MS7, SKP, SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU
KULIAH KE-7 11 JANUARI 2021
JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Pengantar:
Pada kuliah ke-7 ini, kita akan membahas “Pemilihan Umum”, yakni arena atau tempat bertandingnya partai-partai politik. Bagaimana arenanya? Bagus atau memadaikah? Atau justru masih banyak kekurangannya?
Pertanyaan demikian perlu dikemukakan, sebab setiap menjelang pemilihan umum, selalu terjadi perubahan atau revisi UU Pemilihan Umum. Lima kali pemilu (dalam era reformasi), lima kali revisi UU Pemilihan Umum. Yang berlaku saat ini adalah UU No 7 tahun 2017, UU yang cukup lama pembahasannya, yakni 9 bulan.
Anehnya, meski tiap pemilu UU nya di revisi, tidak ada jaminan bahwa mutu pemilunya lebih baik. Artinya pemilu itu tidak berjalan, sesuai dengan tujuan pemilu itu sendiri, yakni terpilihnya pemimpin yang sungguh-sungguh merupakan representasi masyarakat.
Malah sebaliknya yang terjadi, yakni banyak kecurangan-kecurangan dalam prakteknya. Tentang ini baca hasil penelitian saya dengan tema “Nilai dan Substansi Demokrasi Yang Semakin Jauh; Kasus Pemilu Sumsel” di blog www.reinhard1959.blogspot.co.id .
Sebaliknya akhir 2021, ada Gerakan dari beberapa elit/tokoh masyarakat untuk menurunkan persyaratan jadi Presiden dan wakil presiden (presiden threshold) dari 20 persen kursi di DPR dan 25 persen suara nasional secara sah, menjadi masing-masing partai politik berhak mencalonkan presiden dan wakil presiden. Mereka sudah mengajukannya ke Mahkamah Konstitusi (MK)
SISTEM PEMILIHAN UMUM
Di kebanyakan negara demokrasi pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolok ukur, dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat. Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum tidak merupakan satu-satunya tolok ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.
Di banyak negara Dunia Ketiga beberapa kebebasan seperti yang dkenal di dunia Barat kurang diindahkan atau sekurang-kurangnya diberi tafsiran yang berbeda. Dalam situasi semacam ini, setiap analis mengenai hasil pemilihan umum harus memperhitungkan factor kekurang bebasan itu serta kemungkinan adanya factor mobilisasi yang sedikit banyak mengandung unsur paksaan.
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam system pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu:
1. Single member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut sistim distrik)
2. Multi-member constituency ( satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan sistim perwakilan berimbang atau system proporsional)
Disamping tu ada beberapa varian seperti Block Vote (BV), Alternative Vote (AV), Sistem dua putaran atau Two Rounded Sistem (TRS), Sistim Paralel limited Vote (LV), Single Non Trasferable Vote (STV). Tiga yang pertama lebih dekat ke sistim distrik, sedangkan yang lain lebih dekat ke sistim proporsional atau semi proporsional.
Dalam sistim distrik, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal (single member constituency) atas dasar pluralitas (suara terbanyak). Dalam sistim proporsional, satu wilayah besar (yaitu daerah pemilihan) memilih beberapa wakil (multy member constituency). Perbedaan pokok antara dua system ini ialah bahwa cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.
Sistim distrik merupakan system pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang tercakup) memperoleh satu kursi dalam parlemen. Untuk keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah besar distrik pemilihan (kecil) yang kira kira sama jumlah penduduknya. (jumlah penduduk distrik berbeda dari satu negara ke negara lain, misalnya di Inggris jumlah penduduk kira-kira 50.000, di Amerika kira-kira 500.000, dan di India lebih dari satu juta).
Dalam sistim distrik, satu distrik menjadi bagian dari suatu wilayah, satu distrik hanya berhak atas satu kursi, dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang tunggal. Hal ini dinamakan the first past the post (FPTP). Pemenang tunggal meraih satu kursi itu. Hal ini terjadi sekalipun selisih suara dengan partai lain hanya kecil saja. Suara yang tadinya mendukung kontestan lain dianggap hilang (wasted) dan tidak dapat membantu partainya untuk menambah jumlah suara partainya di distrik lain. Dalam sistim proporsional, satu wilayah dianggap sebagai satu kesatuan dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai jumlah suara yang diperoleh oleh para kontestan, secara nasional tanpa menghiraukan distribusi suara itu.
Sebagai contoh hipotetis, bayangkanlah adanya suatu wilayah dengan 100.000 penduduk, dimana tiga partai bersaing memperbutkan 10 kursi di parlemen. Wilayah itu terdiri atas 10 distrik. Seandainya dalam wilayah dipake sistim distrik setiap distrik berhak atas 1 kursi dari jumlah total 10 kursi yang diperebutkan dengan jumlah total 10 kursi. Seandainya dipake sistim proporsional wilayah dianggap sebagai satu kesatuan yang sebagai keseluruhan berhak atas 10 kursi.
Misalnya, dalam satu distrik ada tiga calon. Calon A (beserta partainya) memperoleh 60 persen suara, calon B mendapat 30 persen suara, dan calon C, mendapat 10 persen suara. Pemenang, calon partai A, memperoleh satu kursi (the winners takes all), sedangkan 30 persen jumlah suara dari calon B, dan 10 persen dari calon C dianggap hilang (wasted). System ini termasuk kategori sistim pluralis (plurality system)
Seandainya dalam wilayah tersebut dipakai sistim proporsional, wilayah itu bisa berbentuk kesatuan administratif (misalnya provinsi) dianggap sebagai kesatuan yang keseluruhannya berhak atas 10 kursi. Jumlah suara yang diperoleh secara nasional oleh setiap partai menentukan jumlah kursinya d parlemen, artinya persentase perolehan suara secara nasional dari setiap partai sama dengan persentase perolehan kursi dalam parlemen. Misalnya partai A yang memperoleh 60 persen suara dalam wilayah itu, akan memperoleh 6 kursi dalam parlemen, demikian pula partai B yang memperoleh 30 persen suara akan mendapatkan 3 kursi, dan partai C dengan 10 persen suara mendapat 1 kursi.
Sistim distrik sering dipakai di negara yang mempunyai sistim dwi partai seperti Inggris serta bekas jajahannya seperti India dan Malaysia dan Amerika. Sistim proporsional sering diselenggarakan dalam negara dengan banyak partai seperti Belgia, Swedia, Italia, Belanda, dan Indonesia.
Dalam sistim distrik – karena hanya diperlukan pluralitas suara (suara terbanyak) untuk membentuk suatu pemerintahan, dan bukan mayoritas (50 persen plus satu) – dapat terjadi bahwa partai yang menang dengan hanya memperoleh pluralitas suara dapat membentuk cabinet. Pemerintahan semacam ini dinamakan minority government
Disamping itu, ada ciri khas yang melekat pada sistim distrik, yaitu bahwa pelaksanaan sistim distrik mengakibatkan “distorsi” atau kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh suatu partai secara nasional dan jumlah kursi yang diperoleh partai tersebut. Akibat dari distorsi menguntungkan partai besar melalui over-representation, dan merugikan partai kecil karena under representation. Hal ini disebabkan karena banyak suara dari partai kecil bisa dinyatakan hilang atau wasted, yaitu lantaran tidak berhasil menjadi juara pertama di suatu distrik. Keadaan ini akan sangat berpengaruh dalam masyarakat yang pluralis, dengan banyaknya kelompok minoritas, baik agama maupun etnis.
Sebagai contoh, pemilihan umum 1992 Partai Konservatif Inggris yang dipimpin John Major hanya memperoleh 41,9 persen dari jumlah total suara. Akan tetapi karena berhasil menang di banyak distrik sebagai pemenang tunggal, maka partai itu memperoleh 336 kursi atau 51,6 persen dari jumlah total kursi (651) dalam parlemen,dan dapat membentuk cabinet tanpa koalisi. Sebaliknya partai ketiga, Partai Liberal Demokrat, hanya memperoleh 20 kursi atau 3 persen jumlah kursi pada hal memperoleh 17,8 persen suara masyarakat. Hal ini disebabkan karena Partai Liberal Demokrat memperoleh dukungan yang cukup luas dalam banyak distrik, tetapi tidak cukup terkonsentrasi untuk menjadi pemenang tunggal dalam distrik yang bersangkutan.
Tidak mengherankan bahwa Partai Liberal Demokrat menuntut agar sistim distrik diganti dengan sistim proporsional karena dianggap tidak adil; dan tidak mengherankan pula bahwa partai-partai besar mengabaikan imbauan ini. System yang berlaku dipandang telah sesai dengan peraturan yang sudah cukup lama berlaku, dan karena itu dianggap cukup demokratis dan wajar. Pada tahun 2005 Partai Buruh memperoleh 32,5 persen suara nasional dan jumlah kursi 356, sedangkan Partai Konservatif memperoleh 32,3 persen suara nasional dan jumlah kursi 197.
Hal serupa terjadi dalam pemilihan umum di Singapura tahun 1988, waktu Peoples Action Party memperoleh 80 kursi atau 98 persen dai total 81 kursi, berdasarkan 61,7 persen jumlah suara, dan pada pemilihan umum Singapura 1991, waktu Peoples Action Party memperoleh 61 persen suara secara nasional, tetapi 95 persen kursi dalam parlemen. Opposisi memperoleh 39 persen suara nasional, akan tetapi hanya memperoleh 4 dari 81 kursi atau 5 persen dari total kursi. Pada pemiihan 2000 Peoples Action Party memperoleh 94 persen suara nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar