Rabu, 05 Januari 2022

BK 7, MK, MANAJEMEN KONFLIK

 

BK 7, MK, MANAJEMEN KONFLIK


 

KULIAH KE7, 7 Januari 2022

JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA

PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

=================================================

Pengantar

Setelah mengulas konflik Ambon pada kuliah yang lalu, pada kuliah ke-7 ini, kita akan mengulas konflik Poso yang banyak persamaannya. Silakan baca dengan seksama. Masalah ini penting dipahami, agar tidak terjadi atau terulang lagi di daerah lain.

Jika ada yang tidak dipahami tulis di WA group.

 

Konflik Poso:

Latar Belakang, Kronologi, dan Penyelesaian

 

Konflik Poso adalah sebutan untuk serangkaian kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Konflik ini terjadi sejak 25 Desember 1998 hingga 20 Desember 2001. Peristiwa Konflik Poso dimulai dari sebuah bentrokan kecil antar kelompok pemuda sebelum akhirnya menjalar menjadi kerusuhan bernuansa agama. Dari peristiwa ini, dirinci bahwa terdapat 577 korban tewas, 384 terluka, 7.932 rumah hancur, dan 510 fasilitas umum terbakar. Kerusuhan ini kemudian berakhir pada 20 Desember 2001 dengan ditandangani Deklarasi Malino antara kedua belah pihak.

 

Latar Belakang

            Kabupaten Poso adalah salah satu dari delapan kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email

 Kabuten Poso ini memiliki penduduk mayoritas Muslim di desa-desa, sedangkan mayoritas Protestan di dataran tinggi.

 Selain penduduk asli Muslim, terdapat juga pendatang orang Bugis dari Sulawesi Selatan dan Gorontalo bagian utara.

 Kabupaten Poso ini juga menjadi fokus program transmigrasi pemerintah.

Tujuan program transmigrasi ini adalah untuk membawa warga dari daerah padat penduduk mayoritas Muslim, seperti Jawa dan Lombok, serta pulau Bali yang dominan Hindu.

 Daerah padat penduduk ini akan dibawa ke daerah yang jarang penduduknya.

 Dari keadaan tersebut, akhir tahun 1990-an, penduduk di Kabupaten Poso mayoritas Muslim dengan persentase di atas 60 persen.

 Para pendatang ini kemudian membuat adanya persaingan ekonomi antara penduduk asli Poso yang mayoritas Kristen dengan para pendatang Bugis yang memeluk Islam.

 

Kronologi

 Kerusuhan Poso ini bisa dibagi menjadi tiga periode, sebagai berikut:

 Desember 1998

 Pada malam natal, 24 Desember 1998, yang kebetulan bertepatan dengan Ramadan, seorang pemuda asal kelurahan mayoritas Protestan di Lambogia bernama Roy Runtu Bisalemba menikam Ahmad Ridwan, seorang Muslim.

 Informasi yang tersebar di pihak Kristen menyebutkan bahwa Ridwan melarikan diri ke masjid setelah ditikam.

 Sedangkan versi Muslim menggambarkan bahwa kejadian ini merupakan sebuah serangan terhadap pemuda Muslim yang tertidur di halaman masjid.

 Para tokoh pemuka agama kedua belah pihak kemudian bertemu. Keduanya sepakat bahwa sumber masalahnya terdapat pada minuman keras.

 Akibatnya, Polres Poso pun mulai menyita ribuan minuman keras yang kemudian dihancurkan. Suatu ketika, terdapat satu toko yang dijagai oleh para pemuda Kristen. Mereka pun bertemu dengan pemuda Muslim yang berniat menyegel toko tersebut.

Pertemuan ini pun berakhir dengan bentrokan di antara keduanya.

Selanjutnya pada 27 Desember 1998, sekelompok orang Kristen besenjara yang menaiki truk dari Tentena tiba, dipimpin oleh Herman Parimo, anggota DPRD Poso.

Parimo diketahui merupakan anggota dari Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST).

Di sisi lain, sedikitnya terdapat sembilan truk Muslim tiba dari Palu, Parigi, dan Ampana. Bentrokan pun terjadi, di mana polisi tidak mampu menangkal mereka.

Para pejabat pemerintah Kabupaten Poso banyak mendapat serangan melalui spanduk, surat kaleng, dan grafiti.

April 2000

Pada April 2000 terjadi persidangan mantan bupati Afgar Patanga.

Dalam persidangan tersebut, Patanga didakwa telah menyalahgunakan dana dari program kredit pedesaan.

Ada rumor bahwa sebagian dana tersebut digunakan menyewa massa untuk menyerang gedung peradilan.

Pada 15 April, dimuat sebuah pertanyaan dari Chaelani Umar, anggota DPRD provinsi dari Partai Persatua Pembangunan, bahwa akan ada lebih banyak kekerasan jika Damsik Ladjalani, calon bupati saat itu, tidak dipilh.

Keesokan harinya, seorang pemuda Muslim mengatakan bahwa dirinya diserang oleh sekelompok pemuda Kristen.

Ia menunjukkan sebuah luka di lengannya sebagai bukti. Pihak Muslim yang tidak terima pun membalas.

Pertarungan terjadi antara para pemuda Kristen dan pemuda Muslim.

Selama beberapa hari peperangan terus terjadi. Rumah-ruma milik umat Kristen Poso dibakar. Kejadian ini mengharuskan Kapolres Poso untuk mendatangkan pasukan Brimob dari Palu.

Pada 17 April, anggota Brimob tidak sengaja menembaki kerumuman massa yang menewaskan Mohammad Yusni dan Yanto, serta melukai delapan pemuda Muslim lainnya.

Setelah Brimob dikirim pulang ke Palu, pembakaran rumah masih berlanjut.

 Pangdam Wirabuana Mayor Jenderal TNI Slamet Kirbiantoro di Makassar, akhirnya mengirim 600 tentara. Pertempuran pun mereda.

Mei 2000

 Kejadian bulan Mei 2000 ini merupakan pertempuran terbesar dan terparah.

Periode ini didominasi oleh serangan balasan kelompok Kristen terhadap Muslim.

Selain itu, terjadi juga berbagai kejadian penculikan dan pembunuhan.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan Human Rights Watch, para migran dari Sulawesi Selatan dan Gorontalo yang umumnya menjadi korban dari tindakan tersebut.

Pada awal Mei, muncul rumot bahwa banyak pemuda Kristen telah melarikan diri ke sebuah kamp pelatihan di Kerei.

Pasukan Kristen menamai operasi ini "kelelawar merah" dan "kelelawar hitam". Pasukan ini disebut-sebut dipimpin oleh Fabianus Tibo, seorang imigran dari Flores, NTT.

Pagi hari tanggal 23 Mei, sekelompok pasukan kelelawar hitam membunuh seorang polisi, Sersan Mayor Kamaruddin Ali dan dua warga sipil Muslim, Abdul Syukur dan Baba.

Kelompok ninja (kelelawar hitam) ini kemudian bersembunyi di sebuah kereja katolik di Kelurahan Moengko.

Mereka pun mulai bernegosiasi dengan polisi untuk menyerah.

Para warga Muslim juga telah menunggu di depan gereja.

Pasukan ninja bukannya menyerahkan diri, justru kabur ke perbukitan belakang gereja.

Aksi ini kemudian menyulut kemarahan para Muslim. Mereka membakar gereja tersebut pukul 10.00 WIB.

Pada 28 Mei, serangan semakin meluas terhadap warga Islam.

Para wanita dan anak-anak ditangkap. Bahkan beberapa di antarnya mengalami pelecehan seksual.

Sekitar 70 orang berlari ke pesantren terdekat, Pesantren Walisongo, di mana banyak warga Muslim dibunuh dengan senjata api dan parang.

Orang-orang yang kabur pun berhasil ditangkap yang kemudian dieksekusi dan mayatnya dilempar ke Sungai Poso.

Sekitar 39 jenazah ditemukan di tiga kuburan massal dengan total kematian sekitar 191 orang.

 

Penyelesaian

 Setelah kerusuhan mulai mereda, Mabes Polri di Jakarta mendirikan Komando Lapangan Operasi.

Melalui kebijakan ini, operasi militer di Poso dilaksanakan dengan berbagai sandi operasi.

Pada tahun 2000 digelar Operasi Sadar Maleo.

Pada pertengahan April 2004 terdapat Operasi Sintuwu Maroso.

Satuan TNI dan Polri yang dimasukkan ke dalam operasi ini termasuk Brimob Polda Papua, Brimob Polda Kalimantan Timur, Brimob Kelapa Dua Bogor, dan lain-lain.

Konflik Poso ini diakhiri dengan penandatangan Deklarasi Malino, 20 Desember 2001.

Deklarasi Malino adalah perjanjian damai antara pihak Kristen dan Islam.

Sebelum penandatanganan, dirinci bahwa terdapat 577 korban tewas, 384 terluka, 7.932 rumah hancur, dan 510 fasilitas umum terbakar.

Kemudian pada Mei 2000 diklaim bahwa terdapat 840 mayat warga muslim ditemukan.

 

 Referensi:

 Human Rights Watch. (2000). Breakdown: Four Years of Communal Violence in Central Sulawesi. New York City.

Mappangara, Suriadi. (2001). Respon Militer Terhadap Konflik Sosial di Poso. Palu: Yayasan Bina Warga.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar