BK6, MK, MANAJEMEN KONFLIK
KULIAH VI, 19 November 2021
Jurusan Pemerintahan, fisipol UDA
Pengasuh: Reinhard Hutapea
========================================================
Pengantar
Pada kuliah kelima yang lalu, kelihatannya para mahasiswa belum membaca secara serius, pada hal tulisan itu sangat penting, khususnya bagi mereka yang mempelajari ilmu pemerintahan.
Belum ditelaah secara seksama, mengapa konflik itu tampil (seakan-akan konflik agama, pada hal sangat kompleks). Begitu pula cara penyelesaiannya, yang penuh masalah (yang dominan menekankan pendekatan militer, belum pada pendekatan sebenarnya, seperti pendekatan yang didasarkan kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika).
Konflik ini, sebagaimana kemudian yang tampil di Poso, penting dipahami, agar tidak terjadi atau terulang lagi ke depan.
Agar tidak hilang ditelan angin, dimana anda mengambil jurusan pemerintahan, yang tugas utamanya adalah melindungi segenap warga Indonesia (Alinea ke -4, Pemb UUD 1945), supaya kembali menelaah tulisan tersebut.
Minimal dari “kesimpulan dan rekomendasi” di bawah ini, para mahasiswa dapat memulai atau mengulanginya…..setelah itu barulah ke tema kuliah hari ini, yakni “Separatisme”
Kesimpulan
Walaupun banyak usaha perdamaian, namun, tidak ada strategi pengelolaan
konflik
yang jelas di Ambon. Setelah penandatanganan Perjanjian Perdamaian
Malino
II, Pemerintah terlihat tidak memberikan perhatian yang cukup
terhadap
keeratan sosial dan juga trauma yang dialami para korban konflik.
Peran
negara sangat minim dan kaku dalam mengatasi konflik di Ambon.
Oleh
sebab itu, ketika muncul bentrokan kembali, pendekatan pasca bentrok
yang
dilakukan pemerintah adalah dengan penambahan pasukan Brimob dan
pelibatan
TNI seolah-olah ada ancaman perang internal.
Konflik
di Maluku sering dinilai sebagai permusuhan antara umat
Muslim
dan Kristen, walau kenyataannya lebih kompleks. Konflik kekerasan
di
Maluku yang sebagian besar terkonsentrasi di Ambon, adalah salah satu
konflik
yang paling dahsyat terjadi di Indonesia setelah kejatuhan rezim
Soeharto.
Dahulu awalnya terjadi konflik di Maluku, target kekerasannya
adalah
pendatang Muslim dari Bugis, Buton dan Makassar, namun setelah itu,
konflik
diperparah oleh desas-desus sekitar simbol keagamaan seperti serangan
terhadap
mesjid dan gereja. Terlebih saat PDIP memenangkan pemilihan
di
Ambon tahun1999, kekerasan meledak karena kemenangan PDIP yang
diartikan
sebagai kemenangan “kristen”, hal ini membuat masyarakat bergerak
mempertahankan
agamanya dan melakukan kekerasan terhadap siapapun dari
agama
yang berbeda. Aparat keamanan pun terbagi dengan garis agama.
Berbagai
upaya diambil untuk mengakhiri konflik Ambon tahun 1999-2002
dengan
dua pendekatan yang digunakan dalam pengelolaan konflik di Maluku
adalah
pendekatan keamanan dan darurat; serta pendekatan pemulihan dan
pembangunan.
Namun demikian, tidak ada strategi atau perencanaan jangka
panjang
oleh baik Pemerintah maupun masyarakat sipil.
Setelah
masa reformasi adalah tugas kepolisian untuk menjaga kamanan
internal.
Namun dipihak lain, militer tetap memperlihatkan kekuatannya
dengan
tetap berusaha untuk mempertahankan kewenangannya. Disamping
itu,
adanya keberpihakan petugas keamanan dalam beberapa kejadian,
menimbulkan
ketidakpercayaaan masyarakat. Keberpihakan aparat ini terjadi
karena
polisi yang ditempatkan di Maluku sebagian besar direkrut dari
penduduk
lokal sehingga mereka akhirnya menjadi turut terlibat menjadi
sesama
Muslim atau sesama Kristen.
Sementara
itu mengenai keberadaan militer, walaupun mereka telah
sengaja
dicampur dan secara berkala dipindah dari satu daerah ke daerah
lain,
para tentara menjadi berteman dengan para penduduk desa yang mereka
bela
sehingga saat terjadi bentrokan, para tentara juga akan memihak kepada
mereka
yang sering ditemui setiap hari sehingga terkadang tentara Muslim
membela
desa Muslim terhadap serangan Kristen dan tentara Kristen membela
temannya
terhadap serangan Muslim. Bahkan, beberapa personel militer
menyediakan
senapan dan amunisi kepada pihak yang bertikai, dan ada
juga
petugas keamanan yang mengeksploitasi situasi tersebut, meminta uang
perlindungan
sebagai imbalan keamanan.
Akar
konflik Ambon adalah ketidakadilan baik secara ekonomi politik
maupun
sosial budaya, sedangkan pemicu konflik yang paling cepat membakar
adalah
isu agama. Sehingga penyelesaian konflik juga harus komprehensif
dengan
menggunakan kebijakan lokal, salah satu contohnya istilah baku bae
di gunakan saat penyelesaian konflik ambon. Oleh sebab itu, tanggung
jawab
harmoni
dalam masyarakat adalah tanggung jawab semua pihak, tokoh agama,
tokoh
politik, media dan akademisi. Namun pemerintah memiliki tanggung
jawab
yang lebih besar.
B. Rekomendasi
Bekas luka konflik Ambon 1999 telah menjadi bagian latar belakang
konflik
Ambon September 2011. Konflik Ambon 1999 merupakan bentrokan
fisik
antara umat Islam dengan umat Kristen di Ambon yang menggunakan
penyelesaian
konflik dengan pemisahan pemukiman dua kelompok warga
umat
Islam dengan umat Kristen. Namun demikian, metode resolusi konflik
itu
justru menjadi akar konflik dari peristiwa yang terjadi saat ini. Oleh sebab
itu,
metode resolusi konflik ini perlu dievaluasi secara menyeluruh. Karena,
metode
pemisahan pemukiman antar kelompok kepercayaan (interfaith) akan
membentuk
residu sosial atas kelompok yang satu terhadap kelompok yang
lainnya,
sebaliknya, pembauran pemukiman interfaith akan dapat
menciptakan
akulturasi
yang multikulturalisme sebagai insentif integrasi sosial.
Menurut
UUD 1945 (pasal 30 ayat 3) tugas TNI adalah mempertahankan,
melindungi
dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sedangkan,
dalam
Tap MPR VII (pasal 2 ayat 2) merujuk pada “menegakan kedaulatan
negara,
keutuhan wilayah, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah
dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara”. Tap
MPR
membuat kerancuan dengan memasukkan “segenap bangsa dan seluruh
tumpah
darah” dalam “ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
negara”.
Oleh sebab itu, dalam upaya untuk menjamin keamanan Ambon pada
khususnya
dan nasional pada umumnya dimasa yang akan datang, diperlukan
penyusunan
dan/atau rumusan ulang ketentuan perundangan antara lain
mengenai,
keamanan nasional, pertahanan negara, TNI, kepolisian, Polri, dan
sebagainya.
Seluruh ketentuan perundangan itu perlu untuk menciptakan
mekanisme
pelaksanaan yang efektif. Selain itu, RUU tentang Penyelesaian
Konflik
Sosial juga perlu segera disahkan dan dijalankan dengan sungguh sungguh oleh
pemerintah pusat, daerah dan aparat keamanan. Dengan
harapan,
bila dijalankan dengan sungguh-sungguh Konflik di Ambon maupun
di
daerah lain seluruh Nusantara juga dapat teratasi hingga menyentuh akar
permasalahannya.
Dalam
konteks nasional, Pemerintah Pusat harus bisa pula menempatkan
diri
dan berperan secara arif dalam menyikapi tuntutan dan aspirasi masyarakat
dan
untuk memfasilitasi upaya perdamaian, aparat Pemerintah daerah dan
instansi
terkait diharapkan mampu menumbuh kembangkan manajemen isu
dalam
menanggapi berbagai isu negatif yang berpotensi mengganggu proses
rekonsiliasi
yang diupayakan. Hal penting lainnya yang harus diterapkan
dalam
penyelesaian konflik di Ambon maupun di daerah lain di Indonesia
bila
terlibat konflik, adalah bahwa metode resolusi konfliknya harus merujuk
kepada
4 (empat) pilar kebangsaan Indonesia yakni Pancasila, UUD 45, NKRI,
dan
Bhineka Tunggal Ika.
Sejumlah Gerakan Separatis di Indonesia
Pengantar
Separatis sering juga disebut dengan pemberontakan, atau pemisahan diri. Mereka memberontak karena tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat. Para mahasiswa, sewaktu masih di SLTA, sebelum kuliah, sedikit banyak, sudah mengetahuinya. Tulisan ini hanya mengulangi kembali secara garis besar.
Selain itu dalam kuliah-kuliah sebelumnya, (dalam tanya jawab), sudah di ulas sebagian. Untuk lebih lengkapnya bacalah tulisan ini, agar para mahasiswa paham, bahwa separatism, kecenderungannya tak pernah hilang.
Sejumlah Gerakan Separatis di Indonesia
A+ A-
SEJAK merdeka pada 17 Agustus 1945, bangsa
Indonesia harus menghadapi sejumlah gerakan separatis. Gerakan-gerakan
separatis tersebut memakan jumlah korban yang tidak sedikit. Selain itu,
gerakan separatis itu menyisakan luka yang mendalam bagi para korban. (Baca
juga: OPM Kontak Tembak dengan
TNI di Nduga, 2 Tewas
)
1. PKI Madiun
Membahas tentang pemberontakan PKI
di Madiun tidak bisa lepas dari jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin tahun 1948.
Jatuhnya kabinet Amir disebabkan kegagalannya Perundingan Renville yang
merugikan Indonesia. Untuk merebut kembali kedudukannya,pada 28 Juni 1948 Amir
Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Pada 11 Agustus 1948, Musso tiba dari Moskow. Amir dan FDR segera bergabung
dengan Musso. Untuk memperkuat organisasi, maka disusunlah doktrin bagi PKI.
Doktrin itu bernama Jalan Baru. PKI banyak melakukan kekacauan, terutama di
Surakarta.
2. Pemberontakan DI/TII
Berdasarkan Perundingan Renville,
kekuatan militer RI harus meninggalkan wilayah Jawa Barat yang dikuasai
Belanda. TNI harus mengungsi ke daerah Jawa Tengah yang dikuasai Republik
Indonesia.
Tidak semua komponen bangsa menaati isi Perjanjian Renville yang dirasakan
sangat merugikan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah S.M. Kartosuwiryo
beserta para pendukungnya. Pada 7 Agustus 1949, Kartosuwiryo memproklamasikan
berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Tentara dan pendukungnya disebut
Tentara Islam Indonesia (TII).
3. PRRI
Munculnya pemberontakan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diawali dari ketidakharmonisan hubungan
pemerintah daerah dan pusat. Daerah kecewa terhadap pemerintah pusat yang
dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan.
Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan daerah. Dewan
Banteng di Sumatera Barat yang dipimpin Letkol Ahmad Husein dan Dewan Gajah di
Sumatera Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan. Kemudian Dewan
Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian dan Dewan Manguni
di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual. Gerakan sejumlah
dewan tersebut kemudian dikenal sebagai pemberontakan PRRI.
4. Pemberontakan Permesta
Proklamasi PRRI ternyata mendapat dukungan dari Indonesia bagian Timur. Pada 17 Februari 1958 Somba memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI. Gerakannya dikenal dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan ini jelas melawan pemerintah pusat dan menentang tentara sehingga harus ditumpas.
5. Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
GAM adalah sebuah organisasi
separatis yang memiliki tujuan supaya Aceh lepas dari NKRI. Konflik antara
pemerintah RI dengan GAM terus berlangsung hingga pemerintah menerapkan status
Darurat Militer di Aceh pada 2003.
Pada 27 Februari 2005, pihak GAM dan pemerintah RI memulai tahap perundingan di
Vantaa, Finlandia. Pada 17 Juli 2005, setelah perundingan selama 25 hari, tim
perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Helsinki,
Finlandia.
6. Organisasi Papua Merdeka (OPM)
OPM adalah organisasi yang didirikan pada 1965 untuk mengakhiri pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai Irian Jaya serta untuk memisahkan diri dari Indonesia. Gerakan ini dilarang di Indonesia dan tidak mendapat dukungan dari dunia internasional yang masih mengakui kedaulatan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar