Selasa, 30 Maret 2021

BK KP III, KOMUNIKASI PEMERINTAHAN

 


 

BK KP III, KOMUNIKASI PEMERINTAHAN

KULIAH II, 31 MARET 2021

JURUSAN FISIPOL UDA

PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

 

Cat: pada kuliah pertama dan kedua, partisipasi mahasiswa untuk aktif, yakni aktif bertanya, menanggapi, atau memberi komentar , sangat minim. Pada kuliah ketiga ini, partsisipasi tersebut agar ditingkatkan. Jangan pasif, saudara akan dinilai dari keaktifan ini, selain UTS dan UAS. jika ada yang kurang dipahami ditulis di WA

 

MODEL PENDEKATAN

PARADIGMA KOMUNIKASI PEMERINTAHAN

Sebelum sampai kita pada deskripsi mata kuliah ketiga, bacalah artikel yang saya tulis di harian Waspada tanggal 30 maret 2021/kemaren. Tulisan ini menunjukkan betapa komunikasi yang dilakukan pemerintah sejak lama sangat buruk. Komunikasi yang jauh dari layak atau komunikasi demokratis.

Setelah para mahasiswa membacanya, jawablah segera pertanyaan-pertanyaan dibawah ini;

·         Bagaimana tanggapan para mahasiswa terhadap isi tulisan itu (menyetujui, tidak setuju, mempertanyakan, etc).

·         Berikan ilustrasi atau contoh lain betapa komunikasi pemerintah sejak lama banyak mengalami masalah (sangat banyak contoh-contoh atau ilustrasi-ilustrasinya).

·         Sebagai pembanding lihat juga tulisan saya di harian Waspada, …maret 2021 dengan tema “ Pertaruhan Reforma Agraria Jokowi” (ada di blog saya)

Cat: Tanggapan atau jawaban ditulis di WA group ini juga….jangan ke WA saya…..mari sama-sama kita diskursuskan.

 

IMPLIKASI IMPOR BERAS

Oleh : Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA Medan

Published, Waspada, 30 maret 2021

Sejak republik terbentuk hingga detik ini, suara-suara nyaring perbaikan petani terus berkumandang kencang. Namun seiring dengan suara-suara nyaring tersebut, sejak itu pula pemarjinalan terhadap petani terus dipertontonkan

 

James C. Scott (1981)  melukiskan eksistensi petani sebagai manusia yang berendam dalam air, dimana ketinggian air sudah sampai  dagunya. Oleh karena itu sedikit saja goncangan menerpa, sang petani segera tenggelam.

Konstatasi yang telah lama terstruktur. Tidak an sich karena  liberalisasi ekonomi yang dipentaskan saat ini. Namun telah langgeng atau terlembaga sejak zaman baheula. Khususnya  sejak Orde Baru berkibar dengan revolusi hijaunya. Era yang dituding banyak kalangan sebagai awal atau biang kerok teralienasinya petani dari habitatnya

            Akan tetapi kalau diterawang lebih jauh dan seksama, sejak era kolonial pun mereka sesungguhnya telah tercekik permanen. Tercekik  dengan berbagai belenggu, seperti pungutan pajak yang tak masuk akal dan tekanan-tekanan berat lainnya.

Karena  tekanan-tekanan demikian, sebagaimana pesan pepatah klasik, cacing pun jika diinjak akan melawan, sudah barang tentu petani melakukan reaksi, yakni pembrontakan terhadap otoritas yang berkuasa. Dari waktu ke waktu sebagaimana setting historisnya para petani selalu meletupkan  pembrontakan.

Pembrontakan yang praksisnya mirip mercon atau petasan. Meledak sejenak, namun tidak berapa lama kemudian hilang tak berbekas. Begitu terus menerus,…. muncul tapi segera hilang.  Sartono Kartodirdjo telah mengulasnya dengan anggun dalam disertasinya “Pemberontakan petani Banten”.

Petani Sebagai Objek

Setelah penjajahan/kolonial berakhir, pemerintah yang terbentuk sebagai buah proklamasi berketetapan hati mengobati penyakit bak kanker stadium lima tersebut. Mereka (pemerintahan baru) sadar betul bahwa negeri ini adalah negara agraris, yang dalam segala sepak terjangnya dilandasi kultur agraris.

Akan tetapi karena  masih dalam suasana transisi, yakni dari suasana kolonial ke suasana merdeka, belum banyak yang dapat dibuat. Negara, rezim atau lembaga yang terbentuk  masih sibuk menata diri, mengkonsolidasi pemerintahan, dan membangun karakter dan kebangsaan (Nation and Character Building)

Orde baru (tepatnya rezim baru) yang tampil kemudian sebagai anti tese rezim sebelumnya, kembali bertekad memperbaiki nasib  petani yang tak putus-putus dirundung malang. Rezim baru sangat sadar  bahwa pertanian adalah soko guru ekonomi Indonesia. Oleh karena itu harus ditopang dengan sekuat-kuatnya

Tekad demikian dibuktikan dengan program pembangunan yang titik beratnya pada pembangunan pertanian dengan paradigma “ rencana pembangunan lima tahun” (repelita).  Dari lima repelita yang akan dipentaskan, tiga repelita pertama, yakni repelita pertama sendiri, kedua dan ketiga  menempatkan pertanian sungguh-sungguh sebagai primadona pembangunan.

Faktanya memang berhasil. Dengan tekad yang berkobar-kobar, pada awal 1980-an negeri ini mencapai swasembada beras, sehingga mendapat penghargaan dari FAO. Indonesia oleh banyak negara  dipuja  sebagai negeri yang sukses membangun pertaniannya.

Namun, meski swasembada pertanian melesat bak jet membelah langit, nasib petani tidak banyak beranjak . Kehidupan ekonominya begitu-begitu saja, alias stagnan sebagaimana sebelum surplus tercapai. Produktivitas tinggi, namun tidak akan kesejahterannya.  Petani tetap saja melarat.

            Melarat  sebagaimana banyak diulas para pakar kemudian, karena strategi pembangunan  pertanian yang tidak tepat. Struktur pertanian yang mencuat realitanya bias perkotaan dan industrialisasi. Pemihakan pada petani atau pertanian yang didengung-dengungkan tak lebih tak kurang hanya sebatas objek. Dalam prakteknya entah sengaja atau tidak, petani tidak pernah diikut-sertakan dalam pengambilan kebijakan.

Dengan selangit program percepatan nan elitist, seperti pemberian bibit unggul, pupuk, pestisida, dan teknologi yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan, dipaksakan pada petani. Yang penting  produktivitas tercapai. Persis  ketika rezim  kolonial Belanda berkuasa, petani hanya dijadikan sebatas objek.

Petani yang eksistensinya memang sangat lemah, sebagaimana dilukiskan James C. Scott di atas tidak bisa berbuat banyak selain tunduk pada kehendak penguasa nan otoriter, absolute, atau patrimonial, meski dengan jubah demokrasi .

Demokrasi bukan untuk petani, juga bukan untuk rakyat. Ia hanya diperbincangkan dikampus-kampu, atau seminar-seminar terbatas sebagai menara gading, atau bagi segelintir kalangan kuat dan kaya. Oleh karena itu petani, tak lebih tak kurang hanya pasrah pada keadaan sebagaimana sudah lama dialaminya, berdoa atau  menunggu godot yang tak tahu kapan datangnya.  Atau dalam mitologi Jawa, menunggu satrio piningit yang konon akan membebaskan. Sampai kapan ?

Pemiskinan Petani

Sejak republik terbentuk hingga detik ini suara-suara nyaring perbaikan nasib petani terus berkumandang kencang. Namun seiring dengan suara-suara nyaring tersebut , sejak itu pula pemarjinalan terhadap petani terus dipertontonkan, sebab tatanan atau sistim ekonomi-politik yang dipentaskan tidak memihak petani.

 Sistim tersebut sebagaimana disebut di atas adalah sistim ekonomi yang bias pada industri dan perkotaan dengan asas “liberalism, individualism, dan kapitalisme”. Serahkan ke pasar dan kurangi peran negara begitulah slogan dan praksisnya. Bagaimana petani bersaing di pasar yang dikuasai kalangan kuat dan kaya? Apakah mereka sanggup melawan korporasi-korporasi (khususnya yang dari luar) yang memiliki kapital, teknologi, dan manajemen canggih yang berprinsip pasar bebas itu (Ronald E Muller& Barneet 1974, Stiglitz J, 2007)?

Disitu letak ketidak adilan atau inti masalahnya. Ketidakadilan yang semakin menggelayut, sebab di dalam rezim banyak tahyul-tahyul, tangan-tangan tak terlihat (invisible hand), seperti para pemburu rente, mafia, antek-antek, atau tepatnya komprador perusahaan-perusahaan asing, yang terus bermain, bak mafia Sisilia, demi keuntungan pribadi, faksi, atau perusahaannya.

Meminjam Peter Evans (1980), dalam bukunya yang terkenal  “Dependent Development in Brazil: The Alliance of MNCs, State, and Local Bourgeuse,  yang tampil dan hegemonic/berkuasa dalam sistim tersebut adalah persekutuan segitiga, yakni  “negara, MNCs dan pengusaha lokal”, yang dalam derivasinya meminggirkan perekonomian konstitusional-nasional, apalagi perekonomian pedesaan yang diawaki para petani, ke titik nadir.

Selama tatanan ini tidak direformasi atau direvolusi, pembiasan-pembiasan yang terus berulang memiskinkan petani, seperti import beras yang marak hari-hari ini, impor daging, bahkan impor garam akan terus lestari, meski mayoritas kekuatan masyarakat menolaknya.

Seteleh selesai diskursus dan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kembali kita ke tema kuliah hari ini, yakni Model Pendekatan Paradigma Komunikasi Pemerintahan.

Minggu yang lalu (24 maret 2021) telah kita uraikan pengertian Komunikasi, Pemerintahan, Komunikasi Pemerintahan, dan Paradigma Komunikasi Pemerintahan.

Akan kita ulangi sejenak….

Wilbur Schramm

Komunikasi adalah “the sharing of an orientation toward a set of information signs”

Kincaid

Komunikasi adalah….proses saling berbagi atau menggunakan informasi secara Bersama dan bertalian antara peserta dalam proses informasi.

Berlo

Komunikasi sebagai suasana yang penuh keberhasilan jika penerima pesan memiliki makna yang sama dengan apa yang dimaksudkan oleh sumber atau komunikator

Atas pendapat-pendapat itu Erliana Hasan (2005) mengartikan komunikasi adalah suatu proses penyampaian pernyataan antar manusia mengenai isi pikiran dan perasaannya. Pengungkapan isi pikiran dan perasaan itu apabila diaplikasikan secara benar dengan etika yang tepat, akan mampu mencegah dan menghindari konflik antar pribadi, antar kelompok, antar suku, antar bangsa sehingga dapat memelihara persatuan dan kesatuan antar individu,keluarga maupun bangsa yang berbeda, walaupun berbeda dari segi budaya, Bahasa dan lingkungan. Bertolak dari berbagai pendapat di atas dapat diambil benang merah tentang konsep dan pengertian komunikasi, “ Sebagai suatu proses penyampaian pikiran dan perasaan dari seseorang kepada orang lain guna menyatukan kekuatan sehingga orang-orang tersebut bergerak pada tindakan yang terorganisir.

Unsur-Unsur Proses Komunikasi;

1.     Adanya komunikator (communicator)

2.     Adanya pesan yang sudah dikemas atau esensi komunikasi (content)

3.     Adanya interaksi langsung maupun tidak langsung (interaction)

4.     Penggunaan media komunikasi dan tepat (the use of media)

5.     Pemahaman Bersama akan esensi dan tujuan berkomunikasi (mutual understanding)

6.     Umpan balik (feed back)

7.     Tumbuhnya kepercayaan (trust)

KONSEP DAN ARTI PEMERINTAHAN

Tentang ini tidak akan dibuat dalam tulisan ini, sebab telah diuraikan pada kuliah pertama/perdana……silakan baca Kembali

 

PARADIGMA KOMUNIKASI PEMERINTAHAN

Komunikasi pemerintahan adalah kemampuan aparatur pemerintahan dalam mengemas ide, gagasan, program untuk diinformasikan kepada masyarakat secara tidak melawan hukum dalam mencapai tujuan negara dan tujuan pemerintah secara sah.

Koontz

Komunikasi diperlukan untuk:

1.     Menetapkan dan menyebarluaskan tujuan organisasi

2.     Menyusun rencana untuk mencapai tujuan

3.     Mengorganisir sumber daya manusia dan sumber daya lainnya dengan cara paling efektif dan efisien

4.     Menyeleksi, mengembangkan, dan menilai anggota organisasi.

5.     Memimpin, mengarahkan, dan memotivasi, serta menciptakan iklim yang menimbulkan orang untuk memberi kontribusi

6.     Mengendalikan prestasi

Secara singkat dan sederhana, apa yang ditulis Koontz dengan 6 butir pointnya adalah “Paradigma Komunikasi Pemerintahan”

Untuk mendekatinya, dilihat dari tiga aspek, yaitu:

1.      Aspek struktur

2.     Aspek prosedur, dan

3.     Aspek kultur

Artinya pemerintahan itu sebagai organisasi dilihat dari tiga aspek tersebut. (Bagaimana struktur, prosedur, dan kultur organisasinya).

Struktur organisasi adalah pola formal tentang bagaimana orang dan pekerjaan dikelompokkan. Struktur sering digambarkan dengan bagan organisasi (Erliana Hasan, 2005).

Struktur

Lihat struktur sekolah

Struktur Osis

Struktur Fakultas

Struktur Universitas                        ► lihat bagan organisasinya

Struktur Organisasi Masyarakat

Struktur Partai politik

Struktur Pemerintahan

Struktur Organisasi Pemerintahan Desa

 

Prosedur/pengertiannya

Tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas

 

Adalah serangkaian aksi yang spesifik, tindakan atau operasi yang harus dijalankan atau dieksekusi dengan cara yang baku agar selalu memperoleh hasil yang sama dari keadaan yang sama.

 

Jiwa organisasi

 

Kultur/pengertiannya.

Kultur organisasi adalah nilai-nilai yang dimiliki dan dipatuhi oleh anggota organisasi dalam berpikir, berperasaan, dan bertindak.

 

►►► Pemerintahan sebagai organisasi ditilik dari ketiga unsur, yakni dari struktur, prosedur, dan kulturnya.

            Materi yang dalam ilmu administrasi dianalisis dalam mata kuliah Keorganisasian, Manajemen, Perkantoran, dan atau khususnya “Birokrasi”. Bagaimana birokrasi pemerintahan kita? Itu pertanyaannya. Minggu depan kita bahas……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar