Senin, 08 November 2021

MS5, SKP, SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU

 


 

MS5, SKP, SISTIM KEPARTAIAN DAN PEMILU

KULIAH V, 9 NOVEMBER 2021

JURUSAN PEMERINTAHAN, FISIPOL UDA

PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

Pengantar

Inti dari materi kuliah ke-5 ini adalah system kepartaan, yakni:

·        Sistim satu partai

·        Sistim dua partai, dan

·        Sistim multi partai

Apa itu, seperti apa itu, dimana itu, mengapa, dan bagaimana itu, baca dengan seksama.

Bila ada yang tidak dipahami silakan tanya via WA Group. Khusus untuk kuliah ini tidak ada pertanyaan, juga tidak usah absen.

Cat: bahan untuk kuliah ini diambil dari bukunya Miriam Budiadjo, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta.

SISTEM KEPARTAIAN

Di atas telah di bahas bermacam-macam jenis partai. Akan tetapi beberapa sarjana menganggap perlu analisis ini ditambah dengan meneliti perilaku partai-partai sebagai bagian dari suatu system, yaitu bagaimana partai politik berinteraksi satu sama lain dan berinteraksi dengan unsur-unsur lain dari system itu. Analisis semacam ini yang dinamakan “system kepartaian” pertama kali dibentangkan oleh Maurice Duverger dalam bukunya Political Parties. Duverger mengadakan klasifikasi menurut tigak kategori, yaitu system partai tunggal, system dwi partai, dan system multi partai.

 

SISTEM PARTAI TUNGGAL

Ada sementara pengamat yang berpendapat bahwa istilah system partai tunggal merupakan istilah yang menyangkal diri sendiri, sebab suatu system selalu mengandung lebih dari satu bagian. Namun demikian, istilah ini telah tersebar luas di kalangan masyarakat dan dipakai baik untuk partai yang benar-benar merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa partai lain. Dalam kategori terakhir terdapat banyak variasi.

            Pola partai tunggal terdapat di beberapa negara: Afrika, China, dan Kuba, sedangkan dalam masa jayanya Uni Soviet dan beberapa negara Eropa Timur termasuk dalam kategori ini. Suasana kepartaian dinamakan non kompetitif karena semua partai harus menerima pimpinan dari partai yang dominan, dan tidak dibenarkan bersaing dengannya.

            Terutama di negara-negara yang baru lepas dari kolonialisme ada kecenderungan kuat untuk memakai pola system partai tunggal karena pimpinan (sering seorang pemimpin yang kharismatik) dihadapkan dengan masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta suku bangsa yang berbeda-beda cora social serta pandangan hidupnya. Dikhawatirkan bahwa bila keanekaragaman social dan budaya ini tidak diatr dengan baik akan terjadi gejolak-gejolak social politik yang menghambat usaha pembangunan. Pada hal pembangunan itu harus memfocuskan diri pada suatu program ekonomi yang future oriented. Fungsi partai adalah meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk menerima persepsi pimpinan partai mengenai kebutuhan utama dari masyarakat seluruhnya. Dewasa ini banyak negara Afrika pindah ke sistim multi partai.

            Negara yang paling berhasil dalam menyingkirkan partai-partai lain ialah Uni Soviet pada masa jayanya. Partai komunis Uni Soviet bekerja dalam suasana yang non kompetitif; tidak ada partai lain yang diperbolehkan bersaing; opposisi dianggap sebagai pengkhianatan. Partai tunggal serta organisasi yang bernaung di bawahnya berfungsi sebagai pembimbing dan penggerak masyarakat dan menekankan perpduan dari kepentingan partai dengan kepentingan rakyat secara menyeluruh.

            Di Indonesia pada tahun 1945 ada usaha mendirikan partai tunggal sesuai dengan pemikiran yang ada pada saat itu banyak di anut di negara-negara yang baru melepaskan diri dari rezim colonial. Diharapkan partai itu akan menjadi “motor perjuangan”. Akan tetapi sesudah beberapa bulan usaha itu dihentikan sebelum terbentuk secara kongkrit. Penolakan ini antara lain disebabkan karena dianggap berbau fasis.

SISTIM DWI PARTAI

Dalam kepustakaan ilmu politik pengertian system dwi-partai biasanya diartikan bahwa ada dua partai yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran, dan dengan demikian mempunyai kedudukan dominan. Dewasa ini hanya beberapa negara yang memiliki ciri-ciri sistim dwi-partai, yaitu Inggris, Amerika Serikat, Filipina, Kanada, dan Selandia Baru. Oleh Maurice Duverger malahan dikatakan bahwa system ini adalah khas Anglo Saxon.

            Dalam system ini partai-partai dengan jelas di bagi dalam partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan umum). Dengan demikian jelaslah di mana letak tanggung jawab mengenai pelaksanaan kebijakan umum. Dalam system ini partai yang kalah berperan sebagai pengecam utama tapi yang setia (loyal opposition) terhadap kebijakan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengetian bahwa peran ini sewaktu-waktu dapat bertukar tangan. Dalam persaingan memenangkan pemilihan umum kedua partai berusaha untuk merebut dukungan orang-orang yang ada di tengah dua partai dan yang sering dinamakan pemilih terapung (floating vote) atau pemilih ditengah (median vote).

            Sistim dwi-partai pernah disebut a convenient system for contened people dan memang kenyataannya ialah bahwa system dwi-partai dapat berjalan baik apabila terpenuhi tiga syarat, yaitu komposisi masyarakat bersifat homogen (social homogeneity), adanya consensus kuat dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan social dan politik (political consensus), dan adanya kontinuitas sejarah (historical continuity)

            Inggris biasanya digambarkan sebagai contoh yang paling ieal dalam menjalankan sistim dwi-partai ini. Partai Buruh dan Konservatif boleh dikatakan tidak mempunyai pandangan yang banyak berbeda mengenai asas dan tujuan politik, dan perubahan pimpinan umumnya tidak terlalu mengganggu kontinuitas kebijakan pemerintah. Perbedaan yang pokok antara kedua partai hanya berkisar pada cara serta kecepatan melaksanakan berbagai program pembaharuan yang menyangkut masalah social, perdagangan, dan industry. Partai Buruh lebih condong agar pemerintah melaksanakan pengendalian dan pengawasan terutama di bidang ekonomi, sedangkan Partai Konservatif cenderung memilih cara-cara kebebasan berusaha.

            Di samping kedua partai ini, ada beberapa partai kecil lainnya, diantaranya Partai Liberal Demokrat. Pengaruh partai ini biasanya terbatas, tetapi kedudukannya berubah menjadi sangat krusial pada saat perbedaan dalam perolehan suara dari kedua partai besar dalam pemilihan umum sangat kecil. Dalam situasi seperti ini partai pemenang terpaksa membentuk koalisi dengan Partai Liberal Demokrat atau partai kecil lainnya.

            Pada umumnya dianggap bahwa sistim dwi-partai lebih kondusif untuk terpeliharanya stabilitas karena ada perbedaan yang jelas antara partai pemerintah dan partai opposisi. Akan tetapi perlu juga diperhatikan peringatan sarjana ilmu politik Robert Dahl bahwa dalam masyarakat yang terpolarisasi sistim dwi-partai malahan dapat mempertajam perbedaan pandangan antara kedua belah pihak, karena tidak ada kelompok di tengah-tengah yang dapat meredakan suasana konflik.

            Sistim dwi-partai umumnya diperkuat dengan digunakannya system pemilihan single-member constituency (sistim distrik) di mana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat di pilih satu wakil saja. Sistim pemilihan ini cenderung menghambat pertumbuhan partai kecil, sehingga dengan demikian memperkokoh sistim dwi partai.

            Di Indonesia pada tahun 1968 ada usaha untuk mengganti sistim multi partai yang elah berjalan lama dengan sistim dwi-partai, agar sistim ini dapat membatasi pengaruh partai-partai yang telah lama mendominasi kehidupan politik. Beberapa ekses dirasakan menghalangi badan eksekutif untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik. Akan tetapi eksperimen dwi-partai ini, sesudah diperkenalkan di beberapa wilayah, ternyata mendapat tantangan dari partai-partai yang merasa terancam eksistensinya. Akhirnya Gerakan ini dihentikan pada tahun 1969.

System Multi Partai

Umumnya dianggap bahwa keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong pilihan ke arah system multi partai. Perbedaan tajam antara, ras, agama, atau suku bangsa mendorong golongan-golongan masyarakat lebih cenderung menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya (primordial) dalam satu wadah yang sempit saja. Dianggap bahwa pola multi partai lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan politik dari pola dwi-partai. System multy-partai ditemukan antara lain di Indonesia, Malaysia, Nederland, Australia, Perancis, Swedia, dan Federasi Rusia. Perancis mempunyai jumlah partai yang berkisar antara 17 dan 23, sedangkan di federasi Rusia sesudah jatuhnya Partai Komunis jumlah partai mencapa 43.

            System multi-partai, apalagi jika dihubungkan dengan system pemerintahan parlementer, mempunyai kecenderungan untuk menitik beratkan kekuasaan pada badan legislative, sehingga peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering disebabkan karena tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai-partai lain. Dalam kadaan semacam ini partai yang berkoalisi harus selalu mengadakan musyawarah dan kompromi dengan mitranya dan menghadapi kemungkinan bahwa sewaktu-waktu dudkungan dari partai yang duduk dalam koalisi akan ditarik Kembali, sehingga mayoritasnya dalam parlemen hilang.

            Di lain pihak, partai-partai opposisi pun kurang memainkan peranan yang jelas karena sewaktu-waktu masing-masing partai dapat diajak untuk duduk dalam pemerintahan koalisi baru. Hal semacam ini menyebabkan sering terjadinya siasat yang berubah-ubah menurut kegentingan situasi yang dihadapi partai masing-masing. Lagi pula, sering kali partai-partaiopposisi kurang mampu Menyusun suatu program alternatif bagi pemerintah. Dalam system semacam ini masalah letak tanggung jawab menjadi kurang jelas.

            Dalam situasi dimana terdapat satu partai yang dominan, stabilitas politik dapat lebih dijamin. India dimasa lampau sering dikemukakan sebagai negara yang di dominasi satu partai (one party domination), tetapi karena suasana kompetitif, pola dominasi setiap waktu dapat berubah. Hal ini dapat di lihat pada pasang surutnya kedudukan Partai Kongres. Partai ini mulai dari zaman kemerdekaan menguasai kehidupan politik India. Jumlah wakilnya dalam dewan perakilan rakyat pada saat itu melebihi jumlah total wakil partai-partai lainnya, dan karena itu sering disebut system satu setengah partai (one and a half pary system). Sekalipun Partai Kongres mengalami kemunduran sesudah pemilihan umum 1967, namun ia berhasil memerintah India sampai tahun 1977. Pada tahun 1978 sampai 1980 Partai Kongres mengadakan koalisi dengan Bharatya Janata Party.

            Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa pemerintahan koalisi selalu lemah. Belanda, Norwegia, dan Swedia merupakan contoh dari pemerintah yang dapat mempertahankan stabilitas dan kontinuitas dalam kebijakan publiknya.

            Pola multi partai diperkuat oleh sistim pemilihan Perwakilan Berimbang (proportional representation) yang memberikan kesempatan luas bagi pertumbuhanpartai-partai dan golongan-golongan baru. Melalui system Perwakilan Berimbang partai-partai kecil dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang diperolehnya di suatu daerah pmilihan dapat di Tarik ke daerah pemilihan lain untukmenggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memenangkan satu kursi.

            Indonesia mempunyai sejarah Panjang dengan berbagai jenis system multi partai. System ini telah melalui beberapa tahap dengan bobot kompetitif yang berbeda-beda. Mulai 1989 Indonesia berupaya untuk mendirikan suatu system multi partai yang mengambil unsur-unsur positif dari pengalaman masa lalu, sambal menghindari unsur negatifnya.

Penurunan Pengaruh Partai Politik

            Akhir-akhir ini, para pakar, khususnya di Barat menengarai penurunan jumlah anggota resmi dari partai politik yang terjadi dibeberapa negara Barat.

            Ada beberapa sebab yang dapat dikemukakan, mengapa penurunan ini terjadi, antara lain karena partai dan parlemen dianggapa tidak lagi meakili rakyat banyak. Hal itu disebabkan, karena kehidupan politik modern telah menjadi begitu kompleks dengan bertumbuhnya globalisasi di bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya, baik nasional, maupun internasional. Akibatnya baik partai maupun parlemen tidak mampu menyelesaikan beragam masalah. Lagi pula banyak masalah bau, seperti lingkungan dan hak perempuan, yang kurang mendapat perhatian. Kritik yang dilontarkan ialah bahwa anggota-anggotanya sering korup, cenderung lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri daripada kepentingan umum, dan mengejar mengutamakan kedekatan dengan pusat-pusat kekuasaan.

            Kekosongan ini telah diisi dengan berkembangnya civil society dan timbulnya ribuan kelompok kepentingan dan NGO yang kebanyakan terdiri atas golongan muda. Mereka sangat mengecam cara bekerja partai politik dan para politisi pada umumnya, dan berhasil mengembangkan sikap anti partai, anti politik atau anti party politics dalam masyarakat luas melalui direct action dan wacana di forum-forum umum. Dengan demikian mereka sedikit banyak telah berhasil menggeser kedudukan partai politik dari kedudukannya sebagai factor utama dalam proses menentukan kebijakan public. Akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa partai politik tidak ada gunanya dan dapat ditiadakan begitu saja. Bagaimanapun juga partai merupakan salah satu pilar dalam kehidupan demokrasi yang sangat krusial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar