Oleh: Reinhard Hutapea
Mahasiswa S3 Agribisnis
Unsri
Presentasi pada LDO Himaseperta Fak
Pertanian, Unsri, ... Agustus 2016
Peran mahasiswa tetap hangat diperbincangkan. Sampai kapanpun
peran ini kecenderungannya tetap menarik mengingat status sosialnya yang khas,
yakni kritis, berani dan pembaharu. Masyarakat menaruh perhatian besar kepada
kelompok ini untuk membawa masyarakat, bangsa dan negaranya untuk lebih maju.
Dari sejarah telah terbukti betapa peran itu telah menunjukkan kebenarannya.
Peran Wahidin Sudirohusoda membangun kesadaran nasional melalui Budi utomo,
Bung Karno, Hatta cs memerdekakan Indonesia, angkatan 66 melahirkan Orde Baru,
angkatan 98 melahirkan Orde Reformasi adalah beberapa contoh besar. Sedangkan
dalam ukuran kecil-mikro peran itupun tak kalah pentingnya, seperti pemberian
advokasi, inovasi dan sejenisnya kepada kasus-kasus tertentu. Termasuk
pembicaraan kita hari ini, yakni perlindungan petani karet yang sedang
mengalami cobaan berat.
Anjloknya harga karet
Berita memilukan yang menimpa para
petani karet kelihatannya belum ada tanda-tanda akan mereda. Dalam jangka waktu
yang lama mungkin masih seperti itu. Harga yang terus merosot ke titik nadir,
membuat penderitaan mereka semakin hari semakin sengsara, semakin sukar
diterima akal sehat, namun itulah faktanya, mereka berkubang dalam penderitaan.
Informasi/Data terakhir yang penulis
miliki tentang perkembangan harga ini adalah yang ditulis harian Republika 15 Maret
2016. Dalam harian tersebut disebutkan bahwa harga karet di Sumsel Rp 4.000 –
Rp 6.000/kg, di Sambas/Kalimantan Rp
6.500- Rp 8.000/kg (Kompas, 1 Juni 2016), sedangkan di Riau Rp 7.000/kg untuk
kwalitas bagus (Haluan, 24 Mei 2016)
Merosotnya harga ini adalah sebagai
dampak dari harga dunia yang terus menurun, sebagai konsekwensi kelebihan stok
di pasar dunia plus menurunnya harga minyak dunia. Mengapa bisa seperti itu,
yakni pasar karet terus berlebih, yakni
lebih besar produksi/penawaran daripada yang dibutuhkan/konsumsi/permintaan,
panjang uraiannya. Memerlukan forum
tersendiri, yang tak mungkin kita bahas dalam pertemuan terbatas ini. Begitu
pula terus merosotnya harga minyak dunia.
Yang pasti harga karet dunia terus merosot
dan berdampak langsung kepada petani
karet Indonesia, khususnya Sumatera Selatan . Itulah faktanya yang kita rasakan
hari-hari ini. Fakta yang tragis, namun belum ada jalan keluarnya.
Keadaan yang sudah berlangsung
sekitar satu dekade. Jadi sudah cukup
lama, tanpa ada perkembangan berarti. Pihak yang seharusnya ikut bertanggung
jawab akan kemelut ini, yakni pemerintah kecenderungannya hanya memberikan
janji . Dari satu janji ke janji yang
lain. Seakan-akan dengan diberikannya janji, petani akan kenyang perutnya.
Bagaimana penderitaan mereka sudah sering sama-sama kita
dengar. Jangankan memenuhi kebutuhan dasar, untuk makan sehari-hari pun sudah
sangat susah. Sudah banyak yang tidak makan beras, hanya makan ubi. Bagaimana
kebutuhan yang lain?, khususnya kebutuhan sekolah/kuliah? Sukar dibayangkan.
Keadaan ini semakin parah mengingat kemampuan
petani yang terbatas. Petani bisanya
hanya bertani. Tidak punya kemampuan dalam bidang lain. Begitu pula pemerintah
kecenderungannya hanya asyik dengan diri-lembaganya
Khusus dengan petani karet, kelemahan ini kecenderungannya
sudah begitu akut. Mereka sudah melakukan kekeliruan-kekeliruan yang sistemik
sejak lama. Kekeliruan yang akhirnya membuat mereka tidak punya alternatif
keluar dari kemelutnya. Bagaimana sampai pada pendapat demikian akan saya narasikan
secara lengkap pendapat/tulisan staf pengajar Fak Pertanian Unsri, yakni Dr Ir
Dwi Putro Priadi, M.Sc dengan tema yang cukup menarik, yakni “Karet Rakyat
Berkubang Dosa”. Lebih jelasnya beliau mengatakan:
Kita tahu, mutu karet rakyat kita
sangat buruk, bahkan dapat dikatakan terburuk di dunia. Umumnya, petani karet
menjual hasil panennya dalam bentuk slab. Yaitu bekuan latex berbentuk bantal
dengan bobot 20 sampai 50 kg. Slab petani ini sangat kotor dan bau busuk.
Kebiasaan buruk petani karet adalah mencampurkan kotoran (kayu tatal, batu,
pasir, tanah, ampas gadung) ke latex saat pembekuan. Tujuannya adalah agar slab
yang terbentuk akan berbobot lebih berat. Petani juga menggunakan bahan kimia
pembeku yang merusak mutu karet, seperti tawas, asam sulfat, pupuk TSP, gadung.
Seharusnya latex dibekukan dengan asam semut atau asap cair. Bahan pembeku yang
dilarang itu menjadikan slab rakyat lebih mengikat molekul air sehingga slab
berbobot lebih berat. Karena itu, petani selalu merendam slab mereka dalam
kolam, sungai, atau rawa agar lebih menyerap air. Saat direndam terjadi
fragmentasi protein dan lemak karet sehingga menimbulkan bau sangat busuk. Jika
dibekukan dengan asam semut atau asap cair,slab akan menjadi sangat kering dan
ringan. Mutu karet yang bagus adalah yang kadar airnya nol persen (Dwi Putro
Priadi, 2014: 6)
Aneh , sungguh tak masuk akal
bagaimana kebodohanini telah lama terstruktur, sistemik dan masif i. Tidakkah
itu kemubaziran yang merugikan semua pihak?. Tidakkah itu membuat lingkungan
yang menimbulkan bau busuk yang menyengat?, menambah pemborosan biaya
pengangkutan ke pabrik?, membersihkan kembali karetnya karena sebelumnya sudah
dikotori?, dan yang lebih gawat adalah merusak mental petani itu sendiri ? (Dwi
Putro Priadi, 2014:6-7) . lalu apa yang dapat dilakukan mahasiswa pertanian?
Peran Mahasiswa
Pertanian
Mahasiswa pertanian, sebagaimana
mahasiswa-mahasiswa dari program study yang lain, mempunyai spesifikasi akan
keahliannya. Mahasiswa pertanian diharapkan akan mengetahui seluk-beluk
pertanian secara konseptual dan komprehensif. Karena mereka mempelajari
pertanian secara intens, maka kemampuan itu diharapkan akan dimiliki setiap
insan-insan mahasiswa pertanian.
Dengan kata lain, mereka menjadi
ilmuwan, inteligensia atau cendekiawan dalam bidang pertanian. Sebagai ilmuwan
sebagaimana pesan tri dharma perguruan tinggi, mereka tidaklah mahluk yang
hanya sibuk dari ilmu ke ilmu, dari kajian ke kajian, atau dari ngomong ke
ngomong ( menara gading/ivory tower), melainkan mengabdikannya ke masyarakat.
Disinilah tanggung jawab sosial ilmuwan pertanian sebagai agen perubahan (agent
of change). Kaum ini tidak boleh lepas dari kehidupan masyarakatnya. Ia harus pro
aktif menyelesaikan problem-problem pertanian.
Problem yang sangat strategis, yang tak dapat dianggap
sebelah mata, sebagaimana dikatakan Bung Karno ketika meresmikan pembukaan
kampus IPB tahun 1955, masalah pangan/pertanian adalah masalah hidup matinya
suatu bangsa.
Namun bagaimana kenyataannya saat
ini? benarkah masalah pertanian sebagai prioritas pembangunan kita sebagaimana
diutarakan Bung Karno?, tidakkah ia sekunder, bahkan tertier dibandingkan
dengan pembangunan industri, manufakur dan jasa?. Inilah mungkin yang perlu
kita bahas dalam pertemuan ini, sebab ada hubungannya dengan tema tulisan ini,
yakni masalah harga karet yang terus merosot sebagaimana kita sebut di atas
Selama masalah-masalah strategis demikian
tidak dituntaskan, persoalan-persoalan pertanian hanya jalan ditempat, kalau
bukan semakin mundur, seperti yang
dialami petani karet saat ini. Setelah karet mungkin menyusul yang lain.
Bagaimana dengan sawit yang katanya juga harganya cenderung merosot?
Kini petani tembakau sedang was-was
dengan rencana kenaikan cukai rokok. Rencana harga rokok Rp 50.000,-/perbungkus
diprediksi akan mematikan pertanian tembakau. Meski banyak juga pendapat yang
sebaliknya, namun mayoritas opini menyatakan bahwa kebijakan itu akan
mengurangi produksi tembakau. Dan sekian ilstrasi yang lain, betapa para petani
memang selalu jadi korban. Mengutif Scott (1985) petani adalah manusia yang
berendam di air dengan ketinggia air sebatas lehernya. Sedikit saja ia
digoyang, langsung karam.
Bukan rahasia lagi bahwa sarjana-sarjana
pertanian banyak yang berhasil dalam pekerjaan, namun tidak dalam bidangnya.
Ada anekdot yang pernah saya dengar bahwa....orang-orang pertanian itu sukses
dalam berbagai profesi kehidupan, seperti direktur bank, manajer otomotif,
optik, jasa dan lain-lain. Hanya satu yang mereka gagal yakni dalam bidang
pertanian itu sendiri
Meski anekdot, kebenarannya kita tangkap. Itulah
realitanya. Bidang pertanian tidak mendapat tempat yang layak. Lalu apa yang dapat dilakukan
mahasiswa-mahasiswa pertanian? Meluruskan itu semua......Namun untuk konteks
kita sore ini menurut saya ada dua hal, yakni (1) membangun SDM petani, (2) melindungi
petani/menekan pemerintah
Membangun SDM petani
karet
Di atas telah kita sinyalir bahwa ada
moral hazard yang dilakukan petani selama ini (lihat Dwi Putro Priadi). Moral
hazard yang jika ditelaah secara seksama, sesungguhnya tidak semata-mata
kesalahan petani melainkan juga oleh pengusaha dan birokrasi. Sebagai kekuatan moral (moral
force) yang mengedepankan kebenaran, mahasiswa harus memperbaiki keadaan yang
patologis ini. Apa yang dilakukan petani karet itu adalah tindakan yang keliru/tidak
benar. Mereka harus fair play berbisnis, jangan memberatkan dan mengotori
slab-latex yang akan dijual ke pabrik. Jadilah petani yang entrepreunershif
yang handal dan dapat mengikuti perkembangan pasar. Betapapun sederhananya
mereka harus diarahkan menjadi petani yang semakin lama semakin canggih.
Tentu di atas itu semua, yang tak
boleh dilupakan atau kontinyu ditanamkan kepada para petani ini adalah “cara-cara,
metode atau cara” bertani yang sesuai dengan tuntutan zaman. Para petani harus
diajak secara edukatif-persuasif mengikuti pola-pola pertanian yang lebih maju
dengan tidak meninggalkan tradisi mereka. Seperti apa cara maupun seninya,
mahasiswa-mahasiswa pertanian tentu sudah memahami hal demikian, karena mereka
telah belajar teknis-teknis dan perkembangan pertanian secara sistimatis di
kampus.
Melindungi Petani
Akan tetapi di atas itu semua yang
paling utama diperjuangkan para mahasiswa sebagai calon-calon intelektual
adalah hal-hal yang di luar kemampuan
para petani. Masalah-masalah ini dikenal sebagai masalah-masalah external yang
menyangkut kebijakan makro atau politik pertanian. Masalah-masalah, seperti
bagaimana kebijakan pemerintah pusat maupun daerah dalam bidang pertanian, atau
bagaimana dampak dari rezim ekonomi internasional (IMF, WB, WTO) terhadap
pertanian adalah ilustrasi dari masalah-masalah eksternal ini. Masalah-masalah
yang jauh dari penalaran petani yang umumnya tinggal di desa.
Contoh kongkrit bagaimana masalah
eksternal demikian dapat dilihat dari
uraian para pakar pertanian, seperti Endriatmo Sutarto dari IPB, Bungaran
Saragih/mantan menteri pertanian, Rudi Wibowo dari Universitas Jember, M Maksum
dari UGM, E Gumbira Said dari IPB, Bustanul Arifin dari Unila, Dwi Andreas
santosa dari IPB, Ahmad Erani Yustika dari Unibraw. Mereka melihat ada
problematik serius atau krusial yang tidak menguntungkan dunia pertanian.
Endriatmo Sutarto melihat bagaimana
para petani semakin lama semakin sempit
lahannya. Bungaran saragih, mensinyalir kebijakan peningkatan produksi masa
lalu menjebak petani ke arah usaha tani yang nilai tambahnya kecil. Rudi Wibowo
mengutarakan kebijakan pangan yang terjebak dalam peningkatan produksi yang
membabi buta, hanya ke swasta dan MNCs, plus ketidak jelasan arah pengembangan
teknologi. M Maksum menyoroti kebijakan pertanian yang umumnya tidak ditentukan
petani, melainkan hanya segelintir elit. E Gumbira Said mensinyalir
pengembangan budi daya yang hanya menguntungkan industri besar dan perolehan
devisa negara (Kompas, 26 April 2010). Bustanul Arifin menuding kebijakan
pemerintah yang semakin lama semakin meliberalkan pertanian. Dwi Andreas
Santosa, menyoroti benih yang seharusnya milik petani menjadi milik perusahaan
Multinasional dan Ahmad Erani Yustika yang berpendapat bahwa peningkatan
produksi petani tidak akan berdampak pada kesejahteraan petani, jika tidak
dikaitkan dengan strategi transformasi ekonomi (Kompas, 31 Mei 2012)
Dengan memahami informasi-informasi
eskternal tersebut plus pengetahuan-pengetahuan teknis yang diperoleh dalam
kuliah, mahasiswa pertanian diharapkan dapat memberi jalan keluar terhadap
setiap kemelut yang dihadapi dunia pertanian. Termasuk yang dihadapi petani
karet saat ini, yakni anjloknya harga karet yang berdampak pada kesengsaraan
petani. Salah satu kiat mungkin adalah menekan pemerintah agar memberi subsidi
kepada mereka sebagai tuntutan UUD 1945, yakni melindungi setiap warga negara
dan tumpah darah Indonesia. Sekian (29 Agust 2016)
R E F E R E N S I
Dwi Putro Priadi, 2014, Menuju Pertanian Sejahtera,PPNSI
Sumatera Selatan, Palembang
Kompas, 1 Juni 2016, 26 April 2012, 31 Mei 2012
Haluan, 24 mei 2016
Republika, 15 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar