SYARAT GURU BESAR KEHORMATAN
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Dirjen Pendidikan Tinggi (Kemendikbud Ristek), Nizam, yang mengatakan (setahunya) tidak ada gelar “professor kehormatan”, yang ada adalah “Doktor Kehormatan”. Namun, entah mengapa, beliau dengan secepat kilat merevisi pendapatnya
Pada tanggal 11 Juni 2021yang lalu, Megawati Soekarnoputri, mendapat gelar professor kehormatan Ilmu pertahanan bidang Kepemimpinan Strategik dari dari Universitas Pertahanan (Unhan). Gelar yang diberikan, menurut pihak Unhan karena jasa-jasa Megawati yang luar biasa menangani konflik-konflik besar, seperti konflik Ambon dan Poso, pemulihan pariwisata pasca bom Bali, dan penanganan permasalahan TKI di Malaysia, sewaktu ia menjabat Presiden.
Suatu yang lazimlumrah bagi lembaga/dunia Pendidikan untuk memberikan penghargaan kepada sosok-sosok tertentu yang dianggap memberikan sumbangan luar biasa bagi kemanusiaan dan ilmu pengetahuan, meski ia bukan dari jebolan sekolah/kampus formal. Pertanyaannya adalah bagaimana bentuk penghargaan itu.
Tacid Knowledge
Secara umum pemberian gelar demikian adalah “Doktor Honoris Causa (Dr HC)”. Bukan guru besar (professor), sebab guru besar bukan gelar akademik, melainkan jabatan tertinggi yang diraih oleh seorang dosen dosen karena kepengajarannya. Biasanya sudah mengajar 10 tahun atau mendapatkan nilai kredit 1000 (Ali Ghufron Mukti,Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan, Antara 29 Oktober 2015)
Pendapat yang diperkuat Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Nizam, yang mengatakan bahwa (setahunya) tidak ada gelar “professor kehormatan”. Yang ada adalah “doktor kehormatan, yang sudah banyak diberikan oleh perguruan-perguruan tinggi di seluruh dunia. Namun, entah mengapa, beliau dengan secepat kilat merevisi pendapatnya, yakni bahwa pemberian professor kehormatan itu sudah sesuai dengan UU Dikti, khususnya Permendikbud No 12 Tahun 2012 (Kompas tv, 10 juni 2021)
Kenapa, mengapa dirjen Dikti berbalik badan secepat kilat, biarlah itu urusannya, yang tak perlu dibahas disini. Yang jelas jabatan guru besar, sebagaimana dikatakan Ali Ghufron Mukti adalah jabatan tertinggi seorang dosen, yang diperoleh setelah sang dosen tersebut mengabdi di perguruan tingginya, melalui tahap-tahap sebagai berikut; asisten, asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan…guru besar.
Dengan kata lain, jabatan itu diperoleh setelah sekian tahun ia mengajar, meneliti, dan mengabdi, sebagaimana fungsi Tri Dharma Perguruan Tinggi pada umumnya (semua civitas academica sudah maklum itu).
Mungkin atas dasar konstatasi seperti itulah, mantan rektor UGM, yang juga guru besar kebijakan publik, Prof Dr Sofian Effendi menyatakan bahwa pemberian gelar professor kehormatan semestinya tidak ada. Yang ada adalah pemberian gelar Dr Hc, karena yang mendapatkan itu tidak melakukan Tri Dharma, sebagaimana yang diterapkan pada setiap perguruan tinggi.
Namun apapun dalihnya, faktanya sudah terjadi. Sudah tampil guru besar model baru, yang diluar kelaziman. Argumen pembenarannya, sebagaimana disebut pihak Unhan di atas adalah karena jasa Megawati yang besar mengatasi konflik-konflik di Ambon dan Poso, pemulihan pariwisata pasca bom Bali, dan penanganan permasalahan TKI di Malaysia.
Argumen lain yang cukup radikal dikemukakan guru besar Sosiologi Unair, Bagong Suyanto. Menurut beliau Megawati Soekarnoputri “sangat dihormati”. Karena sangat dihormati, maka wajar saja ia diberi gelar guru besar kehormatan, meski ia tidak berkiprah di perguruan tinggi. Peran Megawati jauh lebih besar/lebih bermakna dari kiprah guru-guru besar regular yang ada di kampus-kampus formal.
Analog dengan argument yang mirip dengan pendapat Unhan dikemukakan sosiolog UI, Prof Sadarsono Hardjosukarto, yang mengatakan bahwa Megawati memiliki “karakter dalam kepemimpinannya”. Megawati mampu memilih “skala prioritas” dalam kebijakan pemerintahannya, seperti, “pemulihan ekonomi, normalisasi kehidupan politik, dan penegakan hukum, keamanan, dan ketertiban masyarakat”.
Remy Madiner, peneliti sejarah Indonesia di Perancis, berkilah bahwa Megawati berhasil membangun “kepercayaan internasional”, pasca Indonesia mengalami krisis kompleks dan multidimensi di tahun-tahun pasca reformasi.
Sementara itu pengamat asing lainnya, yakni Prof Koh Young Hun, kepala pusat budaya Indonesia-Korea, Hankuk University of foreign Studies, menyatakan Megawati memiliki “kharisma” yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan berat pasca reformasi.
Sebagai alasan pamungkas disampaikan sosok yang sangat dekat dengan Megawati, yakni Prof Dr Rohmin Dahuri. Menurut beliau dalih mengapa Megawati mendapatkan gelar professor kehormatan adalah karena Megawati memiliki dan menguasai “tacit knowledge” tentang ilmu pertahanan, khususnya dibidang kepemimpinan strategis, yang sudah diaplikasikan dalam berbagai peran publik, seperti saat beliau menjabat tiga periode anggota DPR dari tahun 1984 – 1999, saat menjabat wakil presiden dari tahun 1999 – 2001, dan ketika menjadi presiden dari tahun 2001 – 2004, Plus saat menjadi ketua umum PDIP sejak 1999 hingga saat ini.
Penjelasan lanjutan
Disini (pendapat Rohmin Dahuri) sentral issunya, yakni konsep atau paradigma tacid knowledge dalam ilmu pertahanan/kepemimpinan strategis. Tacid knowledge yang bagaimana? Belum ada penjelasan yang detil. Artinya kira-kira seperti apa kongkritnya tacid knowledge yang dimiliki Megawati dalam kepemimpinan strategik dalam ilmu pertahanan.
Apakah seperti yang diutarakan pihak Unhan dengan konsep “penyelesian konflik”, Bagong Suyanto dengan konsep “kehormatan”, Sadarsono Hardjosukarto dengan konsep “karakternya”, Remy Madiner dengan konsep “kepercayaan internasional”, Koh Young Han dengan dengan konsep “karismanya” ? . Tidakkah itu terlalu general, normative dan kualitatif?
Atau mungkin baru pada tahap itu yang bisa dilakukan mengingat tacid knowledge sebagaimana maknanya adalah pengetahuan tersembunyi yang ada hanya dalam pikiran-otak seseorang yang belum terdokumentasikan, belum terstrukturkan, belum diberitahukan, dan belum didefinisikan dengan bahasa formal kepada orang lain, sebagaimana adagium filsufnya, Michael Polanyi, segi tak terungkap ilmu pengetahuan (dalam bukunya The Tacit Dimension ,1966)
Bila baru pada tahap itu argumennya, ke depan para promotor atau pihak-pihak terkait, perlu penjelasan yang lebih konseptual dan komprehensif, mengingat tacid knowledge adalah filsafat ilmu pengetahuan yang menolak eksistensi positivisme, yang hanya mengakui fakta-fakta yang terukur (kwantitatif), pada hal terdapat realitas yang selalu tak dapat diukur. Artinya Megawati memiliki novelty, inovasi, alias kebaruan dalam konsep manajemen strategik dalam ilmu pertahanan, namun belum digali. .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar