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.),

2010: 43). Selanjutnya pada bulan Agustus 1982

Pemerintahan Orde Baru menjalankan “Azas Tunggal” yaitu

pengakuan terhadap Pancasila sebagai Azas Tunggal,

bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi Pancasila

sebagai pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah

(ed.), 2010: 43-44).

Dengan semakin terbukanya informasi dunia, pada

akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia pada akhir 1990-

an yang secara tidak langsung mengancam aplikasi

Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.

Demikian pula demokrasi semakin santer mengkritik

praktek pemerintah Orde Baru yang tidak transparan dan

otoriter, represif, korup dan manipulasi politik yang

sekaligus mengkritik praktek Pancasila. Meski demikian

kondisi ini bertahan sampai dengan lengsernya Presiden

Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo dan

Endah (ed), 2010: 45).

 

E. Pancasila Era Reformasi

Pancasila yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral

etik bagi negara dan aparat pelaksana Negara, dalam

kenyataannya digunakan sebagai

alat legitimasi politik. Puncak

dari keadaan tersebut ditandai

dengan hancurnya ekonomi

nasional, maka timbullah

berbagai gerakan masyarakat

yang dipelopori oleh mahasiswa,

cendekiawan dan masyarakat

sebagai gerakan moral politik

yang menuntut adanya “reformasi” di segala bidang politik,

ekonomi dan hukum (Kaelan, 2000: 245).

Saat Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap

Pancasila. Dasar Negara itu untuk sementara waktu seolah

dilupakan karena hampir selalu identik dengan rezim Orde

Baru. Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal

dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Negara

menjadi maha tahu mana yang benar dan mana yang salah.

Nilai-nilai itu selalu ditanam ke benak masyarakat melalui

indoktrinasi (Ali, 2009: 50).

Dengan seolah-olah “dikesampingkannya” Pancasila

pada Era Reformasi ini, pada awalnya memang tidak

nampak suatu dampak negatif yang berarti, namun

semakin hari dampaknya makin terasa dan berdampak

sangat fatal terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara

Indonesia. Dalam kehidupan sosial, masyarakat kehilangan

kendali atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik

horisontal dan vertikal secara masif dan pada akhirnya

melemahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa

dan negara Indonesia. Dalam bidang budaya, kesadaran

masyarakat atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai

luntur, yang pada akhirnya terjadi disorientasi kepribadian

bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral generasi muda.

Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan

di berbagai sektor diperparah lagi dengan cengkeraman

modal asing dalam perekonomian Indonesia. Dalam bidang

politik, terjadi disorientasi politik kebangsaan, seluruh

aktivitas politik seolah-olah hanya tertuju pada

kepentingan kelompok dan golongan. Lebih dari itu,

aktivitas politik hanya sekedar merupakan libido dominandi

atas hasrat untuk berkuasa, bukannya sebagai suatu

aktivitas memperjuangkan kepentingan nasional yang pada

akhirnya menimbulkan carut marut kehidupan bernegara

seperti dewasa ini (Hidayat, 2012).

Namun demikian, kesepakatan Pancasila menjadi

dasar Negara Republik Indonesia secara normatif,

tercantum dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR Nomor

XVIII/MPR/1998 Pasal 1 menyebutkan bahwa “Pancasila

sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945

adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam

kehidupan bernegara” (MD, 2011). Ketetapan ini terus

dipertahankan, meskipun ketika itu Indonesia akan

menghadapi Amandeman Undang-Undang Dasar Negara

Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.

Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara,

Pancasila pun menjadi sumber hukum yang ditetapkan

dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat

(3) yang menyebutkan,

“Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila

sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan

Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan

beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan

yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan, serta dengan

mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh

Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-

Undang Dasar 1945”.

Semakin memudarnya Pancasila dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara membuat

khawatir berbagai lapisan elemen masyarakat. Oleh sebab

itu, sekitar tahun 2004 Azyumardi Azra menggagas

perlunya rejuvenasi Pancasila sebagai faktor integratif dan

salah satu fundamen identitas nasional. Seruan demikian

tampak signifikan karena proses amandeman UUD 1945

saat itu sempat memunculkan gagasan menghidupkan

kembali Piagam Jakarta (Ali, 2009: 51). Selain keadaan di

atas, juga terjadi terorisme yang mengatasnamakan agama.

Tidak lama kemudian muncul gejala Perda Syariah di

sejumlah daerah. Rangkaian gejala tersebut seakan

melengkapi kegelisahan publik selama reformasi yang

mempertanyakan arah gerakan reformasi dan

demokratisasi. Seruan Azyumardi Azra direspon sejumlah

kalangan. Diskursus tentang Pancasila kembali menghangat

dan meluas usai Simposium Peringatan Hari Lahir

Pancasila yang diselenggarakan FISIP-UI pada tanggal 31

Mei 2006 (Ali, 2009: 52). Sekretariat Wapres Republik

Indonesia, pada tahun 2008/2009 secara intensif

melakukan diskusi-diskusi untuk merevitalisasi sosialisasi

nilai-nilai Pancasila. Tahun 2009 Dirjen Dikti, juga

membentuk Tim Pengkajian Pendidikan Pancasila di

Perguruan Tinggi. Sementara itu, beberapa perguruan

tinggi telah menyelenggarakan kegiatan sejenis, yaitu

antara lain: Kongres Pancasila di Universitas Gadjah Mada,

Simposium Nasional Pancasila dan Wawasan Kebangsaan

di Universitas Pendidikan Indonesia, dan Kongres Pancasila

di Universitas Udayana. Lebih dari itu MPR-RI melakukan

kegiatan sosialisasi nilai-nilai Pancasila yang dikenal

dengan sebutan “Empat Pilar Kebangsaan”, yang terdiri

dari: Pancasila, Undang-Undang Dasar tahun 1945, Negara

Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.

Akan tetapi, istilah “Empat Pilar Kebangsaan” ini

menurut Kaelan (2012: 249-252) mengandung; 1) linguistic

mistake (kesalahan linguistik) atau dapat pula dikatakan

kesalahan terminologi; 2) ungkapan tersebut tidak

mengacu pada realitas empiris sebagaimana terkandung

dalam ungkapan bahasa, melainkan mengacu pada suatu

pengertian atau ide, ‘berbangsa dan bernegara’ itu

dianalogikan bangunan besar (gedung yang besar); 3)

kesalahan kategori (category mistake), karena secara

epistemologis kategori pengetahuan Pancasila, Undang-

Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia

dan Bhinneka Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori

yang sama. Ketidaksamaan itu berkaitan dengan realitas

atau hakikat pengetahuannya, wujud pengetahuan,

kebenaran pengetahuannya serta koherensi

pengetahuannya.

Selain TAP MPR dan berbagai aktivitas untuk

mensosialisasikan kembali Pancasila dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara tegas

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

menyebutkan dalam penjelasan Pasal 2 bahwa:

Penempatan Pancasila sebagai sumber dari

segala sumber hukum negara adalah sesuai

dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea

keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,

Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan

Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan

ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis

negara sehingga setiap materi muatan Peraturan

Perundang-undangan tidak boleh bertentangan

dengan nilai-nilai yang terkandung dalam

Pancasila.

Hal tersebut berkorelasi bahwa Undang-Undang ini

penekanannya pada kedudukan Pancasila sebagai dasar

negara. Sudah barang tentu hal tersebut tidak cukup.

Pancasila dalam kedudukannya sebagai pandangan hidup

bangsa perlu dihayati dan diamalkan oleh seluruh

komponen bangsa. Kesadaran ini mulai tumbuh kembali,

sehingga cukup banyak lembaga pemerintah di pusat yang

melakukan kegiatan pengkajian sosialisasi nilai-nilai

Pancasila. Salah satu kebijakan nasional yang sejalan

dengan semangat melestarikan Pancasila di kalangan

mahasiswa adalah Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12

tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan

bahwa Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat mata

kuliah Agama, Pancasila, Kewarganegaraan dan Bahasa

Indonesia.

Makna penting dari kajian historis Pancasila ini ialah

untuk menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Karena itu seluruh komponen bangsa harus

secara imperatif kategoris menghayati dan melaksanakan

Pancasila baik sebagai Dasar Negara maupun sebagai

Pandangan Hidup Bangsa, dengan berpedoman kepada

nilai-nilai Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dan secara

konsisten menaati ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal

UUD 1945.[ ]

 

Daftar Pustaka

Abdulgani, Roeslan, 1979, Pengembangan Pancasila di

Indonesia, Yayasan Idayu, Jakarta.

Ali, As’ad Said, 2009, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan

Berbangsa, Pustaka LP3ES, Jakarta.

Anshari, Endang Saifuddin, 1981, Piagam Jakarta 22 Juni

1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara

Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” tentang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959,

Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, Bandung.

Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman

Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, 1994,

Bahan Penataran P-4, Pancasila/P-4, BP-7 Pusat,

Jakarta.

Bahar, Safroedin, 1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik

Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Sekretariat

Negara Republik Indonesia, Jakarta.

Darmodihardjo, D, 1978, Orientasi Singkat Pancasila, PT.

Gita Karya, Jakarta.

Darmodihardjo, D dkk., 1991, Santiaji Pancasila Edisi

Revisi, Usaha Nasional, Surabaya.

Dodo, Surono dan Endah (ed.), 2010, Konsistensi Nilai-Nilai

Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya,

PSP-Press, Yogyakarta.

Hidayat, Arief, 2012, “Negara Hukum Pancasila (Suatu

Model Ideal Penyelenggaraan Negara Hukum”,

Makalah pada Kongres Pancasila IV di UGM

Yogyakarta tanggal 31 Mei- 1 Juni 2012.

23

Ismaun, 1978, Tinjauan Pancasila: Dasar Filsafat Negara

Republik Indonesia, Carya Remadja, Bandung.

Kaelan, 2000, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.

_____, 2012, Problem Epistemologis Empat Pilar Berbangsa

dan Bernegara, Paradigma, Yogyakarta.

Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna: Historisitas,

Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, PT Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta.

MD, Moh. Mahfud, 2011, “Implementasi Nilai-nilai Pancasila

dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia”,

Makalah pada Sarasehan Nasional 2011 di

Universitas Gajah Mada Yogyakarta tanggal 2-3 Mei

2011.

Notosusanto, Nugroho, 1981, Proses Perumusan Pancasila

Dasar Negara, PN Balai Pustaka, Jakarta.

Setiardja, A. Gunawan, 1994, Filsafat Pancasila Bagian II:

Moral Pancasila, Universitas Diponegoro, Semarang.

Soekarno, 1989, Pancasila dan Perdamaian Dunia, CV Haji

Masagung, Jakarta.

Suwarno, 1993, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia,

Kanisius, Yogyakarta.

Yamin, Muhammad, 1954, Proklamasi dan Konstitusi

Republik Indonesia, Djambatan, Jakarta/Amsterdam.

 

PERTANYAAN

1.      Jelaskan dengan singkat bahwa nilai-nilai Pancasila sesungguhnya sudah ada sejak lama, tidak Ketika Bung Karno berpidato pada tanggal 1 Juni 1945.

2.     Uraikan dengan logis dan sistematis, yang dimaksud John Gardner dengan….”mempercayai sesuatu, dan sesuatu yang dipercayai itu memiliki dimensi-dimensi moral”…..

3.     Jelaskan persamaan dan perbedaan antara Mohammad Yamin dan Bung Karno Ketika menyampaikan pendapatnya tentang dasar negara.

4.    Apa yang saudara ketahui tentang kerajaan Kutai, Sriwijaya, dan Majapahit dalam hal nilai-nilai Pancasila. Jelaskan secara sistematis.

5.     Samakah bunyi Sumpah Pemuda yang diucapkan pada 28 Oktober 1928 dengan bunyi Sumpah Pemuda saat ini? Jelaskan dengan logis.

6.    Jelaskan dengan singkat apa yang dimaksud dengan Trisila dan Ekasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar