BKEksekutif KP II, KOMUNIKASI PEMERINTAHAN
KULIAH II, 17 April 2021
JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Cat: kuliah ini adalah gabungan kuliah ke-3 dan ke-4 kelas regular (pagi dan sore). Dalam kuliah ini akan diteruskan kepada (a) model pendekatan paradigma komunikasi pemerintahan, (b) etika komunikasi pemerintahan.
Jangan pasif, bia ada hal-hal yang tak dipahami, tulis di WA ini.
Jawaban tugas ditunggu esok, Minggu 18 April 2021, jam 23.55 WIB.
MODEL PENDEKATAN
PARADIGMA KOMUNIKASI PEMERINTAHAN
Sebelum sampai kita pada deskripsi mata kuliah ketiga, bacalah artikel yang saya tulis di harian Waspada tanggal 30 maret 2021/kemaren. Tulisan ini menunjukkan betapa komunikasi yang dilakukan pemerintah sejak lama sangat buruk. Komunikasi yang jauh dari layak atau komunikasi demokratis.
Setelah para mahasiswa membacanya, jawablah segera pertanyaan-pertanyaan dibawah ini;
· Bagaimana tanggapan para mahasiswa terhadap isi tulisan itu (menyetujui, tidak setuju, mempertanyakan, etc).
· Berikan ilustrasi atau contoh lain betapa komunikasi pemerintah sejak lama banyak mengalami masalah (sangat banyak contoh-contoh atau ilustrasi-ilustrasinya).
· Sebagai pembanding lihat juga tulisan saya di harian Waspada, …maret 2021 dengan tema “ Pertaruhan Reforma Agraria Jokowi” (ada di bawah)
Cat: Tanggapan atau jawaban ditulis di WA group ini juga….jangan ke WA saya…..mari sama-sama kita diskursuskan.
IMPLIKASI IMPOR BERAS
Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 30 maret 2021
Sejak republik terbentuk hingga detik ini, suara-suara nyaring perbaikan petani terus berkumandang kencang. Namun seiring dengan suara-suara nyaring tersebut, sejak itu pula pemarjinalan terhadap petani terus dipertontonkan
James C. Scott (1981) melukiskan eksistensi petani sebagai manusia yang berendam dalam air, dimana ketinggian air sudah sampai dagunya. Oleh karena itu sedikit saja goncangan menerpa, sang petani segera tenggelam.
Konstatasi yang telah lama terstruktur. Tidak an sich karena liberalisasi ekonomi yang dipentaskan saat ini. Namun telah langgeng atau terlembaga sejak zaman baheula. Khususnya sejak Orde Baru berkibar dengan revolusi hijaunya. Era yang dituding banyak kalangan sebagai awal atau biang kerok teralienasinya petani dari habitatnya
Akan tetapi kalau diterawang lebih jauh dan seksama, sejak era kolonial pun mereka sesungguhnya telah tercekik permanen. Tercekik dengan berbagai belenggu, seperti pungutan pajak yang tak masuk akal dan tekanan-tekanan berat lainnya.
Karena tekanan-tekanan demikian, sebagaimana pesan pepatah klasik, cacing pun jika diinjak akan melawan, sudah barang tentu petani melakukan reaksi, yakni pembrontakan terhadap otoritas yang berkuasa. Dari waktu ke waktu sebagaimana setting historisnya para petani selalu meletupkan pembrontakan.
Pembrontakan yang praksisnya mirip mercon atau petasan. Meledak sejenak, namun tidak berapa lama kemudian hilang tak berbekas. Begitu terus menerus,…. muncul tapi segera hilang. Sartono Kartodirdjo telah mengulasnya dengan anggun dalam disertasinya “Pemberontakan petani Banten”.
Petani Sebagai Objek
Setelah penjajahan/kolonial berakhir, pemerintah yang terbentuk sebagai buah proklamasi berketetapan hati mengobati penyakit bak kanker stadium lima tersebut. Mereka (pemerintahan baru) sadar betul bahwa negeri ini adalah negara agraris, yang dalam segala sepak terjangnya dilandasi kultur agraris.
Akan tetapi karena masih dalam suasana transisi, yakni dari suasana kolonial ke suasana merdeka, belum banyak yang dapat dibuat. Negara, rezim atau lembaga yang terbentuk masih sibuk menata diri, mengkonsolidasi pemerintahan, dan membangun karakter dan kebangsaan (Nation and Character Building)
Orde baru (tepatnya rezim baru) yang tampil kemudian sebagai anti tese rezim sebelumnya, kembali bertekad memperbaiki nasib petani yang tak putus-putus dirundung malang. Rezim baru sangat sadar bahwa pertanian adalah soko guru ekonomi Indonesia. Oleh karena itu harus ditopang dengan sekuat-kuatnya
Tekad demikian dibuktikan dengan program pembangunan yang titik beratnya pada pembangunan pertanian dengan paradigma “ rencana pembangunan lima tahun” (repelita). Dari lima repelita yang akan dipentaskan, tiga repelita pertama, yakni repelita pertama sendiri, kedua dan ketiga menempatkan pertanian sungguh-sungguh sebagai primadona pembangunan.
Faktanya memang berhasil. Dengan tekad yang berkobar-kobar, pada awal 1980-an negeri ini mencapai swasembada beras, sehingga mendapat penghargaan dari FAO. Indonesia oleh banyak negara dipuja sebagai negeri yang sukses membangun pertaniannya.
Namun, meski swasembada pertanian melesat bak jet membelah langit, nasib petani tidak banyak beranjak . Kehidupan ekonominya begitu-begitu saja, alias stagnan sebagaimana sebelum surplus tercapai. Produktivitas tinggi, namun tidak akan kesejahterannya. Petani tetap saja melarat.
Melarat sebagaimana banyak diulas para pakar kemudian, karena strategi pembangunan pertanian yang tidak tepat. Struktur pertanian yang mencuat realitanya bias perkotaan dan industrialisasi. Pemihakan pada petani atau pertanian yang didengung-dengungkan tak lebih tak kurang hanya sebatas objek. Dalam prakteknya entah sengaja atau tidak, petani tidak pernah diikut-sertakan dalam pengambilan kebijakan.
Dengan selangit program percepatan nan elitist, seperti pemberian bibit unggul, pupuk, pestisida, dan teknologi yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan, dipaksakan pada petani. Yang penting produktivitas tercapai. Persis ketika rezim kolonial Belanda berkuasa, petani hanya dijadikan sebatas objek.
Petani yang eksistensinya memang sangat lemah, sebagaimana dilukiskan James C. Scott di atas tidak bisa berbuat banyak selain tunduk pada kehendak penguasa nan otoriter, absolute, atau patrimonial, meski dengan jubah demokrasi .
Demokrasi bukan untuk petani, juga bukan untuk rakyat. Ia hanya diperbincangkan dikampus-kampu, atau seminar-seminar terbatas sebagai menara gading, atau bagi segelintir kalangan kuat dan kaya. Oleh karena itu petani, tak lebih tak kurang hanya pasrah pada keadaan sebagaimana sudah lama dialaminya, berdoa atau menunggu godot yang tak tahu kapan datangnya. Atau dalam mitologi Jawa, menunggu satrio piningit yang konon akan membebaskan. Sampai kapan ?
Pemiskinan Petani
Sejak republik terbentuk hingga detik ini suara-suara nyaring perbaikan nasib petani terus berkumandang kencang. Namun seiring dengan suara-suara nyaring tersebut , sejak itu pula pemarjinalan terhadap petani terus dipertontonkan, sebab tatanan atau sistim ekonomi-politik yang dipentaskan tidak memihak petani.
Sistim tersebut sebagaimana disebut di atas adalah sistim ekonomi yang bias pada industri dan perkotaan dengan asas “liberalism, individualism, dan kapitalisme”. Serahkan ke pasar dan kurangi peran negara begitulah slogan dan praksisnya. Bagaimana petani bersaing di pasar yang dikuasai kalangan kuat dan kaya? Apakah mereka sanggup melawan korporasi-korporasi (khususnya yang dari luar) yang memiliki kapital, teknologi, dan manajemen canggih yang berprinsip pasar bebas itu (Ronald E Muller& Barneet 1974, Stiglitz J, 2007)?
Disitu letak ketidak adilan atau inti masalahnya. Ketidakadilan yang semakin menggelayut, sebab di dalam rezim banyak tahyul-tahyul, tangan-tangan tak terlihat (invisible hand), seperti para pemburu rente, mafia, antek-antek, atau tepatnya komprador perusahaan-perusahaan asing, yang terus bermain, bak mafia Sisilia, demi keuntungan pribadi, faksi, atau perusahaannya.
Meminjam Peter Evans (1980), dalam bukunya yang terkenal “Dependent Development in Brazil: The Alliance of MNCs, State, and Local Bourgeuse, yang tampil dan hegemonic/berkuasa dalam sistim tersebut adalah persekutuan segitiga, yakni “negara, MNCs dan pengusaha lokal”, yang dalam derivasinya meminggirkan perekonomian konstitusional-nasional, apalagi perekonomian pedesaan yang diawaki para petani, ke titik nadir.
Selama tatanan ini tidak direformasi atau direvolusi, pembiasan-pembiasan yang terus berulang memiskinkan petani, seperti import beras yang marak hari-hari ini, impor daging, bahkan impor garam akan terus lestari, meski mayoritas kekuatan masyarakat menolaknya.
∏
Seteleh selesai diskursus dan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kembali kita ke tema kuliah hari ini, yakni Model Pendekatan Paradigma Komunikasi Pemerintahan.
Minggu yang lalu (24 maret 2021) telah kita uraikan pengertian Komunikasi, Pemerintahan, Komunikasi Pemerintahan, dan Paradigma Komunikasi Pemerintahan.
Akan kita ulangi sejenak….
Wilbur Schramm
Komunikasi adalah “the sharing of an orientation toward a set of information signs”
Kincaid
Komunikasi adalah….proses saling berbagi atau menggunakan informasi secara Bersama dan bertalian antara peserta dalam proses informasi.
Berlo
Komunikasi sebagai suasana yang penuh keberhasilan jika penerima pesan memiliki makna yang sama dengan apa yang dimaksudkan oleh sumber atau komunikator
Atas pendapat-pendapat itu Erliana Hasan (2005) mengartikan komunikasi adalah suatu proses penyampaian pernyataan antar manusia mengenai isi pikiran dan perasaannya. Pengungkapan isi pikiran dan perasaan itu apabila diaplikasikan secara benar dengan etika yang tepat, akan mampu mencegah dan menghindari konflik antar pribadi, antar kelompok, antar suku, antar bangsa sehingga dapat memelihara persatuan dan kesatuan antar individu,keluarga maupun bangsa yang berbeda, walaupun berbeda dari segi budaya, Bahasa dan lingkungan. Bertolak dari berbagai pendapat di atas dapat diambil benang merah tentang konsep dan pengertian komunikasi, “ Sebagai suatu proses penyampaian pikiran dan perasaan dari seseorang kepada orang lain guna menyatukan kekuatan sehingga orang-orang tersebut bergerak pada tindakan yang terorganisir.
Unsur-Unsur Proses Komunikasi;
1. Adanya komunikator (communicator)
2. Adanya pesan yang sudah dikemas atau esensi komunikasi (content)
3. Adanya interaksi langsung maupun tidak langsung (interaction)
4. Penggunaan media komunikasi dan tepat (the use of media)
5. Pemahaman bersama akan esensi dan tujuan berkomunikasi (mutual understanding)
6. Umpan balik (feed back)
7. Tumbuhnya kepercayaan (trust)
KONSEP DAN ARTI PEMERINTAHAN
Tentang ini tidak akan dibuat dalam tulisan ini, sebab telah diuraikan pada kuliah pertama/perdana……silakan baca Kembali
PARADIGMA KOMUNIKASI PEMERINTAHAN
Komunikasi pemerintahan adalah kemampuan aparatur pemerintahan dalam mengemas ide, gagasan, program untuk diinformasikan kepada masyarakat secara tidak melawan hukum dalam mencapai tujuan negara dan tujuan pemerintah secara sah.
Koontz
Komunikasi diperlukan untuk:
1. Menetapkan dan menyebarluaskan tujuan organisasi
2. Menyusun rencana untuk mencapai tujuan
3. Mengorganisir sumber daya manusia dan sumber daya lainnya dengan cara paling efektif dan efisien
4. Menyeleksi, mengembangkan, dan menilai anggota organisasi.
5. Memimpin, mengarahkan, dan memotivasi, serta menciptakan iklim yang menimbulkan orang untuk memberi kontribusi
6. Mengendalikan prestasi
Secara singkat dan sederhana, apa yang ditulis Koontz dengan 6 butir pointnya adalah “Paradigma Komunikasi Pemerintahan”
Untuk mendekatinya, dilihat dari tiga aspek, yaitu:
1. Aspek struktur
2. Aspek prosedur, dan
3. Aspek kultur
Artinya pemerintahan itu sebagai organisasi dilihat dari tiga aspek tersebut. (Bagaimana struktur, prosedur, dan kultur organisasinya).
Struktur organisasi adalah pola formal tentang bagaimana orang dan pekerjaan dikelompokkan. Struktur sering digambarkan dengan bagan organisasi (Erliana Hasan, 2005).
Struktur
Lihat struktur sekolah
Struktur Osis
Struktur Fakultas
Struktur Universitas ► lihat bagan organisasinya
Struktur Organisasi Masyarakat
Struktur Partai politik
Struktur Pemerintahan
Struktur Organisasi Pemerintahan Desa
Prosedur/pengertiannya
Tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas
Adalah serangkaian aksi yang spesifik, tindakan atau operasi yang harus dijalankan atau dieksekusi dengan cara yang baku agar selalu memperoleh hasil yang sama dari keadaan yang sama.
Jiwa organisasi
Kultur/pengertiannya.
Kultur organisasi adalah nilai-nilai yang dimiliki dan dipatuhi oleh anggota organisasi dalam berpikir, berperasaan, dan bertindak.
►►► Pemerintahan sebagai organisasi ditilik dari ketiga unsur, yakni dari struktur, prosedur, dan kulturnya.
Materi yang dalam ilmu administrasi dianalisis dalam mata kuliah Keorganisasian, Manajemen, Perkantoran, dan atau khususnya “Birokrasi”. Bagaimana birokrasi pemerintahan kita? Itu pertanyaannya. Minggu depan kita bahas……
BK KP IV, KOMUNIKASI PEMERINTAHAN
KULIAH IV, ………
JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Cat: tujuan mata kuliah ini, telah tercapai pada kuliah ketiga. Telah terjadi tukar pikiran, diskusi, atau debat yang intens dan dinamis. Semoga dalam kuliah ke empat dan seterusnya, terjadi seperti itu. Soal masih ada kelemahan atau kekurangan…. , itu adalah proses….tidak ada yang paling pintar, semua pintar. Yang penting ada minat terhadap intelektualitas, yakni mencari dan mempertahankan kebenaran sebagaimana tujuan dan hakikat ilmu pengetahuan.
Mari kita diskusikan pertanyaan yang ada di akhir materi. jika ada yang kurang dipahami ditulis di WA
ETIKA KOMUNIKASI PEMERINTAHAN
Sebelum sampai kita pada deskripsi mata kuliah keempat, akan diulangi intisari dari mata kuliah ketiga, seperti tertulis di bawah ini.
Komunikasi pemerintahan adalah kemampuan aparatur pemerintahan dalam mengemas ide, gagasan, program untuk diinformasikan kepada masyarakat secara tidak melawan hukum dalam mencapai tujuan negara dan tujuan pemerintah secara sah.
Tujuan komunikasi : Koontz
Komunikasi diperlukan untuk:
7. Menetapkan dan menyebarluaskan tujuan organisasi
8. Menyusun rencana untuk mencapai tujuan
9. Mengorganisir sumber daya manusia dan sumber daya lainnya dengan cara paling efektif dan efisien
10. Menyeleksi, mengembangkan, dan menilai anggota organisasi.
11. Memimpin, mengarahkan, dan memotivasi, serta menciptakan iklim yang menimbulkan orang untuk memberi kontribusi
12. Mengendalikan prestasi
Secara singkat dan sederhana, apa yang ditulis Koontz dengan 6 butir pointnya adalah “Paradigma Komunikasi Pemerintahan”
Untuk mendekati (mengetahui) nya, dilihat dari tiga aspek, yaitu:
4. Aspek struktur
5. Aspek prosedur, dan
6. Aspek kultur
Artinya pemerintahan itu sebagai organisasi dilihat dari tiga aspek tersebut. (Bagaimana struktur, prosedur, dan kultur organisasinya).
Struktur organisasi adalah pola formal tentang bagaimana orang dan pekerjaan dikelompokkan. Struktur sering digambarkan dengan bagan organisasi (Erliana Hasan, 2005).
Struktur
Lihat struktur sekolah
Struktur Osis
Struktur Fakultas
Struktur Universitas ► lihat bagan organisasinya
Struktur Organisasi Masyarakat
Struktur Partai politik
Struktur Pemerintahan
Struktur Pemerintahan Provinsi
Struktur pemerintahan Daerah/Kota
Struktur Organisasi Pemerintahan Desa
Struktur tempat saudara bekerja
Prosedur/pengertiannya
- Tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas
- Adalah serangkaian aksi yang spesifik, tindakan atau operasi yang harus dijalankan atau dieksekusi dengan cara yang baku agar selalu memperoleh hasil yang sama dari keadaan yang sama.
- Jiwa organisasi
Kultur/pengertiannya.
Kultur organisasi adalah nilai-nilai yang dimiliki dan dipatuhi oleh anggota organisasi dalam berpikir, berperasaan, dan bertindak.
►►► Pemerintahan sebagai organisasi ditilik dari ketiga unsur, yakni dari struktur, prosedur, dan kulturnya.
Materi yang dalam ilmu administrasi dianalisis dalam mata kuliah Keorganisasian, Manajemen, Perkantoran, dan atau khususnya “Birokrasi”. Sedangkan dalam Ilmu Politik, Komunikasi pemerintahan ini sudah include dalam Sistim Politik. Dengan mempelahari sistim politik, dengan sendirinya sudah paham tentang komunikasi pemerintahan.
Sekarang sampailah ketema mata kuliah ke empat, yakni Etika Komunikasi Pemerintahan.
ETIKA KOMUNIKASI PEMERINTAHAN
Arti etika
Etika adalah landasan dasar berkenaan dengan moral.
Etika → Moral.
Dalam ilmu filsafat dikenal dengan tiga nilai, yakni:
· Logika → berkenaan dengan salah dan benar
· Etika → berkenaan dengan baik dan benar
· Estetika → berkenaan dengan indah dan tidak indah
Secara filosofis, etika ini melewati hukum (logika). Bisa saja logis…namun tidak etis…. Dalam kehidupan sehari-hari, masalah-masalah seperti ini kerapkali kita temui, seperti,
v tetangga lagi berduka, kita bunyikan lagu-lagu gembira,
v tetangga lagi puasa, kita makan di teras, sehingga di lihat mereka yang berpuasa,
v kita ngomong bahasa daerah kita, sementara di kiri kanan kita banyak orang bukan dari daerah kita,
v Menunjukkan kemewahan di tempat kemiskinan
v Di tempat formal, seperti kantor, berpakaian tidak formal.
v Di Universitas Darma Agung, tidak elok kuliah jika pakai kaus…
Tidak salah, tapi tidak baik (tentu masih banyak contoh-contoh atau ilustrasi-ilustrasi lain).
Dalam bidang hukum, masalah-masalah seperti di atas sangat banyak ditemukan, seperti; pencuri sepotong kayu dihukum enam bulan penjara, nenek pencuri tiga buah coklat dihukum 6 bulan penjara, pencuri sandal jepit dihukum 6 bulan penjara, sementara pencuru kelas kakap, atau koruptor, hanya dihukum 2 tahun……..secara hukum benar, tetapi secara sosiologis-antropologis tidak baik (masih banyak contoh atau ilustrasinya).
Sampailah pada tema kuliah ini, yakni bagaimana etika pemerintah berkomunikasi…ilustrasi atau contohnya sangat banyak.
1. Menaikkan iuran BPJS dalam era pandemic Covid-19 sangatlah tidak etis. Suara-suara penolakan dari masyarakat yang cukup keras, tidak ditanggapi.
2. Karena penolakan UU KPK cukup besar, pemerintahan berjanji akan mengeluarkan Perppu. Ternyata hingga hari ini tidak ada Perppu yang dijanjikan itu.
3. Penolakan mayoritas masyarakat terhadap UU Cipta Kerja/Omnibus Law, tidak diacuhkan DPR RI
4. Studi banding DPRD ke daerah-daerah, yang bisa 5 X sebulan, sangatlah tidak etis, apalagi dalam era Pandemi.
5. Idem no 4, studi banding DPR RI ke luar negeri dalam era Pandemi sangat tidak etis, meski itu sudah di atur dalam tugasnya.
6. Janji Jokowi akan membagi tanah 9 juta hektar, jauh panggang dari api
Khusus no 6 ini, yakni masalah pertanahan/agraria telah saya tulis di Harian Waspada, 4 Maret 2021
PERTARUHAN REFORMA AGRARIA JOKOWI
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 4 Maret 2021
Bagaimana adil bila 1% penduduk menguasai 58 persen pertanahan secara nasional. Tidak-kah itu ketimpangan yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip dan tujuan reforma agraria yang berkeadilan sosial? Apa bedanya dengan kasus pertanahan di era kolonialisme…
Mungkin karena begitu banyaknya isu-issu baru, yang terus menerus gentayangan ditengah-tengah kehidupan sehari-hari, seperti banjirnya Jakarta dan sekitarnya, kontroversi pembuatan undang-undang/legislasi, gonjang-ganjing kudeta AHY, terpasungnya kebebasan berpendapat karena UU ITE, dan terutama terpaparnya kehidupan akibat belenggu Covid-19, membuat masyarakat tak sempat lagi memikirkan hal-hal yang strategis.
Hal-hal elementer, yang diimperatifkan Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila, dan UUD 1945, supaya kehidupan masyarakat, lebih aman, sejahtera, dan cerdas, dibandingkan era kelam sebelumnya (penjajahan/kolonialisme), melalui kebijakan “reforma agraria” (land reform), nyaris tak pernah dituntaskan.
Selalu diperbincangkan, dimasalahkan, dan diupayakan implementasinya, namun yang tampil permanen hanya dari perbincangan, permasalahan, pengikhtiaran ke perbincangan, permasalahan, dan pengikhtiaran berikutnya. Begitu nuansanya terus menerus tanpa henti.
Meminjam “teori sistem”, hanya “dari proses ke proses”….(sekali lagi dari proses ke proses). Tidak dari proses ke keputusan, apalagi ke kebijakan/kemaslahatan (out put). Tuntutan dan dukungan yang selalu datang dari masyarakat (in put), tidak pernah diproses secara demokratis, supaya menjadi kemaslahatan bersama (David Easton, 1950).
Sinyalemen demikian dapat dilihat dari pernyataan begawan/pakar hukum agraria, Maria SW Sumardjono dalam memperingati 60 tahun UUPA baru-baru ini. Beliau gamang bin galau karena pembahasan RUU Pertanahan sebagai pelaksanaan operasional dan teknis UUPA, di DPR yang sudah lama diikhtiarkan, dihentikan pada tanggal 23 september 2019, dan digantikan dengan UU yang bertolak belakang dengannya, yakni UU Omnibus Law/Cipta Kerja yang sungguh-sungguh kontroversial, berkarakter negatif dan destruktif.
Karena keadilan sosial yang menjadi tujuan utama dibentuknya UU Pertanahan makin tak jelas juntrungannya (semakin kabur). Begitu pula, prinsip-prinsip UUPA, yang menjadi master piece pembuatnya, begitu saja ditinggalkan. Tak cukup disitu, putusan MK pun dilanggar, dan prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam yang tertuang dalam Tap MPR No IX tahun 2001 sama sekali tak diakomodasi (K, 22 feb 2020)
Reforma Agraria Jokowi
Lalu bagaimana prospek/nasib Perpres no 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang menjadi bench mark Jokowi? Tidakkah diperpres itu dikatakan dengan jelas bahwa reforma agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan asset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia, akan kembali lagi hanya sebagai “slogan, mythos, dan retorika” sebagaimana sebelum-sebelumnya? Tidak ada jawaban yang tunggal.
Yang jelas, selama persoalan elementer dalam keagrariaan tidak diselesaikan, seperti pemilikan jumlah-banyaknya tanah yang dapat dimiliki oleh individu, korporasi, dan badan hukum lainnya tidak dibatasi dengan jelas, reforma agraria akan sukar berkembang, alias jalan di tempat.
Disini sentral dan sumbu masalahnya . Bagaimana adil bila 1 persen penduduk menguasai 58 persen pertanahan secara nasional. Tidakkah itu ketimpangan yang bertolak belakang dengan prinsip dan tujuan reforma agraria yang berkeadilan sosial? Apa bedanya dengan kasus pertanahan di era kolonialisme, yang memberikan keistimewaan kepada individu-individu, partikelir-partikelir, dan korporat-korporat tertentu yang menyengsarakan ribumi?
Tanah sebagaimana amanat rakyat, yang diimplementasikan para perumusnya dalam UUPA No 5 Tahun 1960 berfungsi sosial (tidak liberal-individualistik). Tidak boleh dijadikan komoditi komersil seperti yang marak saat ini, dan, terutama, tanah harus benar-benar diberikan bagi yang sungguh-sungguh mengerjakan-membutuhkannya.
Orientasi/cita-cita, filosofi, ideologi, bahkan paradigma hukum yang tidak saja berlaku dalam reforma agraria di Indonesia, melainkan secara mondial-universal berlaku di seluruh dunia, terlepas dari ideologi yang dianutnya. Soal bagaimana cara, sistim, atau metode mengimplementasikannya, tentu tiap negara punya cara/sistem tersendiri.
Konteks seperti itu yang masih jauh dari perjalanan reforma agraria negeri ini. Termasuk di era Jokowi, yang sejak periode pertama pemerintahnnya telah mengadopsi reforma agraria sebagai programnya. Begitu pula dalam periode keduanya, reforma agraria, tetap mendapat tempat yang layak. Akan tetapi mengapa cenderung jalan ditempat pada hal sudah menjadi kebijakan politik presiden?
Penyebabnya kecenderungnnya tidak tunggal atau parsial, melainkan sudah akut dan sistemik. Menurut Gunawan Wiradi(2005), macetnya reforma agraria yang terjadi sejak dulu hingga saat ini adalah akibat warisan politik hukum Orde Baru, yang merubah semangat, prinsip, atau tujuan reforma agraria, yang sebelumnya berfungsi sosial, menjadi komoditas ekonomi strategis an sich (semata-mata) untuk memenuhi kebutuhan pemodal, terutama pemodal asing.
Sebagai derivasinya rakyat ditekan/dilarang bicara agraria. Bahkan dengan tragisnya, jika coba-coba memperjuangkan orientasi reforma agraria, akan dituding sebagai komunis, yang membuat rakyat ketakutan dan penuh trauma, apalagi saat itu aparat aktif melakukan intimidasi.
Trauma atau ketakutan, yang meski Orde Baru sudah tumbang, masih tetap dirasakan, sebab yang berkuasa kemudian masih penuh dengan anasir-anasir sebelumnya, yakni elit-elit atau kalangan-kalangan yang mendapat keuntungan dari rezim Orde Baru/Soeharto. Dengan kata lain, Orde Baru/Soeharto tumbang, tapi tidak dengan rezimnya.
Rezimnya masih mewarnai, kalau bukan menguasai pemerintahan-pemerintahan selanjutnya, yaitu pemerintahan – kekuasaan era reformasi. Reformasi politik yes, reformasi ekonomi no. Kekuatan ekonomi masih mayoritas dipegang kekuatan-kekuatan eks Orde Baru, yang dapat konsesi (privilege) selama Soeharto berkuasa.
Sebatas Geliat
Meminjam paradigma Marxian, yakni ekonomi menentukan politik, aktor-aktor ekonomi eks Orde Baru demikian, step by step, namun pasti, kembali lagi (come back) mewarnai pentas politik (baca: Kekuasaan). Fenomenanya sangat jelas, ketika Gus Dur dilengserkan dari singgasana kekuasaan dan digantikan Megawati, pola-pola ekonomi politik yang ditempuh dalam era Soeharto kembali lagi berjaya.
Dan semakin berjaya ketika SBY naik ke takhta/singgasana kekuasaan. Ekonomi Indonesia tetap berorientasi pasar bebas (free market) dengan mantra-mantra Washington Consensus, seperti deregulasi, privatisasi, liberalisasi (Stiglitz, 2001), yang popular dengan sebutan “neolib”.
Singkatnya semangat ekonominya masih terbelenggu neolib, atau liberal-kapitalis nan super individualistik (Gunawan Wiradi, 2005, Maria SW Sumardjono, 2020). Lalu muncul tuntutan penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan, melalui penataan asset yang disertai penataan akses, sebagaimana definisi reforma agraria dalam Perpres no 86 tahun 2018? Tidakkah terlalu jauh?
Jelas sangat jauh, namun itu adalah perintah konstitusi (Pasal 33 ayat 3, UUD 1945) yang harus diperjuangkan apapun taruhannya. Political will Jokowi yang sudah take off, meski sangat tertatih-tatih, atau sebatas geliat harus kita dukung.
∏
Lalu ? Tiada lain, tiada bukan laksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, sebab Pancasila dan UUD 1945 adalah sumber atau landasan moral atau etika komunikasi pemerintahan. Merdeka !
PERTANYAAN
1. Tulis hal hal yang tidak saudara/i pahami dari kuliah ini
2. Koontz telah membuat enam paradigma komunikasi pemerintahan. Pertama : menetapkan dan menyebarluaskan tujuan organisasi. Jelaskan dengan seksama apa yang dimaksud dengan tujuan organisasi dalam komunikasi pemerintahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar