BKEksekutif KP VI, KOMUNIKASI PEMERINTAHAN
KULIAH KE-6, 26 JUNI 2021
JURUSAN PEMERINTAHAN
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Cat : bacalah dengan seksama. Jika ada hal yang tak dipahami, tulis di WA group. Begitu pula pertanyaan-pertanyaan yang ada, dijawab atau dikirim ke WA group.
∏
GOOD GOVERNANCE DALAM
KOMUNIKASI PEMERINTAHAN
Pada kuliah yang lalu/kuliah ke-8, yang bertema “hubungan negara dan masyarakat, yang ditulis Boni Hargens (lihat lampiran dibawah) terdapat beberapa catatan atau kongklusi, yakni;
1. Pertentangan paradigma antara negara dan masyarakat
2. Relasi konfliktual antara negara dan masyarakat
3. Ketegangan relasional antara negara dan masyarakat
Dengan kata lain hubungan itu tidak:
· Tidak harmonis
· Tidak selaras, alias
· Tidak setara/tidak demokratis
Implikasinya tidak ada hubungan yang setara/komunikatif dalam relasi itu…Mengapa bisa terjadi seperti itu, sudah banyak kita bahas dalam kuliah-kuliah yang lalu.
Kuliah kali inipun masih melihatnya dari faktor-faktor penyebab tidak setara/komunikatifnya, yakni dari sudut administrasi negara/birokrasi (legal-rasional). Birokrasi pemerintahan kita belum “legal-rasional” sebagaimana yang dititahkan Max Weber.
Konseptualisasi Weber;
· Pembagian kerja
· Hierarkhi
· Prosedur tertulis
· Impersonalitas
· Meritokrasi
Sering kita dengar;
1. Kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah
2. Kalau bisa diperlama mengapa dipercepat
3. ABS….Asal Bapak Senang
4. Megawati : Birokrasi keranjang sampah
5. Berbelit-belit
6. Korup
7. Menindas
8. Dll…..
Mengutif Eka Prasojo, dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, birokrasi kita masih:
1. Kultur birokrasi yang tidak berintegritas.
2. Tumpeng tindih peraturan Perundang-undangan.
3. Strutur organisasi yang emuk dan boros
4. Proses bisnis pemerintah yang lamban
5. Sumber Daya Manusia yang tidak kompeten dan tidak professional
6. Penyakit Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
7. Pelayanan public yang tidak responsive dan tidak akuntabel. (Kompas 14 Nopember 2014)
Dalam relasi atau hubungan demikian tidak mungkin terjadi komunikasi yang baik. Sebagaimana sudah dibahas pada kuliah kuliah sebelumnya, komunikasi yang terjadi dalam pola seperti itu, cenderung komunikasi satu arah, tertutup, dan tidak demokratis.
Salah satu upaya untuk meretas parasite demikian adalah membuat tata Kelola pemerintahan, yang akuntabel, transparan, efisien dan efektif, rule of law, demokratis (Good Governance), seperti tertulis dalam artikel di bawah ini.
∏
PENGERTIAN, PRINSIP DAN PENERAPAN
GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA
A. PENGERTIAN GOOD GOVERNANCE
Good Governance adalah suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun secara administratif menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha.
Good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara.
Good Governance diIndonesia sendiri mulai benar – benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good Governance merupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah berjalan selama 20 tahun ini, penerapan Good Governance di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita – cita Reformasi sebelumnya. Masih banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan akuntansi yang merupakan dua produk utama Good Governance.
B. Prinsip Good Governance
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:
Partisipasi Masyarakat (Participation)
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara
langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan
kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk
berpartisipasi secara konstruktif. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar
setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka
mengantisipasi berbagai isu yang ada, pemerintah daerah menyediakan saluran
komunikasi agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini
meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat
secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan masyarakat adalah
melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan agenda pembangunan,
pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dan mekanisme
konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral.
Tegaknya Supremasi Hukum (Rule of Law)
Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan
publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Sehubungan dengan itu, dalam
proses mewujudkan cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk
menegakkan rule of law dengan karakter-karakter antara lain sebagai berikut:
Supremasi hukum (the supremacy of law), Kepastian hukum (legal certainty),
Hukum yang responsip, Penegakkan hukum yang konsisten dan non-diskriminatif,
Indepedensi peradilan. Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang
bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
Transparansi (Transparency)
Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil
oleh pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal-balik
antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin
kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Tranparansi
dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan,
lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti
dan dipantau. Sehingga bertambahnya wawasan dan pengetahuan masyarakat terhadap
penyelenggaraan pemerintahan. Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintahan, meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam
pembangunan dan berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.
Peduli pada Stakeholder/Dunia Usaha
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua
pihak yang berkepentingan. Dalam konteks praktek lapangan dunia usaha, pihak
korporasi mempunyai tanggungjawab moral untuk mendukung bagaimana good
governance dapat berjalan dengan baik di masing-masing lembaganya. Pelaksanaan
good governance secara benar dan konsisten bagi dunia usaha adalah perwujudan
dari pelaksanaan etika bisnis yang seharusnya dimiliki oleh setiap lembaga
korporasi yang ada didunia. Dalam lingkup tertentu etika bisnis berperan
sebagai elemen mendasar dari konsep CSR (Corporate Social Responsibility) yang
dimiliki oleh perusahaan. Pihak perusahaan mempunyai kewajiban sebagai bagian
masyarakat yang lebih luas untuk memberikan kontribusinya. Praktek good
governance menjadi kemudian guidence atau panduan untuk operasional perusahaan,
baik yang dilakukan dalam kegiatan internal maupun eksternal perusahaan.
Internal berkaitan dengan operasional perusahaan dan bagaimana perusahaan
tersebut bekerja, sedangkan eksternal lebih kepada bagaimana perusahaan
tersebut bekerja dengan stakeholder lainnya, termasuk didalamnya publik.
Berorientasi pada Konsensus (Consensus)
Menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah
melalui konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat memuaskan
semua pihak atau sebagian besar pihak, juga akan menjadi keputusan yang
mengikat dan milik bersama, sehingga ia akan mempunyai kekuatan memaksa
(coercive power) bagi semua komponen yang terlibat untuk melaksanakan keputusan
tersebut. Paradigma ini perlu dikembangkan dalam konteks pelaksanaan
pemerintahan, karena urusan yang mereka kelola adalah persoalan-persoalan
publik yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Semakin banyak yang
terlibat dalam proses pengambilan keputusan secara partisipasi, maka akan
semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili. Tata
pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi
terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi
kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal
kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
Kesetaraan (Equity)
Kesetaraan yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Semua warga masyarakat
mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
Prinsip kesetaraan menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan
masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam
memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Informasi adalah suatu kebutuhan
penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah. Berkaitan
dengan hal tersebut pemerintah daerah perlu proaktif memberikan informasi
lengkap tentang kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada masyarakat.
Pemerintah daerah perlu mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti
melalui brosur, leaflet, pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal.
Pemerintah daerah perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara
mendapatkan informasi
Efektifitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)
Untuk menunjang prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, pemerintahan
yang baik dan bersih juga harus memenuhi kriteria efektif dan efisien yakni
berdaya guna dan berhasil-guna. Kriteria efektif biasanya di ukur dengan
parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat
dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Agar pemerintahan itu efektif dan
efisien, maka para pejabat pemerintahan harus mampu menyusun
perencanaan-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat, dan
disusun secara rasional dan terukur. Dengan perencanaan yang rasional tersebut,
maka harapan partisipasi masyarakat akan dapat digerakkan dengan mudah, karena
program-program itu menjadi bagian dari kebutuhan mereka. Proses-proses pemerintahan
dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan
dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas adalah pertangungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang
memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Para pengambil
keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat
bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang
berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya
tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan. Instrumen dasar
akuntabilitas adalah peraturan perundang-undangan yang ada, dengan komitmen
politik akan akuntabilitas maupun mekanisme pertanggungjawaban, sedangkan
instrumen-instrumen pendukungnya adalah pedoman tingkah laku dan sistem
pemantauan kinerja penyelenggara pemerintahan dan sistem pengawasan dengan
sanksi yang jelas dan tegas.
Visi Strategis (Strategic Vision)
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang
akan datang. Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan
jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta
kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut.
Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan,
budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
C. Penerapan Good Governance di Indonesia
Good Governance diIndonesia sendiri mulai benar – benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good Governance merupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah berjalan selama 21 tahun ini, penerapan Good Governance di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita – cita Reformasi sebelumnya. Masih banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan akuntansi yang merupakan dua produk utama Good Governance.
Akan tetapi, Hal tersebut tidak berarti gagal untuk diterapkan, banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam menciptakan iklim Good Governance yang baik, diantaranya ialah mulai diupayakannya transparansi informasi terhadap publik mengenai APBN sehingga memudahkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam menciptakan kebijakan dan dalam proses pengawasan pengelolaan APBN dan BUMN. Oleh karena itu, hal tersebut dapat terus menjadi acuan terhadap akuntabilitas manajerial dari sektor publik tersebut agar kelak lebih baik dan kredibel kedepannya. Undang-undang, peraturan dan lembaga – lembaga penunjang pelaksanaan Good governance pun banyak yang dibentuk. Hal ini sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan sektor publik pada era Orde Lama yang banyak dipolitisir pengelolaannya dan juga pada era Orde Baru dimana sektor publik di tempatkan sebagai agent of development bukannya sebagai entitas bisnis sehingga masih kental dengan rezim yang sangat menghambat terlahirnya pemerintahan berbasis Good Governance.
Diterapkannya Good Governance di Indonesia tidak hanya membawa dampak positif dalam sistem pemerintahan saja akan tetapi hal tersebut mampu membawa dampak positif terhadap badan usaha non-pemerintah yaitu dengan lahirnya Good Corporate Governance. Dengan landasan yang kuat diharapkan akan membawa bangsa Indonesia kedalam suatu pemerintahan yang bersih dan amanah
PERTANYAAN
1. Sebutkan prinsip-prinsip Good Governance.
2. Jelaskan secara kongkrit, bagaimana caranya mewujudkan partisipasi masyarakat.
3. Apakah gambaran buruk birokrasi, seperti tersebut di atas, yakni berbelit belit (kalau bisa diperlama mengapa dipercepat….kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah), masih tetapberlangsung seperi itu? Jelaskan secara sistimatis
4. Apa yang saudara ketahui tentang cita-cita reformasi. Jelaskan secara singkat
5. Yakinkah saudara dengan strategi good governance ini, komunikasi pemerintahan lebih berdaya guna? Jelaskan secara runtut.
Lampiran
MERAWAT RELASI NEGARA – MASYARAKAT
Boni Hargens
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)
Mengajar di sejumlah universitas di tanah air
Kompas 14 Juni 2021
Selain menyejahterakan rakyat, apa agenda teleologis negara demokrasi yang memungkinkan alibi dan narasi kekuasaan mendapatkan justifikasi moral dalam beragam situasi kontroversial?
Mungkinkah relasi negara-masyarakat berada pada titik keseimbangan yang harmonis? Tahun 1956, sosiolog Amerika serikat, Wright Mills (1916-1962) menerbitkan naskah berjudul “The Power Elite”, elite kekuasaan.
Pada bagian awal, Mills berbicara soal hidup banyak orang yang acapkali tidak dibentuk oleh kehendak dan rancangan sendiri, tetapi diciptakan oleh kepentingan segelintir orang yang lebih berkuasa daripada kebanyakan dalam masyarakat, terutama pada gatra politik dan ekonomi. Mereka ini yang disebutnya “elite kekuasaan” atau “orang-orang hebat” (great men) dalam Bahasa sejarawan budaya Swiss, Carl Jacob Christoph Burchardt (1818-1897). Meski berbicara soal dinamika demokrasi Amerika serikat padanya, tesis Mills selalu relevan dalam berbagai konteks.
Membaca relitas sosial-politik dalam paradigma kekuasaan, terutama jika diletakkan dalam persfektif elitis, sebetulnya membaca dua kelas: “yang berkuasa” dan “yang dikuasai”. Demokrasi sejak awal, mewartakan esensi kedaulatan rakyat sebagai roh utama dari demokrasi – yang dalam praksis dipercayakan kepada segelintir wakil yang duduk dalam ruang kekuasaan untuk bertindak atas dasar dan demi kemaslahatan rakyat (an sich)
Sejarah membuktikan, di tangan elite politik, naluri kekuasaan tak selalu slaras dengan esensi moral dari kekuasaan per se. Sebagian elite bertindak “atas nama rakyat” untuk mengenyankan diri. Korupsi politik dan politisasi identitas kelompok, terutama politisasi agama, merupakan contoh praksis pragmatis yang mengikis kandungan moral kekuasaan.
Tanggalkan isu dangkal
Kita baru di ujung prah pertama 2021, wcana pemilihan presiden 2024 sudah menguat. Nama-nama bahkan bersileweran di media massa. Di tengah pandemic yang memunculkan bervariasi keresahan social, kita disuguhi berita politik dangkal, tempral, dan jauh dari pergumulan hidup rakyat jelata.
Sebagaian orang merasa itu dinamika biasa. Pasalnya, politik selalu berbicara siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. Namun hal yang bisa disangkal, pengadilan moral berlangsung dalam wilayah Nurani. Setiap kita yang memiliki kepedulian etis terhadap bangsa dan negara tentu tidak bahagia dengan tontonan serupa.
Bagi seorang negarawan, keselamatan rakyat dan kepentingan negara adalah dua realitas yang tak terpisahkan, bahkan saling mensyarati. Tanpa keselamatan rakyat, negara serentak kehilangan esensi ontologis dan tujuan teleologisnya. Sebaliknya, tanpa merawat kepentingan negara (konstitusi, kebijakan,keamanan perangkat negara, keutuhan wilayah, ketahanan ideologi, dan sebagainya), mustahil keselamatan rakyat terwujud.
Apakah salah kalau ambisi politik elite selalumendominasi berita media massa? Ini bukan perkara salah atau benar, melainkan perihal etis atau tidak. Pemerintahan Joko Widodo baru berakhir tiga tahun lagi. Di tengah kompleksitas social hari ini, rakyat berada di titik paling rawan. Dituntut imajinasi moral dan tanggung jawab etis dari elite politik untuk memprioritaskan nasib rakyat dari pada agenda praktmatis pemilu yang masih jauh.
Kemelut relasi negara-masyarakat
Situasi hari ini tidak sesederhana kelihatannya. Benturan social yang keras sebelum dan setelah Pemilu 2019 masih menyiskan turbulensi berkelanjutan yang, bagaimanapun, berpotensi sebagai bom waktu di masa depan. Radikalisme, terorisme, dan separatism merupakan ancaman kasat mata yang dihadapi bangsa dan negara. Konsolidasi di tengah masyarakat dan di tataran elite belum tuntas dalam merespons tiga ancaman tersebut.
Otonomi khusus untuk Papua masih mendapat perlawanan keras. Saat yang sama, isu radikalisme mengalami politisasi kebablasan, terutama oleh sebagian oposisi politik. Hal ini dapat melemahkan kerja deradikalisasi yang sudah berjalan. Sebagian oposisimenilai radikalisme adalah terminology bentukan rezim untuk membungkam lawan politik. Pandangan macam itu tentu masalah serius, bahkan lebih berbahaya daripada radikalisme itu sendiri.
Narasi ketidakadilan yang diusung kelompok populis kanan, terutama setelah Arab spring sukses di Timur Tengah setelah gebrakan besar di Tunisia tahun 2010, terus meningkatkan ketegangan konfliktual dalam relasi negara-masyarakat. Ini persoalan yang melampauai urusan pemilu. Ironisnya, Sebagian elite politik memperlakukan isu maca mini sebagai amunisi electoral.
Para sarjana terus berdebat soal apakah konsolidasi demokrasi sejak 1998 sudah berhasil atau berjalan di tempat. Kapan kita bisa keluar dari fase transisi politik? Erdebatan epistemologis macam ini memiliki memiliki implikasipraktis yang mendalam. Ujungnya kita akan berbicara soal keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan beragam Lembaga tambahan yang dibentuk untuk mendorong percepatan konsolidasi demokrasi di negara post otoritarian.
Dalam sebuah diskusi public, saya katakana sebagai respons terhadap seorang aktivis social, konsolidasi demokrasi belum tuntas. Indicator utamanya adalah keberfungsian pranata dasar demokrasi yang kita kenal sebagai “trias politik”. KPK hakikatnya lembga ad hock, sementara. Dia bisa dibubarkan Ketika yudikatif dinilai sudah kuat untuk menjalankan fungsi penegakan hukum.
Faktum korupsi politik yang masih menggurita tentu membawa kita jauh darililin di ujung terowongan yang gelap. Implikasinya, keberadaan KPK masih dibutuhkan, butuh terus didukung, dan diperkuat.
Apakah test wawasan kebangsaan (TWK) merupakan ancaman? Dalam konteks particular, kompleksitas social tak bisa diatasi dengan sudut pandang tunggal. Ada persoalan radikalisme yang mengancam ketahanan ideologi Pancasila di satu sisi-dan telah lama menjalar dibanyakinstitusi negara, dan ada kebutuhan penciptaan pemerintahan yang bersih di lain sisi. Keduanya fundamental dan sedapat mungkin diatasi secara bersamaan.
Dalam lens aini, TWK perlu dilihat secara optimistis sebagai upaya memperkuat keberadaan dan peran KPK, terutama dalam hal menjaga komitmen moral orang-orang didalamnya untuk berkibalat pada ideologi negara, bukan pada ideologi lain-meskipun sepintas tujuannya kelihatan serupa! Tujuan sama tak membenarkan perbedaan pendekatan. Perjuangan melawan korupsi harus diletakkan dalam kerangka ideologi negara, bukan pada ideologi lain.
Meski demikian, keresahan tentang pelemahan KPK, setelah adanya peralihan status pegawai independent menjadi aparatur sipil negara (ASN), perlu menjadi refleksi seluruh elemen, terutama masyarakat sipil, dalam peran pengawasan terhadap kekuasaan.
Rekomendasi
Rumitnya hubungan negara-masyarakat hari ini mencerminkan ketidaksebangunan (incongruence) dalam sejumlah aspek. Pertama, ada pertentangan antara paradigma negara dan masyarakat terhadap sejumlah isu strategis seperti TWK. Dalam situasi maca mini, sulit adanya harmoni pandangan.
Maka, sebaiknya isu TWK dikesampingkan dan kita kembali pada aturan hukum yang sudah baku sambil menanti pembuktian KPK dalam hal penguatan kinerja. Protes masyarakat perlu diterima sebagai refleksi sepanjang itu baik untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Kedua, kesan adanya relasi konfliktual antara negara dan masyarakat menguat sejalan dengan penegakan hukum yang berjalan dengan tegas terhadap kelompok oposisi politik terutama oposisi jalanan terseret kasus ujaran kebencian, tindak pidana kekerasan, dan propaganda radikal. Meski negara benar, strategi keseimbangan tetap dibutuhkan untuk mencegah ketegangan menjadi bom waktu dimasa depan.
Ketiga, ketegangan relasional negara-masyarakat tentu tak terpisahkan dari agenda Pemilu 2024. Isu ketidakadilan, perlawanan terhadap pemerintah, dan beragam propaganda di runag public perlu dievaluasikritis untuk membedakan permainan politik dari suara murni rakyat.
Keempat, perlu pembenahan komunikasi pemerintah, terutama dalam merespons serangan oposisi di media massa. Scenario penggalangan sering kali lebih efektif dibandingkan strategi ofensif. Kritik keras perlu direspons dengan cara yang berbeda dengan tetap menjaga keseimbangan frekuensi supaya wibawa negara tidak diremehkan.
Berikut, promosi prestasi pemerintah dan kerja keras apparat negara adalah upaya alternatif untuk menekan perlawanan opposisi politik tanpa masuk ke arena konflik yang sengaja diciptakan. Ada banyak contoh untuk ini. Pembangunan massif di Papua adalah bentuk kontribusi konkrit pemerintah melawan propaganda kaum separatis.
Terowongan penghubung Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta adalah upaya membangun monument toleransi. Pendekatan positif macam ini perlu ditingkatkan, bukan untuk menang atas opposisi, melainkan untuk membawa relasi negara-masyarakat pada titik keseimbangan yang harmonis. Selain itu, terutama, untuk merawat persepsi kolektif tentang keindonesiaan kita yang demokratis, toleran, dan cinta damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar