Kamis, 03 Juni 2021

KEMISKINAN STRUKTURAL DAN PENANGGULANGANNYA

 


 

Materi pelengkap Marhaenisme,

KTM DPD GmnI Sumut, 2 Juni 2021

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kemiskinan Struktural dan Cara Penanggulangannya

Dr Budi Rajab

Pengajar Antropologi, FISIP UNPAD

Cukup mudah untuk menemukan siapa dan di mana orang-orang miskin. Bila kita hidup di perkotaan, kita dapat melihat di antaranya abang becak, pengemis, pengamen anak-anak dan remaja di jalanan, pedagang asongan. Tempat tinggal mereka pun mudah kita cirikan, umumnya menempati gubukgubuk kecil yang berdempetan, yang dari sisi lingkungan kesehatan jauh untuk disebut pemukiman yang layak dihuni, sangat kumuh (slum area). Di samping itu, rumah-rumah kecil itu biasanya dihuni oleh begitu banyak orang, sehingga menunjukkan tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi (Jellienek, 1995; Papanek & Kuntjoro-Jati, 1986; Ever, 1982).

Di perdesaan secara relatif jumlah orang miskin lebih besar daripada di perkotaan, malah orang miskin di perkotaan biasanya berasal dari pedesaan, yang karena kesempatan dan peluang untuk mencari nafkah di desa sudah begitu sempit mereka bergerak ke kota dengan tujuan agar bisa bertahan hidup (survival). Dengan demikian, kemiskinan di perdesaan dan di perkotaan memiliki hubungan kontinuitas, artinya kemiskinan di perkotaan pada mulanya berakar dari perdesaan (Redfield, 1961). Penduduk miskin di perdesaan, di antaranya bisa dilihat pada ragam pekerjaan, yang kaum awam menyebutnya “buruh”, buruh tani, buruh nelayan, buruh kerajinan, dan buruh “serabutan” lainnya. Rumah yang mereka huni pun berukuran kecil, terbuat dari bambu atau kayu yang tidak berkualitas dan tidak terawat serta letaknya biasanya di belakang rumahrumah yang relatif permanen yang berada di tepi jalan utama daerah pedesaan (de Vries, 1985; Elson, 1986). 

Kenapa mereka miskin dan tetap miskin, karena ada di antara mereka yang sudah dua tiga generasi tidak mengalami perbaikan ekonomi (lipton, 1984). Mengapa mereka serba kekurangan untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, dan juga kurang mempunyai kapabilitas dan aksesibilitas pada lembagalembaga sosial dan politik yang dapat menjadi saluran yang memungkinkan mereka dapat hidup layak dan bisa memberikan kualitas hidup yang lebih baik bagi generasi berikutnya (Banarjee and Esther, 2012).

Ukuran Kemiskinan

Cukup mudah untuk menemukan siapa dan di mana orang-orang miskin. Bila kita hidup di perkotaan, kita dapat melihat di antaranya abang becak, pengemis, pengamen anak-anak dan remaja di jalanan, pedagang asongan. Tempat tinggal mereka pun mudah kita cirikan, umumnya menempati gubukgubuk kecil yang berdempetan, yang dari sisi lingkungan kesehatan jauh untuk disebut pemukiman yang layak dihuni, sangat kumuh (slum area). Di samping itu, rumah-rumah kecil itu biasanya dihuni oleh begitu banyak orang, sehingga menunjukkan tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi (Jellienek, 1995; Papanek & Kuntjoro-Jati, 1986; Ever, 1982).

Pada pertengahan tahun 1970-an, penduduk miskin di Indonesia berjumlah sekitar 54,2 juta orang (40,1%). Dua dekade kemudian, pada pertengahan tahun 1990-an, secara prosentase jumlah penduduk miskin ini turun lebih dari setengahnya menjadi tinggal 17,5% (34,5 juta orang), bahkan angka absolutnya pun turun dengan cukup besar. Tapi ketika krisis ekonomi sedang berada di puncaknya, tahun 1999, jumlah penduduk miskin naik lagi menjadi 23,4%, malah angka absolutnya cukup tinggi, 47,9 juta orang, jauh di atas angka absolut kemiskinan tahun 1980 (43,2 juta orang). Sampai tahun 2004, jumlah penduduk miskin mulai berkurang dan menurut BPS (Badan Pusat Statistik) sampai tahun 2004 jumlah penduduk miskin sebesar 36,1 juta orang atau 16,6% dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 217 juta orang. Namun demikian, pada akhir tahun 2005 ini jumlah penduduk miskin nampaknya kembali naik, dan jumlahnya pun jutaan orang, sehubungan dengan kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) yang diikuti dengan kenaikan harga faktor-faktor produksi dan barang-barang konsumsi sehari-hari. Tetapi menjelang akhir tahun 2010-an, akhir Pemerintahan Jokowi pada periode pertama, penduduk miskin secara relatif turun dengan tajam sampai di bawah 10%, tepatnya 9,41%.

Dalam menentukan ukuran kemiskinan, BPS berlandaskan pada besaran pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan dan nonpangan rumah tangga per orang per bulan. Dengan cara itu, berarti kemiskinan diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan (poverty line). Pengeluaran penduduk per bulan yang berada pas dan di bawah ukuran garis kemiskinan dikategorikan sebagai miskin. 

Ukuran garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan: pertama, pengeluaran untuk memperoleh “sekeranjang” makanan dengan kandungan 2100 kalori per kapita per hari; dan kedua, pengeluaran untuk memperoleh “sekeranjang” bahan bukan makanan yang juga dianggap sebagai kebutuhan dasar, seperti untuk pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi, dan pendidikan. Berdasarkan perhitunganan BPS, ukuran garis kemiskinan pada tahun 2019 ini sekitar Rp 1.990.170,- /kapita/bulan. 

Namun, Bank Dunia (World Bank) menetapkan garis batas kemiskinan berdasarkan pendapatan dua dollar AS (Amerika Serikat) per orang per hari. Ini berarti besarnya lebih dua kali lipat dari ukuran yang diajukan BPS, sehingga hampir dari setengah jumlah penduduk Indonesia tergolong miskin, karena hidup dengan pengeluaran kurang dari dua dollar AS per orang per hari. Bahkan Bank Dunia memperkirakan, sekitar 7,% penduduk Indonesia berpendapatan hanya satu dollar AS. 

Perbedaan ukuran garis kemiskinan memang akan berimplikasi jauh pada penetapan jumlah sasaran orang-orang miskin yang mesti dibantu. Bila memakai ukuran Bank Dunia, berarti separuh penduduk Indonesia perlu difasilitasi agar mereka bisa keluar dari jerat kemiskinan. Tetapi bila memakai ukuran BPS kiranya terlalu kecil, karena rasa-rasanya biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti pangan, apalagi sandang, papan, dan pendidikan, besaran itu tidak memadai. Mungkin BPS perlu merevisi ukurannya agar menjadi lebih besar dengan mengaitkannya dengan kenaikan harga barang konsumsi pokok, inflasi, dan biaya akibat dari perubahan pelayanan sektor lembaga-lembaga publik yang kecenderungannya kini menempatkan diri sebagai lembaga yang mencari keuntungan, umpamanya lembaga pendidikan dan kesehatan yang kian memprioritaskan model pelayanan komersial, serta biaya-biaya penunjang lainnya untuk mengakses lembaga-lembaga pelayanan publik. 

Kendati ukuran garis kemiskinan berguna untuk merancang kebijakan pemecahannya, terutama menentukan jumlah orang yang akan dibantu, pengukuran dengan cara itu memiliki kelemahan, karena penduduk miskin dan yang berada sedikit di atas garis kemiskinan sangatlah peka, mudah terguncang, terutama bila sistem perekonomian bersifat fluktuatif, mudah terkena krisis, baik karena pengaruh perubahan ekonomi regional dan global, maupun karena ketidak-konsistenan kebijakan pemerintah, dan guncangan itu kecenderungannya akan mendorong mereka semakin turun ke bawah garis kemiskinan (Santoso, 2018). Misalnya saja, krisis ekonomi yang melanda Indonesia diakhir tahun 1990-an, hanya dalam waktu singkat telah menambah jumlah penduduk miskin secara berlipat ganda. Demikian juga dengan kenaikan BBM yang terjadi pada awal dekade 2010, secara otomotis menambah jumlah orang-orang miskin (Santoso, 2018). 
Ukuran garis kemiskinan tidak bisa banyak memberikan informasi tentang kedalaman dan keparahan kehidupan orang-orang miskin. Ia tidak bisa menggambarkan secara konkret bagaimana orang-orang miskin mengalami kesukaran untuk mendapatkan kesempatan kerja dan peluang usaha, bahkan yang tidak berkesinambungan sekalipun (Santoso, 2018; ; bagaimana mereka tidak dipedulikan atau tidak diikutsertakan dalam kegiatan sosial dan politik di komunitasnya (Van Bruinessen, 1998); bagaimana perasaan mereka ketika dirinya atau anggota keluarganya sakit atau ingin meneruskan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, sementara uang di tangan tidak tersedia sepeser pun atau jauh dari mencukupi (Hull & Hull, 1978). Di samping itu, dan ini yang paling penting, bagaimanapun ukuran garis kemiskinan tidak bisa mengidentifikasi dan menjelaskan kenapa orang bisa menjadi miskin dan tetap miskin dalam jangka waktu yang cukup lama (Lipton, 1984). 

Barangkali, hal yang penting dalam menanggulangi kemiskinan adalah dengan cara menelusuri dan kemudian mengungkapkan sebab dan akibatnya. Kemiskinan pasti ada penyebabnya, yang kemudian akar itu memunculkan akibat. Selanjutnya, akibat ini bisa mengimplikasikan hal-hal yang lain atau berbalik memperkuat penyebabnya. Inilah yang di sebut sebagai hubungan kausalitas dari kemiskinan atau apa yang dikenal dengan istilah lingkaran setan kemiskinan (circulus vitiosus) yang bisa mendatangkan akibat munculnya budaya kemiskinan (culture poverty), yang sangat sukar sekali untuk mengentaskannya Lewis, 1984). 

Karakteristik Kemiskinan

Seorang antropolog Amerika Serikat, Oscar Lewis, pernah melakukan penelitian mendalam dan lama, lebih dari dua tahun, mengenai kehidupan orang miskin di perkotaan di suatu negara Amerika Latin (Lewis, 1984). Ia memaknai kemiskinan sebagai tidak atau kurangnya pemilikan dan penguasaan harta benda atau kekayaan, sumber-sumber daya ekonomi atau apa yang disebut kapital atau sarana ekonomi, termasuk teknologi, sehingga orang bersangkutan tidak mampu untuk dapat memuaskan ragam keperluan dasar materialnya (Lewis, 1984). 

Dengan kata lain, kemiskinan menunjuk pada ketidakcukupan dan ketidaksanggupan seseorang untuk memenuhi kebutuhankebutuhan primernya, seperti pangan, sandang, dan papan. Penelitian-penelitian di wilayah pedesaan pun, termasuk di Indonesia, menyimpulkan bahwa kemiskinan pertama-tama menunjuk pada kekurangan yang dialami seseorang dalam hal pemilikan dan penguasaan sumber daya ekonomi, sehingga kebutuhankebutuhan dasar rumah tangganya tidak bisa tercukupi (de Vries, 1985; Elson, 1986). 

Karena itu, apa pun ukuran yang dipakai untuk mengukur kemiskinan, pertama-tama mesti menunjuk pada indikasi bahwa pemilikan dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi seseorang sangat terbatas. Orang-orang miskin adalah manusia-manusia yang tidak memiliki sarana ekonomi, kalaupun ada sangat minim dan langka, untuk menjalankan aktivitas kerja ekonomi mereka. Sarana ekonomi yang mereka punyai seringkali hanya tubuh mereka sendiri, artinya mereka tidak memiliki instrumen sebagai perantara untuk kegiatan kerja ekonomi, kapital dan teknologi, serta pendidikan dan pelatihan yang memadai yang memungkinkan mereka dapat memiliki keahlian dan ketrampilan serta teknologi tertentu, sehingga aksesibilitas dan kontrol pada ragam sumber penghidupan yang dapat meningkatkan posisi ekonomi mereka menjadi terbatas, bahkan untuk mempertahankan kebutuhan dasar konsumsi diri dan rumah tangganya pun, seperti makanan dan pakaian, sangat tidak memadai. Orang-orang miskin selalu dihadapkan pada kekurangan jumlah, ragam, dan mutu konsumsi pangan, apalagi sandang dan papan, yang diperlukan untuk melanjutkan kehidupan. Karena itu, secara fisik orang-orang miskin beresiko untuk terserang penyakit, sehingga lebih dekat dengan kematian (Cheetam & Kyle, 1993; Sherraden, 2006). Dalam pengamatan Amartya Sen pun memang kemiskinan ini di dalam dirinya sudah melekat resiko yang begitu besar untuk berhadapan dengan maut. (Sen, 2006).

Karena orang-orang miskin sangat kurang memiliki harta benda atau kekayaan dan terutama sarana ekonomi, maka kesempatan dan peluang kerja yang dapat ia masuki adalah lapangan kerja “serabutan”, apa pun jenisnya, yang tidak menuntut dan mengharuskan keahlian dan ketrampilan tertentu. Tetapi lapangan kerja yang demikian itu kurang mendapat penghargaan, dinilai rendah, karenanya pendapatan yang diperoleh mereka dengan sendirinya rendah pula. Kemudian, karena upah yang diperoleh dari kerja itu kecil, mereka tidak akan mampu membeli dan menyediakan makanan yang bergizi dan beragam, bahkan jumlahnya pun kerap jauh dari mencukupi, karena itu mereka akan mengalami kekurangan pangan. Di samping itu, dari pendapatan yang kecil, mereka tidak akan dapat berpakaian layak, yang dimiliki mungkin hanya dua atau tiga; demikian juga dengan kondisi papan, rumah yang mereka tempati jauh dari syarat sebagai tempat berteduh (lipton, 1984; Lembaga Penelitian Smeru & Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, 2001, Emerson. 1978; Thee, 2004). 

Sudah pasti pula, karena pendapatan kecil, mereka pun tidak bisa bersekolah ke tingkat yang lebih tinggi atau mengikuti pelatihan untuk mendapatkan keahlian dan ketrampilan, sehingga dengan kapabilitas yang terbatas lapangan kerja yang dapat dimasuki adalah yang berada di lapisan terendah yang upahnya begitu kecil. 

Di sekolah pun tingkat kecerdasan orangorang miskin rata-ratanya rendah, lebih “bodoh” ketimbang bukan orang miskin, ini disebabkan karena masukan jumlah dan ragam makanan bergizi sangat kurang dan juga di rumah atau lingkungan terdekat mereka tidak tersedia faslitas-fasilitas yang dapat mendorong mereka untuk lebih aktif belajar serta mampu berpikir dan bertindak kreatif (Singarimbun, 1996; Papanek & Kuntjoro-Jakti, 1986; Lipton, 1984; Banerjee, 2012). 

Dari uraian itu nampak, kemiskinan memperlihatkan suatu lingkaran setan, masingmasing faktor menjadi penyebab dan sekaligus akibat (Lipton, 1984; Sheridden, 2006; Lewis, 1984). Ringkasnya, beberapa hal yang menunjuk pada kemiskinan, antara lain: ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, dan papan; tidak adanya akses pada pendidikan dan kesehatan dasar; rendahnya kualitas sumber daya manusia; dan tidak banyak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat. Ciri-ciri ini menunjuk, bahwa orang-orang miskin tidak memiliki jaminan untuk hidup lebih baik di masa depan. Di samping itu pula, mereka termasuk kelompok yang secara sosial mengalami ketidakberuntungan dan keterkucilan, karena seringkali tidak diikutsertakan dalam ragam aktivitas sosial dalam lingkungan masyarakatnya, sehingga mereka pun menjadi tidak memiliki kemampuan untuk menyampaikan aspirasi (voicelessness) (Lewis, 1984; Lipton, 1984; Sheridden, 2006; Banerjee, 2012). 

Kemiskinan Struktural

Bila dilihat dari pendekatan struktural (Sjahrir, 1986; Scott, 2000; Hartt, 1986; Heryanto & Mandal 2000), kemiskinan terjadi karena adanya ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan faktor-faktor produksi, seperti tanah, teknologi, dan bentuk kapital lainnya atau yang diistilahkan dengan sumber-sumber daya ekonomi. 

Menurut pendekatan struktural, dalam proses relasi antar individu atau kelompok dalam memanfaatkan sumber-sumber daya ekonomi memunculkan adanya sebagian kecil orang yang bisa memiliki dan menguasai sumber-sumber daya ekonomi, yakni yang disebut kaum elit. Kaum elit ini selanjutnya melakukan konsolidasi melalui lembaga-lembaga tertentu agar sumbersumber daya ekonomi yang dikuasai mereka tetap terjaga, malah dapat lebih diperbesar lagi (Soemardjan, 1980; Hart, 1986). 

Di sinilah mulai muncul ketimpangan ekonomi yang dalam perjalanan waktu menjadi kian menajam. Saluran-saluran institusional yang dipakai kaum elit dalam rangka proses konsolidasi itu antara lain melalui pembentukan kelompok kepentingan atau asosiasi-asosiasi usaha tertentu, birokrasi pemerintahan, ikatanikatan kekerabatan, hubungan-hubungan patronase, dan organisasi-organisasi lain yang formal atau yang tidak formal (Scott, 2000; Heryanto & Mandal, 2000). Karena itu, pada akhirnya ketimpangan itu tidak melulu ditandai dengan ketidakmerataan dalam pemilikan dan penguasaan hal-hal yang material, tetapi juga menunjuk pada adanya kesenjangan pada akses dan kontrol pada institusi-institusi sosial. Mungkin, dalam konteks keterkaitannya dengan institusi sosial inilah, dalam istilah ilmu sosial Indonesia kemiskinan yang demikian itu dikenal dengan istilah “kemiskinan struktural” (Alfian, Tan, Soemardjan, 1980), yakni kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tidak memberikan peluang dan kesempatan untuk bisa terlibat dalam menggunakan sumber-sumber daya ekonomi. 

Saran pendekatan struktural dalam mengeliminasi kemiskinan, yang utamanya adalah menelorkan dan menerapkan kebijakan yang langsung mengidentifikasi dan menghapus sumber-sumber ketimpangannya (Sinaga &White, 1980). Program penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui transformasi mendasar pada struktur ekonomi, politik, dan sosial masyarakat yang tidak lagi didominasi kelompok elit, dengan cara membentuk dan mengembangkan institusi-institusi yang memihak langsung pada orang-orang miskin (Sinaga & White, 1980; Scott, 2000). Institusiinstitusi tersebut mesti secara langsung memberikan akses dan kontrol atas sumbersumber daya ekonomi bagi tumbuhnya peluang berusaha dan kesempatan bekerja yang layak bagi orang-orang miskin (Sheraddeen, 2006). 

Kemiskinan penduduk di Indonesia, terutama bila dilihat dari historisnya, apakah itu di daerah pedesaan atau di daerah perkotaan, lebih banyak disebabkan persoalan ketimpangan struktural ini (de Vries, 1985; Papanek & Koentjur-jakti, 1986). Di daerah-daerah pertanian dan nelayan pedesaan Jawa umpamanya, kentara adanya kesenjangan dalam penguasaan dan pemilikan kekayaan dan faktor-faktor produksi. Memang hingga kini berbagai program telah dilaksanakan untuk menangani kemi skinan, tetapi kelihatannya berjalan tersendat-sendat. Akses dan kontrol warga masyarakat miskin pada berbagai sumber daya ekonomi masih tetap terbatas. Sektor politik sekarang ini relatif lain dengan di masa rezim Orde Baru, telah mengalami reformasi, tetapi perubahan pada posisi dan peran lembaga-lembaga politik kenegaraan itu, salah satunya dengan penerapan otonomi daerah, ternyata lebih banyak ditandai oleh munculnya berbagai konflik kepentingan di kalangan elit di daerah, yang berusaha mempertahankan kontrol atas sumber-sumber daya ekonomi. Pemerintah daerah beserta jajaran legislatifnya yang kini memiliki kewenangan besar untuk langsung mengolah dan mengelola sumber-sumber daya ekonomi yang ada di daerahnya, bukannya mencoba membuka sekat-sekat struktural yang membatasi akses dan kontrol masyarakat miskin pada ragam sarana ekonomi, malah nampaknya kian memperketat jaringan struktural bagi kepentingan mereka sendiri (Sutoro, 2003; Muttaqien, 2006; Rustiadi, Sunsun & Panuju, 2018). 

Bahkan di era otonomi daerah ini berbagai kebijakan yang ditelorkan Pemerintah Daerah dan disetujui legislatifnya lebih menunjukkan sebagai beban sosial dan ekonomi bagi masyarakat di daerah. Dengan dalih untuk peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), retribusi, pajak, dan pungutan lainnya diperluas dan besarannya dinaikkan (Riyadi & Deddy, 2004; Wibawa, 2008). Sementara prog ram pembangunan ekonomi diskriminatif, yang memihak pada penduduk miskin umpamanya dengan cara menyediakan peluang kerja dan usaha yang layak, termasuk pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan dasar, tidak banyak dilakukan dan melakukan perbaikan yang adil (Thee, 2004). Mungkin bisa dikatakan, bahwa otonomi daerah ini bukannya menjadi pemecah masalah bagi pengeliminasian kemiskinan yang di derita sebagian warga di daerah, tetapi menjadi bagian dari masalah atau malah memperdalam masalah kemiskinan struktural itu sendiri (Santoso, 2018). 

Dengan demikian, wajah kemiskinan di Indonesia dicirikan kemiskinan struktural, baik secara absolut maupun secara relatif (Handayani, 2006). Artinya, bahwa di samping masih banyak orang-orang miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar pangan, sandang, dan papan, serta kurangnya kapabilitas sumber daya manusia karena pelayanan pendidikan dan kesehatan yang tidak terjangkau, sekaligus juga menunjukkan adanya kemiskinan relatif, ketidakmerataan yang sangat lebar dalam distribusi pendapatan. Dengan kata lain, di samping adanya orang-orang miskin yang tidak dapat hidup dengan memadai, juga ditandai dengan kesenjangan yang tajam dalam tingkat pendapatan, pemilikan dan penguasaan sarana-sarana ekonomi, serta akses dan kontrol pada institusi-insitusi sosial dan politik (Sakamoto, 2007). 

Baik kemiskinan absolut maupun kemiskinan relatif adalah tanggung jawab negara dan kalaupun ada lembaga non-negara, semacam LSM atau lembaga korporat yang ikut dalam upaya penanggulangan kemiskinan, itu karena mereka concern atau prihatin atas fenomena kemiskinan ini. Keterlibatan lembaga-lembaga non-negara dalam memecahkan persoalan kemiskinan adalah hanya ikut agar terjadi percepatan dalam pengurangan jumlah orangorang miskin absolut dan pemerataan distribusi pendapatan (Marbun, 2006). Negara tidak bisa begitu saja melepaskan diri dari tanggung jawab tersebut, ia harus terlibat langsung dalam mengangkat orang-orang mi skin dari ketertinggalan dan keterbelakangan. Orangorang miskin adalah warga negara Indonesia juga, dan berarti negara mesti memberikan “sesuatu” pada mereka, bukan membiarkan mereka atau malah menuntut kewajiban kepada mereka. Dengan demikian, peran negara bukan hanya sekedar penting, tetapi sesuatu yang imperatif, keharusan yang tidak bisa ditolak, untuk menanggulangi kemiskinan dan itu tercantum dalam konstitusi dasar (Handayani, 2006). 

Membangun Kelembagaan

Dalam pendekatan struktural, untuk mengubah suatu kondisi tertentu memerlukan kemauan dan praktek politik yang terarah dan konsisten serta itu mesti ada dan dipegang oleh lembaga tertentu yang pada dirinya diakui dan memiliki legitimasi (Scott, 1995). Pemerintahan Indonesia bagaimanapun adalah suatu institusi negara yang diakui dan mempunyai legitimasi formal. Oleh sebab itu, dengan masih cukup banyaknya warga negara Indonesia yang menderita kemiskinan, pemerintahan Indonesia mesti memiliki kemauan dan praktek politik untuk mengurangi penduduk miskin tersebut, dan agar penanganannya konsisten dan terarah harus dibangun lembaga khusus yang memiliki otoritas untuk menanggulangi kemiskinan tersebut (Nugroho, 2015).

Dengan demikian, pertama-tama yang menjadi kewajiban pemerintah, terutama yang ada di pusat, adalah membentuk atau mengembangkan lembaga khusus, yang tugasnya memformulasikan rencana penanggulangan kemiskinan yang terarah dan konsisten menerapkannya. Lembaga ini bisa dibentuk dalam bentuk yang baru atau mengembangkan yang sudah ada dan lembaga ini mesti ada sampai ke tingkat Pemerintah Kabupaten dan Kota. 

Kedua, juga yang menjadi tugas pemerintah pusat adalah mengendalikan ketidakstabilan gejala ekonomi makro, umpamanya mengontrol inflasi. Ketiga, Pemerintah Pusat melalui koordinasi dengan pemerintahan di daerah atau bermitra dengan lembaga-lembaga swasta, membangun infrastruktur dan sarana perhubungan yang memadai sampai ke daerah-daerah pedalaman. 

Dan keempat, Pemerintah Pusat mesti mengontrol Pemerintah Daerah, yang karena sekarang ini memiliki kewenangan yang relatif otonom, cenderung menelorkan kebijakan yang lebih banyak membebani warga masyarakat di daerah. Banyak peraturan di daerah sekarang ini yang mewajibkan warga masyarakat yang akan melakukan aktivitas ekonomi dan sosial atau untuk memperoleh pelayanan kebutuhankebutuhan dasar harus mengeluarkan ongkos ekonomi yang cukup besar. Bagaimanapun aturan-aturan ini mesti terkendali melalui mekanisme hubungan otoritas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 

Dengan demikian, pertama-tama yang menjadi kewajiban pemerintah, terutama yang ada di pusat, adalah membentuk atau mengembangkan lembaga khusus, yang tugasnya memformulasikan rencana penanggulangan kemiskinan yang terarah dan konsisten menerapkannya. Lembaga ini bisa dibentuk dalam bentuk yang baru atau mengembangkan yang sudah ada dan lembaga ini mesti ada sampai ke tingkat Pemerintah Kabupaten dan Kota. 

Kembali ke lembaga yang dikembangkan khusus untuk penanggulangan kemiskinan, pertama, lembaga ini mesti diisi oleh orangorang yang terlatih dalam melihat, mengidentifikasi sebab dan gejala kemiskinan, serta konsisten mendampingi orang-orang miskin yang dibantunya. Kedua, dalam lembaga itu mesti tersedia perangkat teknologi dan biaya yang mencukupi untuk operasionalisasi kerjanya. Ketiga, juga yang penting, bahwa orang-orang yang bekerja pada lembaga ini mesti mendapatkan ganjaran, upah atau gaji dan fasilitas lainnya yang mencukupi. 

Dan keempat, dalam rangka menanggulangi kemungkinan kekurangan sumber daya manusia pada lembaga ini, bisa melakukan kemitraan dengan lembaga-lembaga lain, seperti LSM, Perguruan Tinggi, atau lembaga-lembaga sosial lain, apakah itu dalam melakukan penelitian dan kajian, menentukan ukuran garis kemiskinan dan berapa jumlah penduduk miskin, merumuskan rencana strategis dan kontekstual untuk membantu penduduk miskin, melakukan pelatihan-pelatihan, sampai pada pendampingan.

Sementara itu, dalam pelaksanaan tugastugasnya, meliputi hal-hal berikut ini. Pertama, lembaga penanggulangan kemiskinan yang ada di daerah harus melakukan kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai sebab dan gejala kemiskinan di daerahnya. Dalam kajian ini mesti tergambarkan bagaimana sumber-sumber daya ekonomi di daerah, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar, diolah dan dikelola, bagaimana distribusinya, dan siapa saja yang terlibat dan dapat memperoleh manfaat dari sumber-sumber daya ekonomi itu. Lalu, mesti digambarkan pula institusi-institusi yang, langsung atau tidak, terkait dengan pengelolaan, distribusi, dan pemanfaatan hasil sumber-sumber daya ekonomi itu.

Langkah kedua, menetapkan ukuran garis kemiskinan yang berlaku di daerahnya dan ukuran ini merujuk pada hasil kajian tentang sebab dan gejala kemiskinan yang sudah dilakukannya, sehingga ukuran ini cukup kontekstual dengan kondisi kemiskinan yang ada di daerah tersebut.

Langkah ketiga, mengidentifikasi jumlah orang miskin yang ada di daerah itu, dan ini tentunya juga merujuk pada ukuran garis kemiskinan yang sudah ditetapkannya.

Dan keempat, membuat rumusan rencana strategis, berupa langkah-langkah yang terarah untuk membantu orang-orang miskin yang ada di daerahnya. Dalam rumusan strategis itu ada beberapa hal penting yang musti tercantum di dalamnya.

Pertama, bentuk dan ragam sarana ekonomi yang akan disediakan bagi orang miskin. Kedua, membuka akses pada pendidikan dan pelayanan kesehatan dasar, termasuk pemberian pelatihan, seperti untuk ketrampilan dan keahlian tertentu, manajemen usaha, dan perubahan-perubahan pada aspek psikokultural, dan masalah pengorganisasian.

Ketiga, melakukan advokasi pada pemerintah dan legislatif daerah agar mengeluarkan kebijakan yang mengikat yang berisikan agenda pembangunan daerah yang menempatkan penanggulangan kemiskinan pada skala prioritas, yang tercermin dalam anggaran belanja. Melalui advokasi itu perlu juga didorong agar pemerintah daerah menelorkan aturan yang memudahkan akses penduduk miskin pada peluang usaha dan kesempatan kerja, pada lembaga pelayanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan dasar, dan sekaligus mencabut aturan yang membebani penduduk miskin dari berbagai bentuk pungutan.

Keempat, melakukan pendampingan langsung dan rutin, sampai batas waktu tertentu, pada aktivitas usaha dan kerja ekonomi penduduk miskin yang sedang mereka jalankan. 

Dan kelima, melakukan pemantauan dan evaluasi, untuk mengetahui sejauh mana program pengentasan kemiskinan sejalan rencana dan tujuan yang hendak dicapai, membuat tindakan korektif secara dini bila nampak ada “penyimpangan”, dan untuk menarik bahan pelajaran untuk perencanaan dan pelaksanaan program di masa mendatang secara lebih baik.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar