MS8, SKP, SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU
KULIAH KE – 8,
JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Cat: bahan untuk kuliah ini diambil dari bukunya Miriam Budiardjo, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta
Agar dibaca dengan seksama! Jangan sambil lalu….ini konsep atau teori yang harus dikuasai…….
KEUNTUNGAN DAN KELEMAHAN KEDUA SISTEM
Keuntungan Sistim Distrik
1. System ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan Kerjasama, sekurang-kurangnya menjelang pemilihan umum, antara lain melalui stembus accord
2. Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat dibendung; malahan system ini bisa mendorong ke arah penyederhanaan partai secara alami dan tanpa paksaan. Maurice Duverger berpendapat bahwa dalam negara seperti Inggris dan Amerika, system ini telah menunjang bertahannya sistim dwi partai.
3. Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat di kenal oleh komunitasnya, sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat. Dengan demikian si wakil akan lebih cenderung untuk memperjuangkan kepentingan distriknya. Lagi pula kedudukannya terhadap pimpinan partainya akan lebih independent, karena factor kepribadian seseorang merupakan factor penting dalam kemenangannya, dan kemenangan partai. Sekalipun demikian, ia tidak lepas sama sekali dari disiplin partai, sebab dukungan serta fasilitas partai diperluksnnya aik untuk nominasi maupun kampanye.
4. Bagi partai besar system ini menguntungkan karena melalui distortion effect dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga memperoleh kedudukan mayoritas. Dengan demikian partai pemenang sedikit banyak dapat mengendalikan parlemen.
5. Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen, sehingga tidak perlu diadakan koalisi dengan partai lain. Hal ini mendukung stabilitas nasional.
6. Sistim ini sederhana dan murah ntuk diselenggarakan.
Kelemahan sistim distrik
1. Sistim ini kurang memperhatikan kepentingan partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan-golongan itu terpencar dalam berbagai distrik.
2. Sistim ini kurang representative dalam arti bahwa partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali, atau terbuang sia-sia. Dan jika banyak partai mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil terhadap partai dan golonganyang dirugikan.
3. Sistim distrik dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religious, dan tribal sehingga menimbulkan anggapan bahwa suatu kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya system ini.
4. Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memperhatikan kepentingan distrik serta warga distriknya, daripada kepentingan nasional.
Keuntungan Sistim Proporsional
1. Sistim ini dianggap representative, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara masyarakat yang diperoleh dalam pemilihan umum.
2. System ini dianggap lebih demokratis dala arti lebih egalitarian karena praaktis tanpa ada distorsi, yaitu kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen, tanpa suara yang hilang atau wasted. Akibatnya, semua golngan dalam masyarakat, termasuk yang kecil pun, memperoleh peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parlemen. Rasa keadilan masyarakat sedikit banyak terpenuhi.
3. Sebagai contoh dapat dilihat dalam bagan di bawah ini yang menggambarkan hasil pemilihan umum 1992 di Inggris (dengan distorsi) dan di Indonesia (tanpa distorsi). Partai Konservatif dengan 41,9 persen suara memperoleh 51 persen kursi. Partai Buruh memperoleh 34,3 persen suara, dan 41 persen kursi, sedangkan Partai Liberal Demokrat memperoleh 17,8 suara, tetapi hanya 3 persen kursi. Di Indonesia persentase perolehan kursi kira-kira sama dengan persentase perolehan suara secara nasional. Gambar dibawah ini menggambarkan hasil peilihan umum 1992 di Indonesia (dengan sistim distrik) dengan distorsi, dan hasil pemilihan umum 1992 di Indonesia (dengan sistim proporsional) tanpa distorsi.
Kelemahan Sistim Proporsional
1. System ini kurang mendorong partai-partai untuk berintegrasi atau bekerjasama satu sama lain dan memanfaatkan persamaan-persamaan yang ada, tetapi sebaliknya, cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan. Sistim ini umumnya dianggap berakibat menambah jumlah partai.
2. Sistim ini mempermudah fragmentasi partai. Jika timbul konflik dalam satu partai, anggotanya cenderung memisahkan diri dan mendirikan partai baru, dengan perhitungan bahwa ada peluang bagi partai baru itu untuk memperoleh beberapa kursi dalam parlemen melalui pemilihan umum. Jadi, kurang menggalang kekompakan dalam tubuh partai
3. Sistim ini memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan partai melaui Sitim Daftar karena pimpinan partai menentukan daftar calon.
4. Wakil yang terpilih kemungkinan renggang ikatannya dengan konstituennya. Pertama, karena wilayahnya lebih besar (bisa sebesar provinsi), sehingga sukar untuk di kenal orang banyak. Kedua, karena peran partai dalam meraih kemenangan lebih besar ketimbang kepribadian seseorang. Dengan demikian si wakil akan lebih terdorong untuk memperhatikan kepentingan partai serta masalah-masalah umum ketimbang kepentingan distrik serta warganya.
5. Karena banyaknya partai yang bersaing, sulit bagi suatu partai untuk meraih mayoritas (50persen + 1) dalam parlemen, yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan. Partai yang terbesar terpaksa berkoalisi dengan beberapa partai lain untuk memperoleh mayoritas. Koalisi semacam ini – jika diselenggarakan dalam sistim parlementer sering tidak lama umurnya, dan hal ini tidak membina stabilitas politik. Dalam sistim presidensial perubahan dalam komposisi di parlemen tidak terlalu mempengaruhi masa jabatan eksekutif. Di Amerika bisa saja Congress mengalami perubahan dalam komposisinya, sehingga mosalnya badan itu dikuasai oleh Partai Demokrat, tetapi presiden serta kabinetnya dari Partai Republik tetap bertahan selama empat tahun.
Gabungan Sistim Distrik dan Sistim Proporsional
Dari uraian tadi jelaslah bahwa kedua system pemilihan umum memiliki segi positif dan segi negative. Maka dari itu beberapa negara mencoba mengambil alih beberapa ciri dari system pemilihan umum yang lain. Singapura misalnya, yang biasanya memakai sisti distrik murni dalam pemilihan umum 1991 menentukan bahwa sejumlah distrik akan diwakili oleh 4 wakil diantaraya harus ada yang mewakili golongan minoritas, agar mereka diberi peluang untuk mewakili golongannya dalam parlemen. Begitu pula Jepang memakai sistim distrik yang sangat berbelit-belit.
Kasus yang paling menarik dan gambling adalah Jerman, yang pada masa lampau mempunyai terlalu banyak partai dengan memakai sistim proporsional murni, dewasa ini menggabung kedua system dalam pemilihan umumnya. Setengah dari parlemen, dipilih dengan sistim distrik, dan setengah lagi dengan system proporsional. Setiap pemilih mempunyai dua suara; pemilih memilih atas dasar sistim distrik (sebagai suara pertama) dan pemilih itu memilih partai atas dasar system proporsional (sebagai suara kedua). Dengan penggabungan ini diharapkan distorsi tidak terlalu besar efeknya.
Selain itu, di Jerman dan dibeberapa negara dengan banyak partai ada usaha untuk mengurangi jumlah partai yang akan memperoleh kursi dalam parlemen melalui kebijakan electoral threshold. Konsep ini menentukan jumlah suara minimal yang diperlukan oleh suatu partai untuk memperoleh kursi dalam parlemen, misalnya 5 persen.
Di Jerman hal itu dilaksanakan melalui kebijakan memberlakukan rumus lima-tiga. berdasarkan rumusan ini sebuah partai memperoleh kursi dalam parlemen jika meraih minimal 5 persen dari jumlah secara nasional atau memenangkan sekurang-kurangnya 3 persen distrik pemilihan. Ini yang dinamakan electoral threshold. Ternyata kebanyakan partai kecil cenderung memanfaatkan ketentuan suara minimal 5 persen, sebab memenangkan distrik lebih sukar. Dengan car aini Partai Hijau pada tahun 1983 berhasil masuk dalam Bundestag, tetapi dlam pemilihan 1990 (di Jerman Barat) terpaksa keluar dari Bundenstag karena tidak berhasil memperoleh 5 persen dari jumlah total suara secara nasional.
Negara-negara lain yang menentukan electoral threshold adalah Swedia, Italia (4 persen), dan Indonesia (mulai 2004) untuk pemilihan badan legislative 3 persen dari jumlah kursi di DPR dan untuk pemilihan presiden dan wakil presiden 3 persen dari jumlah kursi di DPR atau 5 persen dari perolehan suara sah secara nasional.
Dari beberapa contoh di atas tampak dengan jelas bahwa tidak hanya Indonesia yang bergumul dengan masalah memilih system pemilihan umum yang paling baik baginya. Kedua sistim peilihan mengandung segi positif dan segi negative. Dan setiap negara harus menentukan ciri-ciri mana dari sistim mana yang paling baik baginya, mengingat situasi dan kondisi di negeriya. Kedua sistim dewasa ini tidak murni lagi, dan dengan demikian telah timbul istilah-istilah seerti semi distrik dn semi proporsional.
· Semi distrik
· Semi proporsional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar