ANALISIS PROSES
PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF SUMATERA SELATAN TAHUN 2014
Oleh
Reinhard Hutapea
Direktur
Centre for Election and Political Party Program Pascasarjana Universitas Taman
Siswa Palembang.
PENDAHULUAN
Secara teknis-prosedural pelaksanaan
pemilihan legislatif untuk memilih DPR RI,DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 9 April 2014 berjalan dengan baik. Pelaksanaannya aman,
tertib dan terkendali. Semua tahap-tahap pelaksanaan sebagaimana digariskan dalam Undang-Undang
Pemilihan Umum, yakni UU No 15 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemilu, UU N0
8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD dan Undang-Undang
Partai Politik, yakni UU No 2 Tahun 2011
telah dilalui dengan baik sebagaimana perintah UU tersebut.
Akan tetapi kalau dihubungkan dengan
kwalitas, tujuan atau substansi yang diharapkan dari pemilu tersebut sudah pasti menimbulkan perdebatan yang panjang. Pro kontra
akan mewarnai setiap penafsiran yang ditempuh, tergantung dari sudut mana
meniliknya. Pihak pelaksana, dengan segala dalihnya akan mengatakan bahwa
penyelenggaraaan telah sukses dan
mengantar Indonesia semakin demokratis. Sebaliknya dari masyarakat, yang sangat
beragam jenisnya mempunyai pandangan, pendapat atau penafsiran yang lain atau bahkan
sebaliknya, yakni tidak demokratis. Masing-masing kalangan akan menafsirkan
sesuai kapasitas dan bidang keahliannya
Tulisan ini tidak mungkin membahas
itu semua. Selain karena waktunya terbatas, pembahasannya memerlukan banyak
disiplin dan atau terutama masalahnya pun masih terus berkembang Oleh karena itu yang akan dianalisis
adalah perkembangan demokrasinya.
Semakin relevankah dengan kebutuhan masyarakat ? tidakkah sebagaimana adagium
selama ini hanya sekedar demokrasi prosedural ? dari demokrasi untuk demokrasi,
bukan dari demokrasi untuk kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan masyarakat ?
akan menjadi tujuan penulisan ini.
Kerangka pikir: Demokrasi, Partai Politik dan pemilu
Untuk membahas permasalahan demikian
dibutuhkan instrument, teori atau yang lazim disebut sebagai kerangka pikir,
yang menjadi dasar, landasan, metode atau parameter. Kerangka pikir ini adalah apa
yang dimaksud dengan “demokrasi, partai politik dan pemilu”. Ketiga konsep ini
akan diuraikan satu persatu dibawah ini.
Demokrasi
Secara umum Pengertian Demokrasi adalah “pemerintahan, kekuasaan dan/atau
kedaulatan rakyat”. Rakyatlah yang memerintah, berkuasa atau yang menentukan.
Bukan kalangan, unsur atau pihak diluar itu. Bukan Tuanku, bukan Raja, bukan
Majikan dan lain-lain yang diluar masyarakat.
Untuk mencapai kehendak tersebut
ditempuh dengan berbagai metode. Metode yang diterapkan Indonesia sebagaimana
ditulis dalam konstitusi atau UUDnya adalah melalui “pemilihan umum” dengan peserta
atau kontestannya adalah “partai-partai politik”
Dengan pola yang dilakukan secara regular
substansi demokrasi, dari waktu ke waktu sebagaimana diteorikan David Easton
dengan sistim politiknya akan menghasilkan out put yang mensejahterakan masyarakat. Demokrasi untuk masyarakat, bukan yang
lain-lain.
DEMOKRASI →
MASYARAKAT
Perwujudannya ditempuh dengan
membentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, sebagaimana
yang diketengahkan David Held (2006).
Held menyatakan bahwa demokrasi
adalah bentuk pemerintahan yang jika dibandingkan dengan monarki dan
aristokrasi, dijalankan oleh rakyat. Sebagai konsekwensinya demokrasi
menghasilkan komunitas politik dimana semua rakyat dipandang memiliki
kesetaraan politik (2006:23)
Batasan, prasyarat dan indikator
demokrasi;
1. Semua seharusnya memerintah, dalam arti semua harus
terlibat dalam legislasi, dalam memutuskan kebijakan public, dalam menegakkan
hukum, dan dalam administrasi negara
2.
Semua seharusnya
terlibat secara personal dalam pengambilan keputusan yang krusial, yaitu dalam
menetapkan undang-undang dan permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan
public
3.
Pemerintah harus
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada yang diperintah; dengan kata
lain mereka dapat diminta pertanggung jawaban oleh yang diperintah serta dapat
diganti oleh yang diperintah.
4.
Pemerintah juga
bertanggung jawab kepada perwakilan yang diperintah
5.
Pemerintah
dipilih oleh yang diperintah
6.
Pemerintah
dipilih oleh perwakilan yang diperintah
7. Pemerintah bertindak mewakili kepentingan yang diberi
perintah (Lively dalam Held, 2006: 24-25)
Singkatnya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat,
sebagaimana dikatakan Abraham Lincoln; from the people, by the people and for
the people.
Dari rakyat (from the people)
Pemerintahan demokratis Oleh rakyat (by the people)
Untuk rakyat (for the people)
Nilai-Nilai Demokrasi;
1. Kesetaraan politik
2.
Kebebasan
3.
Pembangunan moral
4.
Kepentingan
bersama
5.
Kompromi moral
yang adil
6.
Keputusan yang
mengikat yang mempertimbangkan kepentingan bersama
7.
Keperluan sosial
8.
Pemenuhan
kebutuhan dan
9. Keputusan yang efisien (Held, 2006:25)
Untuk menyederhanakan pengertian nilai-nilai ini agar mudah dipahami dan dioperasionalkan, penulis
meringkasnya (menjadi) hanya tiga nilai saja, yakni; kesetaraan, kesejahteraan
dan keadilan.
Atau secara
skematis seperti dibawah ini
NILAI-NILAI DEMOKRASI
KESETARAAN
KESEJAHTERAAN KEADILAN
Partai Politik
Untuk mewujudkan pemerintahan
demokratis seperti itu, lazimnya dioperasionalkan dengan kehadiran
partai-partai politik. Partai-partai politik menjadi instrument atau alat untuk
mengaplikasikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tidak
institusi di luar itu sebagaimana dinegara-negara yang mengklaim negaranya
demokratis, namun tidak memiliki partai politik.
Demikian pula Indonesia yang menganut
kedaulatan rakyat untuk mewujudkan pemerintahan demokratis ditempuh dengan
kehadiran partai-partai politik. Partai-partai politik sebagi instrument
demokrasi telah ditulis dalam UUD 1945, dan atau khususnya dalam UU Partai
Politik.
Dengan sendirinya partai politik
menjadi wahana, sarana atau tempat partisipasi masyarakat menyampaikan
aspirasi, kepentingan dan keinginannya sesuai dengan nilai-nilai, cita-cita dan
orientasi masing-masing dari partai politik bersangkutan. Untuk lebih jelasnya
apa yang dimaksud dengan partai politik akan diuraikan dibawah ini.
Menurut Miriam Budiardjo
(2000:160-161) partai politik adalah
suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara
konstitusional – untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.
Pengertian ini adalah pengertian yang
paling umum dan paling lengkap atau ideal, sebab sangat komplit akan
konsep-konsepnya, seperti;
1.
Kelompok
yang terorganisir
2.
Angggotanya
memiliki orientasi, nilai dan cita-cita yang sama
3.
Tujuannya
merebut kekuasaan dan kedudukan politik
4.
Sarana
mewujudkan kebijakan.
Dalam prakteknya jarang keempat
konsep tersebut diterapkan sebagaimana pengertian partai menurut Schumpeter,
Lapalombara dan atau khususnya menurut Sartory. Menurut Schumpeter partai
adalah sarana anggota-anggotanya untuk mencapai kekuasaan, karena para
politisinya dianggap lebih cakap dari anggota-anggota masyarakat terutama dalam
hal berorganisasi sebagaimana yang lazimnya dilakukan oleh asosiasi niaga;
Is a group whose members propose to act in consert in the competitive
struggle for power…..Party and machine politicians are simply the response to
the fact that the electoral mass is incapable of action other than in a
stampede, and they constitute an attempt to regulate political competition
exactly similar to the corresponding practice of a trade association
Agak berbeda dengan Schumpeter,
dikemukakan Joseph Lapalombara dan Jeffrey Anderson. Menurut keduanya partai
politik adalah kelompok politik yang memiliki cap/label dan organisasi resmi
yang menghubungkan antara pusat kekuasaan dengan kekuasaan local, yang hadir
saat pemilihan umum, dan memiliki kemampuan untuk menempatkan kandidat pejabat
public melalui kegiatan pemilihan umum , baik bebas maupun tidak bebas.
Kelompok Politik → pemilu → pejabat public → penghubung pusat - daerah
…any political group, in possession of
an official label and of a formal organization that links centre and locality,
that presents at elections, and is capable of placing through elections (free
or non free), candidates for public office (Lapalombara j and Jeffrey
Anderson,1992)
Pengertian paling ringkas, dan
kelihatannya paling tepat dengan situasi Indonesia dikemukakan oleh Giovanni
Sartory. Menurut ia, partai politik adalah suatu kelompok politik yang
mengikuti pemilihan umum dan, melalui pemilihan umum itu mampu mendapatkan
calon-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan politik
Kelompok politik
→ pemilu →
jabatan politik
A party is any political group that
present at elections, and is capable of placing through elections candidates
for public office
Sedangkan menurut UU Nomor 2 Tahun 2011 arti atau definisi
partai Politik adalah:
organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk
oleh sekelompok warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Dari beberapa definisi ini tersirat bahwa partai politik
adalah ;
·
Suatu kelompok yang terorganisir
·
Mempunyai dasar, orientasi dan
ideologi yang sama
·
Merebut kekuasaan untuk melaksanakan
kebijakannya
·
Menyediakan elit-elit/pejabat politik
Yang membedakannya dengan lembaga,
institusi atau organisasi lain di masyarakat adalah bahwa setiap partai politik
berupaya mengejar kekuasaan melalui pemilihan umum, sedangkan organisasi-organisasi
kemasyarakatan lainnya tidak seperti itu. Hanya melalui internal
organisasinya.
Adapun ikhtiar partai-partai politik
mencapai tujuan demikian dilakukan dengan fungsi-fungsi sebagai berikut :
a.
Pendidikan
politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia
yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara
b.
Penciptaan
iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk
kesejahteraan masyarakat
c.
Penyerap,
penghimpun dan pengatur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan
menetapkan kebijakan Negara
d.
Partisipasi
politik warga negara Indonesia dan
e.
Rekrutmen
politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi
dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. (UU No 2 Tahun 2012)
Karena fungsi ini begitu luas ,dalam tulisan
ini yang ditekankan adalah pada butir c,
yakni fungsi “penyerap, penghimpun dan pengatur”. Artinya apakah partai-partai
politik yang berkompetisi itu melakukan tugas tersebut atau sebaliknya. Secara
konseptual politik fungsi ini dikenal dikenal dengan ;
·
Agregasi
Kebijakan
negara
·
Artikulasi
Artinya apakah masing-masing partai
politik yang bersaing dalam pemilu legislatif di Sumatera Selatan telah melakukan
agregasi dan artikulasi sebelumnya dan pada waktu kampanye. Fungsi ini akan
menjadi prioritas utama dalam pembahasan. Akan tetapi sebelum sampai ke konteks
tersebut akan diuraikan lebih dulu suatu gambaran umum pemilu 2009 melalui
tulisannya Ramlan Surbakti dbawah ini
Suatu Tinjauan Pada Pemilu sebelumnya: Tinjauan pustaka
Sebelum sampai kepada penggunaan
kerangka pikir dalam pembahasan tulisan ini akan dibandingkan dengan situasi
pemilu sebelumnya, yakni pemilu legislative 2009 yang ditulis Prof Dr Ramlan Surbakti dengan tema
Representasi Kepentingan Rakyat pada pemilu legislatif 2009, yang
dipresentasikan pada tanggal 28 Juli 2009. Dibawah ini akan diuraikan
pandangan-pandangan tersebut
Daftar Pemilih dan Turn
out yang berantakan.
Masalah daftar pemilih adalah masalah
mendasar. Wujud kedaulatan rakyat pertama-tama dan terutama dipresentasikan
dalam kehadirannya dalam pemilihan. Ikut atau tidak dalam pemilu. Kalau ikut
berarti ia turut berdaulat. Sebaliknya kalau tidak memilih tidak ikut
melaksanakan kedaulatannya. Bagaimana kehadiran atau daftar pemilih pada pemilu
2009 akan dituliskan dibawah ini:
Pemilu Anggota DPR Tahun 2009 dalam angka
No
|
Keterangan
|
Jumlah
|
1
|
Pemilih terdafar dalam DPT
|
171.068.667
|
2
|
Pemilih terdaftar
menggunakan hak pilih
|
119.885.809 (70,96%)
|
3
|
Pemilih terdaftar tidak
menggunakan hak pilih
|
51.379.633 (30%)
|
4
|
Suara sah
|
104.099.785 (85,59%)
Terdiri atas:
1.
9 partai politik memenuhi ambang batas Parlemen = 85.051.132 (84%)
2.
29 partai politik tidak memenuhi ambang batas = 19.048.653 (16%)
|
5
|
Suara tidak sah
|
15.796.024 (14,41%)
|
6
|
Suara yang diwakili di
DPR
|
84.844.357
|
7
|
Suara yang tidak
diwakili di DPR
|
86.224.310
|
Angka-angka dalam tabel tersebut
banyak dipermasalahkan atau dipertanyakan. Masalah pertama adalah jumlah yang
didaftar seharusnya masih kurang dari
yang semestinya. Masih banyak yang belum terdaftar.
Masalah selanjutnya/kedua adalah
dalam daftar tersebut ditengarai banyak pemilih siluman/ghost voters. Kalangan
ini, yakni pemilih siluman tersebut
adalah mereka yang sudah lama meninggal, orang yang sudah pindah, yang
satu namanya tercatat beberapa kali, terdapatnya orang yang tidak berhak
memilih, yang sudah ikut pada pemilu 2004 dan Pilkada namun tidak terdaftar
kembali dan seterusnya.
Pemilih siluman ini semakin jelas
ketika KPU mempersilahkan pasangan Megawati-Prabowo, Jusuf Kalla-Wiranto
melakukan pembersihan terhadap pemilih ganda pada pemilihan presiden tahun 2009.
PDIP menemukan tujuh juta suara siluman, Golkar 11 juta pemilih siluman.
Selain masalah kekurangan jumlah
tersebut, masalah selanjutnya adalah bahwa yang memilih pada pemilu legislatif
2009 hanya 70,9 persen, yakni 119 juta
pemilih. Lebih rendah dibandingkan pada pemilu 2004 yang berjumlah sekitar 80
persen. Dari jumlah yang memilih demikian, ternyata yang menggunakan hak
pilihnya hanya 70 persen. Yang 30 persen tidak menggunakan.
Dari 119 juta pemilih, jumlah suara
yang sah adalah 104 juta (19 juta tidak sah). Dari 104 juta yang sah ini yangmemenuhi
untuk “electoral threshold” hanyalah 85 juta yang berlaku untuk hanya 9 (Sembilan)
partai politik sesuai dengan ambang batas yang ditentukan. Sedangkan sisanya,
yakni 19 juta suara hangus karena tidak memenuhi ambang batas yang selanjutnya menggugurkan
29 (dua puluh sembilan) partai politik.
Konsekwensi dari
perhitungan-perhitungan tersebut adalah bahwa jumlah suara yang terwakili untuk
memilih DPR RI hanyalah 85 juta (tepatnya 84,8 juta). Sedangkan yang tidak
terwakili jumlahnya lebih besar, yakni 86, 2 juta. Adapun angka 86, 2 juta ini
diperoleh dari (a) non voters 56,3 juta, (b) invalid voters 15,7 juta, (c) non
parliamentary threshold 19 juta.
Sistem Pemilu Anggota
Legislatif yang buruk.
Undang Undang yang mengatur atau
menentukan siapa yang berhak menjadi anggota DPR RI dan DPRD adalah UU No 10 Tahun 2008. UU ini dianggap paling buruk
karena;
·
Banyak kekosongan
hukum
·
Banyak
kontradiksi
·
Banyak multi
tafsir
·
Banyak
kesalahan/kealfaan
Salah satu ilustrasinya adalah
tentang pengertian kata “demokratis-konstitusionil/kedaulatan rakyat dan tidak
demokratis/tidak konstitusionil”. Pada pasal 214 dikatakan bahwa penetapan
calon terpilih berdasarkan nomor urut tidak konstitusionil dan bertentangan
dengan kedaulatan rakyat. Bagaimana bisa sampai kepada pernyataan seperti itu ?
bukankah banyak negara demokratis melakukan pola penetapan calon berdasarkan
nomor urut dan itu tidak dikatakan bertentangan dengan demokrasi dan
konstitusi?.
Anehnya pasal ini diamini MK dan karenanya
bersifat final. Final untuk suatu kesalahan, terutama bila dihubungkan dengan
pasal 55 ayat (1) yang berbunyi bahwa parpol mengajukan calon menurut nomor
urut. Tidakkah suatu dunia yang terbalik-balik ? dua filosofi yang bertentangan
digabung dalam satu UU dan akhirnya amburadul.
Pencalonan itu asumsi atau
filosofinya adalah partai politik, sebab merekalah yang paling tahu siapa
kadernya yang terbaik, karena setiap partai politik punya fungsi rekrutmen,
kaderisasi dan sebagainya. Nomor yang paling kecil adalah yang paling baik, itu
filosofinya. Sebaliknya dengan system majority atau penetapan calon menurut suara
terbanyak, filosofinya sebaliknya. Sistem majority ini menganggap bahwa setiap
warga negara yang memilih itulah yang paling tahu tentang calon yang ditawarkan
setiap partai politik, sebab pemilih mengikuti perkembangan sang calon lebih
jauh dibandingkan dengan partai yang mencalonkan.
Dua filosofi yang tidak didukung
realitas. Realitasnya masyarakat/pemilih sesungguhnya juga belum mengetahui calon yang ditawarkan
dengan seksama. Begitu pula partai belum menjalankan eksistensinya dengan
seksama. Partai masih asal-asalan membuat calon, sebaliknya masyarakat pemilih
juga belum mengikuti perkembangan politik dengan baik. Artinya menjalankan yang
sudah jelas kesalahannya. Yang salah tapi terus dijalankan, ironi suatu negeri
yang masih transisi. Transisi entah sampai kapan….
Sudah salah tapi masih berharap
benar. Realitanya adalah menjalankan penyimpangan. Menyimpang terus, yang
diharap pemilih kritis yang muncul pemilih yang …minta uang, sembako, dan
sejenisnya……Ramlan Surbakti selanjutnya menulis:
Tapi sebenarnya pemilih kita
sebagian besar belum bahkan tidak mengikuti proses politik dan tidak punya
informasi soal itu, akhirnya calon-calon dating ke rumah-rumah (door to door).
Pengalaman caleg perempuan pada saat dia kampanye sering bertemu dengan
ungkapan ini “itu lho Bu, kalau orang lain tadi sudah datang ke sini dia
memberikan sekian, masak ibu tidak memberi hal seperti itu?
Persoalan lain dalam konteks ini
adalah tentang pembagian kursi dan penetapan calon terpilih. KPU membuat
peraturan No 15/2009 yang isinya mencantmkan isi UU, namun yang dijalankan
berbeda. Ini yang kemudian dibatalkan oleh MK. Khususnya dalam UU disebut,
propinsi yang terdiri lebih dari satu dapil DPR dan masih ada sisa kursi, maka
sisa suara dari semua Dapil di satu propinsi diangkat ke tingkat ropinisi
untukmenghitung BPP baru. Tapi yang dijalnkan oleh KPU adalah hanya sisa suara
dari Dapil yang masih punya sisa kursi, kalau kursi sudah habis ya tidak bisa diangkat
ke propinsi.
Parliamentary Threshold
dan Sistem Perwakilan Rakyat
Masalah PT ini pun menuai perdebatan panjang
betapa peraturan-peraturan atau ketentuan yang ada didalamnya penuh dengan
masalah. Khususnya dengan putusan MA (yang menafsir UU No 10 Tahun 2008). Bila
dibandingkan Pemilu 2004 dengan Pemilu 2009, apabila putusan MA dijalankan
kursi Golkar akan naik 21, yakni dari 107 menjadi 128, PDIP 14, yakni dari 95
menjadi 109, Demokrat menjadi 130 kursi. Sedangkan partai yang lain sebaliknya,
yakni mengalami penurunan. Partai-partai yang mengalami penurunan ini adalah
PPP, PAN, PKS. PAN hilang 15, PKS hilang 7. Ini tentunya punya implikasi luas,
terutama untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Hal hal lain yang
diuraikan Ramlan Surbakti pada pemilu 2009 ini adalah;
·
Upaya
membuat sistim kepartaian yang tepat di Indonesia. Kayaknya adalah “simple
multi party system, tidak terlalu banyak juga tidak terlalu sedikit
·
Caleg
perempuan yang jadi pada pemilu 2009 mengalami peningkatan, yakni 11 persen
pada pemilu 2004 menjadi 18 persen pada pemilu 2009. 95% mereka adalah dari no
urut kecil. Begitu juga caleg laki-laki.
·
Kampanye
yang dilkukan partai sangat sedikit. Yang banyak adalah para caleg. Banyak
caleg yang ngomong seperti ini “kalau saya tidak berkampanye untuk diri saya
sendiri nanti tidak terpilih, peduli amat dengan partai”
·
Banyak
yang terpilih bukan karena kehebatan, kapasitas atau kemampuannya menjadi
legislator, melainkan karena kedekatannya secara pribadi dengan pemilihnya.
·
Ada
juga yang menjadi anggota DPR karena melakukan kecurangan, yakni menyuap
anggota KPU
·
Hanya
34 persen anggota DPR incumbent yang terpilih kembali (re-elected). Sementara
dinegara maju biasanya 80 persen ke atas
·
Pendidikan
politik pada pemilu 2009 sangat minim. Yang banyak adalah pada pemilu 1999,
karena banyak donor yang membantu
·
Informasi
politik mayoritas diperoleh dari TV. Menyusul radio dan surat kabar.
·
Banyaknya
pemilih yang tidak konsisten memilih. Berubah-ubah terus pilihannya.
Deskripsi Politik Sumatera Selatan Pra Pemilihan
Legislatif:
Pelanggaran, penyuapan dan Kekerasan Politik
Sebelum dilaksanakan pemilihan legislative
9 April 2014, di Sumsel terjadi beberapa kejadian krusial. Kejadian ini adalah
pemilihan Walikota yang kontroversial yang hingga saat ini masih disengketakan
di MK untuk kedua kalinya. Sengketa pertama adalah pengaduan Walikota yang
kalah , yakni Romi Herton ke MK terkait hasil pilkada yang telah ditetapkan
KPUD Palembang, yang memenangkan pasangan Sarimuda-Nelly Rosdiana
Pada waktu pemilihan ditetapkan pemenang
adalah Sarimuda-Nelly Rasdiana dengan selisih 8 suara dari pasangan Romi
Herton-Harnojojo (316.923 vs 316.915). Akan tetapi ketika dibawa ke MK, yang
dimenangkan kemudian adalah pasangan Romi Herton-Harnojojo dengan kelebihan 23
suara. Akan tetapi ketika Akil Mohtar dipecat dari MK, dimana ketua panel
penentuan masalah walikota Palembang diketuaianya, vonnis kemenangan Romi
Herton kembali dipermasalahkan
Dipermasalahkan karena menurut rumors
yang berkembang Romi Herton menyuap Akil supaya dimenangkan jadi Walikota.
Menurut rumors yang berkembang, Romi katanya menyuap Akil sebesar Rp 15 milyar.
Bagaimana kebenaran dari ceritra burung itu belum diketahui pasti sebab
persoalnnya belum selesai.
Selain terjadinya kontroversi tersebut,
sebelumnya suasana sudah panas sehubungan dengan beda suara yang sangat tipis.
Tidak sampai satu atau dua persen, hanya hitungan jari lebih sedikit.
Konsekwensinya masing-masing pihak mengklaim pasangannya yang unggul. Tidak
perlu kaget ketika baru satu hari
pemilihan Walikota dilakukan, mengalir ucapan selamat kepada dua calon bersaing
tersebut sebagai pemenang pilkada. Kedua-duanya mendapat ucapan selamat melalui
karangan bunga yang sangat banyak. Baik dipihak Sarimuda-Nelly Rasdiana, maupun
dipihak Romi Herton-Harnojoyo.
Bagaimana ucapan selamat dilakukan
pada hal pihak yang berwenang belum memberi keputusan (KPUD) , suatu perilaku
yang sangat tak lazim. Mengapa bisa terjadi seperti itu di era yang sudah
moderat, demokratis dan di kota yang katanya sudah bertaraf internasional,
menjadi tanda tanya besar.mengapa mereka tidak menunggu keputusan KPUD ?,
gambaran dari masyarakat yang masih terbelakang ?
Kasus serupa juga menimpa pemenang Bupati Empat Lawang, Budi Antoni Aljufri/H.Syahril
Hanafiah. Sang Bupati diadukan ke MK karena ditengarai melakukan kecurangan
dalam pilkada. Bupati pemenang melakukan suap terhadap ketua MK Akil Muhtar
Tidak berbeda dengan kedua kasus tersebut adalah pemilihan Gubernur yang
diulang di tiga Kabupaten dan satu kecamatan, yakni Kota Palembang, Ogan
Komering Ulu, OKU Timur dan kecamatan Warkuk Ranau Selatan tanggal 4 September
2013. Di daerah menurut ketiga pasangan lain terjadi kecurangan dan diadukan ke
MK. Akan tetapi meski diulang tetap saja pemenangnya adalah pemenang pada
pemilihan sebelumnya, yakni Alex Nurdin –Ishak Mekki.
Tidak begitu lama sebelum pilkada dilaksanakan, markas polisi Baturaja diserang
dan dibakar pihak TNI , yang selain melahirkan korban juga terbakarnya gedung
Polisi tersebut. Begitu pula kejadian di Musirawas yang melakukan demo agar
Muratara segera dimekarkan, melahirkan korban yakni tewasnya 3 orang. Pasca demo, Muratara dimekarkan.
Pelanggaran pemilu, penyuapan dan kekerasan politik menjadi situasi
Sumatera Selatan menjelang pemilihan legislatif.
Pelaksanaan Kampanye
Sebagaimana pesan dan perintah UU sebelum Pileg dilakukan, dilangsungkan
Kampanye untuk menyampaikan visi, misi dan program setiap partai dan calegnya.
Kampanye dilaksanakan dari tanggal 16 Maret hingga tanggal 5 April 2014. Dalam
kampanye ini yang dilaksanakan pada umumnya adalah rapat umum di tempat-tempat
yang telah ditentukan sesuai dengan pembagian jadwal yang ditentukan KPU,
seperti:
1.
Nasdem,
PKB, PKS dan PDIP 16
dan 28 Maret
2.
Golkar,
Gerindra, Demokrat, PAN 20 maret
dan 1 April
3.
PPP,
Hanura, PBB dan PKPI
24 maret dan 5 April
Selain rapat-rapat umum yang mengerahkan massa ini, yang paling banyak
dilakukan adalah menggelar music dangdut, menempel baliho, spanduk dan alat
pengenal lainnya di hampir seluruh tempat yang dianggap dapat dilihat pemilih
Pelanggaran yang terbanyak adalah pada pemasangan atribut atau alat
peraga. Pemasangan yang dilakukan diseberang tempat, khususnya yang telah
dilarang, hamper semuanya tidak dipatuhi. Pemasangan spanduk, baliho atau
gambar-gambar perserta pemilu, terpampang disembarang tempat. Terutama di
setiap kecamatan dan kelurahan
Dalam acara rapat-rapat umum, yang umumnya mendatangkan para tokoh, baik
itu dari pusat atau daerah berlangsung dengan tertib. Masing-masing partai
politik dapat mengendalikan massanya.
Akan tetapi jika dikaji dari substansi kampanye itu sendiri,kampanye yang
berlangsung …minggu tersebut sangat jauh dari harapan. Kampanye yang seharusnya
menjadi ajang transaksi program, hampir tidak terjadi sama sekali.
Apa beda antara satu partai dengan partai lainnya, tidak kita ketahui
ketika kampanye dilangsungkan. Begitu pula program satu caleg dengan caleg
lainnya tidak tidak kita ketahui, pada hal hal-hal seperti inilah yang
seharusnya dijajakan pada waktu kampanye. Untuk lebih mendalami hal ini akan
kita kutif pernyataan berikut ini:
Lemahnya
pemahaman ideology dan system nilai partai, sehingga ketika timbul suatu
persoalan, tidak terlihat adanya perbedaan yang substansial antara partai satu
dan yang lainnya dalam menyelesaaikan masalah tersebut. Pada hal ketika
ideology menjai suatu sistim nilai, seharusnya berdampak pada cara berpikir dan
menyelesaikan persoalan. Efek dari lemahnya ideology ini membuat partai menjadi
pragmatis. Tidak mengherankan bahwa akhirnya konstituen menjadi lebih pragmatis
juga dan punya kecenderungan memilih figure berdasarkan kedekatan, atau yang
banyak uang dan sumbangannya (Abdul Hayyik cs,2006:35)
Realita seperti inilah yang dihadapi Indonesia, tiadanya ideology partai,
yang seharusnya diutarakan pada setiap kampanye tidak terjadi. Yang terjadi kemudian adalah:
Hubungan partai dengan konstituen telah terjebak pada pola hubungan jual-beli/transaksional
antara buyer dan seller. Untuk mendapatkan suara dalam pemilu, parpol membeli
konstituen lewat uang, sembako, kaos, pembangunan masjid, pembangunan jalan dan
lain-lain (Ibid Abdul Hayyik)
Hal ini dilestarikan oleh hubungan anggota dewan dengan konstituennya,
yang terhanyut dalam pola politik sejenis pasca pemilu. Alih-alih membuat
desain keputusan politik yang merupakan terjemahan dari aspirasi dan
kepentingan konstituen, anggota dewan terjebak untuk memberikan bantuan dan
sumbangan yang bersifat karitatif dan berbiaya tinggi (ibid Abdul Hayyik)
Mengapa atau bagaimana konstatasi ini terjadi adalah karena belum
terbangunnya suatu komunitas politik dan infrastrukturnya yang solid, ketika
parpol menjadi ujung tombak penyaluran aspirasi dan agrgasi kepentingan
komunitas tersebut. Tidak mengherankan ketika
pada pemilu, partai A mendapat, katakanlah satu juta suara, namun mereka
tidak tahu dari mana suara itu berasal. Hal ini terjadi karena infrastrukturnya
belum terbangun (Ibid Abdul Hayyik)
Dapat dikatakan dari segi pelaksanaan pemilihan umum untuk memilih
anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota berlangsung aman, tertib
dan damai. Bagaimana perkembangan selanjutnya akan diuraikan dibawah ini.
Deskripsi Saat Pelaksanaan dan Sesudah
Pemilu
Dari segi teknis pelaksanaan, pemilu di Sumatera Selatan dapat dikatakan berjalan
aman, tertib dan damai. Tidak ada kejadian-kejadian krusial, fisik, seperti
keributan dan lain-lain pelanggaran serius yang membuat pelaksanaan pemilu
terganggu. Baik pelaksana, maupun masyarakat kelihatannya sama-sama menyadari
pentingnya suasana damai.
Yang menarik dan menjadi pembahasan tulisan ini adalah informasi dibalik
ketertiban itu. Benarkah suasana yang damai dan tertib itu telah melahirkan
out-put, out come, kwalitas sebagaimana yang diharapkan. Atau justru sebaliknya
ketertiban itu adalah ketertiban semu, karena masyarakat sudah tahu tidak
banyak faedahnya. Atau mungkin atau bahkan menganggap tiada artinya sama
sekali, sehingga mereka tidak peduli, cuek, apatis, ada atau tiada pemilu. Apa
memang seperti itu, tidak begitu jelas. Untuk menelaahnya akan dimulai dari informasi-informasi miring tentang penyalahgunaan, seperti pemberian
suap, transaksi keuangan atau money
politics, tertukarnya surat suara, terdapatnya kalangan yang tidak paham
mencoblos dan pelanggaran-pelanggaran yang lain
1.
Politik Uang
Jika ditilik dari prinsip-prinsip umum pemilu, seperti, langsung, umum,
bebas dan rahasia (Luber) telah berlangsung dengan baik. Setiap pemilih bebas
menentukan pilihan, tidak ada tekanan, tidak ada yang mengetahui siapa yang
dipilih dan dilakukan dengan tanpa perantara, melainkan langsung.
Akan tetapi jika didekati dengan prinsip khusus, seperti “jujur dan adil”
(Jurdil), masih jauh dari harapan. Nilai-nilai ini kelihatannya masih sangat
jauh dari tujuan pemilu itu dilakukan. Baik dari segi peserta pemilu, seperti
partai dan atau khusus dari caleg-calegnya maupun dari konstituen/pemilih, diindikasikan
massif dengan kecurangan.
Kecurangan ini misalnya adalah memberikan suap kepada pemilih, saksi di
TPS, dan penyelenggara dari TPS hingga KPUD. Issunya sudah massif, terstruktur
dan sistemik. Tidak sekedar parsial, atau kasuss tertentu yang khusus,
melainkan telah fenomenologis dan massif. Semua tempat, lokasi dan kawasan,
tanpa kecuali penuh dengan indikasi suap.
Sinyalemen tersebut kami temukan ketika melakukan kunjungan pada TPS-TPS
di kota Palembang pada hari H, yakni
hari pencoblosan. Dalam setiap TPS, yang kami observasi, karena bertepatan ada
pemilih, pelaksana atau saksi yang kami kenal, tidak ada masalah menjawab
daftar pertanyaan atau wawancarai yang kami lakukan,apakah ada pemberian suap.
Baik para pelaksana, pemilih maupun para saksi pada umumnya mengakuinya.
Berapa
jumlah yang diberikan sangat bervariasi/tidak sama. Minimal atau yang paling
kecil kecenderungannya adalah Rp 20.000,-, yang agak banyak antara Rp 50.000
sampai Rp 100.000,- per kepala/orang/pemilih. Diberikan orang, pihak atau
kalangan tertentu (tim sukses) sebelum saat pencoblosan.
Diberikan sebelum hari pemilihan, apakah satu, dua, tiga, seminggu
sebelumnya atau apa yang popular dengan serangan fajar diberikan pada waktu
subuh. Ada yang diberikan secara halus, diam-diam dan sangat rahasia, namun
banyak juga sebaliknya. Yakni diberikan secara terang-terangan. Ada pihak,
kalangan atau tim sukses tertentu, meski tidak kenal, langsung menawarkan uang.
Sungguh metode yang sangat vulgar.
Kostatasi seperti itu, kecenderungannya sudah biasa. Sudah dianggap soal
biasa, yang tak perlu lagi dipermasalahkan. Paling tidak, seperti itulah
rumors, issu atau perbincangan yang kami dengar ditengah-tengah masyarakat saat
sebelum dan setelah pemilu.
Selain informasi-informasi yang kami temukan secara langsung dilapangan
pada hari pelaksanaan adalah informasi melalui pemberitaan-pemberitaan media
massa yang terbit di Sumatera Selatan. Informasi ini, meski disebut sebagai
sumber sekunder akan memperkuat apa yang kami temukan secara primer dilapangan.
Akan kami mulai dari pemberitaan Tribun Sumsel 14 April 2014 dengan tema
“Indikasi Caleg Lakukan Money Politic”. Indikasi ini adalah suara pembaca yang
menemukan adanya pemberian money politic di daerah pemilihannya. Para pembaca
ini sangat kecewa, karena didaerahnya ada pengawas tapi tidak berbuat apa-apa. Lebih
jelasnya akan dikutif dibawah ini;
Yth Panwaslu
Palembang. Dengan ini kami mau menyampaikan bahwa ada kecurangan dikelurahan
13-14 Ilir dengan pembagian uang setiap rumah atas nama caleg inisial MZY. Kami
dari semua warga kecewa atas tindakan tersebut, pada hal dikelurahan tersebut
ada Panwascam/PPL tapi tidak ada tindakan. Terima kasih
Sebelumnya Sriwijaya Post, 12 April 2014 hal 8, memuat judul “Caleg Tarik
Bantuan”. Bantuan ini ditarik setelah melihat perolehan suara yang diraih jauh
dari harapan. Karena tidak ada lagi harapan menjadi legislator, mereka mulai
mengalami gangguan (jiwa), karena sebelumnya mereka telah habis-habisan
mengeluarkan biaya, hingga melelang harta benda yang dimiliki seperti
kenderaan, tanah dan rumah. Harta yang sebelumnya telah dibagikan itu diminta
kembali melalui tim suksesnya. Masyarakat yang diminta kembali bantuannya,
apakah itu berbentuk material atau uang menjelang pemilihan, dengan tidak
keberatan mengembalikannya.
Mirip cerita
demikian juga ditulis Sriwijaya Post pada 15 April 2014, hal 13 dengan tema “Caleg
Tutup Jalan”
Caleg itu menutup jalan yang pernah diberikannya kepada masyarakat untuk dipergunakan
menjadi jalan umum. Namun karena dia tidak terpilih, jalan yang telah diberikan
itu ditutupnya kembali. Secara hukum memang itu haknya, karena tanah yang
dijadkan jalan itu adalah tanah miliknya. Bukan jalan atau tanah umum/negara.
Seiring dengan informasi pada caleg yang menutup jalan ini adalah
pengaduan money politic di Empat Lawang. Puluhan massa yang menamakan dirinya
Gabungan Masyarakat Anti Money Politic (Gamapol) menuntut proses dugaan money
politic oknum caleg, yang telah dilaporkan ke Panwaslu Empat Lawang tanggal 14
April 2014.
Dari kedua informasi ini terlihat bahwa yang memberikan money politic
adalah para caleg, pribadi, bukan atas nama institusi partainya. Selanjutnya
akan diteruskan ke kasus saudara caleg yang menodongkan pistolnya ke pemilih
yang ditengarai diberi uang, namun tidak menang, sebagaimana ditulis pada:
Tribun Sumsel
17 April 2014 dengan tema “Adik Caleg Todongkan Pistol”
Penodongan ini terjadi setelah caleg yang diunggulkan tidak mendapat
suara yang diinginkan. Perolehan suaranya jeblok, pada hal telah diberi uang
kepada Tim Sukses sebesar Rp 2,5 juta. Merasa dirugikan, maka adik caleg
menodongkan pistol ke tim sukses tersebut.
Tidak begitu beda dengan kasus penodongan pistol ini adalah pemaksaan
agar uang yang telah diberi dikembalikan dialami seorang janda dan
kawan-kawannya sebagaimana ditulis pada:
Tribun Sumsel
18 April 2014, hal 16 tema “Maysun Kembalikan Uang”
Maysun (50), Asnawati (47), Istiqomah (45) diteror PK, timses Caleg DPRD
kota dapil IV PPP No urut 3 agar uang yang diberikan Rp 100.000/orang tersebut
dikembalikan. Ketiga wanita ini dipaksa agar uang yang telah diberikan segera
dikembalikan. Takut terus-menerus diberlakukan seperti itu, mereka bertiga
melaporkan kasus ini kepada pihak yang berwajib/polisi.
Kasus
yang sangat menarik adalah, kasus seorang Caleg DPRD yang ngaku telah
memberikan suap Rp 850.000,- kepada salah satu komisioner KPU Kota Palembang
sebagaimana ditulis Tribun Sumsel 14 April 2014 dengan tema “Caleg DPRD Sumsel
Mengaku Suap Oknum KPU Rp 850 juta”.
Menurut pengakuannya, Caleg penyuap ini disuruh hanya menyiapkan suara
sebesar 2500, sisanya akan digelembungkan komisioner yang disuap tersebut. Akan
tetapi ketika rekapitulasi suara jumlahnya tidak significan. Hanya 2900 suara.
Kasus lain/selanjutnya adalah penyerahan money politik di Banyuasin oleh Caleg
Partai Hanura, sebagaimana dirilis Tribun Sumsel 25 April 2014 dengan tema :
Serahkan Bukti Politik uang.
Tamsil Harom, Caleg Partai Hanura dari Dapil V Kabupaten Banyuasin
menyerahkan bukti pemberian money politik dari Caleg Hanura no 7, Nopriadi ST,
yakni uang sebesar 5 juta rupiah dan empat saksi dari anggota TPS 1 daerah
pemilihan V Kabupaten Bayuasin. Money politik ini membuat perolehan suara
Tamsil Harom berkurang.
Data lain yang tidak langsung memberi bukti materil, namun logis adalah
pengakuan anggota DPRD Sumatera Selatan, Giri Ramanda. Giri mengakui bahwa untuk
terpilih menjadi legislator, tidak lagi hanya cukup dikenal, berbuat baik untuk konstituen, dan
lain-lain nilai yang umumnya menjadi prasyarat legislator, melainkan juga harus diberikan hadiah. Bahkan
hadiah inilah yang paling dominan. Lebih jelasnya ditulis dibawah ini:
Banyaknya
calon incumbent yang tidak terpilih kembali ini menurut Giri, disebabkan
beberapa factor. Diantaranya caleg incumbent terlalu percaya diri telah dikenal
masyarakat dan merasa sudah berbuat ke masyarakat. Namun realitas dilapangan,
masyarakat justru meminta “hadiah” kepada caleg. Kondisi ini kian menyatu
dengan motivasi caleg baru yang ingin duduk sebagai anggota dewan karena mereka
beranggapan di dewan itu berlimpah uang, sementara calon incumbent yang sudah
tahu kondisi dewan memilih berjalan apa adanya (Tribun Sumsel, 22 April, 2014)
Pengakuan yang sangat mengejutkan, menyesakkan, dan sukar diterima akal
sehat. Bagaimana yang sangat diharamkan, yang tidak diharapkan, atau yang sangat ditolak menjadi realitas adalah hal yang sungguh-sungguh diluar
perhitungan.
Realitas yang sudah pasti tidak terpikirkan oleh konseptor-konseptor
sistim pemilihan langsung. Harapan mereka justru sebaliknya, yakni apabila pemilihan
dilakukan secara langsung maka money politic tidak akan terjadi kalau dibandingkan
dengan dipilih secara tidak langsung (oleh partai politik) sebagaimana yang
berlangsung pada era Orde Baru.
Ilustrasi demikian, yakni bagaimana money politic menjamur di Sumsel
masih dapat diuraikan sekian panjang lagi. Namun untuk kepentingan tulisan ini contoh-contoh
atau ilustrasi-ilustrasi tersebut sudah memadai. Yang menjadi catatan adalah
bahwa money politic ini kelihatannya tidak hanya dilakukan caleg melalui
timsesnya tapi juga oleh masyarakat itu sendiri. Money politic sudah semakin
membudaya.
Sebagian masyarakat bahkan sudah
terang-terangan dan tidak malu lagi meminta uang dari para calon anggota
legislatif (Kompas, 15 April 2014). Bagaimana galaunya anggota-anggota
legislative terhadap money politic ini dapat dilihat dari komentar-komentar
mereka;
Eva Kusuma Sundari dalam bkackberry mesengernya menulis “Pemenang pileg
adalah Uang”. Ace Hasan Syadzily berkomentar “Money politics kills our
democracy”, Nurul Arifin berpuisi “mengapa praktek-praktek kecurangan sudah
menjadi kelaziman” (Kompas, 15 April 2014)
Selanjutnya akan diteruskan kepada pelanggaran dan kecurangan lain.
2.
Pelanggaran dan Kecurangan
Meskipun dari segi pelaksanaan aman, tertib dan terkendali, tidak berarti
begitu pula akan kwalitas atau substansinya. Jika ditilik lebih seksama banyak
pelanggaran atau kecurangan yang terjadi sehingga menodai tujuan utamanya
menghasilkan pemilu yang demokratis.
Bagaimana bentuk pelanggaran maupun kecurangan yang dilakukan sangat
bervariasi. Akan tetapi yang paling banyak dilakukan pada umumnya adalah “penggelembungan
suara”. Meningkatkan perolehan suara dengan cara illegal atau cara-cara lain
yang tak patut. Untuk mencapai tujuannya
para kontestan, khususnya para caleg-calegnya menghalalkan segala cara.
Termasuk cara-cara yang dilarang UU,
Hukum, Adat dan atau umumnya moral. Yang penting menang dan menjadi legislator
itulah mottonya.
Penggelembungan
suara
Kasus pertama akan kita mulai dari
Lahat. Di daerah ini diindikasikan telah terjadi pelanggaran, kecurangan, pada
waktu pelaksanaan pada hari pencoblosan, yakni pemungutan suara yang amburadul
dan adanya dugaan penggelembungan suara, seperti yang ditulis Sriwijaya Post 15
April 2014 hal 13:
Di Kabupaten Lahat 12 orang caleg dari beberapa Parpol di Dapil IV
Kabupaten Lahat, mendatangi Sekretariat KPUD Lahat senin (14/4). Caleg protes
karena pemungutan suara amburadul, serta adanya indikasi tindakan
penggelembungan suara.
Amburadul atau berantakan karena (1) diduga ada surat suara yang telah dicoblos
panitia, (2) tidak menghitung rekapitulasi suara pada hari yang ditentukan,
yakni pada hari itu juga (hari h), tapi esok harinya, (3) saksi partai yang menandatangani formulir C1 yang ternyata masih
kosong (belum diisi).
Mirip kasus tersebut terjadi di Palembang, tepatnya di TPS 6 Kelurahan 1
Ulu Kecamatan Seberang Ulu 1. Sang caleg ditengarai melakukan penggelembungan
suara di TPS ini. Modus yang dipakai adalah dengan mencoblos suarat suara DPT
yang terpakai. Gakkumdu telah menyerahkan kasus ini ke polisi. (Sriwijaya Post,
15 April 2014, hal 1)
Analog dengan kasus ini, yakni dugaan terjadinya indikasi penggelembungan
suara diakui anggota Panwaslu Palembang, Amrullah. Beliau telah menerima
laporan dari beberapa calon legislatif peserta pemilu yang mengalami manipulasi
perolehan suaranya. Manipulasi ini adalah berupa adanya penambahan perolehan
suara di beberapa TPS yang dilapor ke PPS, masuk ke caleg tertentu (Tribun
Sumsel, 19 April 2014, hal 14)
Masih juga di Palembang adalah terdapatnya satu pemilih mencoblos sampai
empat kali. Ia mencoblos di empat TPS berbeda dengan bantuan tim sukses
tertentu. Modusnya adalah menggantikan yang tidakmencoblos, seperti yang sudah
meninggal, yang dipenjara, atau para Golput yang dibujuk supaya mencoblos. Satu
kali mencoblos dihargai Rp 50.000,-. Empat kali berarti 4 X 50.000 = Rp 200.000,-
(Sriwijaya Post, 10 April 2014)
Betapa rapinya perbuatan menyimpang ini, selain karena kelihaian tim
sukses adalah kerjasama dengan PPS. Tidak mungkin pola ini berlangsung dengan
satu pihak. Ia bisa mulus berlangsung karena ada yang mendukung. Tidak berlebihan
kalau dikatakan telah terstruktur, sistemik dan massif, karena begitu rapi dan berlangsung
di banyak tempat.
Pelanggaran
selanjutnya adalah di Banyuasin. Indikasi adanya pelanggaran di daerah ini (Banyuasin)
diuraikan sendiri oleh Ketua Pengawas Kecamatannya (Panwascam), yakni Suhadi.
Beliau yang merupakan Panwascam Rantau Bayur, Kabupaten Banyuasin, mencemaskan
keselamatan dirinya dan keluarganya jelang rekapitulasi suara Pileg ditingkat
PPK. Orang tak dikenal mengirimkan sms berisikan ancaman pembunuhan bila
dirinya melakukan protes saat rekapitulasi (Tribun Sumsel, 18 April 2014)
Bunyi smsnya:
“Bos
jangan macam-macam dak usah banyak bicara tutup mata bae awas kau dan
keluargamu dalam pengawasan kami”
Sms
selanjutnya:
“Pak
Ketua Besok jangan cubo-cubo nak interupsi apo lagi nak bukak C1 rekap kalu nak
selamat”
Sms
selanjutny:
“lur
besok Pleno jangan nak macam-macam pokoknye kw setujui bae apa hasil keputusan
PPK dan saksi kalau tidak tunggu akibatnya. Tolonglah pemilu pasti berakhir
pulo nyawo dindo”
Yang sangat fenomenal adalah kejadian yang tertangkap di hotel berbintang
lima. PPK, PPS dan beberapa anggotanya tertangkap tangan di hotel yang diduga
hendak mengubah perolehan suara bersama PPK dan PPS. Lebih lengkapnya ditulis
Tribun Sumsel 11 April 2014:
11 orang
Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Ilir Barat
I, dan calon legislative (caleg) tertangkap di Hotel berbintang lima Kamis
(10/4). Informasinya mereka ini hendak berbuat curang mengubah hasil suara
Pemilu legislative.
Pada waktu
itu satu orang diamankan saat akan mengubah hasil rekap pemilu, yakni ketua PPK
I B I Palembang Muhammad Izhar (37). PNS warga jalan Dwikora 2 sriwijaya 2, no
63 Rt 03, Rw 01 Kelurahan Demang Lebar Daun Kecamatan I B I Palembang ini
ditangkap bersama satu anggota PPK dan Sembilan yang diduga caleg akan
melakukan pengubahan
Indikasi
kecurangan dalam kasus tersebut adalah terdapatnya;
·
Formulir
C1 berhologram diluar tempatnya
·
Segel
amplop surat formulir dirusak
·
Hasil
rekap beberapa caleg di lap top tak sama dengan hasil C1
Secara umum
pandangan tentang terdapatnya kecurangan dan pelanggaran di Sumatera Selatan
ditengarai elit Partai Hanura dan Partai Bulan Bintang.
Ada indikasi
kecurangan berupa dugaan penggelembungan suara partai tertentu serta,
pengerahan aparatur pemerintahan di tingkatan Desa/Kelurahan oleh kepala
daerah, seperti yang terjadi di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU)
Timur, berimbas pada peningkatan suara yang cukup significan bagi salah satu
caleg DPR RI, asal dapil yang sama, dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kata
Wasekjen DPP Partai Hanura, sekaligus calon anggota legislative (caleg) Hanura,
nomor urut 1, untuk DPR RI, asal daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan
(Sumsel) II, Didi Apriadi (Tribun Sumsel,25 April 2014, hal 14)
Penggelembungan yang tidak sekedar dilakukan oleh caleg, melainkan oleh
kekuasaan-pemerintahan yang sah. Pemerintahan/kekuasaan/birokrasi yang
seharusnya netral telah merekayasa suasana semakin runyam.
Sinyalemen demikian semakin kuat mengingat dihampir semua TPS pihaknya
menemukan adanya indikasi penggelembungan suara yang cenderung dilakukan secara
sistematis dan massif, yang hanya menguntungkan salah satu parpol dan caleg
yang itu-itu juga. Adapun penggelembungan ditiap TPS ini beragam besarannya.
Mulai dari hanya bertambah satu suara, hingga paling significan penambahan
hingga mencapai 11 suara, dari masing-masing TPS, yang diketahui saat proses
rekapitulasi penghitungan suara pemilu, ditingkat kelurahan/desa (PPS) rampung
dilakukan sebelumnya. tidak hanya di OKU Timur, juga di wilayah OKU Selatan.
Sementara, di Kabupaten Empat Lawang, Hanura sempat kehilangan suara yang cukup
significan
Dari perhitungan internal, diperkirakan mencapai 22.000 suara lebih,
namun saat rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat KPU Kabupaten Empat
Lawang, ditetapkan perolehan suara Hanura hanya tersisa sebanyak 3.576 suara
saja. Begitupun di kabupaten lahat, Hanura hanya mampu mengumpulkan perolehan
suara mencapai 9.300 suara, namun ketika dimintakan ke pihak KPU Lahat, untuk
melakukan penghitungan ulang di wilayah itu, Hanura berhasil meraih 10.326
suara.
Klimaks pelanggaran dan kecurangan ini adalah ketika rapat pleno di KPU
Sumsel hari minggu, 27 April 2014. Setelah melalui proses perdebatan sengit dan
pencocokan hasil rekapitulasi berupa formulir DA 1 di tingkat kecamatan,
terbukti terdapat kecurangan menggunakan modus penggelembungan suara di tingkat
KPUD Empatlawang dan Lubuklinggau.(Tribun Sumsel, 28 April 2014) serta Musi
Rawas (Tribun Sumsel, 29 April 2014)
Dalam rapat pleno terbuka perolehan suara di KPU Sumsel, hari minggu, 27
April 2014, saat dibuka formulir DA 1 di kecamatan Muara Pinang Kabupaten
Empatlawang untuk parpol/caleg DPRD Sumsel, ternyata data saksi benar
Dalam DB1 (KPUD) suara partai Nasdem memperoleh 539 suara, tetapi pada
DA1 (PPK) ternyata 1.121 suara. PKB di KPUD 3.706. namun di PPK hanya 1.025.
PKS di data DB1 sebanyak 2.808, tetapi di DA1 hanya 967 suara. PDIP di DB1
sebanyak 4.054, tetapi di DA1 hanya 1.334 suara. Golkar di DB1 sebanyak 1.298,
ternyata di DA1 sebanyak 1.354 suara.(Tribun Sumsel, 28 April 2014)
Kemudian Gerindra, DB1 hanya 87 ternyata 587 suara, Demokrat DB1 hanya
986 ternyata 2.212 suara. PAN DB1 sebanyak 7.997 kenyataan di DB1 hanya 6.674
suara. Lalu PPP, di DB1 hanya 97 ternyata di DA1 sebanyak 531 suara, Hanura DB1
sebesar 1.722 ternyata di DA1 hanya 456, dan PBB di DB1 66 ternyata di DA1
sebanyak 325 suara, serta PKPI di data DB1 60 ternyata di DA1 sebanyak 259
suara.(Tribun Sumsel, 28 April 2014)
Di Kabupaten Lubuklinggau untuk perolehan suara calon DPD RI, ternyata
ditemukan adanya penggelembangan suara pada nomor 4 dan nomor 20, masing-masing
sekitar 3000 suara. Di Musirawas pada rapat pleno KPUD Sumsel, saksi mengungkap
adanya kesamaan kasus yang terjadi di Empatlawang dan Lubuklinggau, yakni
manipulasi atau penggelembungan suara. Ada ketidaksesuaian antara data daftar
pemilih, data pengguna hak suara, serta total suara sah dan tidak sah.
Ditemukan sebanyak 28.317 suara lebih suarat suara sah dengan pemilih. Berarti
ada penggelembungan kata saksi PDIP, Giri Ramanda (Tribun Sumsel, 29 April
2014).
Bagaimana penyimpangan ini terjadi saat perhitungan akhir di KPUD Sumsel,
melahirkan tuntutan, polemik dan ketidakpuasan yang membuat perhitungan tidak
sesuai dengan waktu yang ditentukan, yakni yang seharusnya berakhir 24 April
Konsekwensi selanjutnya adalah membuka celah baru untuk melakukan
pelanggaran dan kecurangan. Kalau sebelumnya hanya KPUD Empat Lawang, KPUD
Lubuklinggau dan KPUD Musirawas yang terang-teranggan ketahuan penyimpangannya,
saat-saat selanjutnya, karena belum semua dihitung, tidak menutup kemungkinan melibatkan
KPUD-KPUD yang lain. Issunya juga Musi Banyuasin.
Oleh karena itu legitimasi hasil pemilu legislative yang diadakan di
Sumatera Selatan menjadi tidak kuat. Bagaimana melahirkan legislator yang
memihak rakyat, demokratis dan sejahtera bila seperti itu perekrutannya. Mereka
tampiltidak dari ranah yang seharusnya, melainkan dari pelanggaran, kecurangan
dan lain-lain perbuatan yang tidak baik. Sangat disayang kan karena
pelanggaran, kecurangan dan lain-lain perbuatan tak senonoh ini melibatkan
seluruh penyelenggara pemilu, seperti PPS, PPK hingga KPU beserta caleg dan tim
suksesnya.
Tertukar Suara-PSU
Bentuk lain pelanggaran yang jelas-jelas terjadi adalah tertukarnya surat
suara. Surat suara yang diberikan pada satu tempat/TPS tidak sesuai dengan
surat suara untuk tempat/TPS tersebut. Daerah-daerah yang dilaporkan terjadi
tertukarnya surat suara ini adalah Kota Palembang, Kabupaten OKU, Empatlawang
dan Banyuasin. Dibeberapa TPS, suarat suara yang diterima tak sesuai peruntukannya,
yakni tertukar dengan daerah lain (Sriwijaya Post, 11 April 2014)
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sumsel H. Aspahani dan Ketua
Bawaslu Sumsel Andika Pranata jaya yang telah mengetahui kasus ini
merekomendasikan agar ditempat yang tertukar suara tersebut segera digelar
Pemungutan Suara Ulang (PSU)
Di Palembang, tertukarnya surat suara ini ditemukan ada dibeberapa TPS,
yakni TPS 53 Kelurahan Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat (IB) I. di TPS itu, ada
338 lembar suarat suara untuk DPRD Palembang dari daerah pemilihan (Dapil)5,
pada hal seharusnya di TPS tersebut suarat suaranya untuk Dapil 4. Dari 338
surat suara yang tertukar tersebut, 22 lembarnya sudah dicoblos. Kemudian di
TPS 17 Kelurahan Srijaya, Kecamatan Alang-Alang Lebar (AAL). Di TPS ini, ada
217 lembar surat suara untuk DPRD Sumsel dari Dapil 2 pada hal seharusnya untuk
Dapil 1. Sementara yang tercoblos sebanyak 105 lembar. Kejadian yang sama
ditemukan di TPS 55 Kelurahan Sako, dimana surat suara untuk DPR RI dapil
Sumsel 1 tertukar dengan Dapil Sumsel 2, dan 33 lembar surat suaranya sudah
dicoblos (Ibid Sriwijya Post)
Tidak hanya di Palembang, juga di daerah-daerah lain, seperti di TPS 2
Desa Lubuk Batang Kabupaten OKU dan TPS 26 Kelurahan Sukajadi Kabupaten
banyuasin, serta TPS I Lubuk Muntak Kabupaten Empatlawang, ditemukan juga surat
suara yang tertukar dan sidah dicoblos (Ibid Sriwijaya Post)
Bagaimana hal yang seharusnya tidak perlu terjadi ini ditanggapi pakar
politik Sumsel, Joko Siswanto:
…yang jadi
tanda tanya,kenapa sejak surat suara tersebut dibuka dari dalam kotak tidak
diketahui. Mestinya petugas kan ngerti. Kalau lihat itu surat suara bukan.
Dapilnya kan bisa ditukar. Kok kelirunya sampai penghitungan. Kan aneh. Disini
kelihatan bagaimana pemahaman KPPS. Pada hal ujung tombaknya itu di TPS. KPPS
harus mengerti betul. Bener nggak surat suaranya. Kalau sampai penghitungan dia
baru sadar, itu kan tandanya tidak paham. Mestinya dilakukan pengecekan…(Ibid
Sriwijaya Post)
Tanggapan yang juga banyak dipertanyakan pakar lain. Bagaimana konteks
seperti itu bisa terjadi. Apa memang tidak dilihat, atau ada unsur kesengajaan.
Sekian pendapat mengemuka mempertanyakan ada apa dibalik tertukarnya surat
suara tersebut. Sebastian salang dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen
(Formappi) dengan jelas menuduh bahwa KPU dan Bawaslu telah gagal dengan
banyaknya pelanggaran (al surat suara tertukar) yang terjadi. Pelanggaran yang
terjadi meningkat dibanding dengan pemilu 2009
Terlepas dari praduga-praduga tersebut, salah satu factor yang membuat
terjadinya pertukaran surat suara itu adalah kekurangan panitia pelaksana,
seperti KPPS dan jajarannya, sebagaimana dikatakan Joko Siswanto. Mungkin
pemasyarakatan atau sosialisasi yang dilakukan, baik itu oleh KPUD, Bawaslu,
Partai-Partai Politik, Birokrasi dan lain-lain unsur politik belum berjalan
sebagaimana mestinya . hal ini dapat kita lihat pada pelaksanaan pemilu ini,
seperti banyaknya pemilih yang bingung mencoblos, tidak mengenal caleg yang
akan dipilih, banyaknya yang hanya memilih tanda gambar, dan terpilihnya orang
yang sudah meninggal dunia.
Minim Sosialisasi.
Pemilih yang bingung memilih terdapat di kabupaten lahat. Banyak warga
yang mengalami kebingungan saat berada di bilik suara. Mereka tidak mengetahui
tata cara pencoblosan, karena minimnya informasi yang diterima. Sebab
sosialiasasi yang dilakukan KPUD Kabupaten Lahat bersifat seadanya dan tidak
menyentuh seluruh lapisan masyarakat.(Tribun Sumsel, 11 April 2014 hal 6)
BINGUNG
|
DIKIRA PILPRES
|
ASAL MEMASUKKAN KE….. .KOTAK YANG
TERSEDIA
|
TAK PAHAM MENCOBLOS
|
Mengapa bisa terjadi seperti itu, menurut beberapa sumber karena minimnya
sosialisasi yang dilakukan KPUD Lahat. Metode yang dipakai katanya hanya
sebatas spanduk, baliho berukuran besar, serta iklan di media. Sedangkan tata
cara pencoblosan tidak ada penjelasan hingga masyarakat awam terutama
dipedesaan kebingungan dibilik suara.
Dituduh minim sosialisasi, KPUD Lahat balik menyerang institusi lain,
seperti misalnya partai politik yang menurut pengurus KPUD tersebut juga seharusnya harus melakukan sosialisasi. Tidak mau
disalahkan, pihak partai balik menyerang KPUD yang kewajibannya/tugas utamanya
sebagai penyelenggara pemilu adalah memasyarakatkan pemilu, karena dana untuk
itu telah tersedia.
Sinyalemen demikian semakin jelas, ketika pemilih banyak yang hanya
memilih tanda gambar. Mereka tidak mencoblos caleg yang ada dibawah tanda
gambar tersebut, melainkan hanya tanda gambarnya.
Dari pantauan yang kami lakukan secara langsung dilapangan terlihat
betapa banyaknya yang hanya memilih tanda gambar. Demikian pula yang kami
tanyakan dengan rekan-rekan kami di daerah lain, mengakui hal yang sama, yakni
banyaknya pemilih yang hanya memilih tanda gambar partai. Tidak orang, sosok
atau figure yang dicalonkan oleh partai tersebut
Akan tetapi selain karena minimnya sosialisasi sehingga caleg itu tidak
dikenal, mungkin juga para pemilih lebih yakin jika penentuannya diserahkan
kepada partainya. Artinya biarlah partai yang menentukan siapa yang jadi, sebab
partailah yang paling tahu kapasitas setiap kader, calon atau elitnya.
Atau seperti yang banyak dikatakan berbagai kalangan mereka yang tidak
memilih caleg itu adalah karena mereka melihat ada sosok tertentu dipartai
tersebut yang jadi idolanya. Pendapat seperti ini banyak ditujukan kepada
pemilih yang hanya memilih tanda gambar PDIP karena adanya faktor Jokowi.
Satu bukti lagi bahwa sosialisasi minim adalah terpilihnya orang yang
sudah meninggal dunia. Bagaimana orang yang sudah meninggal masih dipilih
adalah fakta bahwa sosialisasi tidak jalan. Baik oleh KPUmaupun oleh partai
yang mencalonkan. Kasus ini terjadi pada partai Gerindra yang mencalonkan Nur
Iswanto yang sudah meninggal.
Meski sudah meninggal beliau masih mendapat suara. Dari tingkat
perhitungan di tingkat PPK almarhum mendapat 224 suara di Kecamatan Baturaja
Barat. Rinciannya, di Kelurahan Air Gading 18 suara, Kelurahan Tanang Jawa 60
suara, Kelurahan Saung Naga 27 suara, kelurahan Tanjung Agung 23 suara,
Kelurahan Batu Kuning 28 suara. Desa Pusar 24 suara ,Desa Karang Agung 28
suara, Desa Karang Endah 1 suara, Desa Laya 13 suara, Desa Tanjung Karang 5
suara, Desa Batu Putih 15 suara, dan Desa Suka Maju 2 suara (Tribun Sumsel 18 April
2014, hal 16)
Orang Meninggal
→ Dipilih………
Selain karena minim sosialisasi, menurut salah satu pemilih di Baturaja
Barat, Iwan adalah karena warga bingung mau coblos siapa. Jadi asal coblos
saja. Bertepatan Nur Iswanto ada dalam daftar urut nomor satu, jadi paling
gampang mencoblosnya.
Masih berhubungan dengan kurang pahamnya para pemilih terhadap siapa yang
akan dipilihnya, diuraikan saksi Nasdem di TPS Lebung Gajah, Sako, Palembang.
Beliau menyaksikan seorang Ibu yang masuk bilik suara, untuk menentukan
pilihannya beliau menanyakan kepada anaknya yang berusia 3 tahun. Lengkapnya ia
bertanya…gambar mana nak yang bagus. Gambar ini bu kata anaknya. Lalu sis Ibu
pun menusuk yang dipilih anaknya yang berusia tiga tahun tersebut.
NILAI DAN SUBSTANSI DEMOKRASI YANG
SEMAKIN JAUH
Melihat pelanggaran, kecurangan dan noda yang terjadi secara massif,
terstruktur dan sistemik dalam pemilu legislatif di Sumatera Selatan, menjauhkan
harapan akan tampilnya legislative atau pemerintahan yang demokratis. Pelanggaran,
kecurangan dan perilaku menyimpang yang terjadi telah membunuh nilai-nilai,
hakiki atau substansi demokrasi ketitik kritis.
Demokrasi yang
didengung-dengungkan, kenyataannya tak lebih tak kurang hanya sebatas konsep
yang indah, pemanis bibir, pengisi wahana atau pidato-pidato para pejabat, elit
dan lain-lainnya agar kelihatan atau kedengaran gagah dan merdu meski nyaris
tanpa makna. Atau dalam dunia akademik kecenderungannyaa hanya semacam “intellectual
atau political exercise” yang bermuara di menara gading. Bukan sebagaimana
prinsip demokrasi itu sendiri, yakni “from the people, by the people and for
the people”.
DPR RI, DPRD, DPD Yang demokratis
yang mengemban prinsip-prinsip seperti itu plus nilai-nilai-hakikinya seperti “kesetaraan,
kesejahteraan dan keadilan” semakin jauh
panggang dari api. Bagaimana pemerintahan demokratis yang mengemban “aspirasi,
kepentingan dan kebutuhan rakyat (volonte generale) lahir dari elit, pejabat
atau tokoh yang berlumur pelanggaran, kecurangan dan noda adalah suatu yang
mustahil
Pemerintahan demokrtis serta nilai-nilai substantive demokratis sebagaimana
digambarkan David Held dan UU Pemilu,
UU Partai Politik, sebagai kerangka berpikir pada tulisan ini, pada praksisnya sangat
jauh dari harapan. Nilai-nilai yang dikemukakan Held maupun UU Pemilu, UU Partai Politik tersebut seperti disebutkan sebelumnya, yakni “kesetaraan
(egalitarian), kesejahteraan, dan keadilan” semakin tak jelas eksistensinya, apalagi
kemaslahatan” sudah pasti bak pungguk
merindukan bulan, atau pasak lebih besar dari tiang. Semakin lama, semakin tinggi ketimpangannya.
Partai politik yang merupakan instrumen demokrasi dan berkompetisi dalam
pemilihan umum, yang diharapkan menjadi dinamisator pemerintahan demokratis tidak
berperan sebagaimana mestinya (sebagaimana yang tertulis dalam UU maupun dalam
teori-teori kepartaian). Partai sesuai hakikinya (teori/konsep) seharusnya
memiliki ideologi yang merupakan “nilai-nilai, cita-cita dan orientasinya”
(lihat definisi partai politik). Dan untuk mencapainya setiap partai politik melakukan
fungsi, seperti “pendidikan, komunikasi, sosialisasi, agregasi, artikulasi” dan
sebagainya. Dalam prakteknya apa yang menjadi ideologi maupun fungsinya ini tidak
pernah tampil kepermukaan
Konsekwensi logisnya, masyarakatpun tidak tahu apa yang akan diperankan
menghadapi situasi seperti itu. Mereka bingung, bertanya-tanya tak berkesudahan
dan akhirnya pasrah dan apatis. Pasrah dan apatis terus menerus dan pada
akhirnya melembagakan suasana yang
keliru yang tidak disadarinya. Pelembagaan politik yang tidak sehat seperti ini yang berjalan selama ini. Punya
partai, namun tidak jelas ideologinya. Tidak jelas juga perbedaan antara satu
partai dengan partai lainnya. Mudah-mudahan
bukan partai-partaian, atau main-mainan.
Oleh karena itu partai yang ada di
Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan barulah sebatas legal formal, normative,
atau kwalitatif. Dibilang “ada tapi
tiada, tiada tapi ada”. Ada partai yang disebut-sebut sebagai “nasionalis,
sekuler, islami” dan sebagainya. Namun hanya sampai disitu. Hanya
disebut-sebut, tidak dipraksiskan dengan kongkrit. Bagaimana atau seperti apa pastinya
partai yang disebut-sebut tersebut, yang papan namanya besar-besar, yang
kehadirannya kadang-kadang tampak,kadang-kadang raib itu, masyarakat tidak
pernah tahu.
Sebagai derivasinya, tidak perlu kaget, ketika kampanye berlangsung yang
mengemuka bukan “visi, misi atau program” sebagai penjabaran ideology, sebagaimana
layaknya yang digelar pada suatu kampanye. Tidak kelihatan apa “ide, gagasan
atau kontrak” yang ditawarkan ke pemilih/konstituen/masyarakat. Bagaimana atau terobosan
kongkrit seperti apa yang mereka tawarkan terhadap kebutuhan riil masyarakat
tidak pernah mengemuka.
Apa upaya mereka mengurangi “pengangguran,kemiskinan, ketidakadilan”
nyaris tidak pernah “rigid, detill” diuraikan. Hanya sekedar slogan-slogan
pendek, pidato-pidato retorik, nanverbalism dan euphemism serta baliho-baliho
caleg yang genit-genit. Apakah konstituen dapat makan dari slogan dan baliho
seperti itu ?. tidakkah mereka makan nasi dan minum air ?
Kampanye sebagaimana pasar dalam
dunia ekonomi adalah wahana transaksi ide, program atau gagasan yang akan
dijual kepada konstituen. Bukan sekedar rapat raksasa yang mengerahkan massa,
menikmati alunan dangdut, atau hanya memajang spanduk, baliho, dan lain-lain
alat peraga yang indah dan photogenic.
Bukan tontonan pembodohan seperti itu yang dipentaskan. Selain tidak
menghibur, konstalasi demikian adalah racun bagi kehidupan politik. Sistim
politik yang tampil sudah pasti sistim yang tidak sehat alias jauh dari
kepentingan masyarakat. Bisa jadi ia akan menampilkan sistim politik yang
otoriter atas nama demokrasi, pada hal yang tampil misalnya adalah oligarchi.
Pasca otonomi daerah, 2001, politik oligarchis ini semakin fenomenal,
termasuk di Sumsel. Banyak Penguasa daerah saat ini yang terdiri dari hanya
kerabat, saudara, klin atau komplotannya sendiri. Istri menjadi ini, anak,
menjadi itu, menantu menjadi…dan sebagainya. Masalah oligarchi atau politik
dinasti ini biarlah menjadi pembahasan lain. Selanjutnya kembali ke diskursus pemilu
pileg Sumsel.
Apakah karena konsekwensi. derivasi atau ada factor lain dari suasana yang
tak lazim (un common) tersebut, selanjutnya berimbas pada “sistim sosial atau
struktur masyarakat”. Masyarakat akhirnya menikmati “penyimpangan, anomi, atau
konstatasi yang tidak sehat itu secara terstruktur, sistemik dan massif.
Kalangan ini apakah konsekwensi logis dari pembusukan politik ini atau entah karena
factor lain tidak tumbuh menjadi pemilih yang cerdas, yang kritis atau yang
mandiri. Mereka terikat kepada patron-patron tertentu yang tidak egaliter,
tidak bebas dan tidak demokratis.
Bisa saja itu kepada mereka yang mempunyai duit, seperti yang baru saja
terjadi pada pemilu pileg Sumatera Selatan. Mereka katut pada uang dan
benda-benda lainnya. Bukan kepada akal sehatnya. Cita-cita civil society yang
sejak lama diharapkan menjadi alternative meretas kebuntuan, kenyataanya tidak
pernah menampakkan diri. Yang mencuat sebagaimana diuraikan di atas adalah
membudayanya money politic, maraknya pelanggaran, kecurangan dan noda-noda lain
pada pemilihan legislative. Sampai kapan ini berlangsung ? mungkin sudah
waktunya dikaji ulang.
Bumi Sriwijaya, 30 april 2014
DAFTAR
PUSTAKA
Budiardjo,
Miriam, 2000, Dasar_Dasar Ilmu Politik, Gramedia Jakarta
Easton
,David, 1953, Political system, A. Knoff, New York
Hayyik
Abdul,2006, Konsolidasi Demokrasi, Friedrich Ebert Naumann Stiftung, Jakarta
Held, David,
2006, Models Of Democracy, Akbar Institute, Jakarta
Lapalombara J
& Jeffrey A, 1992, Political Parties, Routledge, New York
Schumpeter j,
1976, Capitalism, Socialism, and Democracy, Knoff, New York
Setyanto W & Halomoan Pulung, 2010, Representasi
Kepentingan Rakyat Pada Pemilu Legislatif 2009, Percik, Yogyakarta.
Surbakti,
Ramlan dalam Hayyik Abdul.
Undang
Undang:
UU No 2 Tahun
2011 Tentang Partai Politik
UU No 15
Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pemilu
UU No 8 Tahun
2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD
Surat Kabar:
Sriwijaya
Post tanggal 10 sampai 20 April 2014
Tribun Sumsel
tanggal 10 sampai 30 April 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar