MENANTI TAMPILNYA KEPEMIMPINAN PANCASILA
Oleh: Reinhard Hutapea, Hisar Siregar, dan Nedi Sidauruk
Pokja Pusat Studi Pancasila UHN Medan.
Published, Waspada, 1 sept 2021
Tidak jauh berbeda dengan Azyumardi Azra, Eko Prasodjo mengatakan, kepemimpinan Pancasila bisa menjadi solusi guna mendobrak system pemerintahan yang telanjur korup
Setelah 76 tahun Indonesia merdeka, telah melahirkan 7 sosok Presiden, yang antara yang satu dengan yang lain sangat berbeda dalam gaya/style kepemimpinannya. Bung Karno sebagai Presiden pertama, dikenal sangat kharismatk, retorik, dengan style demokrasi terpimpin sebagai manifestasi Manipol Usdek. Sebaliknya Soeharto yang sangat otoriter dengan balutan pembangunanisme (Developmentalisme/ekonomi yes, politik no)
Habibie yang tampil menggantikan Soeharto, muncul dengan mode demokrasi-liberal dengan latarbelakang bertiupnya reformasi. Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang melesat dalam pilpres pertama reformasi memainkan syle, yang sungguh-sungguh super demokrasi kerakyatan (nasionalistik). Megawati yang tampil mrnggantikan Abdurahman Wahid, yang diharapkan banyak kalangan akan seperti ayahnya (Bung Karno), ternyata jauh dari harapan. Megawati kecenderungannya memilih gaya kepemimpinan demokrasi lunak (soft-calm)
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menggantikan Megawati, mungkin lebih tepat dikatakan sebagai seorang democrat nan sentimental-melankolik. Beliau satu-satunya Presiden yang menciptaan lagu, dan suka mengeluh. Jokowi yang menggantikannya, karena masih menjabat dapat disebut sebagai democrat-blusukan, karena doyan langsung bertemu rakyat.
Demikianlah sekian gaya, model, dan style kepemimpinan, yang mungkin masih dapat diperdebatkan, namun kalau ditilik dari kepemimpinan modern, sesungguhnya hanya ada dua jenis kepemimpinan, yakni demokrasi dan otoritarianisme. Dari tujuh persiden tersebut, enam dapat dikatakan sudah demokratis, sedangkan yang sebaliknya, yakni yang otoriter, hanya satu yakni Soeharto. Akan tetapi jika dipertanyakan lebih jauh, apakah ke enam presiden yang dikategorikan demokratis itu sudah menjalankan kepemimpinan demokrasi Pancasila, maka jawabannya tidak tunggal.
Problem klasik nan actual
Diskursus/perkembangan terakhir bagaimana implementasi Pancasila, apakah sudah dipraksiskan atau belum, dapat dilihat dari diskusi yang digagas Aliansi Kebangsaan tanggal 11 Agustus 2021, dengan tema “Tata Kelola Negara Berdasarkan Paradigma Pancasila, Rabu (11/8/21), dengan tiga narasumber yang tak asing lagi, yakni Azyumardi Azra (Guru besar UIN Syarif Hidayatullah), Eko Prasodjo (Guru besar Kebijakan Publik UI), dan Siti Zuhro (Peneliti politik LIPI) (K,12 Agustus 2021)
Dalam pemaparannya, Azyumardi Azra mengatakan untuk mengatasi permasalahan bangsa yang akut, seperti korupsi, tata kelola pemerintahan yang kurang efektif serta penegakan hukum yang tidak adil, dibutuhkan kepemimpinan public berlandaskan Pancasila. Pemimpin yang dibutuhkan tak hanya yang pandai berteori, tetapi juga mempraktikkan kelima sila Pancasila dalam kinerjanya.
Tidak jauh berbeda dengan Azyumardi Azra, Eko Prasodjo mengatakan, kepemimpinan Pancasila bisa menjadi solusi guna mendobrak sistem pemerintahan yang telanjur korup. Sebab, jika hanya mengandalkan kesadaran individu, akan terbentur sistem politik yang korup. Selama ini, reformasi birokrasi menjadi lebih bersih, efektif, dan efisien hanya jadi jargon semata, tetapi minim implementasi.
Padahal, apabila birokrasi bisa dibenahi secara utuh, mereka bisa terhindar dari intervensi dari kepentingan politik dan oligarkhi. Hal ini penting karena birokrasi adalah pengelola anggaran negara. Apabila birokrasi kuat dan tak goyah oleh intervensi politik, pelayanan public akan menjadi lebih optimal dan efektif.
Sementara itu, Siti Zuhro mengatakan, demokrasi di Indonesia belum mencapai demokrasi substansial. Demokrasi memakan waktu, energi, dan anggaran yang besar, tetapi belum berhasil menciptakan kepemimpinan yang diharapkan masyarakat. Pemerintahan belum sepenuhnya efektif, dan justru semakin koruptif.
Siti Zuhro berpandangan, ada sejumlah hal yang bisa dilakukan untuk memperbaiki demokrasi di Indonesia. Pertama, memperkuat sistem presidensial dengan menyederhanakan sistem multi partai. Penataan ini dinilai penting untuk mengatur mekanisme “check and balances” di parlemen sehingga sistem presidensial lebih kuat. Begitu pula complain rakyat terhadap anggota DPR yang tidak berkinerja baik diparlemen juga dibutuhkan, dan penataan kembali sistem pemilu.
Pandangan-pandangan normative-kwalitatif yang sudah terlalu sering diutarakan berbagai kalangan, namun tidak pernah terjadi perubahan. Dari seminar ke seminar, kuliah ke kuliah, pidato ke pidato khotbah ke khutbah, perbincangan ke perbincangan, dari kurun waktu yang satu ke kurun waktu yang lain, bahwa tata kelola kenegaraan itu tidak sesuai dengan Pancasila, telah memekakkan telinga sejak lama.
Dua bulan yang lalu (31 Mei 2021), Buya Syafii Maarif dengan bombastis dan telak menulis di Kompas dengan judul , “Pancasila Lumpuh”, pada hal beliau sendiri adalah anggota Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP). Buya menyatakan bahwa Pancasila selama ini hanya sebagai etalase politik dan tameng penguasa,.
Pendapat yang sesungguhnya, juga, sudah lama diutarakan pakar-pakar asing yang mengamati Indonesia, seperti Prof Howard Wriggins (1969) dan Prof Donald S. Weatherbee/Prof Harry Julian Benda. Howard Wriggins menyatakan bahwa ideologi-ideologi yang diperkenalkan negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia (Pancasila) pasca kemerdekaannya setelah Perang Dunia II, hanya instrument para pemimpin untuk menghimpun kekuasaan.
Selain itu, yakni selain menghimpun kekuasaan, adalah instrument mengalihkan perhatian dari persoalan-persoalan nyata, memutar balikkan realitas, dan mencampur-adukkan penggunaan cara untuk mencapai tujuan (Ideologies perform a number of political functions, and leaders will attempt to use them ini their efforts to agrgate power. But ideologies may divert attention from real problems, misrepresent reality, and complicate the use of means to ends).
Lebih vulgar dan blak-blakan dikemukakan Prof Donald S.Weatherbee dan Prof Harry J. Benda dari Universitas Yale, yang khusus meneliti peranan ideologi di Indonesia. Dalam bukunya Ideologi in Indonesia, kedua pakar itu menyataan bahwa Pancasila itu sebenarnya suatu usaha belaka untuk menutup-nutupi pertentangan kepentingan yang real antara berbagai golongan (Ruslan Abdulgani, 1986:61)
Meski masih dapat diperdebatkan, mengingat ketiga pakar AS itu adalah penganut filsafat pragmatis-realisme, sementara Pancasila lebih dekat dengan filsafat idealism, dalam fakta empiriknya, apa yang diutarakan ketiga pakar itu banyak benarnya. Paling tidak jika ditelusuri dari dua hal, yakni ketika proses perumusannya, dari 1 Juni 1945, hingga 18 Agustus 1945, dan dari perjalanan sejarahnya sejak Orde Lama hingga Orde Baru.
Dalam proses perumusannya, yakni sejak tanggal 1 Juni 1945 (pidato Bung Karno), tanggal 22 Juni 1945 (Piagam Jakarta), hingga 18 Agustus 1945 (pembentukan UUD 1945), telah terjadi perubahan-perubahan yang significan, yang tidak saja dalam hal teknis/tata urutan sila-sila, namun juga dalam hal substansinya.
Perubahan nan secara objektif sesungguhnya sukar diterima, namun karena pembentukan Konstitusi (UUD 1945) yang harus segera dituntaskan, kompromi menjadi jalan keluar (masih dapat diperdebatkan)
Kepemimpinan Pancasila
Uraian-uraian klasik nan actual demikian, masih dapat ditulis sekian panjang lagi, namun sebagaimana fakta dan dan empirik, nilai-nilai/kepemimpinan Pancasila itu permanen masih jauh panggang dari api. Mengutif pendapat ketiga pakar di awal tulisan ini, yakni Azyumardi Azra, Eko Prasodjo, dan Siti Zuhro, parasite social-politik, dan ekonomi yang yang berlangsung selama ini dari waktu ke waktu, tidak berkurang, malah semakin lama, semakin akut, seperti sistim/tata kelola pemerintahan yang semakin korup, penegakan hukum (rule of law/rule of game) yang tidak jalan, dan sistim kepartaian/pemilu yang jauh dari substansi demokrasi, melegitimasi bahwa kepemimpinan Pancasila, sungguh-sungguh belum tampak. Semakin tak tampak, sebab ditengah-tengah pandemi Covid-19 yang memilukan masih ada Menteri yang korupsi bansos dan anggota DPRD yang meminta pakaian yang harganya milyaran rupiah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar