Kamis, 14 Oktober 2021

BK1,MK, MANAJEMEN KONFLIK

 


 

BK1, MK, MANAJEMEN KONFLIK

KULIAH I,  15 OKTOBER 2021

JURUSAN PEMERINTAHAN, FISIPOL UDA

PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

=======================================================

Pengantar

Kuliah daring/on line sudah keniscayaan. Kita belum tahu kapan pandemi berakhir. oleh karena itu kitapun belum tahu kapan kuliah tatap muka dibuka kembali. Sebagai siasat agar tujuan perkuliahan tidak ketinggalan, maka metodenya harus dirubah, yakni dari “pendengar menjadi pembaca”. Mahasiswa harus rajin membaca. Membaca sebanyak-banyaknya.

Saya ajak mahasiswa membaca materi kuliah yang sudah saya berikan lengkap, tanpa perlu diterangkan sebagaimana ketika kuliah tatap muka. Materi yang saya berikan sudah komplit, sesuai dengan dengan materi Satuan Acara Perkuliahan (SAP)

Pada kuliah perdana ini akan saya berikan tulisan-tulisan saya  yang sudah diterbitkan beberapa media. Tulisan-tulisan yang pada dasarnya adalah ilustrasi, contoh, dan problem-problem konflik..

Catatan: jawablah pertanyaan-pertanyaan yang ada di bawah. Jawabannya dikirim ke WA group, bukan ke WA saya

JEBAKAN THUCYDIDES DALAM RELASI CHINA – AS

Oleh: Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA Medan

Published, Analisa, 22 Agustus 2020

Menyerah pada benda yang tak terlihat, yang bernama Covid-19 adalah fenomena dunia saat ini. Biasanya manusia, bangsa, dan negara, menyerah kepada hal-hal yang terlihat, yang garang, dan lazimnya menyeramkan, seperti bom atom misalnya. Jepang menyerah tanpa syarat ke AS dan Sekutu setelah negara itu di bom di Hiroshima dan Nagasaki, yang menimbulkan ratusan ribu tewas.

Begitu pula negara-negara Eropa Timur takluk ke Uni Soviet setelah negaranya diduduki tentaranya dengan militer dan alat-alat perang yang canggih, yang daya ledaknya jauh lebih dahsyat dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Analog dengan Irak belum lama berselang, menyerah dan diduduki, setelah AS mendaratkan militernya disana, dan lain-lain kasus bertekuk lututnya suatu negara, karena pendudukan militer.

Setidak-tidaknya karena ditakut-takutin secara militer atau bentuk kekerasan-kekerasan lainnya, yang jelas terlihat dan dapat dirasakan. Tidak seperti yang terjadi saat ini, menyerah kepada benda-benda yang terlihat, bak mithos atau hantu. Bagaimana mahluk-mahluk demikian bisa menaklukkan? Jawaban yang sederhana tak mungkin ditemukan.

Masih banyak misteri, dan tanda-tanda tanya besar dibaliknya. Masih banyak dugaan-dugaan (hipotesis) yang bisa benar bisa salah, yang hanya akan terungkap pada perjalanan sejarah selanjutnya. Masalah-masalah global, sebagaimana masalah kehidupan pada umumnya tidak selalu dapat diprediksi secara masuk akal (rasional). Tidak selalu dapat diduga secara general, atau dibuktikan dengan konsep-konsep ilmiah nan empirik.

Bisik-bisik Trump dengan pengikut setianya yang hegemonik dan membabi buta, apa bisa dibuktikan secara ilmiah? Siapa yang tahu itu, selain mereka yang berkomplot di dalamnya?  Bisik-bisik segelintir pengusaha raksasa dunia yang akan melakukan kartel, dan memaksakan agar produknya dibeli seluruh dunia, apa bisa dilihat secara kasat mata, dan di dengar secara jelas?

Rivalitas AS versus China

Tidak mungkin itu. Bisik-bisiknya ketahuan (umumnya) setelah terjadi bencana, seperti perang, pendudukan, pembantaian. Atau setelah keluar keputusan-keputusan tententu dari meja perundingan tertutup, seperti peraturan-peraturan perdagangan yang merugikan negara-negara sedang berkembang/miskin, dan atau menggantung negara-negara pengutang dengan syarat-syarat yang menyeramkan.

Disinilah relevansi dan pentingnya teori konspirasi yang sukar dibuktikan secara ilmiah, namun sering menunjukkan kebenarannya, meski tanpa uji empirik-ilmiah. Sebaliknya, banyak juga yang tidak percayai dan melecehkannya. Artinya, ada yang menduga bahwa Covid-19 itu bukan virus alamiah, melainkan adalah virus bikinan (rekayasa), yang dibuat untuk maksud-maksud tertentu (vested interest). Penemu virus HIV/AIDS, yang menjadi pemenang Nobel tahun 2008, Prof Ivc Montagnier, menyatakan bahwa Virus Covid-19 di buat di Laboratorium (C news Channel, 19 April 2020)

Terserah mau meyakini yang mana, yang alamiah atau rekayasa, yang pasti virus itu sudah mengglobal, sudah fenomenologis, dan sudah membuat mayoritas manusia tiarap ketakutan di rumah masing-masing. Ketakutan tidak saja secara fisik, lebih dari situ adalah secara psikhis/kejiwaan, yang jika berlangsung lama sangat membahayakan. Namun apa daya hanya itu yang bisa dilakukan.

Dari ketakutan ke ketakutan, yang sampai kapan kuatnya, masih sukar diprediksikan. Apakah mereka akan kuat dalam waktu lama? Apakah negara sanggup membiayai dalam waktu lama? Apakah kiat-kiat yang disarankan WHO dengan karantina total, alias lockdown, penjarakan antar manusia (social and fisical distancing), pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sudah tepat pada jalurnya, adalah pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka, yang jawaban akuratnya belum ditemukan.

Apalagi Thedros Adhanom Ghebreyesus, dirjen WHO sendiri, terang-terangan mengakui bahwa, metode yang ditempuh saat ini hanyalah langkah medis biasa, menghindarkan penularan yang lebih luas. Bukan langkah yang sesungguhnya, apalagi pamungkasnya. Langkah seperti itu ada di luar ranah medis/kesehatan, melainkan pada politik, yakni kesatu-paduan (kolaborasi) seluruh negara memeranginya. Seluruh negara harus satu komando/bersatu melawannya.

Tidak seperti sekarang yang terkesan parsial, yakni hanya secara sendiri-sendiri. Tidak seperti waktu-waktu sebelumnya, bersatu padu secara mondial-global menuntaskan SARS, MERS,  Ebola, AIDS, sehingga cepat tuntas.

Tidak terfragmentasi, alias mengutamakan negara sendiri, dan cuek kepada negara lain. AS yang menjadi leading dalam pembrantasan-pembrantasan sebelumnya, seperti ketika menangani kasus Ebola dan SARS, kini praktis tidak hadir sama sekali. Tidak saja, tidak hadir, atau tidak mau berpartisipasi, seperti memberikan sumbangan sebagaimana sebelum-sebelumnya, malah sebaliknya menghentikan bantuannya, dan menuding WHO sebagai tidak kredibel.

Tidak cukup disitu, yakni selain tidak mau berpartisipasi secara multilateral, dan memberikan sumbangan, yang sangat memilukan, AS/Trump terus melancarkan konfrontasi dengan negara-negara lain, khususnya dengan China. China dituding sebagai biang kerok dari pandemi Covid-19, yang harus diselidiki, dan harus membayar kerugian dunia akibat penyebarannya, meski pendapat yang sebaliknya juga banyak bermunculan, yakni bahwa asal virus tersebut justru dari AS.

Seakan-akan persetan dengan tudingan Trump tersebut, bak anjing menggonggong kafilah jalan terus, sebaliknya China menanggapinya dengan moderat dan diplomatis. Dengan tulus, China bersedia mengggantikan kewajiban-kewajiban AS di WHO, yakni membayar atau memberikan sumbangan, yang jauh lebih besar dari yang diberikan AS sebelumnya. Cina berjanji akan memberikan bantuan dua milyar dollar AS, sedang AS hanya 400-500 juta dollar setahun (K, 15 Juni 2020).

Begitu pula dalam hal bantuan medis yang sangat dibutuhkan banyak negara. China yang sukses dalam waktu singkat memerangi gempuran Covid-19, bersedia memberikan bantuan kepada negara-negara yang membutuhkannya, yang selama ini juga menjadi domain AS.

Negara-negara yang dibantu ini, justru atau terutama adalah negara-negara pengikut atau sahabat lama AS, yakni negara-negara di Eropa (Italia, Perancis, Spanyol, Belanda). Alat-alat medis dan tenaga kesehatan China dengan jumlah yang besar mengalir deras kesana. Begitu pula ke negara-negara di Asia, Afrika, dan Timur Tengah.

Jebakan  Thucydides

Demikian pula dalam hal yang sangat vital, yakni masalah bantuan ekonomi. China yang dianggap sangat pelit dan hanya memburu kapital sebanyak-banyaknya, tidak terbukti sama sekali. China tetap moderat, dan mengajak negara-negara lain, seperti G-20 melakukan moratorium utang selama delapan bulan bagi negara miskin (plus bantuan ekonomi lainnya kepada negara-negara miskin tersebut).

Analog dengan pembuatan/kebijakan vaksin Covid-19. China sebagaimana kemajuan teknologinya telah memformulasikan lima calon vaksin Covid-19, yang sedang melakukan uji klinis. China berjanji akan melakukannya sebagai “barang publik global”, dan memberikan akses kepada negara lain dengan harga yang terjangkau. Tidak seperti AS, yang mengembangkan vaksin hanya untuk kepentingan domestiknya.

Singkatnya peran-peran yang selama ini dilakoni AS, kini kecenderungannya mulai digantikan China. Ia tidak lagi realis-merkantilis-isolasionis seperti dulu, melainkan sudah globalis/liberal/multilateralism . Dan menurut pengamat masalah-masalah Internasional, justru disinilah “sentral masalahnya”, yakni China berpeluang besar menggantikan hegemoni AS sebagai pemimpin dunia? Apakah AS merelakannya?

Mengutif Graham Allison dalam bukunya yang terbit tahun 2017, Destined For War: Can America and China Escape Thucydides Trap, menyatakan perang tidak bisa terhindarkan kala kekuatan baru sedang berusaha bangkit dan kekuatan lama berusaha mempertahankan dominasinya, sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Yunani, yakni antara Sparta dan Athena. Kala itu masyarakat Sparta ketakutan, karena Athena yang terus menguat, baik dalam ekonomi, politik dan terutama dalam hal angkatan bersenjata/militer, yang pada muaranya meletupkan perang.

Allison dan pakar-pakar perang lainnya menyebutnya sebagai jebakan (trap) Thucydides. Suasana yang mendorong dan menjebak dua pihak konfliktual, berseteru, atau saling antagonistis. Persfektif yang kecenderungannya dapat menjelaskan relasi China dan AS saat ini. Dua negara super power yang terperangkap dalam hubungan yang tidak harmonis, yang saling berebut pengaruh di seantero dunia, sebagaimana yang terjadi pada waktu perang dingin (cold war) pasca perang dunia II.

Konstalasi yang menarik negara-negara lain terlibat di dalamnya. Terlibat dalam mendukung salah satu adi kuasa yang sedang bersaing, sesuai kepentingan nasionalnya (national interest). Dalam suasana seperti ini, sebagaimana dirindukan Tedros Adhanom Ghebreyesus, agar tampil kerjasama global untuk memerangi Covid-19, tidakkah suatu yang ahistoris? Mudah-mudahan tidak.  


 

MENGKAJI KONFLIK YANG MELANDA GMNI

Menyongsong Kongres Nasional II GMNI, 8 Juli 1992 di Malang

Oleh: Reinhard Hutapea

Staf pengajar FISIP UNTAG Jakarta& Mantan aktivis GMNI

Published, 6 Juli 1992, Wawasan Semarang

Dalam tanya jawab dengan beberapa anggota dan pengurus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) baru-baru ini, terkesan bahwa mereka belum siap masuk ke organisasi tersebut. selain belum siap, sepertinya kemasukan mereka cenderung agak dipaksakan, sekedar ikut-ikutan, atau hura-hura.

Sinyalemen ini dikedepankan, mengingat bahwa hal-hal yang mendasar tentang GMNI, seperti dasar, tujuan, motto dan lain-lainnya tidak dipahami. Tidak tertutup kemungkinan kemasukan mereka bertolak  belakang dengan eksistensi atau jati dirinya.akibatnya, terstrukturlah insan-insan kontroversi.

Gambaran demikian selanjutnya dapat dibayangkan akan melahirkan out put-output yang jauh dari harapan organisasi. In put yang keliru, membias, atau salah akan menghasilkan keluaran (out put) yang seperti itu juga, begitu kata David Easton mengenai sistem politik. Bila dikaitkan dengan GMNI, maka sistem yang terstruktur di organisasi mahasiswa terebut tidak sehat.

Tidak sehatnya sistem ini, terkulminasi pada awal Mei 1992 di Lembang. Rakornas yang dilaksanakan di kota dingin tersebut hanya oleh dua orang Presidium, sementara yang tujuh lagi tidak tahu sama sekali. Hasilnya kelompok dua memecat kelompok tujuh. Beberapa waktu kemudian, kelompok tujuh memecat kelompok dua. Mereka pecat-pecatan, disintegrasi, atau perpecahan, akhirnya menurun ke daerah-daerah.

Bila dikaitkan dengan pendapat DavidApter tentang pluralisme politik, maka keorganisasian GMNI terjerat ke dua kategori negatip. Kategori pertama, yakni suatu sistem yang kelebihan beban, yang akibatnya menjadi ambruk. Kondisi ini tercipta karena semakin banyak (besar) yang turut serta berpartisipasi dalam organisasi, baik itu individu, atau kelompok. Hal ini dengan sendirinya mencuatkan persaingan yang cukup tajam. GMNI rupanya tidak punya metode, siasat, atau teknik untuk mengarahkan, mengontrol, atau mengkoordinasi persaingan demikian. Dalam bahasa Maurice Duverger, konflik di giring ke integrasi (lihat Sosiologi Politik)

Kategori ke dua yakni kontrol yang tidak terkendali. Anggota-anggota atau para simpatisan yang melihat tidak ada lagi koordinasi, menganggap partisipasinya tidak lagi mempunyai arti/merasa sia-sia. Pada akhirnya mereka bermuara ke lembah kesinisan, kecewa, dan masa bodo.

Setting sejarah

Untuk sementara, teori-teori yang dikedepankan Apter maupun Easton dapat dipakai sebagai salah satu pisau analisa untuk membedah persoalan yang lebih dalam. Hal ini mengingat bahwa pendekatan yang dilakukan kedua pakar politik itu adalah pendekatan behaviour, yang lazim dinegeri nan sudah mapan.GMNI sebaliknya lahir di negeri yang masih berkembang. Untuk ini pendekatan-pendekatan tradisional, seperti historis masih dibutuhkan, agar ketahuan dimana sesungguhnya akar (radix) masalah.

GMNI dilahirkan oleh empat kelompok mahasiswa, yakni Gerakan Mahasiswa Marhaenis, Gerakan Mahasiswa Demokrat, Gerakan Mahasiswa Merdeka, dan Mahasiswa Partai Nasional Indonesia pada tanggal 23 Maret 1954, keempat kelompok mahasiswa ini adalah kelompok yang gandrung akan ajaran-ajaran Bung Karno. Dimana ajaran-ajaran ini akhirnya menjadi landasan, dan sikap mereka berorganisasi.

Marhaenisme sebagai inti ajaran Bung Karno dijadikan azas (bersama dengan PNI). Sebagai mottonya dipilih “Pejuang Pemikir-Pemikir Pejuang”. Yang unik dari dari azas dan motto ini adalah bahwa penjabaran yang lebih mendetail/tuntas belum pernah ditempuh. Mungkin karena pada waktu itu bintang idola masih bertakhta disinggasana kekuasaan, maka pengejawantahan azas dan motto tersebut kurang dipermasalahkan. Pokoknya kalau sudah pidato berapi-api, penuh retorika, dan sekian kali menyebut nama Bung Karno, maka dialah itu (T.Jami, mantan Presidium GMNI 1976/1979). Kala itu memang fenomenologis apabila masuk GMNI. Anak jenderal sekalipun masuk kedalamnya, ungkap Djoko Pitoyo SH.

Betapa maraknya aktivitas GMNI pada waktu itu, semua pihak mengakuinya. Organisasi ini dengan gaya yang vokal dan militan dapat mempengaruhi otoritas (pimpinan perguruan tinggi atau the rulling clash). Maka tepatlah apabila mereka disebut sebagai pressure group elitist yang bertujuandemi kemaslahatan mayoritas masyarakat, bukan seperti vested interest yang menggejalan dewasa ini.

Kondisi itu ternyata tidak langgeng, peristiwa G 30 S/PKI yang selanjutnya melahirkan Orde Baru menancapkan suatu tatanan sosial politik yang sama sekali berbeda dengan era sebelumnya. Bagi GMNI yang sempat mendapatkan lindungan (protection) dari orang pertama republik ikut terimbas, seiring dengan hengkangnya Soekarno dari panggung politik.

Paling terpukul.

Menurut beberapa mantan aktivis mahasiswa, GMNI paling terpukul dengan perubahan politik tersebut, sebab dituduh tidak ikut ambil andil dalam Orde Baru. Lain hal dengan rekannya HMI, PMKRI, GMKI, dan PMII yang turut aktif memperjuangkan lahirnya Orde Baru. Sejauh mana kebenaran diktum ini, perlu diskusi tersendiri yang tak mungkin terulas dalam artikel singkat ini.

Di sisi lain, Orde Baru yang dinakhodai Soeharto sibuk mengkonsolidasi kekuatan untuk memantapkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang mana berkecenderungan untuk membuat ke lima organisasi ekstra universiter tersebut mengalami kekosongan atau vacum power

Kevacuman ini akhirnya berakhir pada awal Januari 1972, yakni ketika kelima organisasi ini bersepakat membuat suatu wadah berhimpun yang mereka namakan sesuai dengan tempat mereka berkumpul, yaitu “Kelompok Cipayung”. Kiprah-kiptah politik sebagaimana yang pernah dilakukan pada era-era sebelumnya kembali menggelegar ke atmosfir persilatan.

Ciri khas kelompok Cipayung sejak dicetuskannya adalah “kritik sosial”

Mereka mengkritik para pelaksana negara, pejabat, atau power establish dengan blak-blakan apabila dirasa mempunyai kesalahan atau kekeilruan. Kritik mereka begitu tajam, pedas, dan menohok ke sasaran. Sudah barang tentu banyak yang gusar dengan situasi seperti itu. hal ini tidak usah kita ceritakan panjang lebar, namun satu catatan yaitu bahwa GMNI dan Csnya asyik berpolitik praktis tapi lupa memikirkan hal-hal yang strategis. Khususnya bgi GMNI mabuk kepayang memikirkan negara, bangsa, dan masyarakat, lupa memikirkan organisasinya.

Sinyalemen yang tidak enak ini dikemukakan mengingat bahw ketika pengusa melakukan reformasi pada organisasi-organisasi kepemudaan, dan atau khususnya dalam bidang kemahasiswaan, merek tidak sanggup memberikan alternatif tandingan. Secara perlahan tapi pasti peran mereka akhirnya sangat minimal, bahkan tidak terlalu salah kalau disebutkan telah impoten pada akhir dekade 70-an.

Inti masalah

Dari setting kesejarahan ini plus teori DavidApter dan David Easton dapatlah diasumsikan bahwa kemelut antagonis yang terkulminasi saat ini diakibatkan tiga faktor penentu (determinant). Pertama, sejak terbentuknya GMNI masalah ideologi dan organisasi tidak pernah dituntaskan. Masing-masing pihak menginprestasikan sesuai dengan seleranya. Akibat selanjutnya adalah tidak melahirkan kader ideologis, tapi kader individu. Lain hal dengan HMI dan kawan-kawan yang terikat dengan norma-norma relijius. Meminjam teori organisasi, maka sistem seperti ini tidak mempunyai ikatan yang kuat.

Kedua, karena GMNI tidak dapat dilepaskan dari Bung Karno dan Partai Nasional Indonesia, maka organisasi ini selalu ekwivalen dengan Orde Lama. Banyak kalangan (sebagaimana di sebut di depan) menganggap bahwa GMNI tidak ikut andil dalam Orde Baru. Sebaliknya dengan HMI Cs yang turut menumbangkan rezim Soekarno.

Ketiga, reformasi yang sangat sistematis dan konsepsional oleh the rulling clash dalam bidang kemahasiswaan. Penguasa dengan gemilang berhasil menggiring GMNI dan menumbuhkan organisasi tandingan yang berorientasi pada power establish kepermukaan politik, seperti KNPI, AMPI, FKPPI, dan lain-lain.

Bila GMNI masih ingin survive, maka ketiga masalah ini harus dituntaskan. Hal itu tidak terlalu sulit dilakukan mengingat bahwa organisasi ini berdasar pada nasionalisme dan demokrasi. Persoalan sekarang adalah good will mereka untuk itu.


 

  KIAT JOKOWI MEMBONGKAR KULTUR PATRIARKHI

Oleh; Reinhard Hutapea

Timsel Panwaslu 7 Kabupaten Sumsel dan Direktur CEPP PPS Unitas Palembang

Published, Tribun Sumsel, 5 Juni 2015

 Keputusan Jokowi mengangkat semua  Pansel KPK dari kaum perempuan membuat hampir semua kalangan terkejut. Tidakkah itu prematur dan melawan arah?, trial and error?, sungguh-sungguh jalan keluar cerdas? adalah sebagian pertanyaan masyarakat, khususnya bagi mereka yang  tertawan dengan tradisi patriarkhi, alias dominasi laki-laki

Sebaliknya bagi pejuang demokrasi, jender atau khususnya kalangan civil society yang sudah mulai bangkit, kebijakan Jokowi tersebut adalah keputusan cerdas nan momental. Strategi jitu   merespons tuntutan  fenomenal, yakni pemerintahan yang bersih dan berwibawa (demokrasi/good governance).

Masyarakat sebagaimana faktanya sudah jenuh dan capek dengan tontonan yang hambar, munafik dan menyakitkan dari korupsi yang terus menggurita. Stop semua itu. Perlu terobosan luar biasa. Cara-cara biasa yang selama ini di perankan laki-laki tidak lagi menjawab tantangan. Ganti dengan perempuan yang sejak lama teralienasi.

Dengan kata lain ide cemerlang brilian merespons suasana politik yang penuh  gonjang-ganjing, anarkhis dan  konfliktual. Namun jauh diatas itu adalah kemampuan prediksinya melihat kepentingan strategis jangka panjang, yakni merealisasikan program raksasanya yang dinamakan revolusi mental. Minimal merubah mindset yang selama ini menganggap perempuan sebelah mata

Kiat politik cerdas

Mind set yang asimetris, feodal atau tak demokratis  sejak lama. Sekian abad telah terstruktur dalam pranata sosio-kultural yang terus (sadar atau sebaliknya) memarjinalkan perempuan hanya sebatas sub ordinat laki-laki.

 Peran perempuan dalam institusi-institusi sosial, khususnya lembaga-lembaga politik, disengaja  atau sebaliknya tetap dipentaskan hanya sebagai pelengkap penderita. Quota 30 persen perempuan yang sudah lama di dengungkan realitanya masih sekedar formalitas, kalau bukan terpaksa. Hendak terus dilanggengkan?

Jokowi rupanya menyimak dengan seksama penyakit sosial tersebut. Suara diam dari kalangan yang dilemahkan dan terlemahkan ini ditangkapnya dengan sigat. Diam-diam ia mengamati nama-nama pansel KPK yang mencuat kepermukaan semuanya adalah laki-laki.

Tercatat misalnya nama Jimly Assiddiqiah, Ery Riyana Hardjapamekas, Imam Prasodjo, Zainal Arifin Mohtar, Chairul Huda, Abdulah Hehamahua, Saldi Isra, Refli Harun, Jend (polisi) Ogroseno, Tumpak Hatorangan Panggabean, Romli Atmasasmita,Margaritho Kamis, yang entah mengapa terus tersorot konfliktual.

            Secara kompetensi semua nama tersebut sesungguhnya telah memadai dalam bidang atau keahliannya. Namun secara politis (subjektif factor)  rupanya tetap saja dianggap  tidak netral. Digunjingkan dengan berbagai kepentingan sempit, seperti  memihak satu kepentingan, kekuatan atau vested interest tertentu sehingga tidak akan maksimal memberantas korupsi.

Mayoritas dari calon-calon tersebut (sepuluh nama di depan) meski dianggap cakap dalam bidangnya, tetap saja dianggap sangat dekat dengan Jokowi, sehingga akan terkooptasi dengan kepentingan sang Presiden yang konon dibelakangnya (katanya) ngendon para koruptor. Dua nama terakhir sebaliknya ditengarai berseberangan dengan Jokowi sehingga tidak akan sesuai dengan misi Presiden. Serba salah. Begini salah, begitu salah, salah terus.

Begitu pula argumen-argumen lain yang tak mungkin kita uraikan satu-persatu yang antara yang satu dengan lainnya tidak akan ketemu. Singkatnya selama kandidat-kandidat itu berkelamin laki-laki bagaimanapun kompetensi atau gantengnya akan tetap bermasalah, yang ujung-unjungnya tidak akan mencapai kesepakatan.

Meminjam pakar politik Orde Baru, alm Alfian (1978), mereka itu telah terlembaga dalam anarkhisme, yakni suatu tradisi mau menang sendiri, tidak mau mengakui kebenaran orang, pihak atau kalangan lain/hanya pikiran, sikap atau tindakannya yang benar.

Derivasi atau konstatasinya sudah pasti konfliktual. Para elit politik, yang umumnya adalah laki-laki , disadari atau sebaliknya selalu terbelenggu dengan suasana yang tidak demokratis itu. Gampang berkonflik, namun sukar konsensus.

Muaranya siapa yang punya kekuasaan (otot) kuat ialah yang menang/menentukan. Bukan karena kesadaran politik yang etis-demokratis sebagaimana dikhotbahkan diruang-ruang pendidikan.

Jokowi yang berlatar belakang suku-kultur Jawa yang kental dengan pola-pola “harmony” dan bertepatan tidak punya beban masa lalu dengan sendirinya (automaticly) akan menghindari konflik apalagi konfrontasi yang tidak sehat itu.

 Ketimbang semua kandidat pansel KPK nan laki-laki tersebut  di udak-udak terus, yah sudah ganti seluruhnya dengan perempuan yang relatif lepas dari anarkhisme dan kepentingan sempit. Apalagi perempuan sebagaimana kata Mitserlich memiliki “weiblich”, yakni sikap yang lebih dari laki-laki akan “tenggang rasa, toleran ke pihak lemah, bersikap merawat, memikirkan penderitaan orang lain. Oleh Sita Van Bemmelen (1995) ditambahkan satu lagi, yakni perempuan Indonesia sangat piawai mengatur duit

 Oleh karena itu selain relatif aman, kebijakan tersebut bagi Jokowi akan mendukung legitimasi kekuasaannya karena  mayoritas kwantitas masyarakat Indonesia adalah perempuan. Kaum yang sejak lama terpinggirkan ini akan menyambutnya dengan “berbunga-bunga, anthusias dan penuh harapan”. Sungguh suatu strategi jitu menjawab tantangan politik praktis nan strategis.

Membongkar Patriarkhi

Masalah ada keraguan terhadap kebijakan tak lazim demikian, yakni seakan-akan perempuan tak sanggup tidak perlu didramatisir. Eksperimen Jokowi di Solo telah membuktikan bahwa perempuan yang diberi kesempatan menjabat kepala satpol PP jauh lebih berhasil ketimbang jabatan itu dipegang laki-laki.

Dengan kiat yang dimiliknya, pejabat perempuan ini berhasil membujuk para pedagang yang sebelumnya membangkang tidak mau direlokasi. Para pedagang dengan damai berhasil dipindahkan ke lokasi yang lebih baik

 Begitu pula dalam kabinet kerjanya, Menteri yang paling menonjol dan mensiratkan harapan, ternyata adalah perempuan, yakni Susi Puji Astuti. Menteri perikanan dan kelautan ini, telah memerankan fungsi, yang selama dijabat laki-laki belum pernah secemerlaang Susi, yakni menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan.

Kiat-kiat demikian  kecenderungannya akan diteruskan Jokowi ke bidang-bidang keras yang jauh lebih keras lagi, yakni pemberantasan korupsi. Jokowi sebagaimana tuntutan pejuang gender umumnya,  yakin apabila diberi kesempatan perempuan akan sanggup memerankannya (Isbodroini, S, 1995). Bahkan tidak tertutup kemungkinan lebih sukses dari laki-laki. Selamat tinggal patriarkhi-selamat datang kesetaraan demokratis.


 

PERTARUHAN REFORMA AGRARIA JOKOWI

Oleh: Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA Medan

Published, Waspada, 4 Maret 2021

Bagaimana adil bila 1% penduduk menguasai 58 persen pertanahan secara nasional. Tidak-kah itu ketimpangan yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip dan tujuan reforma agraria yang berkeadilan sosial? Apa bedanya dengan kasus pertanahan di era kolonialisme… 

 

Mungkin karena begitu banyaknya isu-issu baru, yang terus menerus gentayangan ditengah-tengah kehidupan sehari-hari, seperti banjirnya Jakarta dan sekitarnya, kontroversi pembuatan undang-undang/legislasi, gonjang-ganjing kudeta AHY, terpasungnya kebebasan berpendapat karena UU ITE, dan terutama terpaparnya kehidupan akibat belenggu Covid-19, membuat masyarakat tak sempat lagi memikirkan hal-hal yang strategis.

Hal-hal elementer, yang diimperatifkan Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila, dan UUD 1945, supaya kehidupan masyarakat, lebih aman, sejahtera, dan cerdas, dibandingkan era kelam sebelumnya (penjajahan/kolonialisme), melalui kebijakan “reforma agraria” (land reform), nyaris tak pernah dituntaskan.

Selalu diperbincangkan, dimasalahkan, dan diupayakan implementasinya, namun yang tampil permanen hanya dari perbincangan, permasalahan, pengikhtiaran ke perbincangan, permasalahan, dan pengikhtiaran berikutnya. Begitu nuansanya terus menerus tanpa henti.

Meminjam “teori sistem”, hanya “dari proses ke proses”….(sekali lagi dari proses ke proses). Tidak dari proses ke keputusan, apalagi ke kebijakan/kemaslahatan (out put). Tuntutan dan dukungan yang selalu datang dari masyarakat (in put), tidak pernah diproses secara demokratis, supaya menjadi kemaslahatan bersama (David Easton, 1950).

Sinyalemen demikian dapat dilihat dari pernyataan begawan/pakar hukum agraria, Maria SW Sumardjono dalam memperingati 60 tahun UUPA baru-baru ini. Beliau gamang bin galau karena pembahasan RUU Pertanahan sebagai pelaksanaan operasional dan teknis UUPA, di DPR yang sudah lama diikhtiarkan, dihentikan pada tanggal 23 september 2019, dan digantikan dengan UU yang bertolak belakang dengannya, yakni UU Omnibus Law/Cipta Kerja yang sungguh-sungguh kontroversial, berkarakter negatif dan destruktif.

Karena keadilan sosial yang menjadi tujuan utama dibentuknya UU Pertanahan makin tak jelas juntrungannya (semakin kabur). Begitu pula, prinsip-prinsip UUPA, yang menjadi master piece pembuatnya, begitu saja ditinggalkan. Tak cukup disitu, putusan MK pun dilanggar, dan prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam yang tertuang dalam Tap MPR No IX tahun 2001 sama sekali tak diakomodasi (K, 22 feb 2020)

Reforma Agraria Jokowi

Lalu bagaimana prospek/nasib Perpres no 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang menjadi bench mark Jokowi? Tidakkah diperpres itu dikatakan dengan jelas bahwa reforma agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan asset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia, akan kembali lagi hanya sebagai “slogan, mythos, dan retorika” sebagaimana sebelum-sebelumnya? Tidak ada jawaban yang tunggal.

Yang jelas, selama persoalan elementer dalam keagrariaan tidak diselesaikan, seperti pemilikan jumlah-banyaknya tanah yang dapat dimiliki oleh individu, korporasi, dan badan hukum lainnya tidak dibatasi dengan jelas, reforma agraria akan sukar berkembang, alias jalan di tempat.

Disini sentral dan sumbu masalahnya . Bagaimana adil bila 1 persen penduduk menguasai 58 persen pertanahan secara nasional. Tidakkah itu ketimpangan yang bertolak belakang dengan prinsip dan tujuan reforma agraria yang berkeadilan sosial? Apa bedanya dengan kasus pertanahan di era kolonialisme, yang memberikan keistimewaan kepada individu-individu, partikelir-partikelir, dan korporat-korporat tertentu yang menyengsarakan ribumi?

Tanah sebagaimana amanat rakyat, yang diimplementasikan para perumusnya dalam UUPA No 5 Tahun 1960 berfungsi sosial (tidak liberal-individualistik). Tidak boleh dijadikan komoditi komersil seperti yang marak saat ini, dan, terutama, tanah harus benar-benar diberikan  bagi yang sungguh-sungguh mengerjakan-membutuhkannya.

Orientasi/cita-cita, filosofi, ideologi, bahkan paradigma hukum yang tidak saja berlaku dalam reforma agraria di Indonesia, melainkan secara mondial-universal berlaku di seluruh dunia, terlepas dari ideologi yang dianutnya. Soal bagaimana cara, sistim, atau metode mengimplementasikannya, tentu tiap negara punya cara/sistem tersendiri.

 Konteks seperti itu yang masih jauh dari perjalanan reforma agraria negeri ini. Termasuk di era Jokowi, yang sejak periode pertama pemerintahnnya telah mengadopsi reforma agraria sebagai programnya. Begitu pula dalam periode keduanya, reforma agraria, tetap mendapat tempat yang layak. Akan tetapi mengapa cenderung jalan ditempat pada hal sudah menjadi kebijakan politik  presiden?

Penyebabnya kecenderungnnya tidak tunggal atau parsial, melainkan sudah akut dan sistemik. Menurut Gunawan Wiradi(2005), macetnya reforma agraria yang terjadi sejak dulu hingga saat ini adalah akibat warisan politik hukum Orde Baru, yang merubah semangat, prinsip, atau tujuan reforma agraria, yang sebelumnya berfungsi sosial, menjadi komoditas ekonomi  strategis an sich (semata-mata) untuk memenuhi kebutuhan pemodal, terutama pemodal asing.

Sebagai derivasinya rakyat ditekan/dilarang bicara agraria. Bahkan dengan tragisnya, jika coba-coba memperjuangkan orientasi reforma agraria, akan dituding sebagai komunis, yang membuat rakyat ketakutan dan penuh trauma, apalagi saat itu aparat aktif melakukan intimidasi.

Trauma atau ketakutan, yang meski Orde Baru sudah tumbang, masih tetap dirasakan, sebab yang berkuasa kemudian masih penuh dengan anasir-anasir sebelumnya, yakni elit-elit atau kalangan-kalangan yang mendapat keuntungan dari rezim Orde Baru/Soeharto. Dengan kata lain, Orde Baru/Soeharto tumbang, tapi tidak dengan rezimnya.

Rezimnya masih mewarnai, kalau bukan menguasai pemerintahan-pemerintahan selanjutnya, yaitu pemerintahan – kekuasaan era reformasi. Reformasi politik yes, reformasi ekonomi no. Kekuatan ekonomi masih mayoritas dipegang kekuatan-kekuatan eks Orde Baru, yang dapat konsesi (privilege) selama Soeharto berkuasa.

Sebatas Geliat

Meminjam paradigma Marxian, yakni ekonomi menentukan politik, aktor-aktor ekonomi eks Orde Baru demikian, step by step, namun pasti, kembali lagi (come back) mewarnai pentas politik (baca: Kekuasaan). Fenomenanya sangat jelas, ketika Gus Dur dilengserkan dari singgasana kekuasaan dan digantikan Megawati, pola-pola ekonomi politik yang ditempuh dalam era Soeharto kembali lagi berjaya.

Dan semakin berjaya ketika SBY naik ke takhta/singgasana kekuasaan. Ekonomi Indonesia tetap berorientasi pasar bebas (free market) dengan mantra-mantra Washington Consensus, seperti deregulasi, privatisasi, liberalisasi (Stiglitz, 2001), yang popular dengan sebutan “neolib”.

 Singkatnya semangat ekonominya masih terbelenggu neolib, atau liberal-kapitalis nan super individualistik (Gunawan Wiradi, 2005, Maria SW Sumardjono, 2020). Lalu muncul tuntutan penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan, melalui penataan asset yang disertai penataan akses, sebagaimana definisi reforma agraria dalam Perpres no 86 tahun 2018? Tidakkah terlalu jauh?

Jelas sangat jauh, namun itu adalah perintah konstitusi (Pasal 33 ayat 3, UUD 1945) yang harus diperjuangkan apapun taruhannya. Political will Jokowi yang sudah take off, meski sangat tertatih-tatih, atau sebatas geliat harus kita dukung. 


 

MENGELOLA KONFLIK MENJADI KONSENSUS

Oleh: Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA Medan

Published, Waspada, 28 Juni 2018

Salah satu negara yang paling marak, ramai, dan nyaris krusial masalah politiknya di dunia saat ini adalah Indonesia. Tiada hari tanpa pergunjingan, hujat menghujat, hingga friksi-friksi/anarkhisme politik. Dari mulai bangun hingga tidur mereka tak pernah lekang dari perbincangan masalah-masalah kekuasaan tersebut.

Sinyalemen demikian dapat di lihat ketika mereka saling berhubungan atau berinteraksi dalam pergaulannya sehari-hari. Dari mulai warung kopi, hingga hotel berbintang lima yang dibacotkan tak lebih tak kurang selalu bermuara pada masalah-masalah bangsa, negara, masyarakat, atau politik yang lazimnya tak berujung pangkal. Mirip novelnya Mohtar Lubis “Jalan tak ada ujung”, karena tidak pernah sampai di tujuan.

Historisitas Konflik

Jalan dan di jalan terus, tak pernah mencapai terminal alias konsensus. Pada awal pergunjingan lazimnya selalu terjadi dinamisasi atau kehangatan. Artinya mereka yang bergunjing masih anthusias berdiskusi, bertukar pikiran, hingga berdebat dalam tataran yang argumentatif (sama-sama dapat diterima).

 Akan tetapi ketika pergunjingan mulai ditingkatkan pada tahap selanjutnya, kita sebutlah pada tahap menengah (kalau bisa disebut seperti itu), pergunjingan sudah mulai bias. Pergunjingan yang awalnya dinamis, mulai datar, dan selanjutnya mengarah ke distorsi,  kalau bukan mutung, sebab masing-masing peserta ngotot pada argumennya.

 Derivasi, konsekwensi logis atau implikasi selanjutnya dari suasana demikian sudah pasti tak akan ada lagi kesepakatan. Mereka stop tukar pikiran/diskusi, dan kembali asyik dengan diri, ideologi, dan primordialnya sendiri. Ilustrasinya dapat dilihat dalam sidang Konstituante medio 1950-an yang tak selesai-selesai menyempurnakan Undang Undang Dasar (UUD) baru.

Masing masing partai dan kekuatan politik yang bersidang pada lembaga tersebut, bertahun-tahun tidak bisa kompromi membentuk konstitusi (UUD) baru, yang akhirnya memaksa Presiden Soekarno melakukan dekrit pada tanggal 5 Juli 1959, yakni kembai ke UUD 1945.

Ilustrasi selanjutnya, adalah jatuh menjatuhkan kabinet pada era Orde lama. Partai-partai yang tumbuh secara demokratis saat itu berlomba-lomba menjadi penguasa, tanpa jelas mau berkuasa untuk apa. Terjebak hanya dalam tataran ideolog an sich, dan minus program kongkrit. Begitu pula dengan mencuatnya pembrontakan-pembrontakan daerah saat itu (PRRI/Permesta, DI/TII dan sebagainya), tak lain tak bukan hanya karena ingin memaksakan kehendak.

Orde Baru (Orba) yang tampil kemudian mengoreksi total keadaan yang kurang kondusif tersebut secara radikal . Dengan slogan akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, rezim ini tampil dengan menyederhanakan (simplikasi) masalah. Mereka melihat bahwa suasana konfiktual yang terjadi pada waktu itu adalah karena faktor politik dan kemiskinan ekonomi. Oleh karena itu agar negeri ini lebih baik kedua masalah ini yang harus dituntaskan, yakni dengan metode yang mereka jargonkan sebagai “Politik no-ekonomi yes, atau politik no-pembangunan yes”. Metode yang kemudian terbukti sangat ahistoris.

Sebagai derivasinya segala hal yang berbau politik step by step disingkirkan. Seluruh kebebasan yang mekar dan bekembang pada saat itu segera disunat, dan digantikan dengan pendekatan keamanan (security approach). Orde Baru sangat yakin/haqul yakin bahwa untuk mewujudkan tujuan negara tidak dibutuhkan politik, karena hanya membuat keributan atau konflik. Yang utama dan terutama dibutuhkan adalah ekonomi.

Dengan trilogi pembangunannya yakni “ekonom sebagai pengambil kebijakan, teknokrat sebagai pelaksana, dan militer sebagai penjaga stabilitas” dipentaskanlah pemerintahan yang otoriter-diktatorian, agar pembangunan ekonomi tersebut berhasil.

Pemerintahan yang tugas-fungsinya jika ditilik lebih jauh sesungguhnya hanya menjaga keamanan semata (security approach). Pemerintahan yang kemudian terbukti sukses menghilangkan friksi-friksi atau konflik sebagaimana yang terjadi pada era sebelumnya, dan sukses juga menghadirkan stabilitas. Namun sebagaimana historisitasnya, stabilitas ini hanyalah stabilitas semu, karena rakyat dikondisikan dalam psikologis ketakutan. Kelak setelah rezim Orde Baru lengser, dan muncul era reformasi yang menghembuskan kebebasan , benih-benih konflik primordial yang fenomenal dan mekar pada era Orde Lama, muncul kembali.

Secara formal kemunculan demikian dapat di lihat pada amandemen Undang Undang Dasar 1945 (UUD) tahun 2000-2002 di MPR. Dalam sidang tersebut masih ada kalangan, golongan, kekuatan politik tertentu yang ingin mengembalikan UUD 1945 ke Piagam Jakarta (Jakarta charter) sebagaimana yang terjadi pada perumusannya tahun 1945, dan sidang-sidang konstituante akhir 1950-an.

Meski mengalami kegagalan dalam amandemen tersebut, tidak berarti orientasi primordialnya berhenti. Mereka  tetap berjuang dalam beberapa komunitas masyarakat. Ada yang formal, yakni yang terang-terangan memperjuangkan ideologi selain Pancasila, seperti HTI, dan belum lama berselang telah dibubarkan pemerintah. Yang tidak formal, sebagaimana sudah banyak terpublikasi akhir-akhir ini adalah yang bersarang di lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah-sekolah, kampus-kampus dan komunitas-komunitas pendidikan lainnya.

    Wujud primordial lain yang juga sangat laten, dan sesungguhnya merupakan api dalam sekam, adalah masalah suku, ras, atau etnisitas. Masalah laten yang sewaktu-waktu dapat meledak/muncul kepermukaan, bila tidak cerdas mengelolanya. Begitu pula bentuk-bentuk sektarian lain, seperti ras, antar golongan, dan lain-lain bentuk yang kemungkinan tampil sesuai perkembangan jaman.

Menuju Konsensus

Ilustrasi atau contoh sektarian lain, yang laten masih dapat dideskripsikan sekian panjang lagi. Namun yang pasti bahwa masalah-masalah mendasar tersebut, entah mengapa belum pernah dituntaskan hingga ke akar-akarnya. Bung Karno yang pernah melahirkan konsep “nation and character building”, karena satu dan lain hal belum sempat mewujudkannya. Orde Baru yang mempraksiskan depolitisasi dan pertumbuhan ekonomi, malah sebaliknya membuat suasana semakin kelabu, karena rakyat dijauhkan dari politik, dan keadaan ekonomi yang akhirnya memburuk, dan bermuara pada krisis moneter medio 1997-an.

Orde Reformasi yang tampil kemudian menggantikannya. Yang dianggap sebagai alternatif dan koreksi total (counter attack) terhadap kelemahannya, ternyata sama saja, yakni tidak dapat berbuat banyak menyelesaikan sumber-sumber konflik yang sudah fenomenal sejak lama. Demokrasi yang menjadi tema sentral, kredo, icon, instrument, atau benchmarknya, yang mekar pada awalnya, tidak berapa lama kemudian tergadai karena terbajak elit-elit Orde Baru (Olle Tornquist, 2004)

Elit-elit Orde Baru yang sebelumnya telah memiliki kekuatan, khususnya kekuatan ekonomi (Richard Robison dan Vedi R Hadiz menyebutnya oligarkhi kekayaan) dengan gemilang berhasil membelokkan tujuan reformasi keluar dari jalur, dan sesuai kepentingannya. Demokrasi yang mekar harum semerbak pada awalnya layu sebelum berkembang, karena terbonsai secara sistemik oleh kekuatan lama yang muncul kembali. Kekuatan yang dalam khazanah ekonomi-politik dikenal dengan sebutan oligark.

Oligark yang lihai meningkatkan dan mempertahankan kepentingannya, namun alfa bahkan anti kepentingan publik (baca: masyarakat). Kelompok yang tetap memberikan Kebebasan politik, namun tidak untuk kesetaraan, atau toleransi sebagaimana prinsip,hakiki, atau tujuan demokrasi, melainkan untuk kebebasan itu sendiri.

Kebebasan yang dalam perkembangannya kemudian menjadi bebas-sebebas-bebasnya, (alias kebablasan), karena dipraksiskan tanpa rambu-rambu. Semua rambu-rambu yang ada, apakah itu rambu hukum, sosial, budaya, dan sebagainya, tanpa kecuali ditabrak semua, tanpa merasa bersalah. Konstatasi yang kemudian dimanfaatkan para demagog, kelompok kepentingan (vested interest), dan atau khususnya para oligark tersebut untuk semata-mata kepentingan diri atau komplotannya. Masalah yang akan terus membelenggu dan menimbulkan konflik selama belum ada terobosan yang militant dan radikal (R. William Liddle, 1 Maret 2018). Lalu? Dibutuhkan konsensus nasional mengelolanya.

MENGAPA VANDALISME  SELALU MENYERTAI PILKADA ?

KASUS PILKADA PALEMBANG 2013

Oleh: Reinhard Hutapea

STAF PENGAJAR MIP & FISIP UNITAS PALEMBANG

Sehari paska pilkada, yakni tanggal 8 April 2013 yang lalu kota Palembang penuh kemilau  karangan bunga. Karangan bunga yang digelar di trotoar-trotoar jalan sebagai ucapan selamat ke pemenang pilkada yang belum diputuskan siapa pemenangnya.

Karangan bunga tersebut diberikan kepada dua pasangan. Tepatnya  ke pasangan Sarimuda-Nelly Rosdiana dan pasangan Romi Herton-Harnojoyo yang konon selisih suaranya hanya hitungan jari. Tragis betul bagaimana ucapan selamat diberi kepada dua pasangan yang pemenangnya belum diputuskan, sangat tak lazim dan tak logis

Tidakkah selayaknya karangan bunga  dikirimkan setelah pemenang dipastikan oleh lembaga resmi/ KPUD ?. Masa belum diputuskan siapa pemenangnya sudah keburu nafsu memberi selamat via bunga.  Motif  apa gerangan  yang ada di benaknya ?. Memaksakan pilihannya tetap menang meski kalah ?

Seminggu kemudian (15 April 2013), yakni setelah KPUD mengumumkan pemenangnya, mulai terkuak latar belakang kiriman premature tersebut . Pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya. Konon mereka  merasa dicurangi. Sebagai reaksinya mereka menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK)

Ternyata , setelah lebih kurang sebulan MK bersidang tampillah suasana yang terbalik, tuntutan para penggugat, yakni pasangan Romi Herton-Harnojoyo  dikabulkan. Artinya keputusan KPUD yang sebelumnya memenangkan Sarimuda-Nelly Rosdiana menjadi batal.

Merasa  keputusan MK tersebut tidak tepat, pihak yang dikalahkan, yakni pasangan Sarimuda-Nelly Rosdiana, gantian tidak dapat menerimanya. Mereka melawan karena merasa dicurangi

 Sebagai derivasi atau konsekwensi selanjutnya terjadilah  gejolak. Suasana yang tadinya tenang dipermukaan, mulai menggeliat dan selanjutnya memanas. Berbagai kiat penolakan mereka praksiskan ke atmosfir politik Palembang. Salah satunya adalah melalui jalur hukum, yakni   memperjuangkan keberatannya kepada lembaga resmi, dengan    memakai jasa   Yusril Ihza Mahendra sebagai pengacaranya.

Tidak cukup dengan cara konvensional tersebut, sebagai eskalasi penolakan, simpatisan-simpatisannya didorong dan terdorong melakukan demonstrasi. Setiap hari jalan-jalan protokol Palembang marak dengan pawai allegoris. Dengan membawa spanduk, poster dan baliho  mereka menolak keputusan MK tersebut

Puncaknya meledak pada tanggal 4 Juni. Dengan rombongan  besar mereka mendatangi DPRD Palembang. Mereka menekan  agar lembaga representasi masyarakat ini   tidak menerima  keputusan MK dan jangan melantik Walikota terpilih sebelum upaya hukum  yang mereka tempuh ditanggapi.

            Apakah   kecewa karena tekanan mereka tidak begitu saja diterima  DPRD , dikipas para provokator atau ada faktor-faktor terselubung lain, setelah pulang dari kantor wakil rakyat tersebut, para demonstran melakukan aksi anarkhis di pasar 16 Ilir. Mereka  membakar  toko elektronik, yang konon pemiliknya (katanya) adalah pendukung  Walikota yang dimenangkan MK.

MK Superbodi ?

Realita  demikian menunjukkan bahwa masyarakat kota Palembang khususnya, dan masyarakat kita umumnya, masih asing  dengan mekanisme pemilihan   langsung. Meski   dikonotasikan sebagai mekanisme yang  sangat efisien, canggih, sophisticated dan demokratis, praksisnya masih jauh dari harapan. Maksud hati memeluk gunung, yang terangkul malah malapetaka.

Sebagai negara modern prinsip –prinsip demokrasi universal, seperti “kebebasan, kesetaraan dan toleransi” demikian telah lama kita adopsi. Begitu pula adagium abadi Abraham Lincoln yang mengatakan bahwa pemerintahan “from the people, by the people, and for the people” tidak akan hilang dari dunia ini, tidak pernah kita nafikan.

Masalahnya adalah bagaimana mengoperasionalkannya. Apa harus melalui pemilihan langsung, apa harus one men one vote sebagaimana diktum demokrasi liberal sebagaimana yang kitabterapkan saat ini ?. Apa tiap daerah harus seragam? Apa tidak ada mekanisme lain yang lebih sesuai dengan adat, tradisi dan kultur kita ?

 Banyak jalan ke Roma kata pepatah lama. Demokrasi liberal yang mengagung agungkan pemilihan langsung bukanlah satu-satunya jalan. Jalan-jalan lain masih banyak. Jalan yang tepat  adalah jalan yang sesuai dengan jati diri sendiri. Bukan jalan lain yang kelihatannya mulus, ternyata terjal, cadas, penuh fatamorgana dan menggelincirkan

Praksis selama ini menunjukkan bahwa sinyalemen demikian menunjukkan kebenarannya, yakni Jalan yang ditempuh  penuh resiko, carut marut dan sangat amburadul yang membuat tujuan mulia semakin tak tergapai.

 Selain  tujuan utamanya tak tergapai, seperti “keamanan, kesejahteraan dan keadilan”,  yang  lebih tragis lagi  adalah mencuatnya sengketa yang tak pernah berakhir. Seakan akan pilkada yang berlangsung  hanya dari sengketa ke sengketa. Tidak  dari sengketa untuk konsensus sebagaimana prinsip kekuasaan demokratis(Duverger,M, 1980).

Sejak tahun 2008 hingga 2013, menurut  catatan MK, telah terjadi 549 gugatan pilkada (minus Lumajang, Bali dan Kota Palembang). Artinya/dengan kata lain tidak ada pelaksanaan pilkada yang mulus pra dan pasca penetapan KPU. Selalu timbul sengketa dan selanjutnya diserahkan ke MK.

Mengapa terus menerus ke MK ?, apakah proses di daerah yang telah menjadi kesepakatan nasional dan konon  sangat demokratis itu tidak dapat dipercaya ? mengapa sesama kita tidak saling percaya ? bukankah saling percaya itu sangat indah sebagaimana  pesan moral universal ?

Sukar diterima akal sehat bagaimana  pilihan ratusan ribu, jutaan bahkan puluhan juta pemilih akhirnya  hanya ditentukan oleh sekian sosok di MK. Perkasa benar itu MK. Kalau begitu lalu bagaimana itu eksistensi KPU yang telah disepakati rakyat  sebagai  pelaksana pemilu?. Begitu pula mitranya Bawaslu/Bawasda sebagai lembaga pengawas dimana tempatnya ? Mengapa institusi-institusi yang kita bentuk kita tabrak sendiri ?.

Kalau hanya 1, 2, 3 kasus yang mengemuka ,atau hanya sekian persen yang diajukan ke MK,, tidak begitu masalah. Tapi jika semua akhirnya bermasalah dan semuanya ditentukan melalui MK, pasti ada yang tak beres. Pasti ada akar masalah yang tidak pernah dituntaskan

            Lama-kelamaan, jika suasana yang tak sehat  ini berlangsung terus,  tidak tertutup kemungkinan MK pun nantinya bisa-bisa tak beres atau di tak bereskan.  Selain tugasnya telah over load, para elitnya akan terpancing penyalah gunaan wewenang. Lord Acton telah lama mengingatkan bahwa kekuasaan yang absolute cenderung disalahgunakan .

            Jika suatu saat  konstatasinya seperti itu, MK siap-siap dituding , dihujat hingga dituntut bubar, sebagaimana yang dialami KPK belum lama berselang. Karena begitu menentukan, bahkan terkesan sakti, KPK   dikesankan sebagai lembaga superbodi  yang kekuasaannya begitu besar sehingga tidak dapat dikoreksi.

Derivasinya, Karena tak dapat dikoreksi, membuat banyak kalangan  gusar, terutama sosok-sosok koruptor yang sedang euforia di panggung kekuasaan . Dengan berbagai cara,  dalih yang dibenar-benarkan, mereka menuntut KPK dibubarkan. Analog dengan MK yang saat ini, sangat  menentukan hasil pemilu, akan dicari-cari ikhtiar pembubaran.

 Masyarakat Anarchis ?

Masalah kecenderungan tersebut  menjadi kenyataan atau sebaliknya, biarlah sejarah yang menentukan. Yang pasti saat ini suasananya sangat anarkhis. Dimana-mana paska pilkada anarkisme selalu menyeruak ke permukaan.

Masing-masing kontestan yang berkompetisi entah dengn argumentasi rasional atau sebaliknya tidak pernah sportif. Tidak   mau mengaku kalah meski kenyataannya kalah. Selalu dan secara reflektif selalu mencari dalih untuk memaksakan kehendak, meski dipermukaan selalu mengumandangkan “siap kalah, siap menang”, realitanya adalah sebaliknya, yakni tidak siap kalah dan maunya hanya menang.

 Konstatasi yang sungguh primitif, egois, parochial, mau benar sendiri, alias tidak mau mengakui kebenaran pihak lain. Konsekwensi logisnya sampai kapanpun. Mungkin sampai kiamat mereka akan terus memaksakan kehendaknya. Dengan segala daya yang ada kalangan anarkhis  akan terus memaksakan kehendaknya

Mereka baru  diam, mengalah atau kalah, apabila terbentur  kekuatan hegemonic-absolute. Baik itu kekuatan hegemonic-absolute yang legitimate- justificated , atau yang sebaliknya (tidak legitimate/justificated)

Mirip tesis Hedley Bull (1975) dengan “anarchical society” alias “masyarakat anarchis”. Masyarakat yang kalau mau ditertibkan tidak dapat dengan cara-cara konvensional, seperti hukum, norma, persuasi, bujukan, rasionalitas, melainkan dengan paksaan/coercive, hingga kekerasan fisik

 Senang tidak senang , dapat menerima atau sebaliknya, sistim sosial-politik Indonesia saat ini cenderung anarkhistis. Parasit yang mencuat sebagai konsekwensi logis dari keterbukaan politik yang sangat bebas/liberal paska  reformasi. Konstalasi yang  sudah waktunya di kaji ulang.

 

 


 

KONFLIK DAN PROSPEK PDI MENGHADAPI PEMILU 1992 (1)

Oleh : Reinhard Hutapea

Mantan aktipis GMNI Jakarta Raya/Kelompok Studi dan komunikasi Humanitas Medan

Published Harian Mimbar Umum, 21 November 1990

Keunikan partai politik di Indonesia pernah dikemukakan Daniel S. Lev, seorang pakar ilmu politik dari Amerika Serikat yang mengadakan penelitian di negeri  ini tahun 50-an. Menurut beliau keunikan terssebut adalah terdapatnya partai kecil, namun berpengaruh besar. Sebaliknya ada partai besar, pengaruhnya kecil. Kinipun bila Daniel S. Lev kembali ke Indonesia akan menemukan keunikan dalam bentuk baru, yakni adanya partai kecil, akan tetapi sepanjang waktu terus menerus dilanda kemelut. Partai ini adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang tak pernah tentram, melainkan terus menerus dirundung pertikaian intern di kalangan elit kepemimpinannya.

Kepemimpinan Suryadi yang sempat mendapat pujian karena berhasil menempuh beberapa inovasi, khususnya setelah sukses menakhodai Pemilu 1987, kembali diguncang malapetaka perpecahan sesama rekannya DPP yang berakhir dengan pemecatan Dudy Singadilaga, Marsusi dan lain-lain (SK 121 DPP/KPTS/III/1988 tertanggal 26 Maret 1988). Merasa tidak dapat menerima keputusan Suryadi, kelompok Dudy dan kawan-kawannya yang terjungkal mengadakan perlawanan, seperti kudeta 8 jam pada tanggal 14 Desember 1989. Kemelut ini semakin mekar karena  beberapa aktipis partai ini dari Medan mengadakan gerakan mogok makan di kantor DPP bulan Agustus 1990 dengan tema “menegakkan demokrasi”

Sementara itu menurut para tokoh pendiri/deklarator PDI perpecahan, disintegrasi, keretakan, atau konflik yang melanda partai tersebut sekarang ini harus diselesaikan melalui kongres yang menurut rencana diadakan pada Januari 1991 (baca Media Indonesia, 24 Oktober 1990). Mengapa PDI terus berkonflik dan bagaimana prospeknya menghadapi pemilu 1992 menjadi tujuan penulisan ini

Faktor penyebab

Bagaimana partai ini tidak henti-hentinya dilanda kemelut telah banyak dinalaisis para pakar, atau para demagog politik. Sekian argumen, dalih, atau teori mencuat kepermukaan, sehingga ada instansi yang sengaja mengklippingnya menjadi suatu buku dan terdiri dari beberapa jilid. Di sisi lain karena gemar berkelahi mendapat predikat sebagai petinju yang mana apabila tidak berkelahi badannya gatal.

Kalau di evaluasi secara seksama, dalam garis besarnya ada tiga faktor penyebab mengapa partai yang sering disebut sebagai partai gurem ini terus menerus dilanda konflik, yakni terdapatnya suasana yang tidak mengijinkan partai politik berkembang, fusi yang tidak tuntas-tuntas dan tiadanya ideologi sentral

Terdapatnya suasana yaitu struktur sosial politik yang tidakmengijinkan partai berkembang merupakan dalih yang paling klasik, general, sekaligus aktual. Konteks ini sebagaimana sering dikeluhkan adalah akibat ditempuhnya pendekatan kemanan (security approach) oleh the rulling clash nan cenderung apolitis/depolitisasi sebagai konsekuensi logis terhadap kebijaksanaan yang mengutamakan ekonomi sebagai primadona pembangunan

Dengan teori ilmiahnya Liddle menggambarkan model administratif pembangunan demikian sebagai formula segi tiga dari para ekonom sebagai penyusun kebijaksanaan, ABRI sebagai stabilisator, dan birokrasi sebagai pelaksana (Dr Albert Wijaya, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi, LP3ES, 1983)

Paradigma Liddle tersebut sudah barang tentu menafikan peran dari partai politik karena campur tangannya dianggap mengganggu. Namun kalu ditilik dari historisitasnya sah saja, sebab penguasa mapan tidak mau terulang kegagalan partai politik pada era sebelumnya, yakni era yang penuh dengan gontok-gontokan, jegal-menjegal, jatuh-menjatuhkan kabinet, mosi-mosi tidak percaya dan lain-lain argumen yang tidak sempat membuat partai menjalankan programnya

Tentang fusi, Manuel Kaisiepo berpendapat bahwa bahwa dengan fusi tersebut akan mengaburkan basis legitimasi identitas masing-masing unsur yang berfusi dalam PDI. Faktor-faktor pengikat partai dengan massa pendukungnya selama ini menjadi terputus. Dan dalam keadaan seperti itu maka kepemimpinan partai sukar diharapkan berorientasi ke bawah, sebaliknya lebih bergantung ke atas. Komposisi kepemimpinan partai tingkat pusat, DPP lalu ikut ditentukan oleh pemerintah. Dengan demikian pimpinan partai selalu berorientasi ke atas – sebagai cermin struktur yang akomodatif dan kooptatif, yang akhirnya mudah terjerumus ke krisis kepemimpinan (Prisma, Desember, 1981)

Krisis kepemimpinan kenyataan (das sein) tidak lagi barang baru bagi PDI. Konflik antara Isnaeni-Sunawar versus Sanusi Hardjadinata-Usep Ranawijaya, Sunawar kontra Hardjanto dan sekarang antara Suryadi – Nico Daryanto lawan Dudy Singadilaga-Marsusi adalah contoh-contoh faktual disentigrasi, keretakan, konflik, atau perpecahan seakan-akan (atau memang demikian?) menjadi citra PDI dalam pentas politik nasional. bila sampai ke langit ketujuh pun PDI akan terus berkemelut, hal ini kiranya merupakan fenomena baru bagi perjalanan partai politik yang pantas diteliti sebagai sinyaliran Daniel S Lev tentang keunikan partai yang pernah ditemuinya di negeri ini.

Di sisi lain ketiadaan wibawa PDI dapat di lihat ketika Isnaeni yang secara aklamasi terpilih sebagai wakil ketua DPRMPR mewakili PDI karena mendapat dukungan dari Golkar pada periode 1977 – 1982. Setting demikian merupakan contoh kongkrit, terutama jika di lihat bahwa Isnaeni tak mendapat dukungan dari fraksinya sendiri. Kenyataan ini menunjukkan betapa mudahnya muncul friksi dalam tubuh partai manakala muncul kelompok-kelompok pragmatis yang memang dikehendaki oleh keadaan. Pimpinan partai tidak lagi terlahir karena prestasi, reputasi dan ketulusannya dalam memperjuangkan aspirasi/amanah massa yang diwakilinya. Bukan pula karena mendapat legitimasi pemilihan melalui mekanisme pemilihan, seperti tertera dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, melainkan banyak ditentukan oleh dekat-tidaknya dengan pihak pengambil keputusan dalam pengangkatan pimpinan partai pada semua tingkatan harus terlebih dahulu mendapat restu atasan. Dari sini lahir pemimpin-pemimpinakomodatif (lihat Manuel Kaisiepo) yang harus licik dalam membawa peta politik.

Demikianlah yang tampak dalam rekritmen pimpinan tertinggi PDI dan rekannya PPP akhir-akhir ini. dengan situasi seperti itu dalam tubuh partai politik tidak lagi munculpersaingan untuk berprestasi. Bahkan sebaliknya orang berlomba mencari dukungan  di luar tubuh partai. Di sisi lain kenyataan seperti itu sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan partai dalam masa-masa berikutnya, setelah pimpinan partai tersebut menjalankan misinya, yakni tiadanya gairah kerja karena tidak merasa diorbitkan oleh massa (Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik Indonesia, Rajawali, 1983)...cat: bersambung

 

 

PERTANYAAN

1.       Pernahkah saudara rebut-ribut dengan teman, saudara, dan pacar?

2.      Adakah persaingan antar suku di Sumatera Utara?

3.      Mengapa sering terjadi perkelahian antar sekolah dan pelajar.

4.      Di Universitas Darma Agung pernah terjadi perkelahian antar fakultas. Mengapa terjadi perkelahian itu.

5.      Baru-baru ini Fakultas Ilmu Budaya USU digrebek BNN. Apa yang saudara ketahui dengan penggrebekan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar