FILSAFAT VERSI GMNI; MENUJU BERPIKIR IDEOLOGIS
Oleh: Reinhard Hutapea
Kompartemen Ideologi & Kaderisasi DPP PA GmnI
Disampaikan dalam KTD KOM FH-USU, 13 Maret 2021
Jl : Kejaksaan no 6 Medan
Artikel/tulisan/makalah ini hanya sebatas pemantik untuk menggairahkan KTD Kom GmnI FH-USU, sebab membahas atau menguraikan filsafat adalah masalah yang sangat luas, sangat dalam, yang tak habis-habis di bahas/diuraikan. Tak ada ukuran yang pasti, yang matematis, atau yang paling benar tentang filsafat.
Sekian jenis, macam, atau mazhab tentangnya tidak mungkin dapat dipahami/dipertemukan dalam waktu yang singkat, sehingga ada semacam pengertian yang baku, yang simple, atau, yang bak hukum-hukum ilmu eksak. Tidak ada itu. Dan sebaiknya ikhtiar untuk menggapai hal itu (kalau memang ada) biarlah urusan di luar forum ini (di kampus/lembaga-lembaga filsafat)
Untuk pertemuan yang singkat ini, mungkin lebih pas, jika kita mengarus utamakan pembahasan/diskursus tentang pola berpikir GmnI. Pola berpikir seperti apa yang diharapkan dari seorang kader GmnI yang berideologi Marhaenisme, yang popular dengan sebutan “Nasionalis”. Metode, sistim, cara berpikir/bertindak minimal yang membedakannya dengan mazhab-mazhab lain (seperti rekan-rekannya sesama Kelompok Cipayung/HMI/GMKI/PMKRI/PMII)[1]
Maksud saya/penulis, kita realistis ajalah. Tidak usah kita ikuti sillabus yang dibuat Presidium yang sangat (jumbo) luas itu. Yang sangat kabur, abstrak, susah, dan bertele-tele dan sukar dipahami (Magnis Suseno, 2018). Betapa tidak? Seluruh filsafat yang ada di dunia ini mau dibahas dalam pertemuan dua jam. Dari era Yunani (Socrates, Plato, Aristoteles), era pertengahan (St Agustin, Thomas Aquinas), era Renaissans (Marsilio Picino, Galileo Galilei, Francis Bacon, Copernicus, I Newton), zaman Barok (Shakspeare, Rene Descates, Spinoza, Th Hobbes), abad Pencerahan (Soren Kierkegaard, F. Hegel, K Marx) hingga era post modernism (Derrida, Baudrillard, Habermas etc) mau dibahas hanya dalam waktu (seperti disebut di atas) hanya dalam waktu dua jam. Belum lagi jika dihubungkan dengan filsafat Timur atau filsafat agama.
Tak mungkin semua itu di bahas. 10 tahun sekali pun belum tentu selesai membahas itu. Walau dalam diskursus (pertemuan KTD ini) hal-hal demikian secara sekilas akan tetap di singgung, namun tidak seperti yang diinginkan filosof-filosof Presidium/DPP GmnI, yang tak tertutup kemungkinan, jangan-jangan mereka sendiri pun sesungguhnya tak paham apa yang diinginkan, atau ditulisnya. Mudah-mudahan tidak sekedar gagah-gagahan.
Lalu apa yang kita usulkan secara kongkrit dalam forum ini? Singkat saja jawabannya, yakni; →….”bacalah dengan seksama tulisan-tulisan Bung Karno”….←. Itulah awal, itulah proses, dan itulah tujuan berfilsafat.
Yang lain-lain, seperti pengertian-pengertian filsafat yang ada di dunia ini (yang sangat luas dan tak berbatas itu), hanya sebagai pelengkap, pembanding, instrument, atau alat saja untuk memperkuat tentang pemikiran Bung Karno.
Bacalah dengan serius/seksama, berulang-ulang, dan renungkan (hayati). Setelah itu, yakni setelah anda memahaminya dengan mendalam, bandingkan dengan pemikiran, pengetahuan, atau filsafat lain (Rudolf Carnaf, dalam Yuyun Suriasumantri, 1999) Dengan kata lain anda “bernalar, mengulas, atau menganalisis sampai ke akar-akarnya” (apa, dimana, kemana, kenapa, siapa, dan bagaimana, meminjam teori komunikasi).
jika adik-adik serius mempraksiskan pola itu dengan seksama, tekun, berulang-ulang, automaticly/dengan sendirinya adik-adik sudah berfilsafat (filsafat in action) dalam arti sebenarnya. Sebab Filsafat sebagaimana arti atau definisinya adalah suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya (Yuyun Suriasumantri, 1999:4).
Sedalam-dalamnya, seluas-luasnya, sebesar-besarnya. Untuk tidak mengatakan sekedar-sekedar sebagaimana yang fenomenal (berlangsung) saat ini, yakni baru membaca sedikit sudah merasa tahu (minum satu sloki, mabuk satu botol). Bahkan kiamatnya lagi, tidak pernah membaca, hanya mendengar-dengar di warung kopi si Jaultop, si Jaullus, si Suar-Sair, si Jengkol sudah merasa paham (termasuk mahasiswa-mahasiswa jaman now)[2].
Tak satu hal yang bagaimanapun kecilnya terlepas dari pengamatan kefalsafahan. Tak ada satu pernyataan yang bagaimanpun sederhananya yang kita terima begitu saja tanpa pengkajian yang seksama. Falsafah menanyakan segala sesuatu dari kegiatan berpikir kita dari awal sampai akhir seperti dinyatakan oleh Socrates, bahwa tugas falsafah yang sebenarnya bukanlah menjawab pertanyaan kita, namun mempersoalkan jawaban yang diberikan[3]. Kemajuan manusia dalam berfalsafah bukan saja diukur dari jawaban yang diberikan namun juga dari pertanyaan yang diajukan[4].
Pertanyaan-pertanyaan pokok itu antara lain adalah “masalah tentang apa yang ingin kita ketahui (Ontologi), bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi), dan apa nilai kegunaannya bagi kita (aksiologi)”
· Ontologi ► ingin tahu
· Epistemologi ► metode keilmuan
· Aksiologi ►nilai-nilai
Bagaimana praksis kongkritnya? Seperti ini:….. Ontologinya → apa yang ingin kita ketahui tentang/dari Bung Karno serta ajaran-ajarannya (minat/keingintahuan). Epistemologinya → adalah bagaimana cara mendapatkan pengetauan tentang Bung Karno dan ajaran-ajarannya. Pola, cara, atau metodenya adalah membaca referensi atau buku-buku tentang Bung Karno. Baca sebanyak-banyaknya buku tentang pemimpin besar revolusi itu
Buku-buku yang minimal adik-adik baca untuk kepentingan tersebut, antara lain adalah:
1. Dibawah Bendera Revolusi
2. Mencapai Indonesia merdeka (dalam DBR)
3. Indonesia menggugat
4. Pidato 1 juni 1945/lahirnya Pancasila
5. Manipol USDEK
6. Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi (Tubapi)
7. To build world a new/pidato Bung Karno di PBB
8. Tahun Vivere Pericoloso/Tavip (Trisakti)
9. Etc….masih banyak
Idealnya buku-buku demikian sudah dibaca sebelum datang kepertemuan ini. Sudah paham isinya meski belum mendalam. Paling tidak garis besar, pointers-pointers, atau sentral pemikirannya sudah tahu/dipahami. Setelah itu, yakni setelah tahu/paham barulah kita “persoalkan, kita pertanyakan, kita ulas atau analisis kembali sedalam dalamnya” (radikal/menyeluruh)
Sebagai ilustrasi/contoh mari kita “ulas-analisis” tulisan pertama Bung Karno dalam Dibawah Bendera Revolusi, yakni “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”.
Dari judul saja sudah kita lihat ada tiga “konsep” besar, jika kita hubungkan dengan teori ilmiah, khususnya jika mau menulis karangan ilmiah (makalah/skripsi/thesis/disertasi), yakni;
1. Nasionalisme
2. Islamisme dan
3. Marxisme
Dalam suatu penulisan lazimnya ketiga konsep itu harus diartikan, didefinisikan, atau di deskripsikan secara jelas, yakni secara logis dan sistematis (runtut). Apa itu Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme harus diarti atau diuraikan secara akurat (valid and reliable) jelas dan terang. Ibarat hewan harus jelas jenis kelaminnya, “burungkah, harimaukah, ularkah, monyetkah, anjingkah”. Atau jika meminjam taksonomi/klasifikasi tumbuhan, harus jelas; “tomatkah, cabekah, atau bawangkah”.
Akan tetapi karena pembahasan kita yang hadir dalam KTD ini adalah pendekatan filsafat, maka ketiga konsep itu adalah apa yang dikenal dengan istilah, aliran, paham, mazhab, dan atau khususnya ideologi. Nasionalisme adalah ide. Begitu pula Islamisme dan Marxisme adalah ide atau gagasan.
Ide atau gagasan yang ditelorkan para pakar, pemikir, atau filsuf. Dalam pembahasan Nasionalisme, Bung Karno mengutif Ernest Renan, Otto Bauer. Tentang Islamisme mengutif Sheikh Mohammad Abdouh (rektor sekolah tinggi Al Azhar) dan Seyid Jamaluddin El Afgani. Tentang Marxisme mengutif Karl Marx.
Bila dihubungkan dengan terminologi filsafat, maka filsuf-filsuf tersebut dapat digolongkan kedalam;
· Filsafat Barat
· Filsafat Islam/agama
Atau secara singkat dapat disebut sebagai → filsafat idealism[5]
Lalu apa rupanya yang diurai Bung Karno dalam artikel tersebut? Supaya valid dan reliable (akurat) seharusnya harus dibaca keseluruhan/semua. Namun sebagaimana tradisi keilmuan yang berlaku, harus juga dapat diringkas secara singkat dan jelas.
Dalam khazanah penulisan sering disebut sebagai “abstract”, atau “review”. Meringkas sekian halaman hanya menjadi (kira-kira) ¼ halaman. Dari 23 halaman tulisan Bung Karno tersebut, Abstract/ringkasannya berbunyi (kira-kira) seperti ini:
Ringkasan-abstract
Di Indonesia/Hindia Belanda sejak lama telah terjadi kolonisasi (penjajahan). Terjadi karena kerakusan pihak Barat mencari “rejeki”. Penduduk Indonesia/Hindia Belanda yang sudah lama dalam cengkeraman kolonialisasi tersebut sebagai konsekwensinya, mulai/telah sadar bahwa mereka ingin lepas/merdeka. Akan tetapi, Keinginan demikian terhambat karena di Indonesia ada 3 aliran masyarakat yang konfliktual/tak sejalan, bahkan saling bertentangan, yakni antara kaum Nasionalis, kaum Islam, dan kaum Marxis. Supaya Indonesia dapat merdeka ketiga aliran ini harus bersatu.
Kembali seperti penguraian/pembahasan/deskripsi akan judul, dalam abstract/review ini pun, kita temukan beberapa konsep yang perlu penjelasan lebih seksama. Konsep-konsep tersebut adalah:
v Kolonisasi
v Rejeki
v 3 aliran (Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme)
v Persatuan
Konsep-konsep demikian dibaca secara seksama, …..lalu renungkan. Setelah itu (setelah direnungkan) sampailah kepada “nilai” (maksud, sasaran, atau tujuan) yang ingin diperjuangkan Bung Karno yakni nilai “persatuan”.
Dalam Bahasa filsafat “p e r s a t u a n” ini disebut dengan “Aksiologi”
P e r s a t u a n ► Aksiologi
Bagian II
→ Setelah membaca bab 1 DBR, selanjutnya akan kita bahas tulisan Bung Karno yang paling Panjang/luas (67 halaman) dalam DBR tersebut. Tulisan yang paling konseptual dan komprehensif, yang di tulis di Pengalengan pada tahun 1933, yang terdiri dari 10 bab dan 67 halaman, yang diberi judul;
Mencapai Indonesia Merdeka
Bab pertama; Sebab-sebab Indonesia tidak merdeka. Intisarinya adalah sebagai berikut:
· Membantah pendapat Prof Veth yang menyatakan Indonesia sejak zaman kuno hingga era Belanda tidak pernah merdeka. Selalu terjajah
· Menurut Bung Karno , dalam Zaman Hindu itu Indonesia merdeka….yang tidak merdeka adalah rakyat jelata/proletar, atau Marhaennya, karena diperintah raja-raja yang feodal[6].
· Pada zaman Belanda Indonesia terjajah penuh/tidak merdeka
· Penjajahan tersebut terjadi karena perkembangan tatanan sosial, ekonomi, politik atau kebudayaan di Eropa pada Abad 16/17 di Eropa, yakni tumbangnya sistim feodalisme yang digantikan oleh kaum, atau kelas pertukangan-perdagangan, kaum borjuis, yang menurut Marx adalah para kapitalis, yang butuh daerah luar untuk pengembangan usaha, perdagangan/kapitalnya.
· Perluasan kapitalisme inilah yang melahirkan penjajahan, kolonisasi, atau imperilaisme.
Bab kedua; Dari Imperialisme kuno ke Imperialisme Modern
· Imperialisme adalah anak kapitalisme
· Perbedaannya adalah dalam besaran dan luasannya.
· Imperalisme kuno berskala kecil,
· Imperialisme modern besar
Bab ketiga, Indonesia Tanah Yang Mulia
· Melaratnya kaum marhaen/rakyat jelata
· Penghasilannya paling kecil di dunia
· Penghitungnya Dr Huender
· Dihitung secara detil, jelas, dan kongkrit (betul-betul menyengsarakan)
Bab ke empat, Di Timur Matahari Mulai Bercahya; Bangun dan Berdiri Kawan Semua
· Akibat penjajahan bukan hanya fisik yang rusak, juga bathin
· Rakyat sungguh-sungguh mirip kambing
· Sebagai implikasinya mulai muncul kesadaran
Bab ke lima, Gunanya Kehadiran Partai
· Kaum Marhaen Ingin perbaikan nasib
· Massa aksi yang radikal
· Partai yang menggerakkannya, menuntun ke kemerdekaan
· Partai pelopor
Bab ke enam, Indonesia Merdeka Suatu Jembatan
· Menggugurkan stelsel kapitalisme-imperialisme[7]
· Harus marhaen yang mendirikan dan menguasainya
· Kesimpulannya 3, yakni, a) tujuan pergerakan marhaen haruslah masyarakat zonder kapitalisme dan imperialism, b) jembatan kearah masyarakat itu adalah kemerdekaan negeri Indonesia, c) di Indonesia merdeka itu, Marhaenlah yang menggemgam politieke macht (menggenggam kekuasaan-pemerintahan)
Bab ke tujuh; Sana Mau Kesana, Sini Mau Kesini
· Metodenya….bagaimana mencapai kesimpulan ad 6
· Pertentangan → tidak ada kompromi
· Dialektika[8]
· Antitese
· Non kooperasi
· Self help → Sinn Fein → kita sendiri
Bab ke delapan; Machtsvorming, Radikalisme, Massa Aksi
· Machtsvorming adalah vormingnya macht, pembikinan tenaga, pembikinn kuasa. Machtsvorming adalah jalan satu-satunya untuk memaksa…….tunduk kepada kita.
· Radikalisme adalah azas machtsvorming Marhaen; berjuang tidak setengah-setengahan tawar menawar tetapi terjun sampai ke akar-akarnya kesengitan anti tese, tidak setengah-setengahan hanya mencari untung ini hari sahaja tapi mau menjebol stelsel kapitalisme-imperialisme sampai ke akar-akarnya, tidak setengah-setengahan mau mengadakan perobahan-perobahan yang kecil-kecil sahaja tapi mau mendirikan masyarakat baru sama sekali di atas akar-akar yang baru, - berjuang habis-habisan tenaga membongkar pergaulan hidup sekarang ini sampai ke akar-akarnya untuk mendirikan pergaulan hidup baru di atas akar-kar yang baru
· Massa aksi
Bab ke Sembilan; Diseberangnya Jembatan Emas
Bab ini menceritakan keinginan Bung Karno untuk membuat sistim pemerintahan demokrasi yang betul-betul sesuai dengan keinginan kaum Marhaen, jika Indonesia merdeka. Bung Karno tidak setuju dengan demokrasi-demokrasian yang diadopsi dari Barat, yang tidak mewujudkan kehendak rakyat, melainkan hanya keinginan para pedagang, borjuasi, alias kapitalis. Lebih jelasnya akan di tulis/kutif dibawah ini:
…..Ya, Inggris kini mempunyai parlemen, Jerman kini mempunyai parlemen, negeri Belanda kini mempunyai parlemen, negeri Amerika, negeri Belgia, negeri Denemarken, negeri Zweden, negeri Suis, - semua negeri sopan kini mempunyai parlemen, semua negeri sopan kini bersistim demokrasi….
Tetapi…disemua negeri-negeri sopan itu kini hidup dan subur dan merajalela hantu kapitalisme! Di semua negeri-negeri sopan itu kini rakyat jelata tertindas hidupnya, nasib rakyat jelata , nasib kokoro, jumlahnya kaum penganggur yang kelaparan melebihi bilangan manusia. Di semua negeri-negeri sopan itu rakyat jelata tidak selamat, bahkan sengsara kelewat sengsara! Inikah hasil demokrasi yang mereka keramatkan itu? Inikah kerakyatan yang dinegeri Perancis mereka beli dengan ribuan mereka punya nyawa, dengan ribuan mereka punya bangkai, dengan ribuan pula kepalanya raja dan kaum ningrat?
Ach, kaum Borjuis! Kaum borjuis telah menipu mereka, memperkudakan mereka, mengabui mata mereka. Demokrasi yang mereka rebut dengan harga nyawa yang begitu mahal itu, demokrasi itu bukanlah demokrasi kerakyatan yang sejati, melainkan suatu demokrasi borjuis belaka, - suatu burgerlijke demokrasi yang untuk kaum borjuis dan menguntungkan kaum borjuis belaka. Ach, parlemen! Tiap-tiap kaum proletaar kini namanya bisa ikut memilih wakil dan ikut dipilih jadi wakil ke dalam parlemen itu, tiap-tiap kaum proletary kini namya bisa mengusir minister-minister, menjatuhkan minister-minister jatuh terpelanting dari kursinya. Tetapi pada saat yang ia Namanya bias menjadi raja di dalam parlemen itu pada saat itu juga ia bias di usir dari pekerjaan dimana ia bekerja menjadi buruh dengan upah kokoro, di usir dilemparkan di atas jalan-rajanya pengangguran, yang basah karena air mata bini dan anak-anak yang kelaparan! Pada saat yang ia Namanya bias menjadi raja di dalam parlemen, pada saat itu juga ia tak berkuasa sedikitpun jua menuntut upah-perkulian yang agak pantas, tak berkuasa sedikitpun menghalangi, yang stelsel kapitalisme menelan segenap ia punya badan dan segenap ia punya nyawa.
Bahwasanya, kaum rakyat jelata yang tadinya dipakai tenaganya oleh kaum borjuis untuk merebut demokrasi, tetapi yang kemudian ternyata kecele telah mendatangkan demokrasinya kapitalisme, kaum rakyat jelata itu kini pantas berbalik menolak demokrasi palsu itu dengan perkataan-perkataan Jean Jaures, pemimpin kaum buruh Perancis, yang berbunyi ”Kamu, kaum borjuis, kamu mendirikan republik, dn itu adalah kehormatan yang besar. Kamu membikin republik teguh dan kuat, tak boleh dirubah sedikit jua, tetapi justru karena itu kamu telah mengadakan pertentangan antara susunan politik dn susunan ekonomi. Karena algemeen kiesrecht, karena pemilihn umum, kamu telah membikin semua penduduk bisa bersidang mengadakan rapat yang seolah-olah rapat dari pada raja-raja. Mereka punya kemauan adalah sumbernya tiap wet, tiap hukum, tiap pemerintahan; mereka melepas mandataris, mereka melepas wetgever dan minister. Tetapi pada saat yang si buruh menjadi tuan di dalam urusan politik, pada saat itu juga ia adalah budak belian di atas lapangan ekonomi. Pada saat yang ia menjatuhkan minster-minister makai a sendiri bias di usir dari pekerjaan zonder ketentuan sedikit jua pun apa yang esok harinya akan ia makan. Tenaga kerjanya hanyalah suatu barang belian, yang bias dibeli atau ditampik semau maunya kaum majikan. Ia bisa di usir dari bingkil, karena ia tak mempunyai hak ikut menentukan aturan-aturan bingkil, yang saban hari, zonder dia tapi buat menindas dia, ditetapkan oleh kaum majikan menurut semau-maunya sendiri.
Sekali lagi: inikah demokrasi yang orang keramatkan itu? Bolehkah ini demokrasi menjadi impian kita? Tidak, dan sekali lagi tidak! Ini tidak boleh menjadi demokrasi yang harus kita tiru, tidak boleh menjadi demokrasi yang dengan aksara api harus dituliskan di atas bendera-bendera partai-pelopornya massa aksi Indonesia. Sebab, demokrasi yang begitu hanyalah demokrasi parlemen saja, demokrasi politik saja. Demokrasi ekonomi, keRakyatan ekonomi, kesama rasa-rataan ekonomi tidak ada, tidak ada bau-baunya sedikit juga.
Ya, demokrasi politik itupun hanya bau-baunya saja! Bukan? Di negeri-negeri modern itu benar ada parlemen, benar ada tempat perwakilan rakyat, benar rakyat Namanya boleh ikut memerintah, tetapi ach, kaum borjuis lebih kaya daripada rakyat jelata, mereka dengan harta kekayaannya, dengan surat-surat kabarnya, dengan buku-bukunya, dengan madrasah-madrasahnya, dengan propaganda-propagandanya, dengan bioskop-bioskopnya, dengan segala alat-alat kekuasaannya bisa mempengaruhi semua akal fikiran kaum pemilih, mempengaruhi semua jalannya politik.
Kongkritnya demokrasi yang diinginkan Bung Karno adalah d e m o k r a s i s o s i a l – socio-demokrasi. Tidak demokrasi yang diimpor-impor dari Barat/Amerika, tapi demokrasi khas Indonesia.
Bab ke sepuluh; Mencapai Indonesia Merdeka
Bab ini adalah bab terakhir dari tulisan Bung Karno yang 67 halaman itu. Ia menyemangati, membakar semangat para Marhaenis untuk berjuang secara nyata. Bagaimana persuasi, propaganda, agitasi, dan motivasinya akan ditulis secara lengkap dibawah ini:
….Sekarang, kampiun-kampiun kemerdekaan, majulah kemuka, susunlah pergerakanmu menurut garis-garis yang saya guratkan di dalam risalah ini. Hebatkanlah partainya Marhaen, agar supaya menjadi partai pelopornya massa. Hidupkanlah semua semangat yang ada di dalam dadamu, hebatkanlah semua kecakapan mengorganisasi yang ada di dalam tubuhmu, hebatkanlah semua keberanian banteng yang ada di dalam nyawamu, tumpahkanlah semangat dan kecakapan mengorganisasi dan keberanian banteng itu ke dalam tubuhnya partai, tumpahkanlah kelaki-lakian itu ke dalam badannya massa, agar supaya massa seolah-olah ketitisan kembali oleh segala kelaki-lakiannya dari zaman sediakala, ketitisan pula oleh kelaki-lakian baru daripada modern massa aksi. Kamu kampiun-kampiunnya pena, gerakkanlah penamu setajam ujung Jemparingnya Rama, kamu kampiun-kampiun organisator, susunlah bantengnya harapan rakyat menjadi banteng yang menahan gempa, kamu kampiun-kampiunnya mimbar, dengungkanlah suara bantengmu hingga menggetarkan udara. Tumpahkanlah segenap jiwa ragamu, ke dalam partainya massa, tumpahkanlah segenap jasmani dan rohanimu ke dalam perjuangannya massa, tumpahkanlah segenap nyawamu menjadi api-kesadaran dan api kemauan massa. ….Hiduplah massa aksi, untuk mencapai Indonesia merdeka
→ Singkatnya, bergeraklah, berjuanglah…sekarang juga
Aksiologi → Bergerak dan berjuang
Epistemologi → bab 1 sampai bab 9
Untuk memahami, apakah epistemologi Bung Karno demikian (telah) sesuai atau tidak kira-kira dengan suasana kekinian, akan kita hubungkan dengan pendapat (epistemologi) Yudi Latif, mantan ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Sosok yang dianggap tepat memberi penjelasan/deskripsi, sebab beliau (Yudi Latif) adalah figur yang legitimasinya mendalami Pancasila, (ajaran Bung Karno), telah diakui banyak kalangan.
Lebih jelasnya tulisan yang sangat filosofis ini akan dilampirkan di bawah ini.
Lampiran
Meniti Jembatan Rawan
Oleh: Yudi Latif
Negara ini tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Ada gejolak kecemasan yang merambat di bawah selubung pencitraan. Ke mana saja kita melangkah, sulit menemukan tumpuan yang kukuh. Ekonomi melemas, impor menderas, kesenjangan meluas, demokrasi oligarchis, kepemimpinan mediokritas, birokrasi nir integritas, Pendidikan tidak berkualitas, kohesi sosial meretas, agama mengeras, rasa saling percaya meranggas, dan kebanggan nasional terjun bebas.
Ada banyak inkonsistensi antara wacana (voices) dan pilihan (choices). Yang dikeluhkan deficit neraca perdagangan, pilihannya malah menjadikan hilir sebagai hulu dan hulu sebagai hilir, lebih mengangungkan inovasi perangkat hilir penjualan (digital marketing, platform) ketimbang pembenahan hulu sektor produktif. Yang didengungkan penyehatan demokrasi, pilihannya pengukuhan oligarki dalam Lembaga perwakilan dan kabinet. Yang diprihatinkan pemudaran nilai-nilai kewargaan dan karakter bangsa, pilihannya malah rezim pendidikan pragmatis. Yang didambakan pengembangan riset dan inovasi, pilihannya malah pemusatan riset pada negara tanpa mendorong inisiatif riset-inovasi dunia usaha dalam kerangka transformasi menuju knowledge economy.
Yang dikawatirkan adalah mengerasnya radikalisme agama, pilihannya malah politisasi kampanye anti-radikalisme agama dengan memproduksi stigma, yang dapat menguatkan identitas kelompok dan menjadikannya sebagai simbol perlawanan politik. Yang diinginkan kohesi sosial, pilihannya malah framing wacana yang menciptakan pembelahan sosial. Yang diimpikan kemajuan bangsa, pilihannya malah cenderung merayakan kedangkalan, menghindari kedalaman, kurang memberikan insentif bagi para peneliti, penemu, pendidik, dan penulis yang menekuni kedalaman di jalan sunyi.
Di berbagai kesempatan, para pejabat negara menyerukan revitalisasi Pancasila sebagai panasea atas berbagai kemelut kebangsaan. Namun, imajinasi terjauh dari pemasyarakatan Pancasila masih semacam penataran. Pada hal, apabila Pancasila dikehendaki efektifitasnya, ia harus di implementasikan tidak hanya dalam kerangka tata nilai, tetapi juga dalam tata kelola negara dan tata sejahtera.
Pancasila itu dimulai dari sila yang abstrak dan berakhir dengan yang konkrit. Makin konkrit, makin sulit pembumiannya. Masalahnya, bilamana kita gagal mewujudkan yang konkrit, banyak orang akan menguatkan pegangannya ke langit abstrak, sebagai mekanisme pertahanan diri. Oleh karena itu, cara yang paling tepat merevitalisasi Pancasila adalah dengan melakukan semacam rekayasa terbalik. Kita harus menjadikan urusan keadilan sosial di posisi terdepan sebagai lokomotif untuk menarik rangkaian gerbong aktualisasi sila-sila lainnya.
Sila Keadilan Sosial merupakan perwujudan yang paling kongkrit dari prinsip-prinsip Pancasila. Prinsip keadilan adalah inti dari moral ketuhanan, landasan pokok perikemanusiaan, simpul persatuan, matra kedaulatan rakyat. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial harus mencerminkan imperatif etis ke empat sila lainnya. Di sisi lain, otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa di takar dari perwujudan keadilan sosial dalam peri kehidupan kebangsaan. Kesungguhan negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan persatuan bisa dinilai dari usaha nyatanya dalam mewujudkan keadilan sosial.
Betapapun kuatnya jahitan persatuan nasional, apabila ketidak adilan tak lagi tertahankan perlawanan dan kecemburuan sosial akan meruyak dalam ragam ekspresi kekerasan dengan menggunakan baju identitas sebagai legitimasi simboliknya. Fakta-fakta empiris menunjukkan, daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dan kesenjangan sosial yang lebar merupakan ladang persemaian subur bibit-bibit kekerasan. Meluasnya rasa ketidakadilan juga bukan wahana yang kondusif bagi pengapresiasian gagasan inklusi sosial.
Tendensi perekonomian yang melandai dibarengi kesenjangan sosial yang lebar menyimpan bom waktu bagi bentrokan sosial. Rachel M Mc Cleary & Robert J Barro dalam The Wealth of Religions (2019) mengingatkan bahwa peningkatan tingkat pendidikan dalam kemunduran perekonomian bisa melahirkan sumber daya yang tak termanfaatkan (under-Utilized human capital). Orang terdidik, dengan ekspektasi mobilitas vertikal, mendapat peluang usaha dan kerja yang menyempit, bisa berpaling pada kelompok keagamaan militant sebagai jangkar keyakinan, identitas, dan jaminan sosial.
Lewat symptomatic reading, penguatan radikalisme agama harus dipandang sebagai pertanda kelemahan tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera dalam kehidupan bernegara. Pemerintahan yang bertanggung jawab akan menjadikan hal itu sebagai sarana koreksi diri ketimbang sekadar menyalahkan atau memperhadapkan sesama warganya.
Dalam meniti jembatan rawan ini, tantangan terberatnya ialah memulihkan rasa saling percaya. Rasa saling percaya bisa dirajut lewat penguatan inklusi sosial berbasis keadilan sosial. Negara harus hadir memenuhi amanat pokok pikiran pertama Pembukaan UUD 1945; Negara- begitu bunyinya-yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sumber: Kompas 14 November 2019
Diskursus: Perbandingan, Pertanyaan
Setelah membaca tulisan Yudi Latif demikian lebih seksama, marilah kita dalami substansinya lebih jauh (lebih filosofis). Untuk ini kita analisis lebih dulu alinea pertama (terjebak pencitraan) yang berbunyi sebagai berikut :
Ø Ekonomi melemas[9]
Ø Kesenjangan meluas
Ø Demokrasi oligarchis
Ø Kepemimpinan mediokratis
Ø Birokrasi nir integritas
Ø Pendidikan tidak berkualitas
Ø Kohesi sosial meretas
Ø Agama mengeras
Ø Rasa percaya meranggas
Ø Kebanggaan nasional terjun bebas
Setelah itu alinea kedua (inkonsistensi) yang berbunyi sebagai berikut:
§ Yang dikeluhkan defisit neraca perdagangan, pilihannya malah menjadikan hilir sebagai hulu dan hulu sebagai hilir[10]
§ Lebih mengagungkan inovasi perangkat hilir penjualan (digital marketing, platform) ketimbang pembenahan hulu sektor produktif[11]
§ Yang didengungkan penyehatan demokrasi, pilihannya pengukuhan oligarkhi dalam lembaga perwakilan dan kabinet
§ Yang diprihatinkan pemudaran nilai-nilai kewargaan dan karakter bangsa, pilihannya malah rezim pendidikan pragmatis
§ Yang didambakan pengembangan riset dan inovasi, pilihannya malah pemusatan riset pada negara tanpa mendorong inisiatif riset-inovasi dunia usaha dalam kerangka transformasi menuju knowledge economy
§ Yang dikawatirkan adalah mengerasnya radikalisme agama, pilihannya malah politisasi kampanye anti-radikalisme agama dengan memproduksi stigma, yang dapat menguatkan identitas kelompok dan menjadikannya sebagai simbol perlawanan politik
§ Yang diinginkan kohesi sosial, pilihannya malah framing wacana yang menciptakan pembelahan sosial.
§ Yang diimpikan kemajuan bangsa, pilihannya malah cenderung merayakan kedangkalan, menghindari kedalaman, kurang memberikan insentif bagi para peneliti, penemu, pendidik, dan penulis yang menekuni kedalaman di jalan sunyi.
Pertanyaan kemudian; … → dimana letak dan tempat “pemikiran, paradigma, atau konsep” Bung Karno dalam konteks demikian? Adakah kedekatannya, atau malah (ibarat) antara bumi dan langit, alias tak ada hubungannya sama sekali?
Mari sama-sama kita telaah/jawab. Kita telaah secara mendalam, radikal, menyeluruh, atau filosofis. Merdeka!
R E F E R E N S I
Budiardjo Miriam, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta
Hartati, Sri Enny, 26 November 2019, Memitigasi Ancaman Resesi, Kompas, Jakarta
Latif, Yudi, 2019, Meniti Jembatan Rawan, Kompas, Jakarta
Soekarno, 1963, Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta
Suryasumantri, Yuyun, 1999, Ilmu Dalam Persfektif,……Jakarta.
[1] Disini tekanannya. Disini nilai filsafatnya (aksiologinya)
[2] Mahfud MD menengarai mahasiswa saat ini hanya mau cepat lulus dan IP tinggi.
[3] Ilustrasinya adalah peledakan bom di Mapolresta Medan. Pertanyaannya:…mengapa terjadi peledakan bom di Mapolresta Medan. Setelah diusut sana-sini ternyata “jawabannya” adalah karena pembom tersebut telah terpapar aliran “radikalisme”. Seorang yang berfikir filsafati tidak akan puas dengan jawaban seperti itu. Ia akan mempertanyakan lebih seksama apa itu radikalisme, mengapa bisa terjadi, siapa yang mengajarkan aliran tersebut, dimana diajarkan, adakah hubungannya dengan luar negeri, sudah banyakkah pengikutnya d Indonesia?, bagaimana penanganan yang dilakukan pemerintah terhadapnya?, adakah sudah masuk juga ke dunia kampus? Jangan-jangan di tetangga kita pun sudah banyak pengikutnya? Dan sekian pertanyaan yang tak habis-habisnya…….begitulah berpikir filsafat.
[4] Membuat pertanyaan yang bagus adalah tugas utama seorang calon-calon terpelajar/intelektual/inteligensia/cendekiawan, seperti adik-adik yang hadir dalam pertemuan ini. Sering mahasiswa yang akan menyusun karya tulis atau berbicara dengan pihak lain tidak/kurang logis menyusun atau membicarakan pertanyaannya. Kongkritnya tidak komunikatif.
[5] Filsafat yang berpaham bahwa pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide. Intinya adalah penekanan pada realitas ide, gagasan, pemikiran sebagai suatu penekanan pada objek dan daya material. Kebalikannya adalah filsafat pragmatism, yakni filsafat yang berpaham bahwa yang benar dengan melihat kepada akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dan pengetahuan yang penting, melainkan kegunaan pengetahuan tersebut. Untuk melengkapi kedua jenis filsafat ini, sebaiknya dipelajari juga filsafat-filsafat yang lain, seperti filsafat Realisme, Materialisme, Eksistensialisme, Progresivisme, Perenialisme, dan Esensialisme (Destry Baiziah, https//id.scribd.com)
[6] Raja-raja feodal yang dimaksud Bung Karno adalah sistim pemerintahan atau kekuasaan oleh raja yang menjalankan pemerintahan atau kekuasaan secara otoriter. Sejak era kuno/era Hindu hingga era penjajahan Belanda, kaum Marhaen itu tak pernah merdeka….Marhaen Indonesia tak pernah merdeka. Marhaen Indonesia sebagai rakyat Marhaen di seluruh dunia, sampai kini belum pernah merdeka! Marhaen Indonesia itu di zaman Hindu, tatkala negeri Indonesia bernama merdeka dari Hindustan, adalah diperintah raja-rajanya secara feodalisme: Mereka hanyalah menjadi perkakas saja dari raja-raja itu dengan segala bala-keningratannya, mereka tidak mempunya hak menentukan sendiri putih-hitam nasibnya, mereka senantiasa di tindas oleh kaum atasan dari pada masyarakat Indonesia itu, sebagaimana kaum marhaen dimana-mana negeri di muka bumi di zaman feodalisme juga menderita nasib tertindas dan terkungkung (DBR, 1963:259)
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, feodalisme diartikan sebagai berikut, (a) sistim sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan, (b) sistim sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat, dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja, (c) sistim sosial di Eropa pada abad pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah
[7] Menurut Bung Karno, kapitalisme adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme timbul dari ini cara produksi yang oleh karenanya, menjadi sebabnya nilai lebih tidak jatuh di dalam tangan kaum buruh, melainkan jatuh di dalam tangan kaum majikan. Kapitalisme oleh karenanya pula, menyebabkan akumulasi kapital, konsentrasi kapital, sentralisasi kapital dan industri reserve-armee. Kapitalisme mempunyai arah kepada verelendung (memelaratkan kaum buruh) (Soekarno, 1989, Indonesia Menggugat, hal 13-14)
Sedangkan Imperialisme (menurut Bung Karno) adalah suatu nafsu, suatu sistem menguasai, atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri, suatu sistem merajai atau mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa lain (ibid hal 14)
[8] Didasarkan kepada pemikirannya Hegel,seorang guru besar filsafat di Universitas Berlin, yang bermazhab idealism. Hegel menganalisa bagaimana panca indera manusia yang terbatas kemampunnya berusaha untuk menangkap kebenaran. Beliau berpendapat bahwa apa yang dianggap oleh manusia sebagai kebenaran, sebenarnya hanya merupakan sebagian saja dari kebenaran itu. Kebenaran dalam keseluruhannya hanya dapat ditangkap oleh pikiran manusia melalui proses dialektik (proses dari tesis, melalui antithesis menuju ke sintesis, kemudian mulai lagi dari permulaan dan begitu seterusnya) sampai kebenaran yang sempurna tertangkap.
Dalam menjelaskan proses dialektik, Hegel mengatakan bahwa proses ini dilandasi oleh dua gagasan; pertama, gagasan bahwa semua berkembang dan terus menerus berubah; kedua, gagasan bahwa semua mempunyai hubungan satu sama lain. Misalnya saja, suatu konsep A yang dianggap sebagai kebenaran pada hakikatnya mengandung unsur-unsur yang benar, akan tetapi juga unsur-unsur yang tak benar. Agar supaya pikiran manusia dapat menangkap konsep yang lebih dekat kepada kebenaran yang sempurna, maka konsep A harus dihadapkan dengan konsep B. Konsep B merupakan kebalikan dari konsep A sekalipun telah lahir dari konsep A sendiri. Dari hasil konfrontasi antara konsep A dan konsep B timbullah konsep C yang dinamakan sintesis dan merupakan hasil dari pergumulan antara tesis (konsep A) dan antithesis (konsep B). Proses tesis, antithesis, dan sintesis dinamakan gerak yang berdasarkan hukum dialektik (Miriam Budiardjo, 2013:141)
[9] Artikel Enny Sri Hartati 26 November di harian Kompas dapat membantu betapa perekonomian kita semakin terpuruk. Kita kutif sebagian:…tidak heran jika selama Januari-Oktober 2019 defisit neraca perdagangan Indonesia menembus angka 1,787 milyat dollar AS. Ironisnya, deficit perdagangan tak hanya disebabkan oleh penurunan ekspor (minus 7,8 persen), tetapi juga diikuti penurunan impor yang lebih besar (minus 9,94 persen). Parahnya, impor bahan baku dan penolong turun hingga 11,19 persen secara tahunan serta impor barang modal turun 4,94 persen. Utamanya bahan kimia organic yang anjlok 15,52 persen dan serealia yang turun 14,18 persen. Dua komoditas ini merupakan bahan baku industry makanan dan minuman yang porsinya hamper 30 persen dari industry non migas
Jika pada triwulan III-2019 industri pengolahan tumbuh 4,15 persen, dengan turunnya impor bahan baku, ke depan industri niscaya makin anjlok. Terbukti, Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Oktober 2019 turun lagi ke level 47,7. PMI mencerminkan optimism pelaku sektor bisnis terhadap prospek perekonomian ke depan. Angka PMI di atas 50 berarti manufaktur tengah ekspansi atau tumbuh, tetapi jika di bawah 50, berarti mengalami kontraksi. Sejak Juli 2019, PMI Indonesia ada di bawah 50, berturut-turut Juli (49,6), Agustus (49), dan September (49,1)
[10] Hubungkan dengan foot notes no 7
[11] Ibid dengan foot notes no 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar