BK KP II, KOMUNIKASI PEMERINTAHAN
KULIAH II, 24 MARET 2021
JURUSAN FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Cat: jika ada yang kurang dipahami ditulis di WA
∏
PARADIGMA KOMUNIKASI PEMERINTAHAN
Mata kuliah ini adalah mata kuliah yang diberikan dalam jurusan Ilmu komunikasi. Artinya, bagaimana ilmu komunikasi melihat pemerintahan, itulah sentral bahasannya. Oleh karena itu pendekatan atau perspektifnya pun adalah “konsep-teori komunikasi”.
Untuk kepentingan demikian, akan diuraikan apa itu “komunikasi”, apa itu “pemerintahan”, apa itu “komunikasi pemerintahan”,dan apa itu “paradigma komunikasi pemerintahan”.
· Komunikasi
· Pemerintahan
· Komunikasi pemerintahan, dan
· Paradigma komunikasi pemerintahan
Namun sebelum sampai pada penguraian konsep-konsep tersebut, akan diuraikan, latar belakang mengapa mata kuliah ini ditampilkan. Dalih utamanya adalah telah terjadi hubungan atau interaksi yang tidak serasi antara pemerintah dan masyarakat, antara sesama lembaga-lembaga pemerintah, dan antara pemerintah dan lembaga-lembaga lain.
Pemerintah terkesan tidak mengkomunikasikan fungsi, tugas, dan eksistensinya secara benar, kurang terbuka/tidak transparan. Sangat banyak unsur-unsur propagandis, retorika, dan lain-lain faktor yang tidak komunikatif.
v Miss komunikasi
v Salah komunikasi
v Inkonsistensi
v Dikotomi
v Dan lain-lain faktor yang tidak komunikatif
Atau seperti dikatakan Dr Dra, Erliana Hasan MSi (2005) dalam menanggapi komunikasi pemerintah dalam era reformasi, sebagaimana era-era sebelumnya, komunikasi pemerintah tetap kurang/tidak komunikatif. Pendapat pemerintah dipersepsi atau dipikirakan oleh komunikan, yakni masyarakat tidak sama dengan apa yang dikatakan oleh pemerintah (komunikator) Lebih jelasnya ia mengatakan :
“Berbicara kondisi komunikasi pemerintahan di era reformasi dewasa ini dengan segala implikasinya, terkesan tidak menerpa kepada substansi tujuan keberadaan pemerintahan secara umum karena telah banyak terkontaminasi dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh , ketika berkembang issu bahwa tidak akan ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tidak sampai satu bulan setelah pernyataan tersebut diumumkan, ternyata terjadi kenaikan harga di pasaran. Demikian juga pernyataan seperti “tidak dinaikkan tetapi disesuaikan”. Bukan dicopot tapi dimutasikan”
Analog (begitu pula) pernyataan Yudi Latif (Kompas, 14 November 2019), yang menengarai betapa pemerintah kerap kali inkonsisten dalam kebijakannya….Ada banyak inkonsistensi antara wacana (voices) , menjadikan hilir sebagai hulu dan hulu sebagai hilir, lebih mengangungkan inovasi perangkat hilir penjualan (digital marketing, platform) ketimbang pembenahan hulu sektor produktif. Yang didengungkan penyehatan demokrasi, pilihannya pengukuhan oligarkhi dalam lembaga perwakilan dan kabinet. Yang diprihatinkan pemudaran nilai-nilai kewargaan dan karakter bangsa, pilihannya malah rezim pendidikan pragmatis. Yang didambakan pengembangan riset dan inovasi, pilihannya malah pemusatan riset pada negara tanpa mendorong inisiatif riset-inovasi dunia usaha dalam kerangka transformasi menuju knowledge economy.
Yang dikawatirkan adalah mengerasnya radikalisme agama, pilihannya malah politisasi kampanye anti-radikalisme agama dengan memproduksi stigma, yang dapat menguatkan identitas kelompok dan menjadikannya sebagi simbol perlawanan politik. Yang diinginkan kohesi sosial, pilihannya malah framing wacana yang menciptakan pembelahan sosial. Yang diimpikan kemajuan bangsa, pilihannya malah cenderung merayakan kedangkalan, menghindari kedalaman, kurang memberikan insentif bagi para peneliti, penemu, pendidik, dan penulis yang menekuni kedalaman di jalan sunyi.
Diberbagai kesempatan, para pejabat negara menyerukan revitalisasi Pancasila sebagai panasea atas berbagai kemelut kebangsaan. Namun imajinasi terjauh dari pemasyarakatan Pancasila masih sebatas penataran. Pada hal apabila Pancasila dikehendaki efektifitasnya, ia harus diimplementasikan – tidak hanya dalam kerangka tata nilai, tetapi juga dalam tata kelola negara dan tata sejahtera.
Sinyalemen Yudi Latif demikian masih dapat dihubungkan dengan beberapa kasus strategis, seperti UU KPK, UU Cipta Kerja (Omnibus Law), yang pembahasannya, nyaris tidak dikomunikasikan dengan masyarakat. Dalam UU KPK, yang kontroversial, dimana banyak kalangan menilai bahwa UU itu telah melemahkan KPK, yang dijanjikan Presiden akan dibuat Perppu – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, nyatanya hingga hari ini tidak ditepati.
Yang sangat miris adalah janji pemerintah tak akan impor beras, nyatanya masih tetap dilaksanakan. Untuklebih jelasnya bacalah head line Kompas, 23 Maret 2021, dibawah ini.
PENOLAKAN IMPOR BERAS MELUAS
Selain kalangan petani, sejumlah kepala daerah, organisasi kemasyarakatan, dan akademisi juga menolak rencana pemerintah mengimpor 1 juta ton beras. Mereka minta pemerintah memperhatikan nasib petani di dalam negeri.
Polemic terkait rencana pemerintah mengimpor 1 juta ton beras pada tahun ini berlanjut. Setelah petani, kelompok tani, dan asosiasi petani, sejumlah kepala daerah juga menyuarakan penolakannya. Pemerinth dimina mempriorotaskan pengadaan beras produksi dalam negeri dan mendahulukan kepentingan petani yang kini justru terpuruk karena harga jual gabah terus turun.
Harga gabah di bberapa daerah, seperti Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, turun hingga dibawah harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 4.200 perkilogram gabah kering panen (GKP). Selain karena meningkatnya suplai seiring meluasnya area panen, cenderung turunnya harga gabah juga disebabkan oleh mutu gabah yang turun akibat serangan hama dan guyuran hujan.
Dinas Pertanian Jawa Timur mencatat, luas panen sampai April 2021 mencapai 974.189 hektar (ha) dengan perkiraan produksi beras 3.053.004 ton. Dengan produksi sebesar itu, surplus beras Jawa Timur mencapai 902.401 ton hingga Mei 2021. Pada Juni 2021, ada tambahan panen dari 295.118 ha sawah dengan perkiraan produksi 1 juta ton setara beras sehingga total surplus beras di Jawa Timur pada semester I – 2021 mencapai 1,91 juta ton.
Jadi dengan surplus tersebut, Jawa Timur tidak perlu suplai beras impor. Stok melimpah, bahkan satuan tugas pangan sedang berkeliling menyerap gabah petani di musim panen ini, ujar Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Menurut Khofifah, kondisi surplus tahun ini sama dengan yang terjadi tahun lalu. Saat itu, Jawa Timur mengalami surplus 1,9 juta ton beras sehingga ketersediaan pangan masyarakat terjamin. Dengan stok yang besar itu, harga beras di tingkat konsumen atau masyarakat juga terjaga. Tidak terjadi gejolak harga di pasar yang significan.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil mengusulkan kepada pemerintah pusat agar menunda impor beras. Pemerintah dinilai lebih baik membeli beras dari petani. Impor beras dikawatirkan membuat harga beras local semakin turun sehingga mengancam kesejahteraan petani.
Sumatra Selatan juga dinilai belum membutuhkan beras impor karena sedang surplus hingga 2.07 juta ton. Pemerintah provinsi Sumatera Selatan kini tengah focus memperbaiki harga gabah yang anjlok. Hal tersebut tekah disampaikan Gubernur Sumatera Selatan, Herman Deru kepada Menteri Pertanian SYahrul Yasin Limpo.
Menurut wakil gubernur Sumatera Selatan, H Mawardi Yahya, harga gabah turun mencapai Rp 3.500 per kg sehingga impor justru menjadi ironi. Apalagi Sumatera Selatan tengah berupaya menjadi lumbung pangan dan mengejar swasembada pangan.
Penolakan terkait rencana impor beras juga disuarakan Pengurus Besar Nhdlatul Ulama (PBNU). Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, sebagaimana dikutif di laman nu.or.id, mengatakan “Tolon nasib petani harus difahulukan, nasib para petani sebagai tulang punggung ekonomi bangs aini harus diprioritaskan. Alih-alih untuk mendukung (impor) malah akan menghancurkan nasib mereka”.
Secara terpisah, Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) Jawa Timur Gufron Ahmad Yani mengatakan, kebijakan impor beras telah menyusahkan petani yang, telah berjuang keras menjaga produksinya di tengah Pandemi Covid-19 yang tak kunjung teratasi. Tidak ada hal yang paling tepat dilakukan pemerintah selain membatalkan impor beras, ujarnya.
Cat: Tulisan ini belum selesai, masih Panjang,namun mahasiswa dianggap sudah memahaminya. Selanjutnya akan diteruskan ke miss komunikasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam hal penanganan Covid-19, yang saya tulis, setahun lalu.
Lampiran
HUBUNGAN PUSAT-DAERAH DI ERA CORONA
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 28 Maret 2020
Anis Baswedan yang mengambil kebijakan cepat tanggap darurat penanggulangan corona di DKI Jaya dikecam Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian sebagai kebijakan yang kebablasan, sebab kewenangan itu adalah milik pusat, bukan derah
Bila ingin mengetahui, memahami, atau membuktikan, apakah pemerintah tanggap, handal, atau responsif terhadap persoalan masyarakatnya adalah keadaan saat ini. Yakni melesatnya suasana kekelaman, dimana serangan penyakit/virus mematikan yang belum ditemukan obatnya, sedang menerjang dengan membabi buta.
Nyaris hampir tiada ada tempat, negara, atau bangsa, yang luput dari terjangannya. Ia sungguh-sungguh mengerikan karena sangat ganas. Ibarat setan, maut, atau tangan-tangan tak terlihat (invisible hand), virus ini setiap saat siap menerkam mangsanya. Bagaimana otoritas, yakni pemerintah mengendalikannya? Responsif, biasa-biasa saja, atau lambankah? Secara umum dapat dikatakan kurang responsif (masih nanggung kata Jusuf Kalla dalam cara mata Najwa di Trans TV/Haris Azhar dari KMS di ILC). Terkesan belum siap, alias gagap.
Kegagapan pertama dapat dilihat, ketika pemerintah (pusat) hingga beberapa waktu mengatakan dengan sangat percaya diri bahwa tidak ada kasus corona, sementara beberapa pakar, negara atau lembaga kredibel lain (seperti Harvard) menengarai bahwa corona sudah sampai di Indonesia.
Kegagapan kedua, penyampaian informasi, pesan, atau berita yang kurang akurat, simpang siur, dan kurang komunikatif dari elit-elit pemerintah. Suasana yang sempat meletupkan kegamangan ditengah-tengah publik, sebelum/akhirnya Ahmad Yurianto ditunjuk sebagai satu-satunya jubir pemerintah terkait virus maut tersebut
Kegagapan ketiga adalah penentuan opsi yang kurang tepat. Pemerintah kelihatannya tidak berpikir panjang ketika memutuskan suatu opsi sebagai eksekusi (keputusan), seperti pengkarantinaan WNI asal Wuhan di pulau Natuna, yang mendapat protes keras dari masyarakat setempat. Penduduk Natuna keberatan daerahnya dijadikan lokasi isolasi, karena takut terjangkit.
Ekses Otonomi Daerah
Kegagapan-kegagapan demikian semakin membuncah, dramatis, dan tereskalasi karena kaki-kaki pemerintah pusat di akar rumput, yakni pemerintah-pemerintah daerah yang seharusnya segera mengimplementasikannya, nyaris tak berbuat sebagaimana mestinya.
Mereka (pemda-pemda tersebut) meski sudah diberi otonomi sejak tahun 2001, yang seyogianya harus lebih pro aktif (kecuali beberapa Gubernur, Walikota, seperti Anis Baswedan, Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, Risma yang cukup responsif) kenyataannya masih jauh dari harapan (praktis tanpa terobosan sama sekali). Meminjam pendapat Mahfud MD, pemda-pemda masih menganggap enteng masalah yang sudah serius.
Kecenderungannya (KDH-KDH tersebut) masih wait and see, meski pandemik sudah di depan hidung. Mengapa terjadi seperti itu, yakni hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak serasi, selaras, dan seimbang? Apa yang salah (something wrong)? Apakah mereka tidak punya kapasitas sebagai pemimpin atau kepala daerah? Atau ada struktur/kultur laten yang menghambat?
Jawabannya tidak sederhana, tidak hitam-putih, dan atau tidak gamblang/tidak ringkas. Tergantung dari sudut atau persfektif mana mendekatinya. Menurut Siti Zuhro (2018), pakar otonomi daerah dari LIPI, ketidak harmonisan itu terjadi karena lima hal, yakni; pertama, kurangnya konsistensi pemerintah dalam bidang hukum atau pembuatan peraturan, dan sulitnya melakukan harmonisasi antara UU Pemerintahan Daerah dengan UU terkait.
Kedua, persepsi sepihak daerah mengenai kewenangannya yang acapkali lebih mementingkan daerah sendiri tanpa mempertimbangkan secara sungguh-sungguh manfaatnya dalam konteks lebih luas. Masalah yang sesungguhnya tidak hanya monopoli daerah, melainkan dan terutama adalah perilaku pusat, yang selalu menonjolkan ego sehingga menghambat daerah berkembang dan menyempitkan makna kerjasama antar daerah.
Ketiga, kerumitan pengelolaan hubungan kewenangan daerah dan antar daerah, karena belum diatur secara rinci dan detil (regulasinya mirip gelang karet, yang dapat dilonggar-keraskan). Dan, ke empat, terjadinya konspirasi, persekongkolan, atau kongkalikong antara elit dan pengusaha dalam mengeksploitasi daerah guna mencari keuntungan sebanyak-banyaknya bagi diri dan kroninya, tanpa mempedulikan kemaslahatan umum dan kesehatan lingkungan.
Kelima, terjeratnya elit-elit lokal dalam pola atau hubungan nan oligarkhis, yakni tata kelola kekuasaan yang hanya dipraksiskan segelintir orang di daerah tersebut. Tidak sebagaimana yang tertulis dalam konstitusi, dan atau khususnya dalam UU Pemilu/Pilkada yang harus berdasarkan aspirasi/kepentingan masyarakat (konstituen)
Dengan kata lain tidak ada demokrasi disitu, meski prinsip, pola, atau regulasi/UU yang berlangsung demokratis. DPRD yang seharusnya menjadi lembaga legislatif/pengawas eksekutif berubah bulu menjadi institusi yang malah melakukan perselingkuhan/kong kali kong dengan eksekutif untuk kepentingan diri dan partainya.Tatanan yang akhirnya mencuatkan pemerintahan yang buruk.
Pemerintahan yang mal-admistratif, legal-irrasional (meminjam Weber), dan atau (alias) disfungsional. Model ahistoris (kalau bukan pola jahanam), yang sesungguhnya sudah berlangsung lama (sejak Orde Baru), namun kasat mata pada era reformasi, seiring ditempuhnya otonomi daerah pada tahun 2001.
Semakin Tak Harmonis
Otonomi yang selain melahirkan ekses sebagaimana disinyalir Siti Zuhro di atas, adalah semakin lama semakin tidak harmonisnya hubungan antara pusat dan daerah. Masing-masing pihak (pusat maupun daerah) menganggap “wewenang, kekuasaan, atau kebijakannya” paling benar
Sebagai implementasinya tampillah apa yang popular dengan istilah anarkhisme atau konfliktual. Banyaknya peraturan daerah (Perda) yang dibatalkan pusat, urusan-urusan/tugas-tugas, seperti pengelolaan SDA yang sebelumnya dikelola Kabupaten/Kota, kemudian dialihkan ke Provinsi adalah sebagian ilustrasi atau faktanya.
Hubungan yang tidak efektif, yang tidak harmonis, yang tidak sehat, yang kita saksikan saat-saat penanggulangan korona saat ini. Anis Baswedan yang mengambil kebijakan cepat tanggap darurat penanggulangan korona di DKI Jaya dikecam Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian sebagai kebijakan yang kebablasan, sebab kewenangan itu adalah milik pusat, bukan daerah.
Sebaliknya Anis ngeles bahwa tindakannya berdasar UU Pemerintahan DKI Jaya. Mana yang benar, mana yang keliru, bukan pembahasan tulisan ini. Yang pasti telah terjadi relasi yang tidak harmonis, yang dalam derivasi atau implementasinya akan meletupkan ekses, yang seharusnya tidak perlu jika saja pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memiliki good and political will untuk itu.
∏
KONSEP DAN PENGERTIAN KOMUNIKASI
Seteleh diuraikan latar belakang tampilnya Komunikasi Pemerintahan tersebut, kini akan dilanjutkan dengan arti, makna, atau konsep Komunikasi.
Wilbur Schramm
Komunikasi adalah “the sharing of an orientation toward a set of information signs”
Kincaid
Komunikasi adalah….proses saling berbagi atau menggunakan informasi secara Bersama dan bertalian antara peserta dalam proses informasi.
Berlo
Komunikasi sebagai suasana yang penuh keberhasilan jika penerima pesan memiliki makna yang sama dengan apa yang dimaksudkan oleh sumber atau komunikator
Atas pendapat-pendapat itu Erliana Hasan (2005) mengartikan komunikasi adalah suatu proses penyampaian pernyataan antar manusia mengenai isi pikiran dan perasaannya. Pengungkapan isi pikiran dan perasaan itu apabila diaplikasikan secara benar dengan etika yang tepat, akan mampu mencegah dan menghindari konflik antar pribadi, antar kelompok, antar suku, antar bangsa sehingga dapat memelihara persatuan dan ksatuan antar individu,keluarga maupun bangsa yang berbeda, walaupun berbeda dari segi budaya, Bahasa dan lingkungan. Bertolak dari berbagaipendapat di atas dapat diambil benang merah tentang konsep dan pengertian komunikasi, “ Sebagai suatu proses penyampaian pikiran dan perasaan dari seseorang kepada orang lain guna menyatukan kekuatan sehingga orang-orang tersebut bergerak pada tindakan yang terorganisir.
Unsur-Unsur Proses Komunikasi;
1. Adanya komunikator (communicator)
2. Adanya pesan yang sudah dikemas atau esensi komunikasi (content)
3. Adanya interaksi langsung maupun tidak langsung (interaction)
4. Penggunaan media komunikasi dan tepat (the use of media)
5. Pemahaman Bersama akan esensi dan tujuan berkomunikasi (mutual understanding)
6. Umpan balik (feed back)
7. Tumbuhnya kepercayaan (trust)
KONSEP DAN ARTI PEMERINTAHAN
Tentang ini tidak akan dibuat dalam tulisan ini, sebab telah diuraikan pada kuliah pertama/perdana……silakan baca Kembali
PARADIGMA KOMUNIKASI PEMERINTAHAN
Komunikasi pemerintahan adalah kemampuan aparatur pemerintahan dalam mengemas ide, gagasan, program untuk diinformasikan kepada masyarakat secara tidak melawan hukum dalam mencapai tujuan negara dan tujuan pemerintah secara sah.
Koontz
Komunikasi diperlukan untuk:
1. Menetapkan dan menyebarluaskan tujuan organisasi
2. Menyusun rencana untuk mencapai tujuan
3. Mengorganisir sumber daya manusia dan sumber daya lainnya dengan cara paling efektif dan efisien
4. Menyeleksi, mengembangkan, dan menilai anggota organisasi.
5. Memimpin, mengarhkan, dan memotivasi, serta menciptakan iklim yang menimbulkan orang untuk memberi kontribusi
6. Mengendalikan prestasi
∏
P E R T A N Y A A N
1. Banyak kalangan menuduh bahwa pemerintah memelihara buzzer. Jelaskan arti buzzer tersebut dan apakah saudara meyakininya? Uraikan secara sistimatis.
2. Bagaimana pendapat para mahasiswa tentang rencana impor beras pemerintah, uraikan secara analitis.
3. Jokowi menjanjikan akan menerbitkan Perppu untuk memperbaiki UU KPK yang dianggap melemahkan pemberantasan korupsi. Bagaimana tanggapan para mahasiswa, uraikan dengan seksama.
4. Jelaskan tujuan pemerintahan menurut UUD 1945.
5. Apa yang saudara ketahui tentang kementerian komunikasi di era Orde Baru/Soeharto. Jelaskan secara logis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar