UJIAN TENGAH SEMESTER
KOMUNIKASI PEMERINTAHAN
Hari : Rabu/19 Mei 2021
Jam : 19 00 sd 21.00
JURUSAN FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Cat: Bacalah artikel di bawah ini dengan seksama, setelah itu jawablah pertanyaan-pertanyaan dibawahnya.
∏
Putusan Kematian KPK
Zainal Arifin Mochtar
Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH – UGM,
Penasehat PuKAT Korupsi FH UGM
Kompas, 8 Mei 2021
Membaca saksama putusan MK tentang pengujian formil dan materiil terhadap UU KPK hasil revisi, terasa seperti menyaksikan “sentuhan akhir” suatu kejahatan sempurna (perfect crime)
Dilakukan dengan semacam hypercriminality dalam bahasa sosiolog Jean Baudrillard, tatkala kejahatan itu disusun sedemikian rupa, dikontrol oleh kekuasan besar dengan manajemen kejahatan yang canggih dan permainan politik tingkat tinggi. Mahkamah Konstitusi (MK) menyempurnakannya melampaui hukum, moralitas, kemampuan akal sehat, dan nilai-nilai budaya yang diyakini.
Putusan MK tentu tak bisa dibaca terpisah dari posisi DPR dan Presiden dalam legislasi revisi tersebut. Semua terasa seperti orkestrasi. Melodi yang dimainkannya adalah ritme “KPK boleh hidup, tapi pemberantasan korupsi harus mati”. Mengapa mudah membaca bahwa putusan MK hanyalah sebagai stemple pengesahan hukum atas kejahatan yang ada? Pembacaan atas putusan MK akan sangat memperlihatkan itu.
Ada tujuh putusan MK yang dibacakan secara marathon. Intinya ada dua, permohonan formil dan permohonan materiil. Pengujuan formil adalah pegujian atas tata cara pembentukannya, sedangkan ujian materiil adalah bunyi isi dan bagian dari pasal d UU tersebut. Ketujuan putusan itu jika dibaca bersamaan menunjukkan betapa MK “tidak serius” dengan problem konstitusionalitas yang ada.
Membaca putusan formil MK.
Dalam pengujian formil, MK mendasarkan pada kaki yang sangat rapuh. Membaca putusan MK terasa seperti sekelompok “pokrol bambu” yang sedang mencari alasan pembenar untuk menghindarkan diri dari kebenaran. Ini dibaca dari putusan MK No 79/PUU-VII/2019 yang merupakan jantung putusan MK untuk permohonan formil, sebab permohonan formil lainnya ditolak karena ditundukkan pada alasan yang tercantum di putusan ini
Pertama, setelah menolak permohonan provisi, MK langsung masuk pokok permohonan formil dengan dengan alasan revisi UU itu sudah nyata ada diprolegnas dan tak masalah soal cepat atau lambatnya penyusunan UU serta juga sudah ada yang namanya partisipasi dan aspirasi dengan mengutif bahwa pandangan dari diskusi di beberapa universitas dan pandangan beberapa pakar.
MK seakan hanya mengatakan “adanya” tanpa mempersoalkan “keberadaannya”. Seakan-akan konstitusionalitas itu hanya urusan formalitas ada atau tidaknya suatu hal. Apa MK tahu apa yang terjadi dalam diskusi diberbagai universitas itu? Apakah penerimaan atau penolakan? Apa MK tak mencium gejala bad participation yang sering dilakukan dalam konsep legislasi dengan hanya meminta pandangan orang-orang yang sudah setuju dengan pendirian DPR?
Pada titik itu menarik mengutif pandangan Wahiduddin Adams, satu-satunya hakim yang dissenting, yang menyatakan bahwa beberapa poin itu sudah cukup untuk menyebabkan UU a quo memiliki persoalan konstitusionalitas dan moralitas yang sangat serius. Moralitas yang hampir tak diperhatikan sama sekali oleh delapan hakim lainnya.
Bertalian dengan partisipasi juga adalah betapa MK memperlihatkan ketiadaan penghargaan atas aspirasi. MK dalam putusan itu dengan jelas mengatakan bahwa adanya demonstrasi tak menenukan keabsahan formalitas pembentukan UU. Bagaimana mungkin MK tidak melihat gelombang demonstrasi yang sangat besar, bahkan mengakibatkan beberapa mahasiswa kehilangan nyawa, sebagai sebuah parameter?
MK sebenarnya dapat melihat dengan mudah, atas dasar aspirasi itu Presiden akhirnya menunda pembahasan RUU KUHP, tetapi megapa tidak untuk RUU KPK kala itu? Padahal, aspirasinya relatif sama, bahkan mengakibatkan korban nyawa. Mengapa RUU KUHP berhenti, sedangkan RUU KPK tidak? Intinya, mengapa MK begitu tumpul dengan konsep sederhana aspirasi, pada hal aspirasi dan partisipasi adalah kesatuan utuh dalam sebuah proses legislasi.
Aspirasi dan partisipasi hanya dilihat dalam bingkai pendekatan semata dan bukan tujuan, hanya dijadikan pendekatan untuk membenarkan apa yang diinginkan, dan bukan lagi tujuan untuk dapat masukan sebesar-besarnya.
Kedua, MK terlihat menggunakan pendekatan “asal-asalan” ketika melihat tuduhan pemohon soal naskah akademik (NA) fikif. MK kemudian terikat pada maksud fiktif hingga penjelasan kamus. MK abai untuk melihat lebih dalam bahwa NA yang ada adalah NA yang lama, yang tidak berkesusaian dengan materi perundang-undangan yang mau dibuat, bakan sekedar asal mendapatkan penegasan bahwa memiliki NA.
Itu yang bagi MK tidak fiktif. Pada hal, NA ini NA “jadi-jadian” karena ada perbedaan besar antara substansi UU yang dibuat dan “rancangannya” di NA.
NA bukanlah hal yang main-main. Dalam konteks politik hukum, NA menjadi salah satu alat ukur paling sahih untuk melihat mau di bawa kemana arah perbaikan UU. Apakah benar jargon penguatan KPK atau sebenarnya yang ada upaya domistikasi KPK? Tanpa perlu masuk ke substansi NA terlalu dalam, bisa dilihat apakah NA memang dibuat serius atau hanya asal ada. Jika MK mau memainkan pandangan moralitas konstitusi lebih baik, sebenarnya mudah melihat keseriusan NA dalam artian keseriusan politik politik hukum negara pada legislasi yang sedang dibuat.
Ketiga, kesepakatan Presiden dan DPR dalam salah satu tahapan legislasi. Jika dilihat keseluruhan tahapan, ada proses yang terlalu cepat dan tak wajar. Bahkan UU yang dibahas dan disetujui bersama itu ditolak Presiden untuk penanda tanganan pengesahannya. Anehnya, MK tak tergelitik untuk tahu lebih dalam soal itu. Padahal, itulah salah satu jantung pengujian formil, berkaitan dengan ketaatan tahapan pembuatan peraturan perundang-undangan.
Membaca putusan materiil MK
Keanehan lebih lanjut juga berada dipengujian materiiil. Seperti yang diduga sebelumnya, MK seakan-akan hanya mau “menghibur” publik dengan menerima beberapa permohonan, padahal sebenarnya yang diterima tidaklah significan, bahkan tak menjawab problem mendasar dan menyelesaikan implikasi penting dari pengaturan tersebut.
Pertama, soal pengertian KPK sebagai sebuah lembaga. Memang kelihatannya MK menerima, tetapi pada dasarnya tidak ada efek yang berarti untuk KPK. Tidak lebih dari ketidaksinkronan antara UU lama dan UU baru. Namun, itu tak menggeser apa-apa terkait independensi MK. Bahkan, terkesan ada dua hakim yang “berubah mendadak” dari pandangannya tentang KPK sebagai lembaga negara independent.
Dalam putusan MK No 36/PUU-XIV/2017 tentang Hak Angket DPR atas KPK, kedua hakim itu menolak KPK diangket dengan alasan KPK lembaga negara independent. Karena independent, baik secara fungsi maupun kelembagaan itulah mereka menolak KPK diangket oleh DPR mengingat angket hanyalah untuk eksekutif.
Hal itu tertera dalam dissenting opinion yang ditandatangani kedua hakim tersebut. Dalam putusan ini, keduanya tiba-tiba menjadi pendukung KPK dibawah eksekutif. Terlihat disini inkonsistensi pendapat dalam dissenting opinion yang mereka sampaikan dalam kasus sebelumnya tersebut.
Kedua, berkaitan dengan SP3. Putusan itu tidak memberikan implikasi berarti untuk penegakan hukum anti korupsi karena justru membawa implikasi berarti, yakni membuat SP3 kelihatan semakin mudah dibuat dengan hanya di ukur dari dua tahun semenjak dikeluarkannya surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP). Bahkan jika dibandingkan dengan SP3 di KUHAP, justru menjadi lebih sederhana. Apakah ini berkaitan dengan meluluhnya semangat anti korupsi dan melihat korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa.
Ketiga, pengalihan pegawai KPK ke ASN. Ini pun sebenarnya tidak memberikan implikasi apa-apa karena tidak mampu menyelesaikan problem yang ada sekarang. Meskipun mengakui bahwa ini adalah alih fungsi – dan memunculkan kesan ada perlindungan yang dilakukan MK atas pegawai KPK dalam proses pemindahan ke ASN tetap saja ini memberikan diskresi penyusunan peraturan yang ada sehingga kembali tidak mampu menjawab penuh problem hadirnya test wawasan kebangsaan yang malah menjadi alat delegitimasi terhadap pegawai-pegawai KPK yang memiliki semangat luar biasa dalam pemberantasan korupsi.
Satu kejahatan dua kematian
Pembacaan putusan di atas sesungguhnya menunjukkan betapa serius problem konstitusionalitas yang oleh MK dijawab secara tidak serius. Sistematisnya kejahatan membunuh KPK tidak dipandang sebagai suatu yang berbahaya bagi masa depan Indonesia, padahal putusan MK sebelumnya menegaskan KPK memiliki constitutional importance. Di sini MK terkesan sengaja tidak membawa perspektif konstitusionalitas yang seharusnya sangat penting.
Bisa dikatakan, kali ini dalam kejahatan pembunuhan KPK, bukan sekedar perfect crime, melainkan juga mengakibatkan adanya korban ganda. Bukan hanya mengancam kehidupan KPK sehingga berada di ujung tanduk dan sekarat, melainkan juga menunjukkan kematian moralitas konstitusional di MK.
PERTANYAAN
1. Jelaskan dengan seksama, mengapa Zainal Arifin Mohtar, mengatakan bahwa melodi yang dimainkannya adalah ritme “KPK boleh hidup, tapi pembrantasan korupsi harus mati”
2. Mengapa hanya Wahiduddin Adams yang menyatakan ada persoalan konstitusionalitas dalam masalah revisi UU KPK, sementara 8 rekannya,menyatakan tidak ada persoalan konstitusionalitas. Jelaskan dengan seksama.
3. Zainal Arifin Mohtar, mengutif pernyataan MK, menyatakan bahwa revisi UU KPK sudah ada di prolegnas, dan tak masalah soal cepat lambatnya penyusunan UU, serta juga sudah ada partisipasi dan aspirasi masyarakat. Betulkah seperti itu? Tidakkah MK hanya melihat formalitasnya? Uraikan secara seksama.
4. Masihkan KPK dapat disebut sebagai Lembaga independent?. Uraikan dengan logis dan sistimatis.
5. Jika no 1 sampai no 4 dihubungkan dengan “makna atau definisi Komunikasi Pemerintahan” (lihat kuliah II), seperti apakah wajah komunikasi pemerintahan Indonesia saat ini? Uraikan secara logis dan sistimatis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar