Jumat, 06 November 2020

BK PHA VI, POLITIK HUKUM AGRARIA

 


 

BK PHA VI, POLITIK HUKUM AGRARIA

KULIAH VI, SENIN, 9 NOVEMBER 2020, JAM 08.30 – 10.30

JURUSAN ; PEMERINTAHAN FISIPOL UDA

PENGASUH; REINHARD HUTAPEA

 

Pengantar

Baca dengan seksama kuliah ke enam ini, sebab inilah dasar, prinsip dan asas-asas hukum agraria/pertanahan kita

Dalam sessi ini, sebagaimana kuliah ke lima yang lalu, saya tidak akan membuat pertanyaan, melainkan meminta hal-hal yang belum saudara/i ketahui, yang mungkin perlu kita diskusikan bersama. Silakan tulis di WA group.

CAT: Bahan untuk kuliah ke enam ini diambil dari “I Ketut Sudiarta SH MH dkk, 2017, Hukum Agraria, FH Unud, Denpasar”.

HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA

5.1 Pengertian dan Isi masing-masing Hak Atas Tanah

Pembahasan mengenai hak atas tanah berdasarkan

UUPA harus diawali dengan pembahasan mengenai Hak

Bangsa. Hak Bangsa ditetapkan pada pasal 1 ayat (2) UUPA

yang mengandung pemahaman bahwa tanah merupakan

karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa

Indonesia. Turunan dari Hak Bangsa, adalah Hak Menguasai

Negara. Kewenangan Negara berdasarkan pada Hak

Menguasai Negara tersebut, adalah :

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,

penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan

ruang angkasa

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum

antara orang-orang dengan bumi,air, dan ruang angkasa

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum

yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Pengertian adanya hak atas tanah didasarkan pada

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pokok Pokok Agraria (UUPA),

yaitu atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang

dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam

hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat

diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri

maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan

hukum.

Jenis-jenis hak atas tanah dimuat dalam Pasal 16 dan

Pasal 53 UUPA, meliputi :

1. hak milik,

2. hak guna usaha,

3. hak guna bangunan,

4. hak pakai,

5. hak sewa,

6. hak membuka tanah,

7. hak memungut hasil hutan

Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan

menjadi dua kelompok, yaitu:

1. Hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu hak atas tanah

yang berasal dari tanah negara. Macam-macam hak atas

tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan atas tanah Negara, Hak Pakai atas tanah

Negara.

2. Hak atas tanah yang bersifat sekunder, yaitu hak atas

tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Macam-macam

hak atas tanah ini adalah Hak Guna Bangunan atas

tanah Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan atas tanah

Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan, Hak

Pakai atas tanah Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan,

Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil

(Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa

Tanah Pertanian.20

Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam Pasal 16

dan Pasal 53 UUPA, yang dikelompokkan menjadi tiga bidang,

yaitu:

1. Hak atas tanah yang bersifat tetap, yaitu hak atas tanah

ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau

belum dicabut dengan undang-undang yang baru.

20 Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Edisi

Pertama, Cetakan ke-1,Kencana,h.91.

Jenis-jenis hak atas tanah ini adalah Hak Milik,

Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak

Membuka Tanah, Hak Sewa untuk Bangunan, dan Hak

Memungut Hasil Hutan.

2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undangundang,

yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian,

yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

Hak atas tanah ini jenisnya belum ada.

3. Hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu hak atas

tanah ini sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat

akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat

pemerasan, mengandung sifat feodal, dan bertentangan

dengan jiwa UUPA. Macam-macam hak atas tanah ini

adalah Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil

(Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa

Tanah Pertanian.21

Penjelasan masing-masing hak atas tanah tersebut,

akan dijabarkan sebagai berikut :

1. Hak Milik

Hak milik didasarkan pada ketentuan Pasal 20 – 27

UUPA. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPA, Hak milik

adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang

dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat

ketentuan bahwa semua hak atas tanah memiliki fungsi

sosial. Fungsi sosial dari hak atas ditetapkan pada Pasal 6

UUPA.

Hak milik timbul dapat didasarkan pada ketentuan

hukum adat, berdasarkan ketentuan undang-undang

melalui ketentuan konversi serta dimungkin karena

penetapan pemerintah melalui permohonan yang diajukan

kepada instansi yang mengurus tanah.22 Peralihan hak

atas hak milik berdasarkan pada Pasal 26 ayat (1) dapat

didasarkan pada perbuatan hukum jual beli, tukar

menukar, hibah, pemberian dengan wasiat, pemberian

menurut adat. Hak lain yang dapat dibebankan atas hak

milik atas tanah :

a. Hak Guna Bangunan (Pasal 37 jo 35 UUPA)

b. Hak Pakai (Pasal 41 jo 43 UUPA)

c. Hak Gadai (Pasal 53 UUPA dan Pasal 7 UU No. 56 Prp

Tahun 1960)

d. Hak Usaha Bagi Hasil (UU No. 2 tahun 1960 jo Pasal

53 UUPA)

e. Hak Menumpang (Pasal 53 UUPA)

Hapusnya hak milik atas tanah dapat disebabkan

oleh beberapa hal :

a. Tanahnya jatuh kepada negara

1) Pencabutan hak berdasarkan pasal 18

2) Penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya

3) Diterlantarkan

4) Ketentuan pasal 21 ayat 3 dan pasal 26 ayat 2

UUPA

b. Tanahnya musnah

Sifat dasar dari hak milik adalah :

a. Turun Temurun : Hak tersebut dapat berlangsung

terus menerus selama empunya tanah masih hidup,

dan bila ia meninggal hak tersebut dapat dilanjutkan

oleh ahli warisnya.

b. Terkuat : Jangka waktunya tak terbatas dan haknya

kuat karena haknya didaftar dan yang empunya

diberikan tanda bukti hak hingga mudah

dipertahankan terhadap pihak lain.

c. Terpenuh : Hak itu memberikan wewenang kepada

empunya, hak paling luas bila dibandingkan hak atas

tanah yang lain; tidak berinduk pada hak atas tanah

yang lain; dan peruntukannya tidak terbatas selama

tidak ada pembatasan dari penguasa.

2. Hak Guna Usaha

Pengertian Hak Guna Usaha ditetapkan pada Pasal

28 ayat (1) UUPA yaitu hak untuk mengusahakan tanah

yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu

tertentu yang digunakan untuk perusahaan pertanian,

perikanan atau peternakan. Dasar hukum pengaturan

hak guna usaha terdapat pada Pasal 28-34 UUPA dan

Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1996 tentang Hak

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas

Tanah pada Pasal 2 – 18.

Kekhususan Hak Guna Usaha :

a. Pendirian bangunan diperbolehkan/tidak dilarang,

asalkan bangunan-bangunan itu berhubungan

langsung dengan usaha-usaha pertanian, perikanan,

atau peternakan itu.

b. Tidak bersumber pada hukum adat

c. Diberikan untuk jangka waktu yang lama

d. Berasal dari tanah negara

Hak Guna Usaha dapat terjadi karena diberikan

keputusan pemberian hak oleh menteri atau Pejabat yang

ditunjuk. Ketentuan pada Pasal 16 PP No. 40 tahun 1996

menetapkan bahwa peralihan Hak Guna Usaha dapat

terjadi dengan cara:

a. Jual beli

b. Tukar menukar;

c. Penyertaan dalam modal;

d. Hibah;

e. Pewarisan.

Hak guna usaha juga dapat hapus, disebabkan oleh

beberapa hal diantaranya adalah :

a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan

dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya;

b. dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang

sebelum jangka waktunya berakhir karena :

1) tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang

hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13

dan/atau Pasal 14;

2) putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap;

c. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya

sebelum jangka waktunya berakhir;

d. dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 1961;

e. ditelantarkan;

f. tanahnya musnah;

g. Apabila pemegang Hak Guna Usaha tidak lagi menjadi

Warga Negara Indonesia atau tidak lagi merupakan

Badan hukum yang didirikan menurut hukum

Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, maka

apabila dalam jangka waktu satu tahun Hak Guna

Usaha itu tidak dilepaskan atau dialihkan, Hak Guna

Usaha tersebut hapus karena hukum dan tanahnya

menjadi tanah Negara.

3. Hak Guna Bangunan

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan

dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang

bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu tertentu,

sebagaimana ditetapkan pada Pasal 35 ayat (1). Dasar

hukum yang mengatur Hak Guna Bangunan adalah

ketentuan Pasal 35-40 UUPA serta ketentuan Pasal 35 –

40 Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1996. Hak Guna

Bangunan atas tanah Negara diberikan dengan keputusan

pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Sedangkan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak

Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak

oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul

pemegang Hak Pengelolaan. Hak Guna Bangunan yang

diberikan atas tanah Hak Milik didasarkan pada

perjanjian dan kesepakatan antara pemilik tanah dengan

pemegang Hak Guna Bangunan. Hal tersebut diatur

berdasarkan ketentuan Pasal 40 tahun 1996. Untuk

peralihan Hak Guna Bangunan bisa melalui peristiwa : a.

Jual beli; b. Tukar menukar; c. Penyertaan dalam modal;

d. Hibah; e. Pewarisan.

Sebagaimana ditetapkan pada Pasal 34 Peraturan

Pemerintah No. 40 Tahun 1996.

4. Hak Pakai

Adalah hak untuk menggunakan dan/atau

memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh

Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi

wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam

keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang

memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik

tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau

perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak

bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan

UUPA. Pengertian mengenai Hak Pakai tersebut

ditetapkan pada Pasal 41 UUPA.

5. Hak Sewa

Hak Sewa adalah hak yang diberikan kepada

seseorang atau suatu badan hukum untuk

mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan

bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya

sejumlah uang sebagai sewa. Hal tersebut diatur pada

ketentuan Pasal 44 ayat (1) UUPA.

6. Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan

Menurut Urip Santoso, Hak Membuka Tanah dan

Hak Memungut hasil hutan bukanlah hak atas tanah

dikarenakan keduanya tidak memberikan wewenang

kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah

atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.

Namun, sekadar menyesuaikan dengan sistematika

Hukum Adat, maka kedua hak tersebut dicantumkan juga

ke dalam hak atas tanah yang bersifat tetap. Sebenarnya

kedua hak tersebut merupakan “pengejawantahan” dari

hak ulayat masyarakat Hukum Adat.23

 

5.2 Subjek dari objek masing-masing Hak Atas Tanah

Pembahasan mengenai subjek dan objek pada hak atas

tanah akan disajikan dalam bentuk tabel yang disarikan dari

UUPA dan PP No. 40 tahun 1996.

Tabel. 1 Subjek dan Objek Hak Atas Tanah

HAK

ATAS

TANAH

SUBJEK OBJEK JANGKA

WAKTU

Hak Milik - WNI

- Badan Hukum (bank

pemerintah /badan

keagamaan dan soaial)

- Tanah Milik

Hak Guna

Usaha

- WNI

- Badan Hukum yang

didirikan menurut

hukum Indonesia dan

berkedudukan di

Indonesia.

- Tanah

Negara

35 tahun

+

25 Tahun

Hak Guna

Bangunan

- WNI

- Badan Hukum yang

didirikan menurut

hukum Indonesia dan

berkedudukan di

Indonesia.

- Tanah

Negara

- Tanah

Pengelolaan

- Tanah Hak

Milik

30 tahun

+

20 Tahun

Hak Pakai - Warga Negara Indonesia;

- Badan hukum yang

didirikan menurut

hukum Indonesia dan

berkedudukan di

Indonesia;

- Departemen, Lembaga

Pemerintah Non

Departemen, dan

Pemerintah Daerah;

- Badan-badan keagamaan

dan sosial;

- Orang asing yang

berkedudukan di

Indonesia;

- Badan hukum asing yang

mempunyai perwakilan

di Indonesia;

- Tanah

Negara;

- Tanah Hak

Pengelolaan;

- Tanah Hak

Milik.

25 tahun

+

20 Tahun

54

- Perwakilan negara asing

dan perwakilan badan

Internasional.

Hak Sewa

Atas

Bangunan

- Warganegara Indonesia;

- Orang asing yang

berkedudukan di

Indonesia;

- Badan hukum yang

didirikan menurut

hukum Indonesia dan

berkedudukan di

Indonesia;

- Badan hukum asing yang

mempunyai perwalikan

di Indonesia.

- Tanah Milik Sesuai

Perjanjian

 

5.3 Hak-hak yang dapat dibebani Hak Tanggungan

Pengertian Hak Tanggungan, berdasarkan Pasal 1

angka 1 Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan

dengan tanah (selanjutnya disebut UUHT), adalah: hak

jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana

dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau

tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu

kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,

yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Dari rumusan tersebut dapat dipahami bahwa pada

dasarnya suatu Hak Tanggungan adalah suatu bentuk

jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu, dengan

objek (jaminan)nya berupa Hak-hak Atas Tanah yang diatur

dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

55

Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok

Agraria.24

 

Pemberian Hak Tanggungan

Pemberian Hak Tanggungan diatur dalam ketentuan

Pasal 10 UUHT yang menetapkan bahwa Pemberian Hak

Tanggungan didahului dengan adanya perjanjian untuk

memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan

utang tertentu. Kesepakatn tersebut dituangkan di dalam dan

merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang

piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang

menimbulkan utang tersebut. Perjanjian pemberian Hak

Tanggungan dilakukan dengan Akta Pemberian Hak

Tanggungan yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah

(selanjutnya disebut PPAT) sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Isi perjanjian atau janji-janji yang dapat dituangkan

dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan diatur dalam

ketentuan Pasal 11 UUHT. Janji-janji tersebut adalah:

1. janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak

Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan

dan atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa

dan atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan

persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak

Tanggungan;

2. janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak

Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan

objek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan

tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

3. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang

Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan

berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang

daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan

apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji;

4. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang

Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak

Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan

eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau

dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan

karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan

undang-undang;

5. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama

mempunyai hak untuk menjual atas kekuatan sendiri

objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji;

6. janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan

pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan

dibersihkan dari Hak Tanggungan;

7. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan

melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa

persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak

Tanggungan;

8. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh

seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima

pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya

apabila objek Hak Tanggungan dilapaskan haknya oleh

pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk

kepentingan umum.

9. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh

seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima

pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya,

jika objek Hak Tanggungan diasuransikan;

10. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan

mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu

eksekusiHak Tanggungan;

11. janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4).

Isi janji yang memberikan kewenangan kepada

pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak

Tanggungan apabila debitor cidera janji, maka hal tersebut

batal demi hukum, sebagaimanan diatur dalam ketentuan

Pasal 12 UUHT.

 

Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Atas Tanah

Pada rumusan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)

UUHT hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan

adalah :

1. Hak Milik

2. Hak Guna Usaha; dan

3. Hak Guna Bangunan

4. Hak Pakai atas tanah negara

a. Pembebanan hak tanggungan tidak hanya dibebankan

kepada hak atas tanahnya saja. Tetapi dapat meliputi

bangunan, tanaman, dan hasil karya, baik yang telah

ada, maupun yang akan dan akan menjadi satu

kesatuan dengan tanah yang dibebani hak

tanggungan. Apabila terdapat peristiwa, bahwa pemilik

dari bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut

berbeda dengan pemilik hak atas tanah, maka

pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda

tersebut hanya dapat dilakukan dengan

penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak

Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau

yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta

autentik. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat

(4) dan ayat (5) UUHT.

 

Eksekusi Hak Tanggungan

Dalam pembebanan Hak Tanggungan, apabila debitor

cidera janji atau dapat dipahami dengan tidak mampu

melaksanakan seluruh kewajibannya yang telah

diperjanjikan, maka Hak Tanggungan dapat dieksekusi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a, yang

memiliki hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan adalah

pemegang Hak Tanggungan pertama. Penjualannya dapat

dilakukan dengan pelelangan umum atau melalui tata cara

lainnya yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan.

 

Hapusnya Hak Tanggungan

Hak Tanggungan dapat hapus berdasarkan Pasal 18

UUHT disebabkan oleh hal-hal berikut :

1. Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan;

2. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak

Tanggungan;

3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan

peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;

4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

 

Pencoretan Hak Tanggungan

Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak

Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan

sertifikatnya. Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertifikat

Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan

bersamasama buku tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak

berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan. Hal tersebut ditetapkan

dalam UUHT Pasal 22 ayat (1) dan (2).

Semoga dapat dipahami hak-hak atas tanah ini……..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar