BK PHA VI, POLITIK HUKUM AGRARIA
KULIAH VI, SENIN, 9 NOVEMBER 2020, JAM 08.30 – 10.30
JURUSAN ; PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH; REINHARD HUTAPEA
Pengantar
Baca dengan seksama kuliah ke enam ini, sebab inilah dasar, prinsip dan asas-asas hukum agraria/pertanahan kita
Dalam sessi ini, sebagaimana kuliah ke lima yang lalu, saya tidak akan membuat pertanyaan, melainkan meminta hal-hal yang belum saudara/i ketahui, yang mungkin perlu kita diskusikan bersama. Silakan tulis di WA group.
CAT: Bahan untuk kuliah ke enam ini diambil dari “I Ketut Sudiarta SH MH dkk, 2017, Hukum Agraria, FH Unud, Denpasar”.
∏
HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA
5.1 Pengertian dan Isi masing-masing Hak Atas Tanah
Pembahasan mengenai hak atas tanah berdasarkan
UUPA harus diawali dengan pembahasan mengenai Hak
Bangsa. Hak Bangsa ditetapkan pada pasal 1 ayat (2) UUPA
yang mengandung pemahaman bahwa tanah merupakan
karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa
Indonesia. Turunan dari Hak Bangsa, adalah Hak Menguasai
Negara. Kewenangan Negara berdasarkan pada Hak
Menguasai Negara tersebut, adalah :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan
ruang angkasa
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi,air, dan ruang angkasa
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Pengertian adanya hak atas tanah didasarkan pada
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pokok Pokok Agraria (UUPA),
yaitu atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang
dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan
hukum.
Jenis-jenis hak atas tanah dimuat dalam Pasal 16 dan
Pasal 53 UUPA, meliputi :
1. hak milik,
2. hak guna usaha,
3. hak guna bangunan,
4. hak pakai,
5. hak sewa,
6. hak membuka tanah,
7. hak memungut hasil hutan
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu hak atas tanah
yang berasal dari tanah negara. Macam-macam hak atas
tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan atas tanah Negara, Hak Pakai atas tanah
Negara.
2. Hak atas tanah yang bersifat sekunder, yaitu hak atas
tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Macam-macam
hak atas tanah ini adalah Hak Guna Bangunan atas
tanah Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan atas tanah
Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan, Hak
Pakai atas tanah Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan,
Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil
(Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa
Tanah Pertanian.20
Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam Pasal 16
dan Pasal 53 UUPA, yang dikelompokkan menjadi tiga bidang,
yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap, yaitu hak atas tanah
ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau
belum dicabut dengan undang-undang yang baru.
20 Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Edisi
Pertama, Cetakan ke-1,Kencana,h.91.
Jenis-jenis hak atas tanah ini adalah Hak Milik,
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak
Membuka Tanah, Hak Sewa untuk Bangunan, dan Hak
Memungut Hasil Hutan.
2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undangundang,
yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian,
yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
Hak atas tanah ini jenisnya belum ada.
3. Hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu hak atas
tanah ini sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat
akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat
pemerasan, mengandung sifat feodal, dan bertentangan
dengan jiwa UUPA. Macam-macam hak atas tanah ini
adalah Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil
(Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa
Tanah Pertanian.21
Penjelasan masing-masing hak atas tanah tersebut,
akan dijabarkan sebagai berikut :
1. Hak Milik
Hak milik didasarkan pada ketentuan Pasal 20 – 27
UUPA. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPA, Hak milik
adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat
ketentuan bahwa semua hak atas tanah memiliki fungsi
sosial. Fungsi sosial dari hak atas ditetapkan pada Pasal 6
UUPA.
Hak milik timbul dapat didasarkan pada ketentuan
hukum adat, berdasarkan ketentuan undang-undang
melalui ketentuan konversi serta dimungkin karena
penetapan pemerintah melalui permohonan yang diajukan
kepada instansi yang mengurus tanah.22 Peralihan hak
atas hak milik berdasarkan pada Pasal 26 ayat (1) dapat
didasarkan pada perbuatan hukum jual beli, tukar
menukar, hibah, pemberian dengan wasiat, pemberian
menurut adat. Hak lain yang dapat dibebankan atas hak
milik atas tanah :
a. Hak Guna Bangunan (Pasal 37 jo 35 UUPA)
b. Hak Pakai (Pasal 41 jo 43 UUPA)
c. Hak Gadai (Pasal 53 UUPA dan Pasal 7 UU No. 56 Prp
Tahun 1960)
d. Hak Usaha Bagi Hasil (UU No. 2 tahun 1960 jo Pasal
53 UUPA)
e. Hak Menumpang (Pasal 53 UUPA)
Hapusnya hak milik atas tanah dapat disebabkan
oleh beberapa hal :
a. Tanahnya jatuh kepada negara
1) Pencabutan hak berdasarkan pasal 18
2) Penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
3) Diterlantarkan
4) Ketentuan pasal 21 ayat 3 dan pasal 26 ayat 2
UUPA
b. Tanahnya musnah
Sifat dasar dari hak milik adalah :
a. Turun Temurun : Hak tersebut dapat berlangsung
terus menerus selama empunya tanah masih hidup,
dan bila ia meninggal hak tersebut dapat dilanjutkan
oleh ahli warisnya.
b. Terkuat : Jangka waktunya tak terbatas dan haknya
kuat karena haknya didaftar dan yang empunya
diberikan tanda bukti hak hingga mudah
dipertahankan terhadap pihak lain.
c. Terpenuh : Hak itu memberikan wewenang kepada
empunya, hak paling luas bila dibandingkan hak atas
tanah yang lain; tidak berinduk pada hak atas tanah
yang lain; dan peruntukannya tidak terbatas selama
tidak ada pembatasan dari penguasa.
2. Hak Guna Usaha
Pengertian Hak Guna Usaha ditetapkan pada Pasal
28 ayat (1) UUPA yaitu hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu
tertentu yang digunakan untuk perusahaan pertanian,
perikanan atau peternakan. Dasar hukum pengaturan
hak guna usaha terdapat pada Pasal 28-34 UUPA dan
Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah pada Pasal 2 – 18.
Kekhususan Hak Guna Usaha :
a. Pendirian bangunan diperbolehkan/tidak dilarang,
asalkan bangunan-bangunan itu berhubungan
langsung dengan usaha-usaha pertanian, perikanan,
atau peternakan itu.
b. Tidak bersumber pada hukum adat
c. Diberikan untuk jangka waktu yang lama
d. Berasal dari tanah negara
Hak Guna Usaha dapat terjadi karena diberikan
keputusan pemberian hak oleh menteri atau Pejabat yang
ditunjuk. Ketentuan pada Pasal 16 PP No. 40 tahun 1996
menetapkan bahwa peralihan Hak Guna Usaha dapat
terjadi dengan cara:
a. Jual beli
b. Tukar menukar;
c. Penyertaan dalam modal;
d. Hibah;
e. Pewarisan.
Hak guna usaha juga dapat hapus, disebabkan oleh
beberapa hal diantaranya adalah :
a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan
dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya;
b. dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang
sebelum jangka waktunya berakhir karena :
1) tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang
hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13
dan/atau Pasal 14;
2) putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
c. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya
sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961;
e. ditelantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. Apabila pemegang Hak Guna Usaha tidak lagi menjadi
Warga Negara Indonesia atau tidak lagi merupakan
Badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, maka
apabila dalam jangka waktu satu tahun Hak Guna
Usaha itu tidak dilepaskan atau dialihkan, Hak Guna
Usaha tersebut hapus karena hukum dan tanahnya
menjadi tanah Negara.
3. Hak Guna Bangunan
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang
bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu tertentu,
sebagaimana ditetapkan pada Pasal 35 ayat (1). Dasar
hukum yang mengatur Hak Guna Bangunan adalah
ketentuan Pasal 35-40 UUPA serta ketentuan Pasal 35 –
40 Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1996. Hak Guna
Bangunan atas tanah Negara diberikan dengan keputusan
pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Sedangkan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul
pemegang Hak Pengelolaan. Hak Guna Bangunan yang
diberikan atas tanah Hak Milik didasarkan pada
perjanjian dan kesepakatan antara pemilik tanah dengan
pemegang Hak Guna Bangunan. Hal tersebut diatur
berdasarkan ketentuan Pasal 40 tahun 1996. Untuk
peralihan Hak Guna Bangunan bisa melalui peristiwa : a.
Jual beli; b. Tukar menukar; c. Penyertaan dalam modal;
d. Hibah; e. Pewarisan.
Sebagaimana ditetapkan pada Pasal 34 Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996.
4. Hak Pakai
Adalah hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
UUPA. Pengertian mengenai Hak Pakai tersebut
ditetapkan pada Pasal 41 UUPA.
5. Hak Sewa
Hak Sewa adalah hak yang diberikan kepada
seseorang atau suatu badan hukum untuk
mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan
bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya
sejumlah uang sebagai sewa. Hal tersebut diatur pada
ketentuan Pasal 44 ayat (1) UUPA.
6. Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan
Menurut Urip Santoso, Hak Membuka Tanah dan
Hak Memungut hasil hutan bukanlah hak atas tanah
dikarenakan keduanya tidak memberikan wewenang
kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah
atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.
Namun, sekadar menyesuaikan dengan sistematika
Hukum Adat, maka kedua hak tersebut dicantumkan juga
ke dalam hak atas tanah yang bersifat tetap. Sebenarnya
kedua hak tersebut merupakan “pengejawantahan” dari
hak ulayat masyarakat Hukum Adat.23
5.2 Subjek dari objek masing-masing Hak Atas Tanah
Pembahasan mengenai subjek dan objek pada hak atas
tanah akan disajikan dalam bentuk tabel yang disarikan dari
UUPA dan PP No. 40 tahun 1996.
Tabel. 1 Subjek dan Objek Hak Atas Tanah
HAK
ATAS
TANAH
SUBJEK OBJEK JANGKA
WAKTU
Hak Milik - WNI
- Badan Hukum (bank
pemerintah /badan
keagamaan dan soaial)
- Tanah Milik
Hak Guna
Usaha
- WNI
- Badan Hukum yang
didirikan menurut
hukum Indonesia dan
berkedudukan di
Indonesia.
- Tanah
Negara
35 tahun
+
25 Tahun
Hak Guna
Bangunan
- WNI
- Badan Hukum yang
didirikan menurut
hukum Indonesia dan
berkedudukan di
Indonesia.
- Tanah
Negara
- Tanah
Pengelolaan
- Tanah Hak
Milik
30 tahun
+
20 Tahun
Hak Pakai - Warga Negara Indonesia;
- Badan hukum yang
didirikan menurut
hukum Indonesia dan
berkedudukan di
Indonesia;
- Departemen, Lembaga
Pemerintah Non
Departemen, dan
Pemerintah Daerah;
- Badan-badan keagamaan
dan sosial;
- Orang asing yang
berkedudukan di
Indonesia;
- Badan hukum asing yang
mempunyai perwakilan
di Indonesia;
- Tanah
Negara;
- Tanah Hak
Pengelolaan;
- Tanah Hak
Milik.
25 tahun
+
20 Tahun
54
- Perwakilan negara asing
dan perwakilan badan
Internasional.
Hak Sewa
Atas
Bangunan
- Warganegara Indonesia;
- Orang asing yang
berkedudukan di
Indonesia;
- Badan hukum yang
didirikan menurut
hukum Indonesia dan
berkedudukan di
Indonesia;
- Badan hukum asing yang
mempunyai perwalikan
di Indonesia.
- Tanah Milik Sesuai
Perjanjian
5.3 Hak-hak yang dapat dibebani Hak Tanggungan
Pengertian Hak Tanggungan, berdasarkan Pasal 1
angka 1 Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan
dengan tanah (selanjutnya disebut UUHT), adalah: hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Dari rumusan tersebut dapat dipahami bahwa pada
dasarnya suatu Hak Tanggungan adalah suatu bentuk
jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu, dengan
objek (jaminan)nya berupa Hak-hak Atas Tanah yang diatur
dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
55
Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok
Agraria.24
Pemberian Hak Tanggungan
Pemberian Hak Tanggungan diatur dalam ketentuan
Pasal 10 UUHT yang menetapkan bahwa Pemberian Hak
Tanggungan didahului dengan adanya perjanjian untuk
memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan
utang tertentu. Kesepakatn tersebut dituangkan di dalam dan
merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang
piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang
menimbulkan utang tersebut. Perjanjian pemberian Hak
Tanggungan dilakukan dengan Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(selanjutnya disebut PPAT) sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Isi perjanjian atau janji-janji yang dapat dituangkan
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan diatur dalam
ketentuan Pasal 11 UUHT. Janji-janji tersebut adalah:
1. janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak
Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan
dan atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa
dan atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan
persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak
Tanggungan;
2. janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak
Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan
objek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan
tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
3. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang
Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan
apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji;
4. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang
Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak
Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan
eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau
dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan
karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan
undang-undang;
5. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual atas kekuatan sendiri
objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji;
6. janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan
pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan
dibersihkan dari Hak Tanggungan;
7. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan
melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa
persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak
Tanggungan;
8. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh
seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima
pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya
apabila objek Hak Tanggungan dilapaskan haknya oleh
pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk
kepentingan umum.
9. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh
seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima
pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya,
jika objek Hak Tanggungan diasuransikan;
10. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan
mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu
eksekusiHak Tanggungan;
11. janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4).
Isi janji yang memberikan kewenangan kepada
pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak
Tanggungan apabila debitor cidera janji, maka hal tersebut
batal demi hukum, sebagaimanan diatur dalam ketentuan
Pasal 12 UUHT.
Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Atas Tanah
Pada rumusan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)
UUHT hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan
adalah :
1. Hak Milik
2. Hak Guna Usaha; dan
3. Hak Guna Bangunan
4. Hak Pakai atas tanah negara
a. Pembebanan hak tanggungan tidak hanya dibebankan
kepada hak atas tanahnya saja. Tetapi dapat meliputi
bangunan, tanaman, dan hasil karya, baik yang telah
ada, maupun yang akan dan akan menjadi satu
kesatuan dengan tanah yang dibebani hak
tanggungan. Apabila terdapat peristiwa, bahwa pemilik
dari bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut
berbeda dengan pemilik hak atas tanah, maka
pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda
tersebut hanya dapat dilakukan dengan
penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau
yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta
autentik. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat
(4) dan ayat (5) UUHT.
Eksekusi Hak Tanggungan
Dalam pembebanan Hak Tanggungan, apabila debitor
cidera janji atau dapat dipahami dengan tidak mampu
melaksanakan seluruh kewajibannya yang telah
diperjanjikan, maka Hak Tanggungan dapat dieksekusi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a, yang
memiliki hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan adalah
pemegang Hak Tanggungan pertama. Penjualannya dapat
dilakukan dengan pelelangan umum atau melalui tata cara
lainnya yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan.
Hapusnya Hak Tanggungan
Hak Tanggungan dapat hapus berdasarkan Pasal 18
UUHT disebabkan oleh hal-hal berikut :
1. Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan;
2. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak
Tanggungan;
3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan
peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Pencoretan Hak Tanggungan
Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak
Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan
sertifikatnya. Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertifikat
Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan
bersamasama buku tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan. Hal tersebut ditetapkan
dalam UUHT Pasal 22 ayat (1) dan (2).
Semoga dapat dipahami hak-hak atas tanah ini……..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar