Selasa, 30 Maret 2021

IMPLIKASI IMPOR BERAS

 


 

IMPLIKASI IMPOR BERAS

Oleh : Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA Medan

Published, Waspada, 30 maret 2021

Sejak republik terbentuk hingga detik ini, suara-suara nyaring perbaikan petani terus berkumandang kencang. Namun seiring dengan suara-suara nyaring tersebut, sejak itu pula pemarjinalan terhadap petani terus dipertontonkan

 

James C. Scott (1981)  melukiskan eksistensi petani sebagai manusia yang berendam dalam air, dimana ketinggian air sudah sampai  dagunya. Oleh karena itu sedikit saja goncangan menerpa, sang petani segera tenggelam.

Konstatasi yang telah lama terstruktur. Tidak an sich karena  liberalisasi ekonomi yang dipentaskan saat ini. Namun telah langgeng atau terlembaga sejak zaman baheula. Khususnya  sejak Orde Baru berkibar dengan revolusi hijaunya. Era yang dituding banyak kalangan sebagai awal atau biang kerok teralienasinya petani dari habitatnya

            Akan tetapi kalau diterawang lebih jauh dan seksama, sejak era kolonial pun mereka sesungguhnya telah tercekik permanen. Tercekik  dengan berbagai belenggu, seperti pungutan pajak yang tak masuk akal dan tekanan-tekanan berat lainnya.

Karena  tekanan-tekanan demikian, sebagaimana pesan pepatah klasik, cacing pun jika diinjak akan melawan, sudah barang tentu petani melakukan reaksi, yakni pembrontakan terhadap otoritas yang berkuasa. Dari waktu ke waktu sebagaimana setting historisnya para petani selalu meletupkan  pembrontakan.

Pembrontakan yang praksisnya mirip mercon atau petasan. Meledak sejenak, namun tidak berapa lama kemudian hilang tak berbekas. Begitu terus menerus,…. muncul tapi segera hilang.  Sartono Kartodirdjo telah mengulasnya dengan anggun dalam disertasinya “Pemberontakan petani Banten”.

Petani Sebagai Objek

Setelah penjajahan/kolonial berakhir, pemerintah yang terbentuk sebagai buah proklamasi berketetapan hati mengobati penyakit bak kanker stadium lima tersebut. Mereka (pemerintahan baru) sadar betul bahwa negeri ini adalah negara agraris, yang dalam segala sepak terjangnya dilandasi kultur agraris.

Akan tetapi karena  masih dalam suasana transisi, yakni dari suasana kolonial ke suasana merdeka, belum banyak yang dapat dibuat. Negara, rezim atau lembaga yang terbentuk  masih sibuk menata diri, mengkonsolidasi pemerintahan, dan membangun karakter dan kebangsaan (Nation and Character Building)

Orde baru (tepatnya rezim baru) yang tampil kemudian sebagai anti tese rezim sebelumnya, kembali bertekad memperbaiki nasib  petani yang tak putus-putus dirundung malang. Rezim baru sangat sadar  bahwa pertanian adalah soko guru ekonomi Indonesia. Oleh karena itu harus ditopang dengan sekuat-kuatnya

Tekad demikian dibuktikan dengan program pembangunan yang titik beratnya pada pembangunan pertanian dengan paradigma “ rencana pembangunan lima tahun” (repelita).  Dari lima repelita yang akan dipentaskan, tiga repelita pertama, yakni repelita pertama sendiri, kedua dan ketiga  menempatkan pertanian sungguh-sungguh sebagai primadona pembangunan.

Faktanya memang berhasil. Dengan tekad yang berkobar-kobar, pada awal 1980-an negeri ini mencapai swasembada beras, sehingga mendapat penghargaan dari FAO. Indonesia oleh banyak negara  dipuja  sebagai negeri yang sukses membangun pertaniannya.

Namun, meski swasembada pertanian melesat bak jet membelah langit, nasib petani tidak banyak beranjak . Kehidupan ekonominya begitu-begitu saja, alias stagnan sebagaimana sebelum surplus tercapai. Produktivitas tinggi, namun tidak akan kesejahterannya.  Petani tetap saja melarat.

            Melarat  sebagaimana banyak diulas para pakar kemudian, karena strategi pembangunan  pertanian yang tidak tepat. Struktur pertanian yang mencuat realitanya bias perkotaan dan industrialisasi. Pemihakan pada petani atau pertanian yang didengung-dengungkan tak lebih tak kurang hanya sebatas objek. Dalam prakteknya entah sengaja atau tidak, petani tidak pernah diikut-sertakan dalam pengambilan kebijakan.

Dengan selangit program percepatan nan elitist, seperti pemberian bibit unggul, pupuk, pestisida, dan teknologi yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan, dipaksakan pada petani. Yang penting  produktivitas tercapai. Persis  ketika rezim  kolonial Belanda berkuasa, petani hanya dijadikan sebatas objek.

Petani yang eksistensinya memang sangat lemah, sebagaimana dilukiskan James C. Scott di atas tidak bisa berbuat banyak selain tunduk pada kehendak penguasa nan otoriter, absolute, atau patrimonial, meski dengan jubah demokrasi .

Demokrasi bukan untuk petani, juga bukan untuk rakyat. Ia hanya diperbincangkan dikampus-kampu, atau seminar-seminar terbatas sebagai menara gading, atau bagi segelintir kalangan kuat dan kaya. Oleh karena itu petani, tak lebih tak kurang hanya pasrah pada keadaan sebagaimana sudah lama dialaminya, berdoa atau  menunggu godot yang tak tahu kapan datangnya.  Atau dalam mitologi Jawa, menunggu satrio piningit yang konon akan membebaskan. Sampai kapan ?

Pemiskinan Petani

Sejak republik terbentuk hingga detik ini suara-suara nyaring perbaikan nasib petani terus berkumandang kencang. Namun seiring dengan suara-suara nyaring tersebut , sejak itu pula pemarjinalan terhadap petani terus dipertontonkan, sebab tatanan atau sistim ekonomi-politik yang dipentaskan tidak memihak petani.

 Sistim tersebut sebagaimana disebut di atas adalah sistim ekonomi yang bias pada industri dan perkotaan dengan asas “liberalism, individualism, dan kapitalisme”. Serahkan ke pasar dan kurangi peran negara begitulah slogan dan praksisnya. Bagaimana petani bersaing di pasar yang dikuasai kalangan kuat dan kaya? Apakah mereka sanggup melawan korporasi-korporasi (khususnya yang dari luar) yang memiliki kapital, teknologi, dan manajemen canggih yang berprinsip pasar bebas itu (Ronald E Muller& Barneet 1974, Stiglitz J, 2007)?

Disitu letak ketidak adilan atau inti masalahnya. Ketidakadilan yang semakin menggelayut, sebab di dalam rezim banyak tahyul-tahyul, tangan-tangan tak terlihat (invisible hand), seperti para pemburu rente, mafia, antek-antek, atau tepatnya komprador perusahaan-perusahaan asing, yang terus bermain, bak mafia Sisilia, demi keuntungan pribadi, faksi, atau perusahaannya.

Meminjam Peter Evans (1980), dalam bukunya yang terkenal  “Dependent Development in Brazil: The Alliance of MNCs, State, and Local Bourgeuse,  yang tampil dan hegemonic/berkuasa dalam sistim tersebut adalah persekutuan segitiga, yakni  “negara, MNCs dan pengusaha lokal”, yang dalam derivasinya meminggirkan perekonomian konstitusional-nasional, apalagi perekonomian pedesaan yang diawaki para petani, ke titik nadir.

Selama tatanan ini tidak direformasi atau direvolusi, pembiasan-pembiasan yang terus berulang memiskinkan petani, seperti import beras yang marak hari-hari ini, impor daging, bahkan impor garam akan terus lestari, meski mayoritas kekuatan masyarakat menolaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar