MENDEMOKRATISASIKAN PEMILIHAN KETUA LINGKUNGAN
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published,Waspada 16 dsember 2021
Mengapa Kelurahan tidak membuat panitia (model KPU) pemilihan, sehingga panitia yang menentukan metodecara dan menjaring calon-calon? Bila perlu dibuat kampanye mini, dimana masing-masing calon memajukan visi-misinya.
Ditengah gemuruhnya pendeklarasian calon-calon Presiden untuk tahun 2024 oleh para relawan, ada yang terlupakan, atau memang sengaja dilupakan, yakni untuk apa sesungguhnya pemerintahan itu dibentuk. Apakah seperti yang berlangsung saat ini, yakni ramai-ramai mencalonkan jagoannya, atau ada tujuan yang lebih mulia?
Sinyalemen demikian dikemukakan karena banyak kalangan tergoda, atau tepatnya terbawa arus dengan mekar riuh/menggelegarnya politik nasional, seakan-akan dengan terpilihnya Presiden/kepala pemerintahan, kepentingan semua pihak (masyarakat) secara keseluruhan akan terwujud.
Mereka terhipnotis, terbuai, atau euphoria dengan janji-janji besar, janji-janji elit, atau janji-janji langit, yang tak terukur, yang sudah terbukti lebih dari dua decade, jauh panggang dari api. Di era Orde Baru yang super otoriter, telah kita saksikan, betapa kemiskinan dan korupsi yang dilakukan para elit, terus tereskalasi, tanpa ada yang bisa menghentikan. Pemerintahan seakan-akan bukan untuk rakyat sebagaimana amanat UUD, melainkan pulau terapung dilautan masyarakat (Karl D Jackson,1980)
Euphoria Demokrasi
Setelah tampil era reformasi, setali tiga uang, kebebasan yang dituntut sebelumnya, memang melesat bak jet membelah langit, namun tidak akan kesejahteraannya. Tingkat atau pemerataan ekonomi, yang diharapkan, seiring dengan kebebasan politik, tak kunjung-kunjung muncul kepermukaan.
Rakyat hanya sibuk dan berkutat dalam kubangan hajatan/pesta demokrasi, seperti pemilihan Presiden secara langsung sekali lima tahun, pemilihan kepala daerah kepala daerah nyaris tiap tahun, dan jabatan-jabatan politik lainnya, yang mendinamisasikan perpolitikan nasional dari waktu ke waktu, yang.tak mungkin diperoleh ketika era otoritarian Orde Baru.
Dari era Gus Dur hingga hari ini hajatan/pesta itu tiada henti, yakni dari pemilihan ke pemilihan, dari politik ke politik, tidak ke ekonomi (kesetaraan ekonomi). Dengan ilustratif Prof Dr Tajudin Nor Effendi melukiskannya sebagai “bebas tapi tak makan” tahun 1999 di Bulaksumur, Yogyakarta dalam satu seminar.
Suatu postulat yang sesungguhnya telah dikumandangkan, Bung Karno, sejak tahun 1930-an, yakni bahwa bahwa jika hanya demokrasi politik saja yang dipentaskan, tidak akan membawa kesejahteraan pada rakyat, melainkan juga harus demokrasi ekonomi. Jelasnya demokrasi sosial.
Demokrasi yang sesungguhnya telah terwujud, secara logis, etis, dan estetis dalam Pancasila, yakni (khususnya) dalam sila ke empat dan sila ke lima. Sayang dalam praksis-empiriknya belum pernah diimplementasikan. Dari mulai konsep itu lahir (1 juni 1945) hingga legalitasnya 18 Agustus 1945, praktik-praktik pemerintahan/ketatanegaraan, masih meminjam konsep-konsep luar (Barat/AS), termasuk hari-hari ini.
Historisitas dan kisah agung yang seharusnya tidak boleh diabaikan, namun sudah banyak terlupakan khalayak, khususnya para relawan yang sedang getol-getolnya mendeklarasikan capres, sementara partai-partai yang punya hak untuk itu masih diam 1000 basa. Mengapa para relawan itu tidak focus saja pada kebutuhan rakyat bawah?
Kalaupun mereka tertarik politik, kekuasaan, atau pemerintahan, mengapa tidak kepada kepentingan akar rumput yang langsung menyinggung dirinya? Tidakkah kaki-kaki pemerintahan di akar rumput, seperti RT, RW, dan Lingkungan, adalah yang langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat, sementara dalam penunjukan, pengangkatan, atau pemilihannya masih banyak masalah?
Masalah-masalah demikian misalnya adalah terdapatnya Ketua RT, RW, dan Lingkungan yang turun temurun, bak politik dinasti, yang tidak merupakan representasi warga, yang money politics, dan lain-lain pola yang tidak demokratis.
Demokratisasi Ketua Lingkungan
Di kota Medan yang merupakan kota besar ketiga di Indonesia, cerita-cerita penyimpangan itu sudah lama menjadi rumors. Banyak ketua lingkungan disfungsional, sehingga untuk meresponsnya Pemkot dan DPRD Medan membuat regulasi, yakni Perda No 9 Tahun 2017 tentang Pengangkatan Ketua Lingkungan.
Namun entah mengapa Perda demikian, kecenderungnnya masih terlalu umum (generalis), verbalis, dan euphemism. Dalam salah satu paragraph, pasal, atau ayatnya dikatakan bahwa pengangkatan Ketua Lingkungan harus berdasarkan aspirasi warga, namun bagaimana metode menyerap aspirasi warga itu tidak di tulis dengan jelas.
Tampilnya Bobby Nasution, sang menantu Presiden menjadi Walikota Medan, membuat masalah ini kembali menghangat dan dinamis. Para kalangan yang berkepentingan mendorong Walikota baru membuat peraturan yang lebih operasional dari Perda No 9 Tahun 2017, yakni Perwali No 21 Tahun 2021.
Sayang, apakah karena terlalu bersemangat, atau ada faktor-faktor lain yang memboncengnya, perwali ini pun bermasalah besar, yakni sukar alias tidak sederhana pola pelaksanaannya. Dalam imperatifnya dikatakan bahwa para calon harus mendapat dukungan 30 persen warga, yang dibuktikan dengan surat dukungan dan kartu keluarga, lalu diantar sendiri oleh sang calon ke kelurahan (semoga saya tidak salah membacanya).
Tidakkah itu menjadi rumit? Mengapa kelurahan tidak membuat panitia (model KPU) pemilihan, sehingga panitia ini yang menentukan metode/cara, dan menjaring calon-calon? Bila perlu dibuat kampanye mini, dimana masing-masing calon memajukan visi-misinya.
Selain praktis/sederhana, yang terutama adalah menjadi wahana pendidikan politik yang baik bagi warga. Warga menjadi terbiasa berperilaku demokratis, sejak dari akar rumput, sehingga mereka akan terbiasa dengan dewasa menghadapi pemilu-pemilu diatasnya (kepala desa, Bupati/Walikota, Gubernur, hingga Presiden).
Tidakkah hal demikian lebih relevan diimplementasikan para pejuang politik, khususnya kalangan relawan, ketimbang deklarasi capres-capres yang melangit itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar