Jumat, 26 Agustus 2016

Peranan Mahasiswa Melindungi Petani Karet



Oleh: Reinhard Hutapea
Mahasiswa S3 Agribisnis Unsri
Presentasi pada LDO Himaseperta Fak Pertanian, Unsri, ... Agustus 2016

Peran mahasiswa  tetap hangat diperbincangkan. Sampai kapanpun peran ini kecenderungannya tetap menarik mengingat status sosialnya yang khas, yakni kritis, berani dan pembaharu. Masyarakat menaruh perhatian besar kepada kelompok ini untuk membawa masyarakat, bangsa dan negaranya untuk lebih maju. Dari sejarah telah terbukti betapa peran itu telah menunjukkan kebenarannya. Peran Wahidin Sudirohusoda membangun kesadaran nasional melalui Budi utomo, Bung Karno, Hatta cs memerdekakan Indonesia, angkatan 66 melahirkan Orde Baru, angkatan 98 melahirkan Orde Reformasi adalah beberapa contoh besar. Sedangkan dalam ukuran kecil-mikro peran itupun tak kalah pentingnya, seperti pemberian advokasi, inovasi dan sejenisnya kepada kasus-kasus tertentu. Termasuk pembicaraan kita hari ini, yakni perlindungan petani karet yang sedang mengalami cobaan berat.
Anjloknya harga karet
Berita memilukan yang menimpa para petani karet kelihatannya belum ada tanda-tanda akan mereda. Dalam jangka waktu yang lama mungkin masih seperti itu. Harga yang terus merosot ke titik nadir, membuat penderitaan mereka semakin hari semakin sengsara, semakin sukar diterima akal sehat, namun itulah faktanya, mereka berkubang dalam   penderitaan.
Informasi/Data terakhir yang penulis miliki tentang perkembangan harga ini  adalah yang ditulis harian Republika 15 Maret 2016. Dalam harian tersebut disebutkan bahwa harga karet di Sumsel Rp 4.000 – Rp 6.000/kg,  di Sambas/Kalimantan Rp 6.500- Rp 8.000/kg (Kompas, 1 Juni 2016), sedangkan di Riau Rp 7.000/kg untuk kwalitas bagus (Haluan, 24 Mei 2016)
Merosotnya harga ini adalah sebagai dampak dari harga dunia yang terus menurun, sebagai konsekwensi kelebihan stok di pasar dunia plus menurunnya harga minyak dunia. Mengapa bisa seperti itu, yakni  pasar karet terus berlebih, yakni lebih besar produksi/penawaran daripada yang dibutuhkan/konsumsi/permintaan, panjang uraiannya.  Memerlukan forum tersendiri, yang tak mungkin kita bahas dalam pertemuan terbatas ini. Begitu pula terus merosotnya harga minyak dunia.
Yang pasti harga karet dunia terus merosot dan berdampak langsung  kepada petani karet Indonesia, khususnya Sumatera Selatan . Itulah faktanya yang kita rasakan hari-hari ini. Fakta yang tragis, namun belum ada jalan keluarnya.
Keadaan yang sudah berlangsung sekitar satu dekade. Jadi  sudah cukup lama, tanpa ada perkembangan berarti. Pihak yang seharusnya ikut bertanggung jawab akan kemelut ini, yakni pemerintah kecenderungannya hanya memberikan janji . Dari satu janji  ke janji yang lain. Seakan-akan dengan diberikannya janji, petani akan kenyang perutnya.
Bagaimana penderitaan mereka sudah sering sama-sama kita dengar. Jangankan memenuhi kebutuhan dasar, untuk makan sehari-hari pun sudah sangat susah. Sudah banyak yang tidak makan beras, hanya makan ubi. Bagaimana kebutuhan yang lain?, khususnya kebutuhan sekolah/kuliah? Sukar dibayangkan.
Keadaan ini semakin parah mengingat kemampuan petani yang terbatas. Petani  bisanya hanya bertani. Tidak punya kemampuan dalam bidang lain. Begitu pula pemerintah kecenderungannya hanya asyik dengan diri-lembaganya
Khusus dengan petani karet, kelemahan ini kecenderungannya sudah begitu akut. Mereka sudah melakukan kekeliruan-kekeliruan yang sistemik sejak lama. Kekeliruan yang akhirnya membuat mereka tidak punya alternatif keluar dari kemelutnya. Bagaimana sampai pada pendapat demikian akan saya narasikan secara lengkap pendapat/tulisan staf pengajar Fak Pertanian Unsri, yakni Dr Ir Dwi Putro Priadi, M.Sc dengan tema yang cukup menarik, yakni “Karet Rakyat Berkubang Dosa”. Lebih jelasnya beliau mengatakan:
Kita tahu, mutu karet rakyat kita sangat buruk, bahkan dapat dikatakan terburuk di dunia. Umumnya, petani karet menjual hasil panennya dalam bentuk slab. Yaitu bekuan latex berbentuk bantal dengan bobot 20 sampai 50 kg. Slab petani ini sangat kotor dan bau busuk. Kebiasaan buruk petani karet adalah mencampurkan kotoran (kayu tatal, batu, pasir, tanah, ampas gadung) ke latex saat pembekuan. Tujuannya adalah agar slab yang terbentuk akan berbobot lebih berat. Petani juga menggunakan bahan kimia pembeku yang merusak mutu karet, seperti tawas, asam sulfat, pupuk TSP, gadung. Seharusnya latex dibekukan dengan asam semut atau asap cair. Bahan pembeku yang dilarang itu menjadikan slab rakyat lebih mengikat molekul air sehingga slab berbobot lebih berat. Karena itu, petani selalu merendam slab mereka dalam kolam, sungai, atau rawa agar lebih menyerap air. Saat direndam terjadi fragmentasi protein dan lemak karet sehingga menimbulkan bau sangat busuk. Jika dibekukan dengan asam semut atau asap cair,slab akan menjadi sangat kering dan ringan. Mutu karet yang bagus adalah yang kadar airnya nol persen (Dwi Putro Priadi, 2014: 6)
Aneh , sungguh tak masuk akal bagaimana kebodohanini telah lama terstruktur, sistemik dan masif i. Tidakkah itu kemubaziran yang merugikan semua pihak?. Tidakkah itu membuat lingkungan yang menimbulkan bau busuk yang menyengat?, menambah pemborosan biaya pengangkutan ke pabrik?, membersihkan kembali karetnya karena sebelumnya sudah dikotori?, dan yang lebih gawat adalah merusak mental petani itu sendiri ? (Dwi Putro Priadi, 2014:6-7) . lalu apa yang dapat dilakukan mahasiswa pertanian?
Peran Mahasiswa Pertanian
Mahasiswa pertanian, sebagaimana mahasiswa-mahasiswa dari program study yang lain, mempunyai spesifikasi akan keahliannya. Mahasiswa pertanian diharapkan akan mengetahui seluk-beluk pertanian secara konseptual dan komprehensif. Karena mereka mempelajari pertanian secara intens, maka kemampuan itu diharapkan akan dimiliki setiap insan-insan mahasiswa pertanian.
Dengan kata lain, mereka menjadi ilmuwan, inteligensia atau cendekiawan dalam bidang pertanian. Sebagai ilmuwan sebagaimana pesan tri dharma perguruan tinggi, mereka tidaklah mahluk yang hanya sibuk dari ilmu ke ilmu, dari kajian ke kajian, atau dari ngomong ke ngomong ( menara gading/ivory tower), melainkan mengabdikannya ke masyarakat. Disinilah tanggung jawab sosial ilmuwan pertanian sebagai agen perubahan (agent of change). Kaum ini tidak boleh lepas dari kehidupan masyarakatnya. Ia harus pro aktif menyelesaikan problem-problem pertanian.
Problem  yang sangat strategis, yang tak dapat dianggap sebelah mata, sebagaimana dikatakan Bung Karno ketika meresmikan pembukaan kampus IPB tahun 1955, masalah pangan/pertanian adalah masalah hidup matinya suatu bangsa.
Namun bagaimana kenyataannya saat ini? benarkah masalah pertanian sebagai prioritas pembangunan kita sebagaimana diutarakan Bung Karno?, tidakkah ia sekunder, bahkan tertier dibandingkan dengan pembangunan industri, manufakur dan jasa?. Inilah mungkin yang perlu kita bahas dalam pertemuan ini, sebab ada hubungannya dengan tema tulisan ini, yakni masalah harga karet yang terus merosot sebagaimana kita sebut di atas
Selama masalah-masalah strategis demikian tidak dituntaskan, persoalan-persoalan pertanian hanya jalan ditempat, kalau bukan semakin mundur, seperti  yang dialami petani karet saat ini. Setelah karet mungkin menyusul yang lain. Bagaimana dengan sawit yang katanya juga harganya cenderung merosot?
Kini petani tembakau sedang was-was dengan rencana kenaikan cukai rokok. Rencana harga rokok Rp 50.000,-/perbungkus diprediksi akan mematikan pertanian tembakau. Meski banyak juga pendapat yang sebaliknya, namun mayoritas opini menyatakan bahwa kebijakan itu akan mengurangi produksi tembakau. Dan sekian ilstrasi yang lain, betapa para petani memang selalu jadi korban. Mengutif Scott (1985) petani adalah manusia yang berendam di air dengan ketinggia air sebatas lehernya. Sedikit saja ia digoyang, langsung karam.
Bukan rahasia lagi bahwa sarjana-sarjana pertanian banyak yang berhasil dalam pekerjaan, namun tidak dalam bidangnya. Ada anekdot yang pernah saya dengar bahwa....orang-orang pertanian itu sukses dalam berbagai profesi kehidupan, seperti direktur bank, manajer otomotif, optik, jasa dan lain-lain. Hanya satu yang mereka gagal yakni dalam bidang pertanian itu sendiri
Meski  anekdot, kebenarannya kita tangkap. Itulah realitanya. Bidang pertanian tidak mendapat tempat yang layak.  Lalu apa yang dapat dilakukan mahasiswa-mahasiswa pertanian? Meluruskan itu semua......Namun untuk konteks kita sore ini menurut saya ada dua hal, yakni (1) membangun SDM petani, (2) melindungi petani/menekan pemerintah
Membangun SDM petani karet
Di atas telah kita sinyalir bahwa ada moral hazard yang dilakukan petani selama ini (lihat Dwi Putro Priadi). Moral hazard yang jika ditelaah secara seksama, sesungguhnya tidak semata-mata kesalahan petani melainkan juga oleh pengusaha dan  birokrasi. Sebagai kekuatan moral (moral force) yang mengedepankan kebenaran, mahasiswa harus memperbaiki keadaan yang patologis ini. Apa yang dilakukan petani karet itu adalah tindakan yang keliru/tidak benar. Mereka harus fair play berbisnis, jangan memberatkan dan mengotori slab-latex yang akan dijual ke pabrik. Jadilah petani yang entrepreunershif yang handal dan dapat mengikuti perkembangan pasar. Betapapun sederhananya mereka harus diarahkan menjadi petani yang semakin lama semakin canggih.
Tentu di atas itu semua, yang tak boleh dilupakan atau kontinyu ditanamkan kepada para petani ini adalah “cara-cara, metode atau cara” bertani yang sesuai dengan tuntutan zaman. Para petani harus diajak secara edukatif-persuasif mengikuti pola-pola pertanian yang lebih maju dengan tidak meninggalkan tradisi mereka. Seperti apa cara maupun seninya, mahasiswa-mahasiswa pertanian tentu sudah memahami hal demikian, karena mereka telah belajar teknis-teknis dan perkembangan pertanian secara sistimatis di kampus.
Melindungi Petani
Akan tetapi di atas itu semua yang paling utama diperjuangkan para mahasiswa sebagai calon-calon intelektual adalah  hal-hal yang di luar kemampuan para petani. Masalah-masalah ini dikenal sebagai masalah-masalah external yang menyangkut kebijakan makro atau politik pertanian. Masalah-masalah, seperti bagaimana kebijakan pemerintah pusat maupun daerah dalam bidang pertanian, atau bagaimana dampak dari rezim ekonomi internasional (IMF, WB, WTO) terhadap pertanian adalah ilustrasi dari masalah-masalah eksternal ini. Masalah-masalah yang jauh dari penalaran petani yang umumnya tinggal di desa.
Contoh kongkrit bagaimana masalah eksternal demikian  dapat dilihat dari uraian para pakar pertanian, seperti Endriatmo Sutarto dari IPB, Bungaran Saragih/mantan menteri pertanian, Rudi Wibowo dari Universitas Jember, M Maksum dari UGM, E Gumbira Said dari IPB, Bustanul Arifin dari Unila, Dwi Andreas santosa dari IPB, Ahmad Erani Yustika dari Unibraw. Mereka melihat ada problematik serius atau krusial yang tidak menguntungkan dunia pertanian.
Endriatmo Sutarto melihat bagaimana para petani semakin lama  semakin sempit lahannya. Bungaran saragih, mensinyalir kebijakan peningkatan produksi masa lalu menjebak petani ke arah usaha tani yang nilai tambahnya kecil. Rudi Wibowo mengutarakan kebijakan pangan yang terjebak dalam peningkatan produksi yang membabi buta, hanya ke swasta dan MNCs, plus ketidak jelasan arah pengembangan teknologi. M Maksum menyoroti kebijakan pertanian yang umumnya tidak ditentukan petani, melainkan hanya segelintir elit. E Gumbira Said mensinyalir pengembangan budi daya yang hanya menguntungkan industri besar dan perolehan devisa negara (Kompas, 26 April 2010). Bustanul Arifin menuding kebijakan pemerintah yang semakin lama semakin meliberalkan pertanian. Dwi Andreas Santosa, menyoroti benih yang seharusnya milik petani menjadi milik perusahaan Multinasional dan Ahmad Erani Yustika yang berpendapat bahwa peningkatan produksi petani tidak akan berdampak pada kesejahteraan petani, jika tidak dikaitkan dengan strategi transformasi ekonomi (Kompas, 31 Mei 2012)
Dengan memahami informasi-informasi eskternal tersebut plus pengetahuan-pengetahuan teknis yang diperoleh dalam kuliah, mahasiswa pertanian diharapkan dapat memberi jalan keluar terhadap setiap kemelut yang dihadapi dunia pertanian. Termasuk yang dihadapi petani karet saat ini, yakni anjloknya harga karet yang berdampak pada kesengsaraan petani. Salah satu kiat mungkin adalah menekan pemerintah agar memberi subsidi kepada mereka sebagai tuntutan UUD 1945, yakni melindungi setiap warga negara dan tumpah darah Indonesia. Sekian (29 Agust 2016)

R E F E R E N S I
Dwi Putro Priadi, 2014, Menuju Pertanian Sejahtera,PPNSI Sumatera Selatan, Palembang
Kompas, 1 Juni 2016, 26 April 2012, 31 Mei 2012
Haluan, 24 mei 2016
Republika, 15 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar