Minggu, 28 Agustus 2016

DPD, Dewan Perwakilan Dirinya?








 DPD, DEWAN PERWAKILAN DIRINYA ?
Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar MIP UNITAS  Palembang
(12/04/16)

Setelah ricuh rapat paripurna tanggal 16 Maret 2016 yang lalu, hari senin kemaren (11 April 2016) kembali lagi ricuh. Inti persoalan tetap sama, yakni sebagian anggota (60 orang) menginginkan agar masa jabatan pimpinan DPD 2,5 tahun saja. Sontak ketika rapat dibuka ketua dan wakil ketua (Irman Gusman dan A. Farouk) sebagian anggota secara refleks tidak menerima, dan maju ke depan forum untuk menghentikannya.
Suasana menjadi  hiruk pikuk, hingar bingar hingga vandalis, karena seorang anggota dengan beringas keluar dari kursinya (mungkin) mau memukul pimpinan sidang, namun dilerai oleh kawan-kawannya. Implikasinya pimpinan sidang akhirnya diganti oleh wakil ketua yang lain, yakni GKR Hemas.
Akan tetapi meskipun pimpinan sidang diganti, suasana tidak lagi kondusif. Mereka yang bertikai masing-masing mempertahankan pendiriannya yang tak mungkin dipertemukan. Mengapa muncul anarkhis demikian? Apa yang mereka perebutkan? Akumulasi dari ketidakjelasan struktur dan fungsi selama ini?  Jawabannya tidak hitam putih.
Yang pasti sejak kelahirannya melalui amandemen UUD 1945 tahun 2002 hingga hari ini  kiprahnya tidak jelas. Lembaganya meminjam Max Weber “legal tapi irrasional”,  struktural tapi tidak fungsional, atau “ada tapi tiada”. Mungkin  itulah realitanya sejak  ikut pemilu tahun 2004.
Lembaga Disfungsional
Masalahnya  hingga penulisan artikel ini DPD tidak punya kekuatan eksekusi sebagaimana yang dimiliki saudaranya tuanya, DPR. DPR bersama Pemerintah/Kabinet adalah penentu pembentukan keputusan-keputusan politik melalui pembahasan UU. Sebaliknya DPD sebagaimana tugas konstitusionalnya yang dimanatkan pada UUD 1945 hanya sebatas memberikan saran. Tidak mengeksekusi.
Pada   sidang pembukaan pembahasan Undang-Undang (UU), pembahasan masalah-masalah otonomi daerah dan masalah-masalah lainnya perannya hanya sekedar memberikan pertimbangan . Pada sidang-sidang pendalaman selanjutnya, seperti sidang panja, pansus dan sejenisnya sampai eksekusi DPD tidak diikutkan.
Artinya secara politik DPD tidak punya kekuasaan (power), pada hal lembaganya, lembaga politik. Mirip peran Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dahulu,  hanya memberi pertimbangan. Namanya pertimbangan , dapat di dengar, dapat juga diabaikan. Lazimnya dalam praktek lebih banyak diabaikan.
            Bedanya dengan DPA adalah , bahwa DPA keanggotannya diangkat Presiden, sebaliknya DPD dipilih secara demokratis melalui pemilihan langsung sebagaimana DPR, Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota. Suatu yang sangat strategis sesungguhnya.
Dan beda yang lain, namun sangat significan adalah kalau DPA, merupakan  lembaga tersendiri, DPD adalah kamar kedua parlemen (MPR), disamping kamar pertama (DPR). Sebagai kamar kedua, sebagaimana kamar pertama seharusnya harus difungsikan. Yakni sama-sama dihuni  agar rumahnya yang bernama MPR menjadi sehat, asri, dan dinamis. Konsep gaulnya sering disebut dengan “bicameral”, sebagai antitese dari “unicameral” (satu kamar) nan statis yang diterapkan pada era Orde Baru.
Realitanya  hanya kamar pertama yang dihuni, kamar kedua dibiarkan kosong melompong. Mirip rumah hantu yang misterius, sebab ada satu ruangan yang dikunci rapat-rapat meski ada penghuninya.  Mengapa  seperti itu ?, Apakah kamar tersebut banyak jinnya ? Atau memang sengaja dijadikan tempat pertapaan ?  tidak begitu jelas. Yang pasti kamar itu tetap kosong
Kosong sebagai konsekwensi logis dari dosa yang disengaja atau hukum karma dari  amandemen UUD 1945 yang amburadul. DPD yang seharusnya menjadi penguat dan penyeimbang DPR direduksi sedemikian rupa sehinga perannya dimarjinalkan.
Sejak terbentuk tahun 2004 hingga hari ini tidak ada perannya yang langsung menyentuh kehidupan rakyat, sebab tidak turut dalam pembahasan hingga eksekusi Undang-Undang, sementara hak, seperti gaji dan fasilitas lainnya sama dengan anggota DPR . Belum lagi kenikmatan-kenikmatan materi lain yang menggiurkan. Berapa besar kerugian uang negara olehnya ? tidakkah lebih baik digunakan kepada yang lebih membutuhkan?
Mewakili dirinya
Ironis dengan sengaja memelihara kesalahan. Sudah terang benderang salah tapi tidak diperbaiki, malah sebaliknya dibiarkan seakan-akan tidak ada masalah. Aneh benar, menjalankan yang jelas-jelas benar saja belum tentu berhasil. Apalagi memelihara kesalahan secara terstruktur, sistemik dan masif.
Persoalan-persoalan yang sekunder alias kurang strategis di blow up seakan-akan dunia mau runtuh, seperti kegaduhan para menteri , Ahok yang memilih jalur independen, SBY yang blusukan ke Jawa dan sebaliknya Jokowi ke Hambalang menjadi diskursus yang tidak henti-hentinya dipublikasikan, sementara DPD yang jelas-jelas gagal secara sistemik cenderung dilupakan.
Faktanya dapat di lihat pada media yang sudah lama tak pernah lagi menyinggungnya. Mereka sudah lupa atau sengaja melupakan bahwa satu dekade yang lalu Yusuf Kalla sebagai Wapres, dan Ginanjar Kartasasmita sebagai ketua DPD pertama sudah teriak, jika DPD tidak diberi fungsi legislasi bubarkan saja.
Sayang seribu sayang, teriak tinggal teriak, disfungsional tinggal disfungsional, DPD tetap hadir. Bahkan  seakan-akan tanpa masalah , pada perhelatan pemilu 2009 dan 2014 yang lalu, lembaga demikian tetap mulus melenggang ke Senayan. Lalu ngapain disana? Mewakili siapa  disana? . Yang pasti mewakili dirinya sendiri. Jadi DPD yang ada saat ini hanyalah Dewan Perwakilan Dirinya. (12/04/16)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar