MEROSOTNYA ETIKA PEMERINTAHAN
Oleh: Reinhard Hutapea, Hisar Siregar, dan Nedi Sidauruk
Pokja Pusat Studi Pancasila UHN Medan
Published, Waspada 23 September 2021
Masyarakat hanya sebatas penonton penderita dibawah/disamping pentas yang suguhan/alur ceritanyanya sangat menjenuhkan
Pandemi Covid-19 telah membuka kelemahan, pemerintahan semakin kasat mata. Kelemahan-kelemahan atau distorsi-distorsi, yang sebelumnya, sesungguhnya sudah lama terjadi, namun dengan pandemi ini semakin terang-benderang, silau, dan menjengkelkan. Seakan-akan bahwa pemerintahan itu, sebagaimana pengakuan para penganut persfektif “elit, konflik, dan strukturalis”, hanya mengutamakan dan melayani dirinya sendiri, semakin mendekati kebenaran.
Tujuan pemerintahan (negara) sebagaimana tertulis dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945, yakni melindungi segenap warga negara, mensejahterakan, dan mencerdaskan, semakin hari, bukannya semakin terwujud, malah sebaliknya cenderung semakin tak ada hubungannya dengan tujuan mulia tersebut. Apa yang dilakonkan pemerintah, nyaris tak nyambung dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat (Easton, 1950)
Problem Deesentralisasi
Sinyalemen demikian dapat dilihat ketika Orde Baru berjaya selama 32 tahun. Korupsi merajalela dengan hebat di segala lini, namun rakyat tak bisa berbuat apa-apa, selain berkubang dalam kemelaratan dan ketidakberdayaan (Karl D. Jackson, 1978). Pemerintahan sebagaimana dituturkan beberapa pakar asing, tidak menjalankan kekuasaan yang seharusnya orientasinya ke rakyat sebagaimana pesan konstitusi dan ideologi, melainkan hanya ke diri dan lembaganya. Karl D. Jackson menyebut kepolitikan demikian sebagai “pulau terapung dilautan masyarakatnya”.
Masyarakat hanya sebatas penonton penderita dibawah/disamping pentas yang suguhan/alur ceritanya sangat menjenuhkan. Alur cerita yang tertera di sinopsis, yakni batang tubuh UUD 1945, yang seharusnya menjadi kompas adegan-adegan utamanya. seperti yang tertulis dalam pasal 27 ayat 2, yakni setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kehidupan, pasal 31, yakni berhak mendapatkan pendidikan, pasal 28 h, yakni fasilitas kesehatan yang wajar, pasal 27, ayat 1, yakni perlindungan hukum, pasal 34, yakni melayani fakir miskin dan anak terlantar dan lain-lain, nyaris bukan menjadi agenda utama birokrasi, sebab tak pernah tampil di pentas pertunjukan.
Mayoritas, dominan, kalau bukan seluruhnya, yang melesat adalah acting-acting antagonis, seperti; korupsi yang terus akut, penyalahgunaan kekuasaan, tata kelola pemerintahan yang tidak efektif, penegakan hukum yang tak jalan (Azyumardi Azra, K, 12 Agustus 2021), birokrasi yang tak responsive terhadap tuntutan rakyat (Eko Prasodjo, K, 12 Agustus 2021), hingga fungsi partai, sistim demokrasi, dan sistim presidensial nan jauh dari substansi (Siti Zuhro, K, 12 Agustus 2021)
Kacaunya, setelah Orde Baru tumbang dan digantikan era reformasi, penyakit-penyakit demikian sama sekali tidak berkurang. Malah sebaliknya semakin tereskalasi dengan norak dan vulgar. Meminjam Amin Rais, korupsinya semakin berjamaah. Korupsi yang sebelumnya dilakukan dibawah meja, kini sudah di atas meja, dan mejanya pun sekalian disikat.
Gejala yang fenomenologis setelah ditempuhnya otonomi daerah (Otda) tahun 2001, dimana korupsi yang sebelumnya hanya marak di pusat, kini dengan otda merata ke daerah. Para kepala daerah, apakah itu Gubernur, Bupati, dan Walikota banyak yang masuk hotel prodeo (karena korupsi), namun sebaliknya banyak juga yang selamat dan menjadi raja-raja kecil di daerahnya.
Suasana yang selanjutnya membuat tata kelola pemerintahan tidak seperti tujuan awal otonomi, yakni mendekatkan pelayanan kepada rakyat, sehingga rakyatnya semakin cepat sejahtera, sebagaimana tujuan pemerintahan, yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945. Tata Kelola pemerintahan yang diharapkan “akuntabel, transparan, efektif, efisien, dan responsive” terhadap kebutuhan rakyat, nyatanya semakin jauh dari jangkauan.
Dan semakin jauh, sebab yang berkembang kemudian di daerah adalah bangkitnya primordialisme, yakni sifat-sifat kedaerahan, yang diwarnai para oligarkhis. Pemilihan kepala daerah secara langsung yang diterapkan sejak tahun 2005, telah melembagakan sifat-sifat kedaerahan itu semakin kental. yang mengganggu negara kesatuan.
Disisi lain, yakni, selain mencuatnya isu-isu kedaerahan nan oligarkhis tersebut, ekses-ekses negatif lain yang melesat dari pemilihan kepala daerah secara langsung adalah tampilnya metode “beli suara” untuk menjadi pemenang pilkada. Para pemenang pada umumnya adalah mereka yang punya banyak uang, yang dalam perjalanannya kemudian, sudah pasti akan membuat transaksi untung-rugi (sang pemenang akan berupaya mengembalikan modal yang dikeluarkan).
Derivasi-turunan, atau konsekwensi logisnyanya, birokrasi-pemerintahan yang dipimpinnya akan semakin terpolisir. Ia tidak lagi netral alias, “legal-rasional, sebagaimana dititahkan Max Weber. Ia akan terpenjara dalam relasi yang kolutif-hegemonic dengan DPRD, yang juga tampil karena kekuatan uang (money politics).
Belum lagi relasinya dengan pemerintahan diatasnya, yakni provinsi, akan semakin tidak harmonis, karena otonomi (desentralisasi) ada di tingkat II bukan di tingkat I. Artinya tidak ada kewajiban bagi Bupati/Walikota, mengikuti perintah-perintah Gubernur, meski Gubernur adalah, wakil pemerintah pusat di daerah.
Suasana yang sungguh-sungguh tidak sehat, karena sejak kelahirannya otonomi daerah sudah mengandung cacat laten, yakni cacat yang lahir karena konsep yang ditawarkan pada Amandemen tahun 2000 – 2002, bukanlah otonomi atau desentraliasasi di tingkat II, melainkan diprovinsi (tingkat I), sebagaimana dinegara-negara yang umumnya menganut sistim desentralisasi.
Anomi/tanpa norma
Bagaimana terjadi sefatal itu, yakni dari yang lazimnya provinsi ke kabupaten-kota, tak lain tak bukan karena PDIP menghempangnya. Partai ini (PDIP) kala itu beranggapan, jika otonomi diberi ke provimsi, itu sama saja dengan merubah bentuk negara dari “kesatuan ke federal”. Sebagai jalan tengah atau komprominya, meski dikemudian hari menimbulkan permasalahan, disepakati desentralisasi/otonomi diberikan kepada kabupaten dan kota.
Tragedi politik, yang mungkin sudah banyak yang melupakan, namun terus merasakan eksesnya, yakni amburadul, acakkadut, dan kacaunya praksis otonomi daerah. menjamurnya korupsi yang akut, tata kelola pemerintahan yang tidak efektif, dan tidak jalannya penegakan hukum, sebagaimana ditengarai Azyumardi Azra cs di atas, adalah rona pemerintahan yang berjalan sehari-hari..
Bukan seperti yang diimperatifkan UU Pemerintahan Daerah, UU Penyelengaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN (UU No 28 Tahun 1999), Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, dan atau khususnya Pancasila dan UUD 1945. Bukan itu, melainkan anomi (Durkheim, 1897), yakni suasana tanpa norma, tanpa peraturan, tanpa hukum, atau kekacauan
Meski tak persis sama, suasana demikianlah yang menyelimuti pemerintahan daerah saat ini. Oleh karena itu tak perlu kaget, jika ada kepala-kepala daerah plus jajarannya yang berperilaku aneh-aneh atau menyimpang, seperti akan beli mobil dinas, pakaian yang mewah-mahal ditengah-tengah penderitaan/keprihatinan masyarakat .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar