Minggu, 21 Agustus 2016

RELEVANSI DAN KONTEKSTUALISASI MARHAENISME




Oleh: Reinhard Hutapea
Disampaikan pada Haul Bung Karno 1 Juni 2015, DPD PDI Perjuangan Sumsel
 Jl Basuki Rahmat Palembang.

Pengantar diskusi/Suatu bahasan awal
Merdeka !
Sebelum sampai kita kepembicaraan tema diskusi malam ini ada baiknya data-data yang di tulis Kompas hari ini (1 Juni 2015) kita renungkan dengan seksama. Data-data ini adalah “nilai-nilai Pancasila” berdasarkan survey yang dilakukan harian tsb pada tanggal 27 – 29 Mei 2015.
1.      Percaya dan takwa kepada Tuhan yang Maha esa (semakin baik 38,2%,   tidak tahu 14,1   semakin buruk 47,7%)
2.      Hormat menghormati antar pemeluk agama (s baik 53,6%,  tt  22,8%   s buruk 26,2%)
3.      Tenggang rasa dengan orang lain (s baik 44,9%,     tt19,3        s buruk 36,8%)
4.      Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan (s baik 39,6%   tt  18,1%      s buruk  39,2%)
5.      Persatuan bangsa di atas kepentingan golongan (s baik 48,9%    tt 17,6%    s buruk 33,5%
6.      Berkorban untuk kepentingan bangsa (s baik 34,1%   tt 21,6%    s buruk 40,6%)
7.      Mengutamakan musyawarah dalam membuat keputusan (s baik 42,3%      tt 17,2%    s buruk 37,3%)
8.      Keadilan ekonomi (s baik 11,5%      tt 19,1      s buruk 60,9%)
9.      Keadilan hukum (s baik 20,1%     tt 17,0      s buruk 58,9%)
Jadi kalau kita matematikkan dari seluruh sila-sila Pancasila yang menganggap sudah baik baru sekitar 37,02 persen. Kira-kira 1/3. Sangat memilukan dikala kita sedang melakukan pembangunan yang tekananya ekonomi justru disitu yang paling gagal (hanya 11,5 persen) yang berdampak langsung kepada ketidakadilan hukum (hanya 20,1 persen). Mengapa bisa terjadi seperti ini?
Tentang elite-elite politik
Sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila atau belumkah sikap dan perilaku elite-elite politik selama ini dengan menyelesaikan persoalan bangsa (Belum 75,0%, Sudah 16,0% tt 9,0%)
Mengenaskan...bagaimana 75% atau ¾ mansyarakat menyatakan tidak sesuai, 9% tidak tahu. Hanya 16% yang menyatakan sudah. Indikasi apa?. Masa sesuram itu?, lha untuk apa kita bentuk negara atau pemerintahan jika begitu banyak elite-elitenya tidak dapat menyelesaikan masalah? Jadi apa kerja para elit tersebut selama ini?
Tentang kebijakan pemerintahan
Sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila atau belumkah pelaksanaan kebijakan pemerinthan terkait hal-hal berikut ini
Ø  Menjamin kebebasan beribadah kelompok minoritas agama (sudah 59,0%   belum 36,3,%    tt 4,7%)
Ø  Melaksanakan penegakan hukum tanpa tebang pilih (sudah 25,6%    belum 69,7%   tt 4,7%)
Ø  Melaksanakan keadilan ekonomi (sudah 24,6%   belum 70,7%      tt 4,7%)
Ø  Menyelenggarakan layanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan (sudah 54,0% belum 43,9% tt 2,1%)
???
.......jelas dan kasat mata dari urian-uraian diatas terbukti bahwa nilai-nilai Pancasila masih jauh dari harapan. Meminjam Ted Robert Gurr ada diskrepansi , jurang atau gap (DR,deprivasi relatif) antara harapan (VE, value expectation) dan realitas (VC, value capabilitas) . Oleh karena itu Marhaenisme yang menurut pidato Bung Karno 1 Juni 1945 adalah Pancasila masih tetap relevan, bahkan semakin relevan

Ringkasan-abstract dan kronologi
Marhaenisme adalah ajaran, paham atau ideologi yang diciptakan Bung Karno yang menentang penindasan pada rakyat kecil (petani, buruh,pedagang dan nelayan kecil Marhaen). Tertindas  karena ada “tatanan, struktur atau sistem” yang membelenggunya, yakni “kolonialisme, kapitalisme, Imperialisme dan feodalisme”.
            Pertama sekali istilahnya diutarakan pada Juli 1927, yakni pada waktu lahirnya Partai Nasional Indonesia (PNI) dan selanjutnya diberi definisi pada waktu membacakan pleidoinya dalam “Indonesia menggugat” tahun 1930 serta diuraikan lebih seksama dalam tulisannya di media/harian “Pikiran Rakyat” tahun 1933 dengan tema “Soekarno, Marhaen dan Proletar” dan sambutannya pada kongres Partindo tahun itu.
Kemudian pada tanggal 1 Juni 1945 ketika membahas dan membentuk dasar negara pada BPUPKI, uraiannya kemudian dikenal sebagai “Pancasila”. Untuk lebih mengoperasionalkannya dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara dalam peringatan 30 tahun PNI, yakni Juli 1957 Bung Karno dalam rangka menajamkan pahamnya menyatakan bahwa (dalam rangka “Shaping and shaping, Menggalang massa-aksi Revolusioener menuju masyarakat adil dan makmur)  untuk memerdekakan kaum Marhaen yang tertindas akibat sistem yang membelenggu itu tiada lain adalah “Non-Kooperasi” terhadap “Kolonialisme, Kapitalisme, Imperialisme dan Feodalisme”.
            Dalam bahasa lain bagi pejuang/kalangan Marhaenis, apakah itu yang langsung diorganisir PNI maupun kekuatan-kekuatan lainnya hanya satu “jalan, teori, konsep atau paradigma”, (tiada jalan diluar itu) yakni “tidak bekerja sama-sekali” dengan Kolonialisme, Kapitalisme, Imperialisme dan feodalisme. Non kooperasi adalah harga mati.
Puncaknya adalah dalam pidato 17 Agustus 1963 yang dikenal dengan tahun Vivere vericoloso. Dalam rangka merespons suasana dunia yang terperosok dalam perang dingin (cold war) saat itu, Bung Karno kembali melesatkan konsep baru tentang pengertian dari kemerdekaan sejati, yang sangat terkenal hingga saat ini, yaitu Trisakti; berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam  bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan
            Akan tetapi dalam perjalanan, perkembangan atau historisitasnya,  meskipun Indonesia telah merdeka tahun 1945 dan Bung Karno tampil sebagai tokoh sentral,pemimpin besar revolusi pada era itu, paham, aliran atau mazhab kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme tetap hidup dan terus mengeskalasikan perlawanan terhadap paham anti tesenya (Marhaenisme)
 Dengan licik dan lihay dengan tidak mengenal upaya menyerah, serta menyesuaikan perjuangan jahatnya dengan perkembangan jaman mereka  tetap bernafsu menjalankan syahwat serakahnya.
            Kaum kolonialis, kapitalis, Imperialis dengan baju baru pergerakanya yang dikenal sebagai “Nekolim” (Neo kolonialsme-neoimperialisme) melancarkan birahinya dengan instrumen baru, yang tidak lagi memakai serdadu, melainkan “instrumen ekonomi”.
 Dengan instrumen ini, yakni dengan dalil-dalil ekonominya serta gerakan-gerakan bawah tanahnya mereka terus melakukan “infiltrasi, penetrasi, dan subversif” terhadap pemerintah Indonesia. Secara Machiavelistis, yakni dengan segala tipu daya dan rayuan mautnya  mereka mempengaruhi elite-elite Indonesia agar masuk dan terjerat dalam jebakannya.
            Kenyataan pada medio 1960-an, dengan dalih pemberontakan G 30 S/PKI , Bung Karno diturunkan dari singgasana kekuasaan dan seluruh tatanan yang dibangun sebelumnya pasca kemerdekaan dirubah sama sekali.
Indonesia tidak lagi non blok (non aligend), melainkan sudah ngeblok, yakni ngeblok kepangkuan kapitalis. Dengan argumen/dalih pembangunan mereka membuka diri lebar-lebar kepangkuan  kapitalis Internasional yang dianggap punya modal (kapital, teknologi dan keahlian manajemen) dan menjauhkan diri dari negara-negara sosialis yang ditengarai tidak punya modal.
Bandul ekonomi-politik sungguh-sungguh telah beranjak ke kanan (Kapitalis). Tidak lagi ditengah, non blok atau Dunia III.Politik luar negeri yang sebelumnya bebas aktif beralih hanya ke Barat, ke blok liberal-kapitalis.
Sebagai konsekwensinya karena dianggap mengganggu power establish yang baru terbentuk, seluruh pengikut-pengikut setia Bung Karno, khususnya yang ada dalam jajaran pemerintahan, dieleminir atau ditangkap dan ajaran-ajarannya, khususnya Marhaenisme dilarang sama sekali.
Marhaenisme menjadi ideologi yang diharamkan. Pengikut-pengikut setianya ditangkap dan dijebloskan ke penjara tanpa diadili sama sekali. Tidak cukup disitu banyak juga yang dibunuh atau tidak tahu rimbanya.
 Rezim yang menamakan diri Orde Baru ini, yang sangat otoriter dan penuh dengan korupsi ini (Carl D Jackson, 1980) bertahan hingga 32 tahun, yang kemudian ditumbangkan Orde reformasi pada akhir tahun 1997
            Akan tetapi meski Orde Baru yang super otoritarian ini tumbang dan kekuatan serta ajaran Bung Karno kembali tampil kepentas perpolitikan nasional, keadaan ekonomi-politik tidak semakin baik
            Indonesia sebagaimana kata banyak pengamat (Mahathir Mohammad) menjadi salah satu korban dari Globalisasi atau Neoliberal yang terus memarjinalkan mayoritas kehidupan rakyatnya dan ternyata terus berlangsung hingga hari-hari ini
            Oleh karena itu Marhaenisme sebagai ideologi anti penindasan tidak saja relevan dengan situasi yang sedang mentas, justru satu-satunya ideologi, paham, teori atau instrumen perjuangan melawannya. Bagaimana dengan PDI Perjuangan yang terang-terangan berazas Pancasila 1 Juni 1945? Sudahkah konsisten dengan Marhaenisme?

Latar belakang masalah
Setiap tahun sejak Bung Karno meninggalkan dunia ini, setiap tahun itu pula kita merayakan Haulnya. Dirayakan dengan sekian variasi, yakni dalam bentuk tertutup, terbuka atau bentuk-bentuk perayaan lainnya. Pada awal Orde Baru, perayaan atau tepatnya peringatannya dilakukan hanya dalam kalangan-kalangan terbatas. Dalam lingkungan keluarga atau pengikut-pengikut setianya
Akan tetapi setelah lengsernya Soeharto, yang ditandai dengan berakhirnya era Orde baru yang membinasakan ajarannya, peringatan atau perayaan Haul tidak lagi dalam lingkungan terbatas. Sudah terbuka, bahkan besar-besaran. Segala pujian, bak cendawan di musim hujan melesat memuji, meninggikan atau membanggakan dirinya. Termasuk dari lawan-lawan politiknya sekalipun. Bung Karno adalah sosok agung, Proklamator, Pemimpin yang  melihat jauh masa depan (futurolog) dan sekian pujaan lain, demikian kata mereka
Namun diatas itu semua muncul pertanyaan, apakah peringatan atau haul itu dilakukan untuk sungguh-sungguh mewujudkan ajaran-ajarannya?   Khususnya Marhaenisme sebagai ajaran orisinilnya? Tidakkah sebatas retorika sebagaimana banyak diulas para pakar dalam terbitan Kompas hari ini?, atau seperti kata M.Dawam Rahardjo (hal 6 Kompas, 1 Juni 2015), secara perlahan-lahan Pancasila sudah ditinggalkan. Inilah yang perlu kita diskusikan dalam peringatan akbar ini

Uraian
Banyak kalangan, khususnya dari mereka yang sangat fanatik dengan Bung karno sering skeptis terhadap kalangan-kalangan lain yang sering membanggakan Bung Karno, namun perilaku, khususnya perilaku politiknya justru bertolak belakang dengan perjuangan Bung Karno. Bung Karno diangkat-angkat namun hanya sekedar bumfer, bantal atau mungkin legitimasi diri atau lembaganya supaya di dukung oleh rakyat.
Bisa saja mereka sesungguhnya jujur mengangumi Bung Karno, namun karena tidak paham bagaimana cara, kiat, atau sistem memahami Bung karno, maka tindakannya jadi salah. Namun akan menjadi kiamat jika sesungguhnya  ia  paham “metodologi” Bung Karno, namun karena ia punya kepentingan sempit, justru membelokkan hakiki Bung karno kepada kepentingan sempitnya
 Di sebut-sebut, dipuji-puji, dibangga banggakan, namun tidak pernah direalisasikan. Teriak sosialisme, namun prakteknya individualisme. Slogan rakyat kecil, namun perilakunya elitis, bahkan menindas. Mirip kader katak, yakni menjilat ke atas, menyikut kesamping dan menginjak ke bawah (Suhartono, Prof Dr, 1995). Sungguh ironis. Perlu diretas
Diretas dengan lebih dahulu memamahami sejarah, sebagaimana kata Bung karno “Jas Merah”, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Sejarah penting kita pelajari agar paham apa yang terjadi saat ini. Kita mulai dari kronologi sebagai berikut;
·         1920-an Bung Karno dekat dengan seorang sosialis Belanda. Dari sinilah beliau pertama sekali belajar teori Marx.  untuk memahami Marhaenisme perlu dua pengetahuan (1) teori Marx, (2) situasi sosial Indonesia. Tanpa kedua hal tersebut tak akan paham Marhaenisme kata Bung Karno. Ini juga yang sering disebut beberapa kalangan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia.
·         1927 dalam Kongres PNI istilah Marhaen dikumandangkan
·         1930 dalam indonesia menggugat Marhaen diuraikan
·         1933 dalam Kongres Partindo Marhaenisme didefinisikan[1]
·         1 Juni 1945 pidato lahirnya Pancasila Marhaenisme
·         1957 dalam peringatan 30 tahun PNI non kooperasi[2]
·         1959 Konferensi GMNI di Kaliurang Yogyakarta
·         1963 Tahun vivere Pericoloso Trisakti digemakan
·         1967 – 1997 Desukarnoisasi.............

Pidato Bung Karno 1 juni 1945
Pidato ini dikenal sebagai pidato lahirnya Pancasila. Dalam pidato ini rumusan aslinya adalah sbb;
1.      Kebangsaan
2.      Internasionalisme
3.      Mufakat, perwakilan dan permusyawaratan
4.      Kesejahteraan sosial
5.      Ketuhanan
Jika terlalu panjang menurut Bung Karno bisa diperas menjadi;
1.      Sosio-nasionalis
2.      Sosio demokrasi dan          MARHAENISME[3]
3.      Ketuhanan
Jika masih terlalu panjang juga dapat diringkas menjadi satu kalimat yakni  gotong royong” atau eka sila[4]

Konsep Trisakti
Diutarakan pada pidato 17 Agustus 1963 dengan tema tahun Vivere vericoloso/Taviv. Yakni; Berdaulat dalam bidang politik, Berdikari dalam bidang ekonomi dan Berkepribadian dalam bidang kebudayaan  semua sudah hafal. Intinya itulah suatu bangsa yang “merdeka”. Bangsa dikatakan merdeka apabila telah memenuhi ketiga hal tersebut
Pertanyaan kemudian adalah mengapa ide itu lahir ;
·         Latar belakang/ide untuk pengikut
·         Perang dingin (cold war)   jubir dunia III
·         Semakin bergaung pasca Supersemar

Nawa cita Implementasi Marhaenisme ?
Setelah pemikiran-pemikiran yang dilandasi ajaran Bung Karno tersebut kita uraikan, adakah hubungannya dengan kondisi saat ini ? adakah relevansinya dengan pemerintahan Jokowi JK?. Akan kita kaji dari tiga pendekatan, yakni;
v  Hakiki Jokowi
v  Nawa Cita
v  Implementasi.

Hakiki Jokowi
Benarkah  Jokowi  seorang Marhaenis ?. itulah pertanyaan yang kelihatannya masih tetap kontroversial. Akan tetapi dari (paling tidak) penuturan beberapa ahli, seperti Fachri Ali misalnya dengan tegas menyatakan bahwa Jokowi adalah seorang Marhaenis. Jokowi adalah manifestasi sejati dari seorang marhaenis. Perilaku politik, ekonomi atau khususnya sosial-kulturalnya sejak memimpin Solo telah terekam dengan jelas, ia adalah pembela utama kalangan cilik/kalangan marhaen. Bagaimana kongkrit detil dari perilaku-perilaku tersebut sudah banyak dipublisir media cetak.
Setelah memimpin Jakarta, perilaku itu pun menunjukkan kebenarannya. Pembangunan yang bertolak dari kepentingan kalangan bawah mulai mendapat tempat. Pembangunan pasar-pasar tradisional, angkutan massal, kampung deret, pemberian kartu sehat, kartu pintar adalah beberapa contoh dari manifestasi programnya.
Setelah menjadi Presiden, program pro rakyat itu pun tetap diteruskan. Jargon-jargon Bung Karno, seperti Trisakti, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan terus mengumandang dengan nyaring.
Begitu pula tentang konsep “nation and character building”, yang sangat mendasar dalam pembangunan bangsa (nation building), walaupun dengan istilah lain, yakni “revolusi mental” menggema dengan kencang.
 Semua itu pada akhirnya dituangkan dalam programnya yang populer dengan sebutan Nawa Cita.

Konsep Nawa cita[5]
Program ini terdiri dari sembilan (nawa) butir.
1.      Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim[6]
2.      Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu dan lembaga perwakilan[7]
3.      Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan[8].
4.      Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya[9]
5.      Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui pendidikan dan pelatihan dengan program “Indonesia pintar”, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program “Indonesia kerja” dan “Indonesia sejahtera” dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 ha, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019[10]
6.      Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama-sama bangsa-bangsa lainnya[11]
7.      Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik
8.      Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia[12]
9.      Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog warga[13]

Implementasi.
Ada dua tantangan besar yang dihadapi pemerintahan baru saat ini, yakni;
·         Warisan pemerintahan lama yang kronis[14]
·         Terus direcokinya pemerintahan baru[15]
Namun apapun rintangannya arahnya sudah jelas. Kemauan baik yang dilakukan pemerintahan Jokowi-JK sudah mulai terlihat, walau mungkin  hasilnya baru kelihatan setelah dua atau tiga tahun lagi

Kongklusi
1.   Selama ada pengangguran, kemiskinan, ketimpangan, alienasi, dan ketidak adilan sosial ditengah-tengah masyarakat, selama itu pula Marhaenisme tetap relevan
2.    Marhaenisme adalah ajaran Bung Karno yang sangat rasional yang perlu dikembangkan lebih lanjut, seperti;  dikembalikan sebagai ideologi negara, dikembangkan dari ideologi menjadi suatu ilmu, supaya out-putnya konsisten diimplementasikan dalam UU, dipraksiskan dari melayani secara vertikal/state, menjadi melayani secara horizontal/society, dan sebagai kritik kebijakan negara
3.    Mudah-mudahan pertemuan Haul ini tidak sekedar retorika, melainkan sumber inspirasi dan penyemangat bagi kita mewujudkan Marhaenisme.
Merdeka,

Palembang, I Juni 2015
Reinhard Hutapea
·         Direktur CEPP PPS Unitas
·         Staf pengajar MIP Unitas
·         Dewan Pakar PA GMNI
·         Wkl Ketua DPP Pemuda Demokrat
·         Timsel Panwaslu Pilkada 7 Kabupaten, Sumsel
·         Staf ahli DPR RI   2000-2009
·         Dekan FISIP Untag 2008-2011
·         Penulis/jurnalis


[1] Dijabarkan dengan 9 item al, Marhaernisme yaitu (1) sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, (2) yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain, (3) pakai marhaen, bukan proletar, sebab proletar sudah termaktub dalam marhaen, (4) adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan marhaen, (5)adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang karenanya harus perjuangan revolusioner, (6) oleh karena itu Marhaen adalah cara perjuangan dan asas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan Imperialisme, (7) Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia yang menyelamatkan marhaen
[2] Kemudian dikenal sebagai azas perjuangan nan...radikal revolusioner, machtsvorming-machstaanwending, massa aksi, self helf, self reliance
[3] Dalam konperensi GMNI tahun 1959 di Kaliurang Yogyakarta, Bung Karno menyatakan tentang Marhaen adalah; (1) Marhaen adalah asas yang menghedaki susunan masyarakat yang dalam segala halnya menyelamatkan kaum marhaen (2) marhaen adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum marhaen pada umumnya, da(3) marhaen adalah asas dan cara perjuangan menunuju hilangnya “kapitalisme, Imperialisme dan kolonialisme
[4][4] Bergotong royong maksudnya adalah bersama-sama melakukan semua sila-sila itu. Jangan diplintirseakan-akan sama halnya dengan pengertian gotong royong yang disalahgunakan selama ini, yakni hanya sebatas kerjasama membersihkan paret, menyapu yang kotor pada waktu kerja bakti. Jauh dari situ adalah bersama-sama-bergotong royong mewujudkan semua nilai-nilai Pancasila itu
[5] Meski tidak pernah diuraikan atau dihubungkan dengan pidato Soekarno pada tanggal 22  juni 1966, “Nawaksara” dalam Sidang Umum IV MPRS, yakni tentang pertanggung jawabannya menghadapi peristiwa G 30 S, penulis menganggap tidak lepas dari pidato Nawa Cita  tersebut. Pidato ini pada intinya mengemukakan tiga (3) hal, yakni; a, keblingernya pimpinan PKI, b, subversi neo-kolonialisme dan neo-imperialisme (nekolim), c, adanya oknum-oknum tak benar. Pidato ini dilengkapi pada 10 Januari 1967, namun ditolak MPR. Di lain pihak Soekarno menyatakan peristiwa itu adalah persekutuan dari oknum-oknum yang kontra revolusi (dari dalam) dan kekuatan nekolim (dari luar)
[6] Lihat alinea 4 Pembukaan UUD 1945. Alinea ini adalah tujuan negara kita
[7] Masalah ini sangat crucial. Selain reformasi birokrasi yang jalan di tempat berhubungan dengan sikap, mental atau karakter aparatur yang masih jauh dari seorang nan meritokratis. Begitu pula pemberdayaan lembaga-lembaga demokratis seperti Partai-Partai politik, Pemilu yang masih sangat jauh dari sebuah lembaga demokratis
[8] Kongkritnya bidang pertanian
[9] Tampaknya muncul resistensi/perlawanan serius
[10] Masih dalam penjajakan. Problemnya cukup rumit
[11] Masih jauh. Belum dimulai
[12] Tujuan strategis jangka panjang
[13] Masalah yang kita hadapi sejak lama.
[14] Masalah yang ditinggalkan rezim-rezim sebelumnya, yaitu dari mulai Soeharto hingga SBY sangat kronis. Masalah ini terutama adalah terus membengkaknya korupsi, kolusi dan nepotisme
[15] Pihak-pihak yang kalah dalam pilpres kemarin kelihatannya belum berjiwa besar mengakui kekalahannya. Mereka terus menyimpan dan meneruskan dendam kesumatnya. Apapun yang dilakukan pemerintahan Jokowi – JK dimata mereka ini semua salah. Sudah terjerembab apriori. Dari waktu ke waktu mereka terus melampiaskan kegundahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar