Kamis, 18 November 2021

BK6, MK, MANAJEMEN KONFLIK

 


 

BK6, MK, MANAJEMEN KONFLIK

KULIAH VI, 19 November 2021

Jurusan Pemerintahan, fisipol UDA

Pengasuh: Reinhard Hutapea

========================================================

Pengantar

Pada kuliah kelima yang lalu, kelihatannya para mahasiswa belum membaca secara serius, pada hal tulisan itu sangat penting, khususnya bagi mereka yang mempelajari ilmu pemerintahan.

Belum ditelaah secara seksama, mengapa konflik itu tampil (seakan-akan konflik agama, pada hal sangat kompleks). Begitu pula cara penyelesaiannya, yang penuh masalah (yang dominan menekankan pendekatan militer, belum pada pendekatan sebenarnya, seperti pendekatan yang didasarkan kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika).

Konflik ini, sebagaimana kemudian yang tampil di Poso, penting dipahami, agar tidak terjadi atau terulang lagi ke depan.

Agar tidak hilang ditelan angin, dimana anda mengambil jurusan pemerintahan, yang tugas utamanya adalah melindungi segenap warga Indonesia (Alinea ke -4, Pemb UUD 1945), supaya kembali menelaah tulisan tersebut.

Minimal dari “kesimpulan dan rekomendasi” di bawah ini, para mahasiswa dapat memulai atau mengulanginya…..setelah itu barulah ke tema kuliah hari ini, yakni “Separatisme

 

Kesimpulan
Walaupun banyak usaha perdamaian, namun, tidak ada strategi pengelolaan
konflik yang jelas di Ambon. Setelah penandatanganan Perjanjian Perdamaian
Malino II, Pemerintah terlihat tidak memberikan perhatian yang cukup
terhadap keeratan sosial dan juga trauma yang dialami para korban konflik.
Peran negara sangat minim dan kaku dalam mengatasi konflik di Ambon.
Oleh sebab itu, ketika muncul bentrokan kembali, pendekatan pasca bentrok
yang dilakukan pemerintah adalah dengan penambahan pasukan Brimob dan
pelibatan TNI seolah-olah ada ancaman perang internal.
Konflik di Maluku sering dinilai sebagai permusuhan antara umat
Muslim dan Kristen, walau kenyataannya lebih kompleks. Konflik kekerasan
di Maluku yang sebagian besar terkonsentrasi di Ambon, adalah salah satu
konflik yang paling dahsyat terjadi di Indonesia setelah kejatuhan rezim
Soeharto. Dahulu awalnya terjadi konflik di Maluku, target kekerasannya
adalah pendatang Muslim dari Bugis, Buton dan Makassar, namun setelah itu,
konflik diperparah oleh desas-desus sekitar simbol keagamaan seperti serangan
terhadap mesjid dan gereja. Terlebih saat PDIP memenangkan pemilihan
di Ambon tahun1999, kekerasan meledak karena kemenangan PDIP yang
diartikan sebagai kemenangan “kristen”, hal ini membuat masyarakat bergerak
mempertahankan agamanya dan melakukan kekerasan terhadap siapapun dari
agama yang berbeda. Aparat keamanan pun terbagi dengan garis agama.
Berbagai upaya diambil untuk mengakhiri konflik Ambon tahun 1999-2002
dengan dua pendekatan yang digunakan dalam pengelolaan konflik di Maluku
adalah pendekatan keamanan dan darurat; serta pendekatan pemulihan dan
pembangunan. Namun demikian, tidak ada strategi atau perencanaan jangka
panjang oleh baik Pemerintah maupun masyarakat sipil.
Setelah masa reformasi adalah tugas kepolisian untuk menjaga kamanan
internal. Namun dipihak lain, militer tetap memperlihatkan kekuatannya
dengan tetap berusaha untuk mempertahankan kewenangannya. Disamping
itu, adanya keberpihakan petugas keamanan dalam beberapa kejadian,
menimbulkan ketidakpercayaaan masyarakat. Keberpihakan aparat ini terjadi
karena polisi yang ditempatkan di Maluku sebagian besar direkrut dari
penduduk lokal sehingga mereka akhirnya menjadi turut terlibat menjadi
sesama Muslim atau sesama Kristen.
Sementara itu mengenai keberadaan militer, walaupun mereka telah
sengaja dicampur dan secara berkala dipindah dari satu daerah ke daerah
lain, para tentara menjadi berteman dengan para penduduk desa yang mereka
bela sehingga saat terjadi bentrokan, para tentara juga akan memihak kepada
mereka yang sering ditemui setiap hari sehingga terkadang tentara Muslim
membela desa Muslim terhadap serangan Kristen dan tentara Kristen membela
temannya terhadap serangan Muslim. Bahkan, beberapa personel militer
menyediakan senapan dan amunisi kepada pihak yang bertikai, dan ada
juga petugas keamanan yang mengeksploitasi situasi tersebut, meminta uang
perlindungan sebagai imbalan keamanan.
Akar konflik Ambon adalah ketidakadilan baik secara ekonomi politik
maupun sosial budaya, sedangkan pemicu konflik yang paling cepat membakar
adalah isu agama. Sehingga penyelesaian konflik juga harus komprehensif
dengan menggunakan kebijakan lokal, salah satu contohnya istilah baku bae
di gunakan saat penyelesaian konflik ambon. Oleh sebab itu, tanggung jawab
harmoni dalam masyarakat adalah tanggung jawab semua pihak, tokoh agama,
tokoh politik, media dan akademisi. Namun pemerintah memiliki tanggung
jawab yang lebih besar.

B. Rekomendasi
Bekas luka konflik Ambon 1999 telah menjadi bagian latar belakang
konflik Ambon September 2011. Konflik Ambon 1999 merupakan bentrokan
fisik antara umat Islam dengan umat Kristen di Ambon yang menggunakan
penyelesaian konflik dengan pemisahan pemukiman dua kelompok warga
umat Islam dengan umat Kristen. Namun demikian, metode resolusi konflik
itu justru menjadi akar konflik dari peristiwa yang terjadi saat ini. Oleh sebab
itu, metode resolusi konflik ini perlu dievaluasi secara menyeluruh. Karena,
metode pemisahan pemukiman antar kelompok kepercayaan (interfaith) akan
membentuk residu sosial atas kelompok yang satu terhadap kelompok yang
lainnya, sebaliknya, pembauran pemukiman interfaith akan dapat menciptakan
akulturasi yang multikulturalisme sebagai insentif integrasi sosial.
Menurut UUD 1945 (pasal 30 ayat 3) tugas TNI adalah mempertahankan,
melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sedangkan,
dalam Tap MPR VII (pasal 2 ayat 2) merujuk pada “menegakan kedaulatan
negara, keutuhan wilayah, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara”. Tap
MPR membuat kerancuan dengan memasukkan “segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah” dalam “ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
negara”. Oleh sebab itu, dalam upaya untuk menjamin keamanan Ambon pada
khususnya dan nasional pada umumnya dimasa yang akan datang, diperlukan
penyusunan dan/atau rumusan ulang ketentuan perundangan antara lain
mengenai, keamanan nasional, pertahanan negara, TNI, kepolisian, Polri, dan
sebagainya. Seluruh ketentuan perundangan itu perlu untuk menciptakan
mekanisme pelaksanaan yang efektif. Selain itu, RUU tentang Penyelesaian
Konflik Sosial juga perlu segera disahkan dan dijalankan dengan sungguh sungguh oleh pemerintah pusat, daerah dan aparat keamanan. Dengan
harapan, bila dijalankan dengan sungguh-sungguh Konflik di Ambon maupun
di daerah lain seluruh Nusantara juga dapat teratasi hingga menyentuh akar
permasalahannya.
Dalam konteks nasional, Pemerintah Pusat harus bisa pula menempatkan
diri dan berperan secara arif dalam menyikapi tuntutan dan aspirasi masyarakat
dan untuk memfasilitasi upaya perdamaian, aparat Pemerintah daerah dan
instansi terkait diharapkan mampu menumbuh kembangkan manajemen isu
dalam menanggapi berbagai isu negatif yang berpotensi mengganggu proses
rekonsiliasi yang diupayakan. Hal penting lainnya yang harus diterapkan
dalam penyelesaian konflik di Ambon maupun di daerah lain di Indonesia
bila terlibat konflik, adalah bahwa metode resolusi konfliknya harus merujuk
kepada 4 (empat) pilar kebangsaan Indonesia yakni Pancasila, UUD 45, NKRI,
dan Bhineka Tunggal Ika.

Sejumlah Gerakan Separatis di Indonesia

Pengantar

Separatis sering juga disebut dengan pemberontakan, atau pemisahan diri. Mereka memberontak karena tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat. Para mahasiswa, sewaktu masih di SLTA, sebelum kuliah, sedikit banyak, sudah mengetahuinya. Tulisan ini hanya mengulangi kembali secara garis besar.

Selain itu dalam kuliah-kuliah sebelumnya, (dalam tanya jawab), sudah di ulas sebagian. Untuk lebih lengkapnya bacalah tulisan ini, agar para mahasiswa paham, bahwa separatism, kecenderungannya tak pernah hilang.

 

 

 

Sejumlah Gerakan Separatis di Indonesia

A+ A-

SEJAK merdeka pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia harus menghadapi sejumlah gerakan separatis. Gerakan-gerakan separatis tersebut memakan jumlah korban yang tidak sedikit. Selain itu, gerakan separatis itu menyisakan luka yang mendalam bagi para korban. (Baca juga: OPM Kontak Tembak dengan TNI di Nduga, 2 Tewas )

1. PKI Madiun

 

Membahas tentang pemberontakan PKI di Madiun tidak bisa lepas dari jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin tahun 1948. Jatuhnya kabinet Amir disebabkan kegagalannya Perundingan Renville yang merugikan Indonesia. Untuk merebut kembali kedudukannya,pada 28 Juni 1948 Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Pada 11 Agustus 1948, Musso tiba dari Moskow. Amir dan FDR segera bergabung dengan Musso. Untuk memperkuat organisasi, maka disusunlah doktrin bagi PKI. Doktrin itu bernama Jalan Baru. PKI banyak melakukan kekacauan, terutama di Surakarta.

2. Pemberontakan DI/TII

 

Berdasarkan Perundingan Renville, kekuatan militer RI harus meninggalkan wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda. TNI harus mengungsi ke daerah Jawa Tengah yang dikuasai Republik Indonesia.
Tidak semua komponen bangsa menaati isi Perjanjian Renville yang dirasakan sangat merugikan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah S.M. Kartosuwiryo beserta para pendukungnya. Pada 7 Agustus 1949, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Tentara dan pendukungnya disebut Tentara Islam Indonesia (TII).

3. PRRI

 

Munculnya pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diawali dari ketidakharmonisan hubungan pemerintah daerah dan pusat. Daerah kecewa terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan.
Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan daerah. Dewan Banteng di Sumatera Barat yang dipimpin Letkol Ahmad Husein dan Dewan Gajah di Sumatera Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan. Kemudian Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual. Gerakan sejumlah dewan tersebut kemudian dikenal sebagai pemberontakan PRRI.

4. Pemberontakan Permesta

 

Proklamasi PRRI ternyata mendapat dukungan dari Indonesia bagian Timur. Pada 17 Februari 1958 Somba memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI. Gerakannya dikenal dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan ini jelas melawan pemerintah pusat dan menentang tentara sehingga harus ditumpas.


5. Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

GAM adalah sebuah organisasi separatis yang memiliki tujuan supaya Aceh lepas dari NKRI. Konflik antara pemerintah RI dengan GAM terus berlangsung hingga pemerintah menerapkan status Darurat Militer di Aceh pada 2003.
Pada 27 Februari 2005, pihak GAM dan pemerintah RI memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Pada 17 Juli 2005, setelah perundingan selama 25 hari, tim perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Helsinki, Finlandia.

6. Organisasi Papua Merdeka (OPM)

 

OPM adalah organisasi yang didirikan pada 1965 untuk mengakhiri pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai Irian Jaya serta untuk memisahkan diri dari Indonesia. Gerakan ini dilarang di Indonesia dan tidak mendapat dukungan dari dunia internasional yang masih mengakui kedaulatan Indonesia.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar