Oleh: Reinhard Hutapea
Disampaikan pada Haul Bung Karno 1
Juni 2015, DPD PDI Perjuangan Sumsel
Jl Basuki Rahmat Palembang.
Pengantar diskusi/Suatu
bahasan awal
Merdeka !
Sebelum sampai kita kepembicaraan
tema diskusi malam ini ada baiknya data-data yang di tulis Kompas hari ini (1
Juni 2015) kita renungkan dengan seksama. Data-data ini adalah “nilai-nilai
Pancasila” berdasarkan survey yang dilakukan harian tsb pada tanggal 27 – 29
Mei 2015.
1. Percaya dan takwa kepada Tuhan yang
Maha esa (semakin baik 38,2%, tidak
tahu 14,1 semakin buruk 47,7%)
2. Hormat menghormati antar pemeluk
agama (s baik 53,6%, tt 22,8% s buruk 26,2%)
3. Tenggang rasa dengan orang lain (s
baik 44,9%, tt19,3 s
buruk 36,8%)
4. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan
(s baik 39,6% tt 18,1%
s buruk 39,2%)
5. Persatuan bangsa di atas kepentingan
golongan (s baik 48,9% tt 17,6% s buruk 33,5%
6. Berkorban untuk kepentingan bangsa (s
baik 34,1% tt 21,6% s buruk 40,6%)
7. Mengutamakan musyawarah dalam membuat
keputusan (s baik 42,3% tt 17,2% s buruk 37,3%)
8. Keadilan ekonomi (s baik 11,5% tt 19,1 s buruk 60,9%)
9. Keadilan hukum (s baik 20,1% tt 17,0 s buruk 58,9%)
Jadi kalau kita matematikkan dari seluruh sila-sila
Pancasila yang menganggap sudah baik baru sekitar 37,02 persen. Kira-kira 1/3.
Sangat memilukan dikala kita sedang melakukan pembangunan yang tekananya
ekonomi justru disitu yang paling gagal (hanya 11,5 persen) yang berdampak
langsung kepada ketidakadilan hukum (hanya 20,1 persen). Mengapa bisa terjadi
seperti ini?
Tentang elite-elite politik
Sudah sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila atau belumkah sikap dan perilaku elite-elite politik selama ini
dengan menyelesaikan persoalan bangsa (Belum 75,0%, Sudah 16,0% tt 9,0%)
Mengenaskan...bagaimana
75% atau ¾ mansyarakat menyatakan tidak sesuai, 9% tidak tahu. Hanya 16% yang
menyatakan sudah. Indikasi apa?. Masa sesuram itu?, lha untuk apa kita bentuk
negara atau pemerintahan jika begitu banyak elite-elitenya tidak dapat
menyelesaikan masalah? Jadi apa kerja para elit tersebut selama ini?
Tentang kebijakan pemerintahan
Sudah sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila atau belumkah pelaksanaan kebijakan pemerinthan terkait hal-hal
berikut ini
Ø Menjamin kebebasan beribadah kelompok minoritas agama (sudah 59,0% belum 36,3,% tt 4,7%)
Ø Melaksanakan penegakan hukum tanpa tebang pilih (sudah 25,6% belum 69,7% tt 4,7%)
Ø Melaksanakan keadilan ekonomi (sudah 24,6% belum 70,7% tt
4,7%)
Ø Menyelenggarakan layanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan (sudah
54,0% belum 43,9% tt 2,1%)
???
.......jelas dan kasat mata dari urian-uraian diatas terbukti
bahwa nilai-nilai Pancasila masih jauh dari harapan. Meminjam Ted Robert Gurr
ada diskrepansi , jurang atau gap (DR,deprivasi relatif) antara harapan (VE,
value expectation) dan realitas (VC, value capabilitas) . Oleh karena itu Marhaenisme
yang menurut pidato Bung Karno 1 Juni 1945 adalah Pancasila masih tetap relevan,
bahkan semakin relevan
Ringkasan-abstract dan kronologi
Marhaenisme adalah ajaran, paham atau ideologi yang
diciptakan Bung Karno yang menentang penindasan pada rakyat kecil (petani,
buruh,pedagang dan nelayan kecil → Marhaen). Tertindas karena ada “tatanan, struktur atau sistem”
yang membelenggunya, yakni “kolonialisme, kapitalisme, Imperialisme dan
feodalisme”.
Pertama
sekali istilahnya diutarakan pada Juli 1927, yakni pada waktu lahirnya Partai
Nasional Indonesia (PNI) dan selanjutnya diberi definisi pada waktu membacakan
pleidoinya dalam “Indonesia menggugat” tahun 1930 serta diuraikan lebih seksama
dalam tulisannya di media/harian “Pikiran Rakyat” tahun 1933 dengan tema
“Soekarno, Marhaen dan Proletar” dan sambutannya pada kongres Partindo tahun
itu.
Kemudian pada tanggal 1 Juni 1945 ketika membahas dan
membentuk dasar negara pada BPUPKI, uraiannya kemudian dikenal sebagai
“Pancasila”. Untuk lebih mengoperasionalkannya dalam kehidupan berbangsa,
bermasyarakat dan bernegara dalam peringatan 30 tahun PNI, yakni Juli 1957 Bung
Karno dalam rangka menajamkan pahamnya menyatakan bahwa (dalam rangka “Shaping
and shaping, Menggalang massa-aksi Revolusioener menuju masyarakat adil dan
makmur) untuk memerdekakan kaum Marhaen
yang tertindas akibat sistem yang membelenggu itu tiada lain adalah
“Non-Kooperasi” terhadap “Kolonialisme, Kapitalisme, Imperialisme dan
Feodalisme”.
Dalam
bahasa lain bagi pejuang/kalangan Marhaenis, apakah itu yang langsung
diorganisir PNI maupun kekuatan-kekuatan lainnya hanya satu “jalan, teori,
konsep atau paradigma”, (tiada jalan diluar itu) yakni “tidak bekerja
sama-sekali” dengan Kolonialisme, Kapitalisme, Imperialisme dan feodalisme. Non
kooperasi adalah harga mati.
Puncaknya adalah dalam pidato 17 Agustus 1963 yang dikenal
dengan tahun Vivere vericoloso. Dalam rangka merespons suasana dunia yang
terperosok dalam perang dingin (cold war) saat itu, Bung Karno kembali
melesatkan konsep baru tentang pengertian dari kemerdekaan sejati, yang sangat
terkenal hingga saat ini, yaitu Trisakti; berdaulat dalam bidang politik,
berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian
dalam bidang kebudayaan
Akan
tetapi dalam perjalanan, perkembangan atau historisitasnya, meskipun Indonesia telah merdeka tahun 1945
dan Bung Karno tampil sebagai tokoh sentral,pemimpin besar revolusi pada era
itu, paham, aliran atau mazhab kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme tetap
hidup dan terus mengeskalasikan perlawanan terhadap paham anti tesenya
(Marhaenisme)
Dengan licik dan lihay
dengan tidak mengenal upaya menyerah, serta menyesuaikan perjuangan jahatnya
dengan perkembangan jaman mereka tetap
bernafsu menjalankan syahwat serakahnya.
Kaum
kolonialis, kapitalis, Imperialis dengan baju baru pergerakanya yang dikenal
sebagai “Nekolim” (Neo kolonialsme-neoimperialisme) melancarkan birahinya
dengan instrumen baru, yang tidak lagi memakai serdadu, melainkan “instrumen
ekonomi”.
Dengan instrumen ini,
yakni dengan dalil-dalil ekonominya serta gerakan-gerakan bawah tanahnya mereka
terus melakukan “infiltrasi, penetrasi, dan subversif” terhadap pemerintah
Indonesia. Secara Machiavelistis, yakni dengan segala tipu daya dan rayuan mautnya
mereka mempengaruhi elite-elite
Indonesia agar masuk dan terjerat dalam jebakannya.
Kenyataan
pada medio 1960-an, dengan dalih pemberontakan G 30 S/PKI , Bung Karno
diturunkan dari singgasana kekuasaan dan seluruh tatanan yang dibangun
sebelumnya pasca kemerdekaan dirubah sama sekali.
Indonesia tidak lagi non blok (non aligend), melainkan sudah
ngeblok, yakni ngeblok kepangkuan kapitalis. Dengan argumen/dalih pembangunan
mereka membuka diri lebar-lebar kepangkuan kapitalis Internasional yang dianggap punya
modal (kapital, teknologi dan keahlian manajemen) dan menjauhkan diri dari
negara-negara sosialis yang ditengarai tidak punya modal.
Bandul ekonomi-politik sungguh-sungguh telah beranjak ke
kanan (Kapitalis). Tidak lagi ditengah, non blok atau Dunia III.Politik luar
negeri yang sebelumnya bebas aktif beralih hanya ke Barat, ke blok
liberal-kapitalis.
Sebagai konsekwensinya karena dianggap mengganggu power
establish yang baru terbentuk, seluruh pengikut-pengikut setia Bung Karno,
khususnya yang ada dalam jajaran pemerintahan, dieleminir atau ditangkap dan
ajaran-ajarannya, khususnya Marhaenisme dilarang sama sekali.
Marhaenisme menjadi ideologi yang diharamkan.
Pengikut-pengikut setianya ditangkap dan dijebloskan ke penjara tanpa diadili
sama sekali. Tidak cukup disitu banyak juga yang dibunuh atau tidak tahu
rimbanya.
Rezim yang menamakan
diri Orde Baru ini, yang sangat otoriter dan penuh dengan korupsi ini (Carl D
Jackson, 1980) bertahan hingga 32 tahun, yang kemudian ditumbangkan Orde
reformasi pada akhir tahun 1997
Akan
tetapi meski Orde Baru yang super otoritarian ini tumbang dan kekuatan serta
ajaran Bung Karno kembali tampil kepentas perpolitikan nasional, keadaan
ekonomi-politik tidak semakin baik
Indonesia
sebagaimana kata banyak pengamat (Mahathir Mohammad) menjadi salah satu korban
dari Globalisasi atau Neoliberal yang terus memarjinalkan mayoritas kehidupan
rakyatnya dan ternyata terus berlangsung hingga hari-hari ini
Oleh
karena itu Marhaenisme sebagai ideologi anti penindasan tidak saja relevan
dengan situasi yang sedang mentas, justru satu-satunya ideologi, paham, teori
atau instrumen perjuangan melawannya. Bagaimana dengan PDI Perjuangan yang terang-terangan
berazas Pancasila 1 Juni 1945? Sudahkah konsisten dengan Marhaenisme?
Latar belakang masalah
Setiap tahun sejak Bung Karno meninggalkan dunia ini, setiap
tahun itu pula kita merayakan Haulnya. Dirayakan dengan sekian variasi, yakni
dalam bentuk tertutup, terbuka atau bentuk-bentuk perayaan lainnya. Pada awal
Orde Baru, perayaan atau tepatnya peringatannya dilakukan hanya dalam
kalangan-kalangan terbatas. Dalam lingkungan keluarga atau pengikut-pengikut
setianya
Akan tetapi setelah lengsernya Soeharto, yang ditandai dengan
berakhirnya era Orde baru yang membinasakan ajarannya, peringatan atau perayaan
Haul tidak lagi dalam lingkungan terbatas. Sudah terbuka, bahkan besar-besaran.
Segala pujian, bak cendawan di musim hujan melesat memuji, meninggikan atau
membanggakan dirinya. Termasuk dari lawan-lawan politiknya sekalipun. Bung
Karno adalah sosok agung, Proklamator, Pemimpin yang melihat jauh masa depan (futurolog) dan
sekian pujaan lain, demikian kata mereka
Namun diatas itu semua muncul pertanyaan, apakah peringatan
atau haul itu dilakukan untuk sungguh-sungguh mewujudkan ajaran-ajarannya? Khususnya Marhaenisme sebagai ajaran
orisinilnya? Tidakkah sebatas retorika sebagaimana banyak diulas para pakar
dalam terbitan Kompas hari ini?, atau seperti kata M.Dawam Rahardjo (hal 6
Kompas, 1 Juni 2015), secara perlahan-lahan Pancasila sudah ditinggalkan. Inilah
yang perlu kita diskusikan dalam peringatan akbar ini
Uraian
Banyak kalangan, khususnya dari mereka yang sangat fanatik dengan
Bung karno sering skeptis terhadap kalangan-kalangan lain yang sering membanggakan
Bung Karno, namun perilaku, khususnya perilaku politiknya justru bertolak
belakang dengan perjuangan Bung Karno. Bung Karno diangkat-angkat namun hanya
sekedar bumfer, bantal atau mungkin legitimasi diri atau lembaganya supaya di dukung
oleh rakyat.
Bisa saja mereka sesungguhnya jujur mengangumi Bung Karno,
namun karena tidak paham bagaimana cara, kiat, atau sistem memahami Bung karno,
maka tindakannya jadi salah. Namun akan menjadi kiamat jika sesungguhnya ia
paham “metodologi” Bung Karno, namun karena ia punya kepentingan sempit,
justru membelokkan hakiki Bung karno kepada kepentingan sempitnya
Di sebut-sebut,
dipuji-puji, dibangga banggakan, namun tidak pernah direalisasikan. Teriak
sosialisme, namun prakteknya individualisme. Slogan rakyat kecil, namun
perilakunya elitis, bahkan menindas. Mirip kader katak, yakni menjilat ke atas,
menyikut kesamping dan menginjak ke bawah (Suhartono, Prof Dr, 1995). Sungguh
ironis. Perlu diretas
Diretas dengan lebih dahulu memamahami sejarah, sebagaimana
kata Bung karno “Jas Merah”, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Sejarah penting
kita pelajari agar paham apa yang terjadi saat ini. Kita mulai dari kronologi
sebagai berikut;
·
1920-an
Bung Karno dekat dengan seorang sosialis Belanda. Dari sinilah beliau pertama
sekali belajar teori Marx. → untuk memahami Marhaenisme perlu dua
pengetahuan (1) teori Marx, (2) situasi sosial Indonesia. Tanpa kedua hal
tersebut tak akan paham Marhaenisme kata Bung Karno. Ini juga yang sering
disebut beberapa kalangan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan di
Indonesia.
·
1927
dalam Kongres PNI istilah Marhaen dikumandangkan
·
1930
dalam indonesia menggugat Marhaen diuraikan
·
1933
dalam Kongres Partindo Marhaenisme didefinisikan[1]
·
1
Juni 1945 pidato lahirnya Pancasila ► Marhaenisme
·
1959
Konferensi GMNI di Kaliurang Yogyakarta
·
1963
Tahun vivere Pericoloso ► Trisakti digemakan
·
1967
– 1997 Desukarnoisasi.............
Pidato Bung Karno 1 juni 1945
Pidato ini dikenal
sebagai pidato lahirnya Pancasila. Dalam pidato ini rumusan aslinya adalah sbb;
1. Kebangsaan
2. Internasionalisme
3. Mufakat, perwakilan dan
permusyawaratan
4. Kesejahteraan sosial
5. Ketuhanan
Jika terlalu
panjang menurut Bung Karno bisa diperas menjadi;
1. Sosio-nasionalis
3. Ketuhanan
Jika masih
terlalu panjang juga dapat diringkas menjadi satu kalimat yakni “gotong royong” atau eka sila[4]
Konsep Trisakti
Diutarakan
pada pidato 17 Agustus 1963 dengan tema tahun Vivere vericoloso/Taviv. Yakni;
Berdaulat dalam bidang politik, Berdikari dalam bidang ekonomi dan
Berkepribadian dalam bidang kebudayaan ► semua sudah hafal. Intinya itulah
suatu bangsa yang “merdeka”. Bangsa dikatakan merdeka apabila telah memenuhi
ketiga hal tersebut
Pertanyaan
kemudian adalah mengapa ide itu lahir ;
·
Latar
belakang/ide untuk pengikut
·
Perang
dingin (cold war) → jubir dunia III
·
Semakin
bergaung pasca Supersemar
Nawa cita → Implementasi Marhaenisme ?
Setelah
pemikiran-pemikiran yang dilandasi ajaran Bung Karno tersebut kita uraikan,
adakah hubungannya dengan kondisi saat ini ? adakah relevansinya dengan
pemerintahan Jokowi JK?. Akan kita kaji dari tiga pendekatan, yakni;
v Hakiki Jokowi
v Nawa Cita
v Implementasi.
Hakiki Jokowi
Benarkah Jokowi seorang Marhaenis ?. itulah pertanyaan yang
kelihatannya masih tetap kontroversial. Akan tetapi dari (paling tidak) penuturan
beberapa ahli, seperti Fachri Ali misalnya dengan tegas menyatakan bahwa Jokowi
adalah seorang Marhaenis. Jokowi adalah manifestasi sejati dari seorang
marhaenis. Perilaku politik, ekonomi atau khususnya sosial-kulturalnya sejak
memimpin Solo telah terekam dengan jelas, ia adalah pembela utama kalangan
cilik/kalangan marhaen. Bagaimana kongkrit detil dari perilaku-perilaku
tersebut sudah banyak dipublisir media cetak.
Setelah memimpin Jakarta, perilaku itu pun menunjukkan
kebenarannya. Pembangunan yang bertolak dari kepentingan kalangan bawah mulai
mendapat tempat. Pembangunan pasar-pasar tradisional, angkutan massal, kampung
deret, pemberian kartu sehat, kartu pintar adalah beberapa contoh dari
manifestasi programnya.
Setelah menjadi Presiden, program pro rakyat itu pun tetap
diteruskan. Jargon-jargon Bung Karno, seperti Trisakti, berdaulat dalam bidang
politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang
kebudayaan terus mengumandang dengan nyaring.
Begitu pula tentang konsep “nation and character building”,
yang sangat mendasar dalam pembangunan bangsa (nation building), walaupun
dengan istilah lain, yakni “revolusi mental” menggema dengan kencang.
Semua itu pada
akhirnya dituangkan dalam programnya yang populer dengan sebutan Nawa Cita.
Program ini
terdiri dari sembilan (nawa) butir.
1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi
segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui
politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan
pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional
dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim[6]
2. Membuat pemerintah tidak absen dengan
membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan
terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan
publik pada institusi-institusi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian,
pemilu dan lembaga perwakilan[7]
3. Membangun Indonesia dari pinggiran
dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan[8].
4. Menolak negara lemah dengan melakukan
reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan
terpercaya[9]
5. Meningkatkan kualitas hidup manusia
Indonesia melalui pendidikan dan pelatihan dengan program “Indonesia pintar”,
serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program “Indonesia kerja” dan
“Indonesia sejahtera” dengan mendorong land reform dan program kepemilikan
tanah seluas 9 ha, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang
disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019[10]
6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan
daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan
bangkit bersama-sama bangsa-bangsa lainnya[11]
7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik
8. Melakukan revolusi karakter bangsa
melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan
aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek
pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai
patriotisme dan cinta tanah air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam
kurikulum pendidikan Indonesia[12]
9. Memperteguh kebhinnekaan dan
memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan
kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog warga[13]
Implementasi.
Ada dua
tantangan besar yang dihadapi pemerintahan baru saat ini, yakni;
·
Warisan
pemerintahan lama yang kronis[14]
·
Terus
direcokinya pemerintahan baru[15]
Namun apapun
rintangannya arahnya sudah jelas. Kemauan baik yang dilakukan pemerintahan
Jokowi-JK sudah mulai terlihat, walau mungkin
hasilnya baru kelihatan setelah dua atau tiga tahun lagi
Kongklusi
1. Selama
ada pengangguran, kemiskinan, ketimpangan, alienasi, dan ketidak adilan sosial ditengah-tengah
masyarakat, selama itu pula Marhaenisme tetap relevan
2. Marhaenisme
adalah ajaran Bung Karno yang sangat rasional yang perlu dikembangkan lebih
lanjut, seperti; dikembalikan sebagai
ideologi negara, dikembangkan dari ideologi menjadi suatu ilmu, supaya
out-putnya konsisten diimplementasikan dalam UU, dipraksiskan dari melayani
secara vertikal/state, menjadi melayani secara horizontal/society, dan sebagai
kritik kebijakan negara
3. Mudah-mudahan
pertemuan Haul ini tidak sekedar retorika, melainkan sumber inspirasi dan
penyemangat bagi kita mewujudkan Marhaenisme.
Merdeka,
Palembang, I Juni 2015
Reinhard
Hutapea
·
Direktur
CEPP PPS Unitas
·
Staf
pengajar MIP Unitas
·
Dewan
Pakar PA GMNI
·
Wkl
Ketua DPP Pemuda Demokrat
·
Timsel
Panwaslu Pilkada 7 Kabupaten, Sumsel
·
Staf
ahli DPR RI 2000-2009
·
Dekan
FISIP Untag 2008-2011
·
Penulis/jurnalis
[1]
Dijabarkan dengan 9 item al, Marhaernisme yaitu (1) sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi, (2) yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang
melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain, (3) pakai marhaen, bukan
proletar, sebab proletar sudah termaktub dalam marhaen, (4) adalah azas yang
menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya
menyelamatkan marhaen, (5)adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan
masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang karenanya harus
perjuangan revolusioner, (6) oleh karena itu Marhaen adalah cara perjuangan dan
asas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan Imperialisme, (7)
Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia yang menyelamatkan marhaen
[2] Kemudian
dikenal sebagai azas perjuangan nan...radikal revolusioner,
machtsvorming-machstaanwending, massa aksi, self helf, self reliance
[3] Dalam
konperensi GMNI tahun 1959 di Kaliurang Yogyakarta, Bung Karno menyatakan
tentang Marhaen adalah; (1) Marhaen adalah asas yang menghedaki susunan
masyarakat yang dalam segala halnya menyelamatkan kaum marhaen (2) marhaen
adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum marhaen pada
umumnya, da(3) marhaen adalah asas dan cara perjuangan menunuju hilangnya
“kapitalisme, Imperialisme dan kolonialisme
[4][4]
Bergotong royong maksudnya adalah bersama-sama melakukan semua sila-sila itu.
Jangan diplintirseakan-akan sama halnya dengan pengertian gotong royong yang
disalahgunakan selama ini, yakni hanya sebatas kerjasama membersihkan paret,
menyapu yang kotor pada waktu kerja bakti. Jauh dari situ adalah
bersama-sama-bergotong royong mewujudkan semua nilai-nilai Pancasila itu
[5] Meski
tidak pernah diuraikan atau dihubungkan dengan pidato Soekarno pada tanggal
22 juni 1966, “Nawaksara” dalam Sidang
Umum IV MPRS, yakni tentang pertanggung jawabannya menghadapi peristiwa G 30 S,
penulis menganggap tidak lepas dari pidato Nawa Cita tersebut. Pidato ini pada intinya mengemukakan
tiga (3) hal, yakni; a, keblingernya pimpinan PKI, b, subversi neo-kolonialisme
dan neo-imperialisme (nekolim), c, adanya oknum-oknum tak benar. Pidato ini
dilengkapi pada 10 Januari 1967, namun ditolak MPR. Di lain pihak Soekarno
menyatakan peristiwa itu adalah persekutuan dari oknum-oknum yang kontra
revolusi (dari dalam) dan kekuatan nekolim (dari luar)
[6] Lihat
alinea 4 Pembukaan UUD 1945. Alinea ini adalah tujuan negara kita
[7] Masalah
ini sangat crucial. Selain reformasi birokrasi yang jalan di tempat berhubungan
dengan sikap, mental atau karakter aparatur yang masih jauh dari seorang nan
meritokratis. Begitu pula pemberdayaan lembaga-lembaga demokratis seperti
Partai-Partai politik, Pemilu yang masih sangat jauh dari sebuah lembaga
demokratis
[8]
Kongkritnya bidang pertanian
[9]
Tampaknya muncul resistensi/perlawanan serius
[10] Masih
dalam penjajakan. Problemnya cukup rumit
[11] Masih
jauh. Belum dimulai
[12] Tujuan
strategis jangka panjang
[13] Masalah
yang kita hadapi sejak lama.
[14] Masalah
yang ditinggalkan rezim-rezim sebelumnya, yaitu dari mulai Soeharto hingga SBY
sangat kronis. Masalah ini terutama adalah terus membengkaknya korupsi, kolusi
dan nepotisme
[15]
Pihak-pihak yang kalah dalam pilpres kemarin kelihatannya belum berjiwa besar
mengakui kekalahannya. Mereka terus menyimpan dan meneruskan dendam kesumatnya.
Apapun yang dilakukan pemerintahan Jokowi – JK dimata mereka ini semua salah.
Sudah terjerembab apriori. Dari waktu ke waktu mereka terus melampiaskan
kegundahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar