DPD, DEWAN PERWAKILAN DIRINYA ?
Oleh :
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar MIP UNITAS Palembang
(12/04/16)
Setelah ricuh rapat paripurna tanggal 16 Maret 2016 yang lalu, hari senin kemaren (11 April 2016) kembali lagi ricuh. Inti persoalan tetap sama, yakni sebagian anggota (60 orang) menginginkan agar masa jabatan pimpinan DPD 2,5 tahun saja. Sontak ketika rapat dibuka ketua dan wakil ketua (Irman Gusman dan A. Farouk) sebagian anggota secara refleks tidak menerima, dan maju ke depan forum untuk menghentikannya.
Suasana menjadi hiruk pikuk, hingar bingar hingga vandalis, karena
seorang anggota dengan beringas keluar dari kursinya (mungkin) mau memukul
pimpinan sidang, namun dilerai oleh kawan-kawannya. Implikasinya pimpinan
sidang akhirnya diganti oleh wakil ketua yang lain, yakni GKR Hemas.
Akan tetapi meskipun pimpinan sidang diganti, suasana
tidak lagi kondusif. Mereka yang bertikai masing-masing mempertahankan
pendiriannya yang tak mungkin dipertemukan. Mengapa muncul anarkhis demikian?
Apa yang mereka perebutkan? Akumulasi dari ketidakjelasan struktur dan fungsi
selama ini? Jawabannya tidak hitam putih.
Yang pasti sejak kelahirannya melalui amandemen UUD
1945 tahun 2002 hingga hari ini kiprahnya tidak jelas. Lembaganya meminjam Max
Weber “legal tapi irrasional”, struktural tapi tidak fungsional, atau “ada
tapi tiada”. Mungkin itulah realitanya sejak ikut pemilu tahun 2004.
Lembaga Disfungsional
Masalahnya hingga penulisan artikel ini DPD tidak punya
kekuatan eksekusi sebagaimana yang dimiliki saudaranya tuanya, DPR. DPR bersama
Pemerintah/Kabinet adalah penentu pembentukan keputusan-keputusan politik
melalui pembahasan UU. Sebaliknya DPD sebagaimana tugas konstitusionalnya yang
dimanatkan pada UUD 1945 hanya sebatas memberikan saran. Tidak mengeksekusi.
Pada sidang pembukaan pembahasan Undang-Undang (UU),
pembahasan masalah-masalah otonomi daerah dan masalah-masalah lainnya perannya
hanya sekedar memberikan pertimbangan . Pada sidang-sidang pendalaman selanjutnya,
seperti sidang panja, pansus dan sejenisnya sampai eksekusi DPD tidak
diikutkan.
Artinya secara politik DPD tidak punya kekuasaan
(power), pada hal lembaganya, lembaga politik. Mirip peran Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) dahulu, hanya memberi
pertimbangan. Namanya pertimbangan , dapat di dengar, dapat juga diabaikan.
Lazimnya dalam praktek lebih banyak diabaikan.
Bedanya
dengan DPA adalah , bahwa DPA keanggotannya diangkat Presiden, sebaliknya DPD
dipilih secara demokratis melalui pemilihan langsung sebagaimana DPR, Presiden,
Gubernur, Bupati atau Walikota. Suatu yang sangat strategis sesungguhnya.
Dan beda yang lain, namun sangat significan adalah
kalau DPA, merupakan lembaga tersendiri,
DPD adalah kamar kedua parlemen (MPR), disamping kamar pertama (DPR). Sebagai
kamar kedua, sebagaimana kamar pertama seharusnya harus difungsikan. Yakni sama-sama
dihuni agar rumahnya yang bernama MPR
menjadi sehat, asri, dan dinamis. Konsep gaulnya sering disebut dengan “bicameral”,
sebagai antitese dari “unicameral” (satu kamar) nan statis yang diterapkan pada
era Orde Baru.
Realitanya hanya kamar pertama yang dihuni, kamar kedua dibiarkan
kosong melompong. Mirip rumah hantu yang misterius, sebab ada satu ruangan yang
dikunci rapat-rapat meski ada penghuninya.
Mengapa seperti itu ?, Apakah kamar
tersebut banyak jinnya ? Atau memang sengaja dijadikan tempat pertapaan ? tidak begitu jelas. Yang pasti kamar itu tetap
kosong
Kosong sebagai konsekwensi logis dari dosa yang
disengaja atau hukum karma dari amandemen UUD 1945 yang amburadul. DPD yang
seharusnya menjadi penguat dan penyeimbang DPR direduksi sedemikian rupa
sehinga perannya dimarjinalkan.
Sejak terbentuk tahun 2004 hingga hari ini tidak ada
perannya yang langsung menyentuh kehidupan rakyat, sebab tidak turut dalam
pembahasan hingga eksekusi Undang-Undang, sementara hak, seperti gaji dan
fasilitas lainnya sama dengan anggota DPR . Belum lagi kenikmatan-kenikmatan materi
lain yang menggiurkan. Berapa besar kerugian uang negara olehnya ? tidakkah
lebih baik digunakan kepada yang lebih membutuhkan?
Mewakili dirinya
Ironis dengan sengaja memelihara kesalahan. Sudah terang
benderang salah tapi tidak diperbaiki, malah sebaliknya dibiarkan seakan-akan
tidak ada masalah. Aneh benar, menjalankan yang jelas-jelas benar saja belum
tentu berhasil. Apalagi memelihara kesalahan secara terstruktur, sistemik dan
masif.
Persoalan-persoalan yang sekunder alias kurang
strategis di blow up seakan-akan dunia mau runtuh, seperti kegaduhan para
menteri , Ahok yang memilih jalur independen, SBY yang blusukan ke Jawa dan sebaliknya
Jokowi ke Hambalang menjadi diskursus yang tidak henti-hentinya dipublikasikan,
sementara DPD yang jelas-jelas gagal secara sistemik cenderung dilupakan.
Faktanya dapat di lihat pada media yang sudah lama tak
pernah lagi menyinggungnya. Mereka sudah lupa atau sengaja melupakan bahwa satu
dekade yang lalu Yusuf Kalla sebagai Wapres, dan Ginanjar Kartasasmita sebagai
ketua DPD pertama sudah teriak, jika DPD tidak diberi fungsi legislasi bubarkan
saja.
Sayang seribu sayang, teriak tinggal teriak,
disfungsional tinggal disfungsional, DPD tetap hadir. Bahkan seakan-akan tanpa masalah , pada perhelatan pemilu
2009 dan 2014 yang lalu, lembaga demikian tetap mulus melenggang ke Senayan. Lalu
ngapain disana? Mewakili siapa disana? .
Yang pasti mewakili dirinya sendiri. Jadi DPD yang ada saat ini hanyalah Dewan
Perwakilan Dirinya. (12/04/16)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar