Senin, 22 Agustus 2016

NILAI DAN SUBSTANSI DEMOKRASI YANG SEMAKN JAUH; KASUS PEMILU SUMSEL



 
ANALISIS PROSES PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF SUMATERA SELATAN TAHUN 2014
Oleh Reinhard Hutapea
Direktur Centre for Election and Political Party Program Pascasarjana Universitas Taman Siswa Palembang.

PENDAHULUAN
Secara teknis-prosedural pelaksanaan pemilihan legislatif untuk memilih DPR RI,DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 9 April 2014  berjalan dengan baik. Pelaksanaannya aman, tertib dan terkendali. Semua tahap-tahap pelaksanaan  sebagaimana digariskan dalam Undang-Undang Pemilihan Umum, yakni UU No 15 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemilu, UU N0 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD dan Undang-Undang Partai Politik, yakni UU No 2 Tahun 2011  telah dilalui  dengan  baik sebagaimana perintah UU tersebut.
Akan tetapi kalau dihubungkan dengan kwalitas, tujuan atau substansi yang diharapkan dari pemilu tersebut  sudah pasti  menimbulkan perdebatan yang panjang. Pro kontra akan mewarnai setiap penafsiran yang ditempuh, tergantung dari sudut mana meniliknya. Pihak pelaksana, dengan segala dalihnya akan mengatakan bahwa penyelenggaraaan  telah sukses dan mengantar Indonesia semakin demokratis. Sebaliknya dari masyarakat, yang sangat beragam jenisnya mempunyai pandangan, pendapat atau penafsiran yang lain atau bahkan sebaliknya, yakni tidak demokratis. Masing-masing kalangan akan menafsirkan sesuai kapasitas dan bidang keahliannya
Tulisan ini tidak mungkin membahas itu semua. Selain karena waktunya terbatas, pembahasannya memerlukan banyak disiplin  dan atau terutama  masalahnya pun masih  terus berkembang Oleh karena itu yang akan dianalisis  adalah perkembangan demokrasinya. Semakin relevankah dengan kebutuhan masyarakat ? tidakkah sebagaimana adagium selama ini hanya sekedar demokrasi prosedural ? dari demokrasi untuk demokrasi, bukan dari demokrasi untuk kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan masyarakat ? akan menjadi tujuan penulisan ini. 
Kerangka pikir: Demokrasi, Partai Politik dan pemilu
Untuk membahas permasalahan demikian dibutuhkan instrument, teori atau yang lazim disebut sebagai kerangka pikir, yang menjadi dasar, landasan, metode atau parameter. Kerangka pikir ini adalah apa yang dimaksud dengan “demokrasi, partai politik dan pemilu”. Ketiga konsep ini akan diuraikan satu persatu dibawah ini.
Demokrasi
Secara umum Pengertian Demokrasi  adalah “pemerintahan, kekuasaan dan/atau kedaulatan rakyat”. Rakyatlah yang memerintah, berkuasa atau yang menentukan. Bukan kalangan, unsur atau pihak diluar itu. Bukan Tuanku, bukan Raja, bukan Majikan dan lain-lain yang diluar masyarakat.
Untuk mencapai kehendak tersebut ditempuh dengan berbagai metode. Metode yang diterapkan Indonesia sebagaimana ditulis dalam konstitusi atau UUDnya  adalah melalui “pemilihan umum” dengan peserta atau kontestannya adalah “partai-partai politik”
Dengan pola yang dilakukan secara regular substansi demokrasi, dari waktu ke waktu sebagaimana diteorikan David Easton dengan sistim politiknya akan menghasilkan out put yang  mensejahterakan masyarakat.  Demokrasi untuk masyarakat, bukan yang lain-lain.
DEMOKRASI          MASYARAKAT
Perwujudannya ditempuh dengan membentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, sebagaimana yang diketengahkan David Held (2006).
Held menyatakan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang jika dibandingkan dengan monarki dan aristokrasi, dijalankan oleh rakyat. Sebagai konsekwensinya demokrasi menghasilkan komunitas politik dimana semua rakyat dipandang memiliki kesetaraan politik (2006:23)
Batasan, prasyarat dan indikator demokrasi;
1.      Semua seharusnya memerintah, dalam arti semua harus terlibat dalam legislasi, dalam memutuskan kebijakan public, dalam menegakkan hukum, dan dalam administrasi negara
2.      Semua seharusnya terlibat secara personal dalam pengambilan keputusan yang krusial, yaitu dalam menetapkan undang-undang dan permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan public
3.      Pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada yang diperintah; dengan kata lain mereka dapat diminta pertanggung jawaban oleh yang diperintah serta dapat diganti oleh yang diperintah.
4.      Pemerintah juga bertanggung jawab kepada perwakilan yang diperintah
5.      Pemerintah dipilih oleh yang diperintah
6.      Pemerintah dipilih oleh perwakilan yang diperintah
7.      Pemerintah bertindak mewakili kepentingan yang diberi perintah (Lively dalam Held, 2006: 24-25)
Singkatnya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, sebagaimana dikatakan Abraham Lincoln; from the people, by the people and for the people.
                                                               Dari rakyat (from the people)
Pemerintahan demokratis                Oleh rakyat (by the people)
                                                               Untuk rakyat (for the people)

Nilai-Nilai Demokrasi;
1.      Kesetaraan politik
2.      Kebebasan
3.      Pembangunan moral
4.      Kepentingan bersama
5.      Kompromi moral yang adil
6.      Keputusan yang mengikat yang mempertimbangkan kepentingan bersama
7.      Keperluan sosial
8.      Pemenuhan kebutuhan dan
9.      Keputusan yang efisien (Held, 2006:25)
Untuk menyederhanakan pengertian nilai-nilai ini  agar mudah dipahami dan dioperasionalkan, penulis meringkasnya (menjadi) hanya tiga nilai saja, yakni; kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan.
Atau secara skematis seperti dibawah ini

NILAI-NILAI DEMOKRASI


KESETARAAN          KESEJAHTERAAN         KEADILAN

Partai Politik
Untuk mewujudkan pemerintahan demokratis seperti itu, lazimnya dioperasionalkan dengan kehadiran partai-partai politik. Partai-partai politik menjadi instrument atau alat untuk mengaplikasikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tidak institusi di luar itu sebagaimana dinegara-negara yang mengklaim negaranya demokratis, namun tidak memiliki partai politik.
 Demikian pula Indonesia yang menganut kedaulatan rakyat untuk mewujudkan pemerintahan demokratis ditempuh dengan kehadiran partai-partai politik. Partai-partai politik sebagi instrument demokrasi telah ditulis dalam UUD 1945, dan atau khususnya dalam UU Partai Politik.
Dengan sendirinya partai politik menjadi wahana, sarana atau tempat partisipasi masyarakat menyampaikan aspirasi, kepentingan dan keinginannya sesuai dengan nilai-nilai, cita-cita dan orientasi masing-masing dari partai politik bersangkutan. Untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud dengan partai politik akan diuraikan dibawah ini.
Menurut Miriam Budiardjo (2000:160-161)  partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional – untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.
Pengertian ini adalah pengertian yang paling umum dan paling lengkap atau ideal, sebab sangat komplit akan konsep-konsepnya, seperti;
1.      Kelompok yang terorganisir
2.      Angggotanya memiliki orientasi, nilai dan cita-cita yang sama
3.      Tujuannya merebut kekuasaan dan kedudukan politik
4.      Sarana mewujudkan kebijakan.
Dalam prakteknya jarang keempat konsep tersebut diterapkan sebagaimana pengertian partai menurut Schumpeter, Lapalombara dan atau khususnya menurut Sartory. Menurut Schumpeter partai adalah sarana anggota-anggotanya untuk mencapai kekuasaan, karena para politisinya dianggap lebih cakap dari anggota-anggota masyarakat terutama dalam hal berorganisasi sebagaimana yang lazimnya dilakukan oleh asosiasi niaga;
Is a group whose members propose to act in consert in the competitive struggle for power…..Party and machine politicians are simply the response to the fact that the electoral mass is incapable of action other than in a stampede, and they constitute an attempt to regulate political competition exactly similar to the corresponding practice of a trade association
Agak berbeda dengan Schumpeter, dikemukakan Joseph Lapalombara dan Jeffrey Anderson. Menurut keduanya partai politik adalah kelompok politik yang memiliki cap/label dan organisasi resmi yang menghubungkan antara pusat kekuasaan dengan kekuasaan local, yang hadir saat pemilihan umum, dan memiliki kemampuan untuk menempatkan kandidat pejabat public melalui kegiatan pemilihan umum , baik bebas maupun tidak bebas.
Kelompok Politik → pemilu → pejabat public →  penghubung pusat - daerah
…any political group, in possession of an official label and of a formal organization that links centre and locality, that presents at elections, and is capable of placing through elections (free or non free), candidates for public office (Lapalombara j and Jeffrey Anderson,1992)
Pengertian paling ringkas, dan kelihatannya paling tepat dengan situasi Indonesia dikemukakan oleh Giovanni Sartory. Menurut ia, partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan, melalui pemilihan umum itu mampu mendapatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan politik
Kelompok politik    pemilu    jabatan politik
A party is any political group that present at elections, and is capable of placing through elections candidates for public office
Sedangkan menurut UU Nomor 2 Tahun 2011 arti atau definisi partai Politik adalah:
 organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dari beberapa definisi ini tersirat bahwa partai politik adalah ;
·         Suatu kelompok yang terorganisir
·         Mempunyai dasar, orientasi dan ideologi yang sama
·         Merebut kekuasaan untuk melaksanakan kebijakannya
·         Menyediakan elit-elit/pejabat politik
Yang membedakannya dengan lembaga, institusi atau organisasi lain di masyarakat adalah bahwa setiap partai politik berupaya mengejar kekuasaan melalui pemilihan umum, sedangkan organisasi-organisasi  kemasyarakatan lainnya tidak  seperti itu. Hanya melalui internal organisasinya.
Adapun ikhtiar partai-partai politik mencapai tujuan demikian dilakukan dengan fungsi-fungsi sebagai berikut :
a.      Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
b.      Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat
c.       Penyerap, penghimpun dan pengatur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara
d.      Partisipasi politik warga negara Indonesia dan
e.      Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. (UU No 2 Tahun 2012)
Karena fungsi ini begitu luas ,dalam tulisan ini  yang ditekankan adalah pada butir c, yakni fungsi “penyerap, penghimpun dan pengatur”. Artinya apakah partai-partai politik yang berkompetisi itu melakukan tugas tersebut atau sebaliknya. Secara konseptual politik fungsi ini dikenal dikenal dengan ;
·         Agregasi

                                      Kebijakan negara

·         Artikulasi                         

Artinya apakah masing-masing partai politik yang bersaing dalam pemilu legislatif di Sumatera Selatan telah melakukan agregasi dan artikulasi sebelumnya dan pada waktu kampanye. Fungsi ini akan menjadi prioritas utama dalam pembahasan. Akan tetapi sebelum sampai ke konteks tersebut akan diuraikan lebih dulu suatu gambaran umum pemilu 2009 melalui tulisannya Ramlan Surbakti dbawah ini
Suatu Tinjauan Pada Pemilu sebelumnya:  Tinjauan pustaka
Sebelum sampai kepada penggunaan kerangka pikir dalam pembahasan tulisan ini akan dibandingkan dengan situasi pemilu sebelumnya, yakni pemilu legislative 2009  yang ditulis  Prof Dr Ramlan Surbakti dengan tema Representasi Kepentingan Rakyat pada pemilu legislatif 2009, yang dipresentasikan pada tanggal 28 Juli 2009. Dibawah ini akan diuraikan pandangan-pandangan tersebut
Daftar Pemilih dan Turn out yang berantakan.
Masalah daftar pemilih adalah masalah mendasar. Wujud kedaulatan rakyat pertama-tama dan terutama dipresentasikan dalam kehadirannya dalam pemilihan. Ikut atau tidak dalam pemilu. Kalau ikut berarti ia turut berdaulat. Sebaliknya kalau tidak memilih tidak ikut melaksanakan kedaulatannya. Bagaimana kehadiran atau daftar pemilih pada pemilu 2009 akan dituliskan dibawah ini:

Pemilu Anggota DPR Tahun 2009 dalam angka
No
Keterangan
Jumlah
1
Pemilih terdafar dalam DPT
171.068.667
2
Pemilih terdaftar menggunakan hak pilih
119.885.809  (70,96%)
3
Pemilih terdaftar tidak menggunakan hak pilih
51.379.633 (30%)
4
Suara sah
104.099.785 (85,59%)
Terdiri atas:
1.      9 partai politik memenuhi ambang batas Parlemen = 85.051.132 (84%)
2.      29 partai politik tidak memenuhi ambang batas = 19.048.653 (16%)
5
Suara tidak sah
15.796.024 (14,41%)
6
Suara yang diwakili di DPR
84.844.357
7
Suara yang tidak diwakili di DPR
86.224.310

Angka-angka dalam tabel tersebut banyak dipermasalahkan atau dipertanyakan. Masalah pertama adalah jumlah yang didaftar  seharusnya masih kurang dari yang semestinya. Masih banyak yang belum terdaftar.
Masalah selanjutnya/kedua adalah dalam daftar tersebut ditengarai banyak pemilih siluman/ghost voters. Kalangan ini, yakni pemilih siluman tersebut  adalah mereka yang sudah lama meninggal, orang yang sudah pindah, yang satu namanya tercatat beberapa kali, terdapatnya orang yang tidak berhak memilih, yang sudah ikut pada pemilu 2004 dan Pilkada namun tidak terdaftar kembali dan seterusnya.
Pemilih siluman ini semakin jelas ketika KPU mempersilahkan pasangan Megawati-Prabowo, Jusuf Kalla-Wiranto melakukan pembersihan terhadap pemilih ganda pada pemilihan presiden tahun 2009. PDIP menemukan tujuh juta suara siluman, Golkar 11 juta pemilih siluman.
Selain masalah kekurangan jumlah tersebut, masalah selanjutnya adalah bahwa yang memilih pada pemilu legislatif 2009  hanya 70,9 persen, yakni 119 juta pemilih. Lebih rendah dibandingkan pada pemilu 2004 yang berjumlah sekitar 80 persen. Dari jumlah yang memilih demikian, ternyata yang menggunakan hak pilihnya hanya 70 persen. Yang 30 persen tidak menggunakan.
Dari 119 juta pemilih, jumlah suara yang sah adalah 104 juta (19 juta tidak sah). Dari 104 juta yang sah ini yangmemenuhi untuk “electoral threshold” hanyalah 85 juta yang berlaku untuk hanya 9 (Sembilan) partai politik sesuai dengan ambang batas yang ditentukan. Sedangkan sisanya, yakni 19 juta suara hangus karena tidak memenuhi ambang batas yang selanjutnya menggugurkan 29 (dua puluh sembilan) partai politik.
Konsekwensi dari perhitungan-perhitungan tersebut adalah bahwa jumlah suara yang terwakili untuk memilih DPR RI hanyalah 85 juta (tepatnya 84,8 juta). Sedangkan yang tidak terwakili jumlahnya lebih besar, yakni 86, 2 juta. Adapun angka 86, 2 juta ini diperoleh dari (a) non voters 56,3 juta, (b) invalid voters 15,7 juta, (c) non parliamentary threshold 19 juta.

Sistem Pemilu Anggota Legislatif yang buruk.
Undang Undang yang mengatur atau menentukan siapa yang berhak menjadi anggota DPR RI dan DPRD adalah UU No  10 Tahun 2008. UU ini dianggap paling buruk karena;
·         Banyak kekosongan hukum
·         Banyak kontradiksi
·         Banyak multi tafsir
·         Banyak kesalahan/kealfaan
Salah satu ilustrasinya adalah tentang pengertian kata “demokratis-konstitusionil/kedaulatan rakyat dan tidak demokratis/tidak konstitusionil”. Pada pasal 214 dikatakan bahwa penetapan calon terpilih berdasarkan nomor urut tidak konstitusionil dan bertentangan dengan kedaulatan rakyat. Bagaimana bisa sampai kepada pernyataan seperti itu ? bukankah banyak negara demokratis melakukan pola penetapan calon berdasarkan nomor urut dan itu tidak dikatakan bertentangan dengan demokrasi dan konstitusi?.
 Anehnya pasal ini diamini MK dan karenanya bersifat final. Final untuk suatu kesalahan, terutama bila dihubungkan dengan pasal 55 ayat (1) yang berbunyi bahwa parpol mengajukan calon menurut nomor urut. Tidakkah suatu dunia yang terbalik-balik ? dua filosofi yang bertentangan digabung dalam satu UU dan akhirnya amburadul.
Pencalonan itu asumsi atau filosofinya adalah partai politik, sebab merekalah yang paling tahu siapa kadernya yang terbaik, karena setiap partai politik punya fungsi rekrutmen, kaderisasi dan sebagainya. Nomor yang paling kecil adalah yang paling baik, itu filosofinya. Sebaliknya dengan system majority atau penetapan calon menurut suara terbanyak, filosofinya sebaliknya. Sistem majority ini menganggap bahwa setiap warga negara yang memilih itulah yang paling tahu tentang calon yang ditawarkan setiap partai politik, sebab pemilih mengikuti perkembangan sang calon lebih jauh dibandingkan dengan partai yang mencalonkan.
Dua filosofi yang tidak didukung realitas. Realitasnya masyarakat/pemilih sesungguhnya  juga belum mengetahui calon yang ditawarkan dengan seksama. Begitu pula partai belum menjalankan eksistensinya dengan seksama. Partai masih asal-asalan membuat calon, sebaliknya masyarakat pemilih juga belum mengikuti perkembangan politik dengan baik. Artinya menjalankan yang sudah jelas kesalahannya. Yang salah tapi terus dijalankan, ironi suatu negeri yang masih transisi. Transisi entah sampai kapan….
Sudah salah tapi masih berharap benar. Realitanya adalah menjalankan penyimpangan. Menyimpang terus, yang diharap pemilih kritis yang muncul pemilih yang …minta uang, sembako, dan sejenisnya……Ramlan Surbakti selanjutnya menulis:
 Tapi sebenarnya pemilih kita sebagian besar belum bahkan tidak mengikuti proses politik dan tidak punya informasi soal itu, akhirnya calon-calon dating ke rumah-rumah (door to door). Pengalaman caleg perempuan pada saat dia kampanye sering bertemu dengan ungkapan ini “itu lho Bu, kalau orang lain tadi sudah datang ke sini dia memberikan sekian, masak ibu tidak memberi hal seperti itu?
Persoalan lain dalam konteks ini adalah tentang pembagian kursi dan penetapan calon terpilih. KPU membuat peraturan No 15/2009 yang isinya mencantmkan isi UU, namun yang dijalankan berbeda. Ini yang kemudian dibatalkan oleh MK. Khususnya dalam UU disebut, propinsi yang terdiri lebih dari satu dapil DPR dan masih ada sisa kursi, maka sisa suara dari semua Dapil di satu propinsi diangkat ke tingkat ropinisi untukmenghitung BPP baru. Tapi yang dijalnkan oleh KPU adalah hanya sisa suara dari Dapil yang masih punya sisa kursi, kalau kursi sudah habis ya tidak bisa diangkat ke propinsi.
Parliamentary Threshold dan Sistem Perwakilan Rakyat
Masalah PT ini pun menuai perdebatan panjang betapa peraturan-peraturan atau ketentuan yang ada didalamnya penuh dengan masalah. Khususnya dengan putusan MA (yang menafsir UU No 10 Tahun 2008). Bila dibandingkan Pemilu 2004 dengan Pemilu 2009, apabila putusan MA dijalankan kursi Golkar akan naik 21, yakni dari 107 menjadi 128, PDIP 14, yakni dari 95 menjadi 109, Demokrat menjadi 130 kursi. Sedangkan partai yang lain sebaliknya, yakni mengalami penurunan. Partai-partai yang mengalami penurunan ini adalah PPP, PAN, PKS. PAN hilang 15, PKS hilang 7. Ini tentunya punya implikasi luas, terutama untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Hal hal lain yang diuraikan Ramlan Surbakti pada pemilu 2009 ini adalah;
·         Upaya membuat sistim kepartaian yang tepat di Indonesia. Kayaknya adalah “simple multi party system, tidak terlalu banyak juga tidak terlalu sedikit
·         Caleg perempuan yang jadi pada pemilu 2009 mengalami peningkatan, yakni 11 persen pada pemilu 2004 menjadi 18 persen pada pemilu 2009. 95% mereka adalah dari no urut kecil. Begitu juga caleg laki-laki.
·         Kampanye yang dilkukan partai sangat sedikit. Yang banyak adalah para caleg. Banyak caleg yang ngomong seperti ini “kalau saya tidak berkampanye untuk diri saya sendiri nanti tidak terpilih, peduli amat dengan partai”
·         Banyak yang terpilih bukan karena kehebatan, kapasitas atau kemampuannya menjadi legislator, melainkan karena kedekatannya secara pribadi dengan pemilihnya.
·         Ada juga yang menjadi anggota DPR karena melakukan kecurangan, yakni menyuap anggota KPU
·         Hanya 34 persen anggota DPR incumbent yang terpilih kembali (re-elected). Sementara dinegara maju biasanya 80 persen ke atas
·         Pendidikan politik pada pemilu 2009 sangat minim. Yang banyak adalah pada pemilu 1999, karena banyak donor yang membantu
·         Informasi politik mayoritas diperoleh dari TV. Menyusul radio dan surat kabar.
·         Banyaknya pemilih yang tidak konsisten memilih. Berubah-ubah terus pilihannya.

Deskripsi Politik Sumatera Selatan Pra Pemilihan Legislatif:
Pelanggaran, penyuapan dan Kekerasan Politik
Sebelum dilaksanakan pemilihan legislative 9 April 2014, di Sumsel terjadi beberapa kejadian krusial. Kejadian ini adalah pemilihan Walikota yang kontroversial yang hingga saat ini masih disengketakan di MK untuk kedua kalinya. Sengketa pertama adalah pengaduan Walikota yang kalah , yakni Romi Herton ke MK terkait hasil pilkada yang telah ditetapkan KPUD Palembang, yang memenangkan pasangan Sarimuda-Nelly Rosdiana
 Pada waktu pemilihan ditetapkan pemenang adalah Sarimuda-Nelly Rasdiana dengan selisih 8 suara dari pasangan Romi Herton-Harnojojo (316.923 vs 316.915). Akan tetapi ketika dibawa ke MK, yang dimenangkan kemudian adalah pasangan Romi Herton-Harnojojo dengan kelebihan 23 suara. Akan tetapi ketika Akil Mohtar dipecat dari MK, dimana ketua panel penentuan masalah walikota Palembang diketuaianya, vonnis kemenangan Romi Herton kembali dipermasalahkan
Dipermasalahkan karena menurut rumors yang berkembang Romi Herton menyuap Akil supaya dimenangkan jadi Walikota. Menurut rumors yang berkembang, Romi katanya menyuap Akil sebesar Rp 15 milyar. Bagaimana kebenaran dari ceritra burung itu belum diketahui pasti sebab persoalnnya belum selesai.
 Selain terjadinya kontroversi tersebut, sebelumnya suasana sudah panas sehubungan dengan beda suara yang sangat tipis. Tidak sampai satu atau dua persen, hanya hitungan jari lebih sedikit. Konsekwensinya masing-masing pihak mengklaim pasangannya yang unggul. Tidak perlu kaget  ketika baru satu hari pemilihan Walikota dilakukan, mengalir  ucapan selamat kepada dua calon bersaing tersebut sebagai pemenang pilkada. Kedua-duanya mendapat ucapan selamat melalui karangan bunga yang sangat banyak. Baik dipihak Sarimuda-Nelly Rasdiana, maupun dipihak Romi Herton-Harnojoyo.
Bagaimana ucapan selamat dilakukan pada hal pihak yang berwenang belum memberi keputusan (KPUD) , suatu perilaku yang sangat tak lazim. Mengapa bisa terjadi seperti itu di era yang sudah moderat, demokratis dan di kota yang katanya sudah bertaraf internasional, menjadi tanda tanya besar.mengapa mereka tidak menunggu keputusan KPUD ?, gambaran dari masyarakat yang masih terbelakang ?
Kasus serupa juga menimpa pemenang Bupati Empat Lawang, Budi Antoni Aljufri/H.Syahril Hanafiah. Sang Bupati diadukan ke MK karena ditengarai melakukan kecurangan dalam pilkada. Bupati pemenang melakukan suap terhadap ketua MK  Akil Muhtar
Tidak berbeda dengan kedua kasus tersebut adalah pemilihan Gubernur yang diulang di tiga Kabupaten dan satu kecamatan, yakni Kota Palembang, Ogan Komering Ulu, OKU Timur dan kecamatan Warkuk Ranau Selatan tanggal 4 September 2013. Di daerah menurut ketiga pasangan lain terjadi kecurangan dan diadukan ke MK. Akan tetapi meski diulang tetap saja pemenangnya adalah pemenang pada pemilihan sebelumnya, yakni Alex Nurdin –Ishak Mekki.
Tidak begitu lama sebelum pilkada dilaksanakan, markas polisi Baturaja diserang dan dibakar pihak TNI , yang selain melahirkan korban juga terbakarnya gedung Polisi tersebut. Begitu pula kejadian di Musirawas yang melakukan demo agar Muratara segera dimekarkan, melahirkan korban yakni tewasnya  3 orang. Pasca demo, Muratara dimekarkan.
Pelanggaran pemilu, penyuapan dan kekerasan politik menjadi situasi Sumatera Selatan menjelang pemilihan legislatif.
 Pelaksanaan Kampanye
Sebagaimana pesan dan perintah UU sebelum Pileg dilakukan, dilangsungkan Kampanye untuk menyampaikan visi, misi dan program setiap partai dan calegnya. Kampanye dilaksanakan dari tanggal 16 Maret hingga tanggal 5 April 2014. Dalam kampanye ini yang dilaksanakan pada umumnya adalah rapat umum di tempat-tempat yang telah ditentukan sesuai dengan pembagian jadwal yang ditentukan KPU, seperti:
1.      Nasdem, PKB, PKS dan PDIP                   16 dan 28 Maret
2.      Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN          20 maret dan 1 April
3.      PPP, Hanura, PBB dan PKPI                     24 maret dan 5 April
Selain rapat-rapat umum yang mengerahkan massa ini, yang paling banyak dilakukan adalah menggelar music dangdut, menempel baliho, spanduk dan alat pengenal lainnya di hampir seluruh tempat yang dianggap dapat dilihat pemilih
Pelanggaran yang terbanyak adalah pada pemasangan atribut atau alat peraga. Pemasangan yang dilakukan diseberang tempat, khususnya yang telah dilarang, hamper semuanya tidak dipatuhi. Pemasangan spanduk, baliho atau gambar-gambar perserta pemilu, terpampang disembarang tempat. Terutama di setiap kecamatan dan kelurahan
Dalam acara rapat-rapat umum, yang umumnya mendatangkan para tokoh, baik itu dari pusat atau daerah berlangsung dengan tertib. Masing-masing partai politik dapat mengendalikan massanya.
Akan tetapi jika dikaji dari substansi kampanye itu sendiri,kampanye yang berlangsung …minggu tersebut sangat jauh dari harapan. Kampanye yang seharusnya menjadi ajang transaksi program, hampir tidak terjadi sama sekali.
Apa beda antara satu partai dengan partai lainnya, tidak kita ketahui ketika kampanye dilangsungkan. Begitu pula program satu caleg dengan caleg lainnya tidak tidak kita ketahui, pada hal hal-hal seperti inilah yang seharusnya dijajakan pada waktu kampanye. Untuk lebih mendalami hal ini akan kita kutif pernyataan berikut ini:
Lemahnya pemahaman ideology dan system nilai partai, sehingga ketika timbul suatu persoalan, tidak terlihat adanya perbedaan yang substansial antara partai satu dan yang lainnya dalam menyelesaaikan masalah tersebut. Pada hal ketika ideology menjai suatu sistim nilai, seharusnya berdampak pada cara berpikir dan menyelesaikan persoalan. Efek dari lemahnya ideology ini membuat partai menjadi pragmatis. Tidak mengherankan bahwa akhirnya konstituen menjadi lebih pragmatis juga dan punya kecenderungan memilih figure berdasarkan kedekatan, atau yang banyak uang dan sumbangannya (Abdul Hayyik cs,2006:35)
Realita seperti inilah yang dihadapi Indonesia, tiadanya ideology partai, yang seharusnya diutarakan pada setiap kampanye tidak terjadi.  Yang terjadi kemudian adalah:
Hubungan partai dengan konstituen telah terjebak pada pola hubungan jual-beli/transaksional antara buyer dan seller. Untuk mendapatkan suara dalam pemilu, parpol membeli konstituen lewat uang, sembako, kaos, pembangunan masjid, pembangunan jalan dan lain-lain (Ibid Abdul Hayyik)
Hal ini dilestarikan oleh hubungan anggota dewan dengan konstituennya, yang terhanyut dalam pola politik sejenis pasca pemilu. Alih-alih membuat desain keputusan politik yang merupakan terjemahan dari aspirasi dan kepentingan konstituen, anggota dewan terjebak untuk memberikan bantuan dan sumbangan yang bersifat karitatif dan berbiaya tinggi (ibid Abdul Hayyik)
Mengapa atau bagaimana konstatasi ini terjadi adalah karena belum terbangunnya suatu komunitas politik dan infrastrukturnya yang solid, ketika parpol menjadi ujung tombak penyaluran aspirasi dan agrgasi kepentingan komunitas tersebut. Tidak mengherankan ketika  pada pemilu, partai A mendapat, katakanlah satu juta suara, namun mereka tidak tahu dari mana suara itu berasal. Hal ini terjadi karena infrastrukturnya belum terbangun (Ibid Abdul Hayyik)
Dapat dikatakan dari segi pelaksanaan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota berlangsung aman, tertib dan damai. Bagaimana perkembangan selanjutnya akan diuraikan dibawah ini.
Deskripsi  Saat Pelaksanaan dan Sesudah Pemilu
Dari segi teknis pelaksanaan, pemilu di Sumatera Selatan dapat dikatakan berjalan aman, tertib dan damai. Tidak ada kejadian-kejadian krusial, fisik, seperti keributan dan lain-lain pelanggaran serius yang membuat pelaksanaan pemilu terganggu. Baik pelaksana, maupun masyarakat kelihatannya sama-sama menyadari pentingnya suasana damai.
Yang menarik dan menjadi pembahasan tulisan ini adalah informasi dibalik ketertiban itu. Benarkah suasana yang damai dan tertib itu telah melahirkan out-put, out come, kwalitas sebagaimana yang diharapkan. Atau justru sebaliknya ketertiban itu adalah ketertiban semu, karena masyarakat sudah tahu tidak banyak faedahnya. Atau mungkin atau bahkan menganggap tiada artinya sama sekali, sehingga mereka tidak peduli, cuek, apatis, ada atau tiada pemilu. Apa memang seperti itu, tidak begitu jelas. Untuk menelaahnya  akan dimulai dari informasi-informasi  miring tentang penyalahgunaan, seperti pemberian suap, transaksi  keuangan atau money politics, tertukarnya surat suara, terdapatnya kalangan yang tidak paham mencoblos dan pelanggaran-pelanggaran yang lain
1.     Politik Uang         
Jika ditilik dari prinsip-prinsip umum pemilu, seperti, langsung, umum, bebas dan rahasia (Luber) telah berlangsung dengan baik. Setiap pemilih bebas menentukan pilihan, tidak ada tekanan, tidak ada yang mengetahui siapa yang dipilih dan dilakukan dengan tanpa perantara, melainkan langsung.
Akan tetapi jika didekati dengan prinsip khusus, seperti “jujur dan adil” (Jurdil), masih jauh dari harapan. Nilai-nilai ini kelihatannya masih sangat jauh dari tujuan pemilu itu dilakukan. Baik dari segi peserta pemilu, seperti partai dan atau khusus dari caleg-calegnya maupun dari konstituen/pemilih, diindikasikan massif dengan kecurangan.
Kecurangan ini misalnya adalah memberikan suap kepada pemilih, saksi di TPS, dan penyelenggara dari TPS hingga KPUD. Issunya sudah massif, terstruktur dan sistemik. Tidak sekedar parsial, atau kasuss tertentu yang khusus, melainkan telah fenomenologis dan massif. Semua tempat, lokasi dan kawasan, tanpa kecuali penuh dengan indikasi suap.
Sinyalemen tersebut kami temukan ketika melakukan kunjungan pada TPS-TPS di kota Palembang pada hari H,  yakni hari pencoblosan. Dalam setiap TPS, yang kami observasi, karena bertepatan ada pemilih, pelaksana atau saksi yang kami kenal, tidak ada masalah menjawab daftar pertanyaan atau wawancarai yang kami lakukan,apakah ada pemberian suap. Baik para pelaksana, pemilih maupun para saksi pada umumnya mengakuinya.
            Berapa jumlah yang diberikan sangat bervariasi/tidak sama. Minimal atau yang paling kecil kecenderungannya adalah Rp 20.000,-, yang agak banyak antara Rp 50.000 sampai Rp 100.000,- per kepala/orang/pemilih. Diberikan orang, pihak atau kalangan tertentu (tim sukses) sebelum saat pencoblosan.
Diberikan sebelum hari pemilihan, apakah satu, dua, tiga, seminggu sebelumnya atau apa yang popular dengan serangan fajar diberikan pada waktu subuh. Ada yang diberikan secara halus, diam-diam dan sangat rahasia, namun banyak juga sebaliknya. Yakni diberikan secara terang-terangan. Ada pihak, kalangan atau tim sukses tertentu, meski tidak kenal, langsung menawarkan uang. Sungguh metode yang sangat vulgar.
Kostatasi seperti itu, kecenderungannya sudah biasa. Sudah dianggap soal biasa, yang tak perlu lagi dipermasalahkan. Paling tidak, seperti itulah rumors, issu atau perbincangan yang kami dengar ditengah-tengah masyarakat saat sebelum dan setelah pemilu.
Selain informasi-informasi yang kami temukan secara langsung dilapangan pada hari pelaksanaan adalah informasi melalui pemberitaan-pemberitaan media massa yang terbit di Sumatera Selatan. Informasi ini, meski disebut sebagai sumber sekunder akan memperkuat apa yang kami temukan secara primer dilapangan.
Akan kami mulai dari pemberitaan Tribun Sumsel 14 April 2014 dengan tema “Indikasi Caleg Lakukan Money Politic”. Indikasi ini adalah suara pembaca yang menemukan adanya pemberian money politic di daerah pemilihannya. Para pembaca ini sangat kecewa, karena didaerahnya ada pengawas tapi tidak berbuat apa-apa. Lebih jelasnya akan dikutif dibawah ini;
Yth Panwaslu Palembang. Dengan ini kami mau menyampaikan bahwa ada kecurangan dikelurahan 13-14 Ilir dengan pembagian uang setiap rumah atas nama caleg inisial MZY. Kami dari semua warga kecewa atas tindakan tersebut, pada hal dikelurahan tersebut ada Panwascam/PPL tapi tidak ada tindakan. Terima kasih
Sebelumnya Sriwijaya Post, 12 April 2014 hal 8, memuat judul “Caleg Tarik Bantuan”. Bantuan ini ditarik setelah melihat perolehan suara yang diraih jauh dari harapan. Karena tidak ada lagi harapan menjadi legislator, mereka mulai mengalami gangguan (jiwa), karena sebelumnya mereka telah habis-habisan mengeluarkan biaya, hingga melelang harta benda yang dimiliki seperti kenderaan, tanah dan rumah. Harta yang sebelumnya telah dibagikan itu diminta kembali melalui tim suksesnya. Masyarakat yang diminta kembali bantuannya, apakah itu berbentuk material atau uang menjelang pemilihan, dengan tidak keberatan mengembalikannya.
Mirip cerita demikian juga ditulis Sriwijaya Post pada 15 April 2014, hal 13 dengan tema “Caleg Tutup Jalan”
Caleg itu menutup jalan yang pernah diberikannya kepada masyarakat untuk dipergunakan menjadi jalan umum. Namun karena dia tidak terpilih, jalan yang telah diberikan itu ditutupnya kembali. Secara hukum memang itu haknya, karena tanah yang dijadkan jalan itu adalah tanah miliknya. Bukan jalan atau tanah umum/negara.
Seiring dengan informasi pada caleg yang menutup jalan ini adalah pengaduan money politic di Empat Lawang. Puluhan massa yang menamakan dirinya Gabungan Masyarakat Anti Money Politic (Gamapol) menuntut proses dugaan money politic oknum caleg, yang telah dilaporkan ke Panwaslu Empat Lawang tanggal 14 April 2014.
Dari kedua informasi ini terlihat bahwa yang memberikan money politic adalah para caleg, pribadi, bukan atas nama institusi partainya. Selanjutnya akan diteruskan ke kasus saudara caleg yang menodongkan pistolnya ke pemilih yang ditengarai diberi uang, namun tidak menang, sebagaimana ditulis pada:
Tribun Sumsel 17 April 2014 dengan tema “Adik Caleg Todongkan Pistol”
Penodongan ini terjadi setelah caleg yang diunggulkan tidak mendapat suara yang diinginkan. Perolehan suaranya jeblok, pada hal telah diberi uang kepada Tim Sukses sebesar Rp 2,5 juta. Merasa dirugikan, maka adik caleg menodongkan pistol ke tim sukses tersebut.
Tidak begitu beda dengan kasus penodongan pistol ini adalah pemaksaan agar uang yang telah diberi dikembalikan dialami seorang janda dan kawan-kawannya sebagaimana ditulis pada:
Tribun Sumsel 18 April 2014, hal 16 tema “Maysun Kembalikan Uang”
Maysun (50), Asnawati (47), Istiqomah (45) diteror PK, timses Caleg DPRD kota dapil IV PPP No urut 3 agar uang yang diberikan Rp 100.000/orang tersebut dikembalikan. Ketiga wanita ini dipaksa agar uang yang telah diberikan segera dikembalikan. Takut terus-menerus diberlakukan seperti itu, mereka bertiga melaporkan kasus ini kepada pihak yang berwajib/polisi.
            Kasus yang sangat menarik adalah, kasus seorang Caleg DPRD yang ngaku telah memberikan suap Rp 850.000,- kepada salah satu komisioner KPU Kota Palembang sebagaimana ditulis Tribun Sumsel 14 April 2014 dengan tema “Caleg DPRD Sumsel Mengaku Suap Oknum KPU Rp 850 juta”.
Menurut pengakuannya, Caleg penyuap ini disuruh hanya menyiapkan suara sebesar 2500, sisanya akan digelembungkan komisioner yang disuap tersebut. Akan tetapi ketika rekapitulasi suara jumlahnya tidak significan. Hanya 2900 suara. Kasus lain/selanjutnya adalah penyerahan money politik di Banyuasin oleh Caleg Partai Hanura, sebagaimana dirilis Tribun Sumsel 25 April 2014 dengan tema : Serahkan Bukti Politik uang.
Tamsil Harom, Caleg Partai Hanura dari Dapil V Kabupaten Banyuasin menyerahkan bukti pemberian money politik dari Caleg Hanura no 7, Nopriadi ST, yakni uang sebesar 5 juta rupiah dan empat saksi dari anggota TPS 1 daerah pemilihan V Kabupaten Bayuasin. Money politik ini membuat perolehan suara Tamsil Harom berkurang.
Data lain yang tidak langsung memberi bukti materil, namun logis adalah pengakuan anggota DPRD Sumatera Selatan, Giri Ramanda. Giri mengakui bahwa untuk terpilih menjadi legislator, tidak lagi hanya cukup  dikenal, berbuat baik untuk konstituen, dan lain-lain nilai yang umumnya menjadi prasyarat legislator,  melainkan juga harus diberikan hadiah. Bahkan hadiah inilah yang paling dominan. Lebih jelasnya ditulis dibawah ini:
Banyaknya calon incumbent yang tidak terpilih kembali ini menurut Giri, disebabkan beberapa factor. Diantaranya caleg incumbent terlalu percaya diri telah dikenal masyarakat dan merasa sudah berbuat ke masyarakat. Namun realitas dilapangan, masyarakat justru meminta “hadiah” kepada caleg. Kondisi ini kian menyatu dengan motivasi caleg baru yang ingin duduk sebagai anggota dewan karena mereka beranggapan di dewan itu berlimpah uang, sementara calon incumbent yang sudah tahu kondisi dewan memilih berjalan apa adanya (Tribun Sumsel, 22 April, 2014)
Pengakuan yang sangat mengejutkan, menyesakkan, dan sukar diterima akal sehat. Bagaimana yang sangat diharamkan, yang tidak diharapkan,  atau yang sangat ditolak menjadi realitas  adalah hal yang sungguh-sungguh diluar perhitungan.
Realitas yang sudah pasti tidak terpikirkan oleh konseptor-konseptor sistim pemilihan langsung. Harapan mereka justru sebaliknya, yakni apabila pemilihan dilakukan secara langsung maka money politic tidak akan terjadi kalau dibandingkan dengan dipilih secara tidak langsung (oleh partai politik) sebagaimana yang berlangsung pada era Orde Baru.
Ilustrasi demikian, yakni bagaimana money politic menjamur di Sumsel masih dapat diuraikan sekian panjang lagi. Namun untuk kepentingan tulisan ini contoh-contoh atau ilustrasi-ilustrasi tersebut sudah memadai. Yang menjadi catatan adalah bahwa money politic ini kelihatannya tidak hanya dilakukan caleg melalui timsesnya tapi juga oleh masyarakat itu sendiri. Money politic sudah semakin membudaya.
 Sebagian masyarakat bahkan sudah terang-terangan dan tidak malu lagi meminta uang dari para calon anggota legislatif (Kompas, 15 April 2014). Bagaimana galaunya anggota-anggota legislative terhadap money politic ini dapat dilihat dari komentar-komentar mereka;
Eva Kusuma Sundari dalam bkackberry mesengernya menulis “Pemenang pileg adalah Uang”. Ace Hasan Syadzily berkomentar “Money politics kills our democracy”, Nurul Arifin berpuisi “mengapa praktek-praktek kecurangan sudah menjadi kelaziman” (Kompas, 15 April 2014)
Selanjutnya akan diteruskan kepada pelanggaran dan kecurangan lain.
2.     Pelanggaran dan Kecurangan
Meskipun dari segi pelaksanaan aman, tertib dan terkendali, tidak berarti begitu pula akan kwalitas atau substansinya. Jika ditilik lebih seksama banyak pelanggaran atau kecurangan yang terjadi sehingga menodai tujuan utamanya menghasilkan pemilu yang demokratis.
Bagaimana bentuk pelanggaran maupun kecurangan yang dilakukan sangat bervariasi. Akan tetapi yang paling banyak dilakukan pada umumnya adalah “penggelembungan suara”. Meningkatkan perolehan suara dengan cara illegal atau cara-cara lain yang tak patut. Untuk mencapai tujuannya  para kontestan, khususnya para caleg-calegnya menghalalkan segala cara. Termasuk cara-cara yang dilarang  UU, Hukum, Adat dan atau umumnya moral. Yang penting menang dan menjadi legislator itulah mottonya.
Penggelembungan suara
 Kasus pertama akan kita mulai dari Lahat. Di daerah ini diindikasikan telah terjadi pelanggaran, kecurangan, pada waktu pelaksanaan pada hari pencoblosan, yakni pemungutan suara yang amburadul dan adanya dugaan penggelembungan suara, seperti yang ditulis Sriwijaya Post 15 April 2014 hal 13:
Di Kabupaten Lahat 12 orang caleg dari beberapa Parpol di Dapil IV Kabupaten Lahat, mendatangi Sekretariat KPUD Lahat senin (14/4). Caleg protes karena pemungutan suara amburadul, serta adanya indikasi tindakan penggelembungan suara.
Amburadul atau berantakan karena (1) diduga ada surat suara yang telah dicoblos panitia, (2) tidak menghitung rekapitulasi suara pada hari yang ditentukan, yakni pada hari itu juga (hari h), tapi esok harinya, (3) saksi partai yang  menandatangani formulir C1 yang ternyata masih kosong (belum diisi).
Mirip kasus tersebut terjadi di Palembang, tepatnya di TPS 6 Kelurahan 1 Ulu Kecamatan Seberang Ulu 1. Sang caleg ditengarai melakukan penggelembungan suara di TPS ini. Modus yang dipakai adalah dengan mencoblos suarat suara DPT yang terpakai. Gakkumdu telah menyerahkan kasus ini ke polisi. (Sriwijaya Post, 15 April 2014, hal 1)
Analog dengan kasus ini, yakni dugaan terjadinya indikasi penggelembungan suara diakui anggota Panwaslu Palembang, Amrullah. Beliau telah menerima laporan dari beberapa calon legislatif peserta pemilu yang mengalami manipulasi perolehan suaranya. Manipulasi ini adalah berupa adanya penambahan perolehan suara di beberapa TPS yang dilapor ke PPS, masuk ke caleg tertentu (Tribun Sumsel, 19 April 2014, hal 14)
Masih juga di Palembang adalah terdapatnya satu pemilih mencoblos sampai empat kali. Ia mencoblos di empat TPS berbeda dengan bantuan tim sukses tertentu. Modusnya adalah menggantikan yang tidakmencoblos, seperti yang sudah meninggal, yang dipenjara, atau para Golput yang dibujuk supaya mencoblos. Satu kali mencoblos dihargai Rp 50.000,-. Empat kali berarti 4 X 50.000 = Rp 200.000,- (Sriwijaya Post, 10 April 2014)
Betapa rapinya perbuatan menyimpang ini, selain karena kelihaian tim sukses adalah kerjasama dengan PPS. Tidak mungkin pola ini berlangsung dengan satu pihak. Ia bisa mulus berlangsung karena ada yang mendukung. Tidak berlebihan kalau dikatakan telah terstruktur, sistemik dan massif, karena begitu rapi dan berlangsung di banyak tempat.
Pelanggaran selanjutnya adalah di Banyuasin. Indikasi adanya pelanggaran di daerah ini (Banyuasin) diuraikan sendiri oleh Ketua Pengawas Kecamatannya (Panwascam), yakni Suhadi. Beliau yang merupakan Panwascam Rantau Bayur, Kabupaten Banyuasin, mencemaskan keselamatan dirinya dan keluarganya jelang rekapitulasi suara Pileg ditingkat PPK. Orang tak dikenal mengirimkan sms berisikan ancaman pembunuhan bila dirinya melakukan protes saat rekapitulasi (Tribun Sumsel, 18 April 2014)
Bunyi smsnya:
Bos jangan macam-macam dak usah banyak bicara tutup mata bae awas kau dan keluargamu dalam pengawasan kami”
Sms selanjutnya:
Pak Ketua Besok jangan cubo-cubo nak interupsi apo lagi nak bukak C1 rekap kalu nak selamat”
Sms selanjutny:
lur besok Pleno jangan nak macam-macam pokoknye kw setujui bae apa hasil keputusan PPK dan saksi kalau tidak tunggu akibatnya. Tolonglah pemilu pasti berakhir pulo nyawo dindo”
Yang sangat fenomenal adalah kejadian yang tertangkap di hotel berbintang lima. PPK, PPS dan beberapa anggotanya tertangkap tangan di hotel yang diduga hendak mengubah perolehan suara bersama PPK dan PPS. Lebih lengkapnya ditulis Tribun Sumsel 11 April 2014:
11 orang Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Ilir Barat I, dan calon legislative (caleg) tertangkap di Hotel berbintang lima Kamis (10/4). Informasinya mereka ini hendak berbuat curang mengubah hasil suara Pemilu legislative.
Pada waktu itu satu orang diamankan saat akan mengubah hasil rekap pemilu, yakni ketua PPK I B I Palembang Muhammad Izhar (37). PNS warga jalan Dwikora 2 sriwijaya 2, no 63 Rt 03, Rw 01 Kelurahan Demang Lebar Daun Kecamatan I B I Palembang ini ditangkap bersama satu anggota PPK dan Sembilan yang diduga caleg akan melakukan pengubahan
Indikasi kecurangan dalam kasus tersebut adalah terdapatnya;
·         Formulir C1 berhologram diluar tempatnya
·         Segel amplop surat formulir dirusak
·         Hasil rekap beberapa caleg di lap top tak sama dengan hasil C1
Secara umum pandangan tentang terdapatnya kecurangan dan pelanggaran di Sumatera Selatan ditengarai elit Partai Hanura dan Partai Bulan Bintang.
Ada indikasi kecurangan berupa dugaan penggelembungan suara partai tertentu serta, pengerahan aparatur pemerintahan di tingkatan Desa/Kelurahan oleh kepala daerah, seperti yang terjadi di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, berimbas pada peningkatan suara yang cukup significan bagi salah satu caleg DPR RI, asal dapil yang sama, dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kata Wasekjen DPP Partai Hanura, sekaligus calon anggota legislative (caleg) Hanura, nomor urut 1, untuk DPR RI, asal daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) II, Didi Apriadi (Tribun Sumsel,25 April 2014, hal 14)
Penggelembungan yang tidak sekedar dilakukan oleh caleg, melainkan oleh kekuasaan-pemerintahan yang sah. Pemerintahan/kekuasaan/birokrasi yang seharusnya netral telah merekayasa suasana semakin runyam.
Sinyalemen demikian semakin kuat mengingat dihampir semua TPS pihaknya menemukan adanya indikasi penggelembungan suara yang cenderung dilakukan secara sistematis dan massif, yang hanya menguntungkan salah satu parpol dan caleg yang itu-itu juga. Adapun penggelembungan ditiap TPS ini beragam besarannya. Mulai dari hanya bertambah satu suara, hingga paling significan penambahan hingga mencapai 11 suara, dari masing-masing TPS, yang diketahui saat proses rekapitulasi penghitungan suara pemilu, ditingkat kelurahan/desa (PPS) rampung dilakukan sebelumnya. tidak hanya di OKU Timur, juga di wilayah OKU Selatan. Sementara, di Kabupaten Empat Lawang, Hanura sempat kehilangan suara yang cukup significan
Dari perhitungan internal, diperkirakan mencapai 22.000 suara lebih, namun saat rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat KPU Kabupaten Empat Lawang, ditetapkan perolehan suara Hanura hanya tersisa sebanyak 3.576 suara saja. Begitupun di kabupaten lahat, Hanura hanya mampu mengumpulkan perolehan suara mencapai 9.300 suara, namun ketika dimintakan ke pihak KPU Lahat, untuk melakukan penghitungan ulang di wilayah itu, Hanura berhasil meraih 10.326 suara.
Klimaks pelanggaran dan kecurangan ini adalah ketika rapat pleno di KPU Sumsel hari minggu, 27 April 2014. Setelah melalui proses perdebatan sengit dan pencocokan hasil rekapitulasi berupa formulir DA 1 di tingkat kecamatan, terbukti terdapat kecurangan menggunakan modus penggelembungan suara di tingkat KPUD Empatlawang dan Lubuklinggau.(Tribun Sumsel, 28 April 2014) serta Musi Rawas (Tribun Sumsel, 29 April 2014)
Dalam rapat pleno terbuka perolehan suara di KPU Sumsel, hari minggu, 27 April 2014, saat dibuka formulir DA 1 di kecamatan Muara Pinang Kabupaten Empatlawang untuk parpol/caleg DPRD Sumsel, ternyata data saksi benar
Dalam DB1 (KPUD) suara partai Nasdem memperoleh 539 suara, tetapi pada DA1 (PPK) ternyata 1.121 suara. PKB di KPUD 3.706. namun di PPK hanya 1.025. PKS di data DB1 sebanyak 2.808, tetapi di DA1 hanya 967 suara. PDIP di DB1 sebanyak 4.054, tetapi di DA1 hanya 1.334 suara. Golkar di DB1 sebanyak 1.298, ternyata di DA1 sebanyak 1.354 suara.(Tribun Sumsel, 28 April 2014)
Kemudian Gerindra, DB1 hanya 87 ternyata 587 suara, Demokrat DB1 hanya 986 ternyata 2.212 suara. PAN DB1 sebanyak 7.997 kenyataan di DB1 hanya 6.674 suara. Lalu PPP, di DB1 hanya 97 ternyata di DA1 sebanyak 531 suara, Hanura DB1 sebesar 1.722 ternyata di DA1 hanya 456, dan PBB di DB1 66 ternyata di DA1 sebanyak 325 suara, serta PKPI di data DB1 60 ternyata di DA1 sebanyak 259 suara.(Tribun Sumsel, 28 April 2014)
Di Kabupaten Lubuklinggau untuk perolehan suara calon DPD RI, ternyata ditemukan adanya penggelembangan suara pada nomor 4 dan nomor 20, masing-masing sekitar 3000 suara. Di Musirawas pada rapat pleno KPUD Sumsel, saksi mengungkap adanya kesamaan kasus yang terjadi di Empatlawang dan Lubuklinggau, yakni manipulasi atau penggelembungan suara. Ada ketidaksesuaian antara data daftar pemilih, data pengguna hak suara, serta total suara sah dan tidak sah. Ditemukan sebanyak 28.317 suara lebih suarat suara sah dengan pemilih. Berarti ada penggelembungan kata saksi PDIP, Giri Ramanda (Tribun Sumsel, 29 April 2014).
Bagaimana penyimpangan ini terjadi saat perhitungan akhir di KPUD Sumsel, melahirkan tuntutan, polemik dan ketidakpuasan yang membuat perhitungan tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan, yakni yang seharusnya berakhir 24 April
Konsekwensi selanjutnya adalah membuka celah baru untuk melakukan pelanggaran dan kecurangan. Kalau sebelumnya hanya KPUD Empat Lawang, KPUD Lubuklinggau dan KPUD Musirawas yang terang-teranggan ketahuan penyimpangannya, saat-saat selanjutnya, karena belum semua dihitung, tidak menutup kemungkinan melibatkan KPUD-KPUD yang lain. Issunya juga Musi Banyuasin.
Oleh karena itu legitimasi hasil pemilu legislative yang diadakan di Sumatera Selatan menjadi tidak kuat. Bagaimana melahirkan legislator yang memihak rakyat, demokratis dan sejahtera bila seperti itu perekrutannya. Mereka tampiltidak dari ranah yang seharusnya, melainkan dari pelanggaran, kecurangan dan lain-lain perbuatan yang tidak baik. Sangat disayang kan karena pelanggaran, kecurangan dan lain-lain perbuatan tak senonoh ini melibatkan seluruh penyelenggara pemilu, seperti PPS, PPK hingga KPU beserta caleg dan tim suksesnya.
Tertukar Suara-PSU
Bentuk lain pelanggaran yang jelas-jelas terjadi adalah tertukarnya surat suara. Surat suara yang diberikan pada satu tempat/TPS tidak sesuai dengan surat suara untuk tempat/TPS tersebut. Daerah-daerah yang dilaporkan terjadi tertukarnya surat suara ini adalah Kota Palembang, Kabupaten OKU, Empatlawang dan Banyuasin. Dibeberapa TPS, suarat suara yang diterima tak sesuai peruntukannya, yakni tertukar dengan daerah lain (Sriwijaya Post, 11 April 2014)
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sumsel H. Aspahani dan Ketua Bawaslu Sumsel Andika Pranata jaya yang telah mengetahui kasus ini merekomendasikan agar ditempat yang tertukar suara tersebut segera digelar Pemungutan Suara Ulang (PSU)
Di Palembang, tertukarnya surat suara ini ditemukan ada dibeberapa TPS, yakni TPS 53 Kelurahan Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat (IB) I. di TPS itu, ada 338 lembar suarat suara untuk DPRD Palembang dari daerah pemilihan (Dapil)5, pada hal seharusnya di TPS tersebut suarat suaranya untuk Dapil 4. Dari 338 surat suara yang tertukar tersebut, 22 lembarnya sudah dicoblos. Kemudian di TPS 17 Kelurahan Srijaya, Kecamatan Alang-Alang Lebar (AAL). Di TPS ini, ada 217 lembar surat suara untuk DPRD Sumsel dari Dapil 2 pada hal seharusnya untuk Dapil 1. Sementara yang tercoblos sebanyak 105 lembar. Kejadian yang sama ditemukan di TPS 55 Kelurahan Sako, dimana surat suara untuk DPR RI dapil Sumsel 1 tertukar dengan Dapil Sumsel 2, dan 33 lembar surat suaranya sudah dicoblos (Ibid Sriwijya Post)
Tidak hanya di Palembang, juga di daerah-daerah lain, seperti di TPS 2 Desa Lubuk Batang Kabupaten OKU dan TPS 26 Kelurahan Sukajadi Kabupaten banyuasin, serta TPS I Lubuk Muntak Kabupaten Empatlawang, ditemukan juga surat suara yang tertukar dan sidah dicoblos (Ibid Sriwijaya Post)
Bagaimana hal yang seharusnya tidak perlu terjadi ini ditanggapi pakar politik Sumsel, Joko Siswanto:
…yang jadi tanda tanya,kenapa sejak surat suara tersebut dibuka dari dalam kotak tidak diketahui. Mestinya petugas kan ngerti. Kalau lihat itu surat suara bukan. Dapilnya kan bisa ditukar. Kok kelirunya sampai penghitungan. Kan aneh. Disini kelihatan bagaimana pemahaman KPPS. Pada hal ujung tombaknya itu di TPS. KPPS harus mengerti betul. Bener nggak surat suaranya. Kalau sampai penghitungan dia baru sadar, itu kan tandanya tidak paham. Mestinya dilakukan pengecekan…(Ibid Sriwijaya Post)
Tanggapan yang juga banyak dipertanyakan pakar lain. Bagaimana konteks seperti itu bisa terjadi. Apa memang tidak dilihat, atau ada unsur kesengajaan. Sekian pendapat mengemuka mempertanyakan ada apa dibalik tertukarnya surat suara tersebut. Sebastian salang dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) dengan jelas menuduh bahwa KPU dan Bawaslu telah gagal dengan banyaknya pelanggaran (al surat suara tertukar) yang terjadi. Pelanggaran yang terjadi meningkat dibanding dengan pemilu 2009
Terlepas dari praduga-praduga tersebut, salah satu factor yang membuat terjadinya pertukaran surat suara itu adalah kekurangan panitia pelaksana, seperti KPPS dan jajarannya, sebagaimana dikatakan Joko Siswanto. Mungkin pemasyarakatan atau sosialisasi yang dilakukan, baik itu oleh KPUD, Bawaslu, Partai-Partai Politik, Birokrasi dan lain-lain unsur politik belum berjalan sebagaimana mestinya . hal ini dapat kita lihat pada pelaksanaan pemilu ini, seperti banyaknya pemilih yang bingung mencoblos, tidak mengenal caleg yang akan dipilih, banyaknya yang hanya memilih tanda gambar, dan terpilihnya orang yang sudah meninggal dunia.
Minim Sosialisasi.
Pemilih yang bingung memilih terdapat di kabupaten lahat. Banyak warga yang mengalami kebingungan saat berada di bilik suara. Mereka tidak mengetahui tata cara pencoblosan, karena minimnya informasi yang diterima. Sebab sosialiasasi yang dilakukan KPUD Kabupaten Lahat bersifat seadanya dan tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat.(Tribun Sumsel, 11 April 2014 hal 6)
BINGUNG
            Kebingungan warga terlihat saat memasuki bilik suara, karena tidak tahu cara mencoblos. Ada juga yang asal memasukkan kartu suara usai mencoblos, ke sembarang kotak suara yang tersedia. Parahnya lagi pemilih malah mengira saat itu untuk memilih calon presiden, dan terkejut karena gambar figur yang ia coblos tidak ada (Ibid Tribun Sumsel)
     

DIKIRA PILPRES

ASAL MEMASUKKAN KE….. .KOTAK YANG TERSEDIA
TAK PAHAM MENCOBLOS
                                                                                                                               

Mengapa bisa terjadi seperti itu, menurut beberapa sumber karena minimnya sosialisasi yang dilakukan KPUD Lahat. Metode yang dipakai katanya hanya sebatas spanduk, baliho berukuran besar, serta iklan di media. Sedangkan tata cara pencoblosan tidak ada penjelasan hingga masyarakat awam terutama dipedesaan kebingungan dibilik suara.
Dituduh minim sosialisasi, KPUD Lahat balik menyerang institusi lain, seperti misalnya partai politik yang menurut pengurus KPUD tersebut juga seharusnya  harus melakukan sosialisasi. Tidak mau disalahkan, pihak partai balik menyerang KPUD yang kewajibannya/tugas utamanya sebagai penyelenggara pemilu adalah memasyarakatkan pemilu, karena dana untuk itu telah tersedia.
Sinyalemen demikian semakin jelas, ketika pemilih banyak yang hanya memilih tanda gambar. Mereka tidak mencoblos caleg yang ada dibawah tanda gambar tersebut, melainkan hanya tanda gambarnya.
Dari pantauan yang kami lakukan secara langsung dilapangan terlihat betapa banyaknya yang hanya memilih tanda gambar. Demikian pula yang kami tanyakan dengan rekan-rekan kami di daerah lain, mengakui hal yang sama, yakni banyaknya pemilih yang hanya memilih tanda gambar partai. Tidak orang, sosok atau figure yang dicalonkan oleh partai tersebut
Akan tetapi selain karena minimnya sosialisasi sehingga caleg itu tidak dikenal, mungkin juga para pemilih lebih yakin jika penentuannya diserahkan kepada partainya. Artinya biarlah partai yang menentukan siapa yang jadi, sebab partailah yang paling tahu kapasitas setiap kader, calon atau elitnya.
Atau seperti yang banyak dikatakan berbagai kalangan mereka yang tidak memilih caleg itu adalah karena mereka melihat ada sosok tertentu dipartai tersebut yang jadi idolanya. Pendapat seperti ini banyak ditujukan kepada pemilih yang hanya memilih tanda gambar PDIP karena adanya faktor Jokowi.
Satu bukti lagi bahwa sosialisasi minim adalah terpilihnya orang yang sudah meninggal dunia. Bagaimana orang yang sudah meninggal masih dipilih adalah fakta bahwa sosialisasi tidak jalan. Baik oleh KPUmaupun oleh partai yang mencalonkan. Kasus ini terjadi pada partai Gerindra yang mencalonkan Nur Iswanto yang sudah meninggal.
Meski sudah meninggal beliau masih mendapat suara. Dari tingkat perhitungan di tingkat PPK almarhum mendapat 224 suara di Kecamatan Baturaja Barat. Rinciannya, di Kelurahan Air Gading 18 suara, Kelurahan Tanang Jawa 60 suara, Kelurahan Saung Naga 27 suara, kelurahan Tanjung Agung 23 suara, Kelurahan Batu Kuning 28 suara. Desa Pusar 24 suara ,Desa Karang Agung 28 suara, Desa Karang Endah 1 suara, Desa Laya 13 suara, Desa Tanjung Karang 5 suara, Desa Batu Putih 15 suara, dan Desa Suka Maju 2 suara (Tribun Sumsel 18 April 2014, hal 16)
Orang Meninggal     Dipilih………
Selain karena minim sosialisasi, menurut salah satu pemilih di Baturaja Barat, Iwan adalah karena warga bingung mau coblos siapa. Jadi asal coblos saja. Bertepatan Nur Iswanto ada dalam daftar urut nomor satu, jadi paling gampang mencoblosnya.
Masih berhubungan dengan kurang pahamnya para pemilih terhadap siapa yang akan dipilihnya, diuraikan saksi Nasdem di TPS Lebung Gajah, Sako, Palembang. Beliau menyaksikan seorang Ibu yang masuk bilik suara, untuk menentukan pilihannya beliau menanyakan kepada anaknya yang berusia 3 tahun. Lengkapnya ia bertanya…gambar mana nak yang bagus. Gambar ini bu kata anaknya. Lalu sis Ibu pun menusuk yang dipilih anaknya yang berusia tiga tahun tersebut.

NILAI DAN SUBSTANSI DEMOKRASI YANG SEMAKIN JAUH
Melihat pelanggaran, kecurangan dan noda yang terjadi secara massif, terstruktur dan sistemik dalam pemilu legislatif di Sumatera Selatan, menjauhkan harapan akan tampilnya legislative atau pemerintahan yang demokratis. Pelanggaran, kecurangan dan perilaku menyimpang yang terjadi telah membunuh nilai-nilai, hakiki atau substansi demokrasi ketitik kritis.
 Demokrasi yang didengung-dengungkan, kenyataannya tak lebih tak kurang hanya sebatas konsep yang indah, pemanis bibir, pengisi wahana atau pidato-pidato para pejabat, elit dan lain-lainnya agar kelihatan atau kedengaran gagah dan merdu meski nyaris tanpa makna. Atau dalam dunia akademik kecenderungannyaa hanya semacam “intellectual atau political exercise” yang bermuara di menara gading. Bukan sebagaimana prinsip demokrasi itu sendiri, yakni “from the people, by the people and for the people”.
 DPR RI, DPRD, DPD Yang demokratis yang mengemban prinsip-prinsip seperti itu plus nilai-nilai-hakikinya seperti “kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan”  semakin jauh panggang dari api. Bagaimana pemerintahan demokratis yang mengemban “aspirasi, kepentingan dan kebutuhan rakyat (volonte generale) lahir dari elit, pejabat atau tokoh yang berlumur pelanggaran, kecurangan dan noda adalah suatu yang mustahil
Pemerintahan demokrtis serta nilai-nilai substantive demokratis sebagaimana digambarkan David Held dan UU Pemilu, UU Partai Politik, sebagai kerangka berpikir pada tulisan ini, pada praksisnya sangat jauh dari harapan. Nilai-nilai yang dikemukakan Held maupun UU Pemilu, UU Partai Politik tersebut seperti  disebutkan sebelumnya, yakni “kesetaraan (egalitarian), kesejahteraan, dan keadilan” semakin tak jelas eksistensinya, apalagi kemaslahatan”  sudah pasti bak pungguk merindukan bulan, atau pasak lebih besar  dari tiang. Semakin lama, semakin tinggi ketimpangannya.
Partai politik yang merupakan instrumen demokrasi dan berkompetisi dalam pemilihan umum, yang diharapkan menjadi dinamisator pemerintahan demokratis tidak berperan sebagaimana mestinya (sebagaimana yang tertulis dalam UU maupun dalam teori-teori kepartaian). Partai sesuai hakikinya (teori/konsep) seharusnya memiliki ideologi yang merupakan “nilai-nilai, cita-cita dan orientasinya” (lihat definisi partai politik). Dan untuk mencapainya setiap partai politik melakukan fungsi, seperti “pendidikan, komunikasi, sosialisasi, agregasi, artikulasi” dan sebagainya. Dalam prakteknya apa yang menjadi ideologi maupun fungsinya ini tidak pernah tampil kepermukaan
Konsekwensi logisnya, masyarakatpun tidak tahu apa yang akan diperankan menghadapi situasi seperti itu. Mereka bingung, bertanya-tanya tak berkesudahan dan akhirnya pasrah dan apatis. Pasrah dan apatis terus menerus dan pada akhirnya melembagakan  suasana yang keliru yang tidak disadarinya. Pelembagaan politik yang tidak sehat  seperti ini yang berjalan selama ini. Punya partai, namun tidak jelas ideologinya. Tidak jelas juga perbedaan antara satu partai  dengan partai lainnya. Mudah-mudahan bukan partai-partaian, atau main-mainan.
 Oleh karena itu partai yang ada di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan barulah sebatas legal formal, normative,  atau kwalitatif. Dibilang “ada tapi tiada, tiada tapi ada”. Ada partai yang disebut-sebut sebagai “nasionalis, sekuler, islami” dan sebagainya. Namun hanya sampai disitu. Hanya disebut-sebut, tidak dipraksiskan dengan kongkrit. Bagaimana atau seperti apa pastinya partai yang disebut-sebut tersebut, yang papan namanya besar-besar, yang kehadirannya kadang-kadang tampak,kadang-kadang raib itu, masyarakat tidak pernah tahu.
Sebagai derivasinya, tidak perlu kaget, ketika kampanye berlangsung yang mengemuka bukan “visi, misi atau program” sebagai penjabaran ideology, sebagaimana layaknya yang digelar pada suatu kampanye. Tidak kelihatan apa “ide, gagasan atau kontrak” yang ditawarkan ke pemilih/konstituen/masyarakat. Bagaimana atau terobosan kongkrit seperti apa yang mereka tawarkan terhadap kebutuhan riil masyarakat tidak pernah mengemuka.
Apa upaya mereka mengurangi “pengangguran,kemiskinan, ketidakadilan” nyaris tidak pernah “rigid, detill” diuraikan. Hanya sekedar slogan-slogan pendek, pidato-pidato retorik, nanverbalism dan euphemism serta baliho-baliho caleg yang genit-genit. Apakah konstituen dapat makan dari slogan dan baliho seperti itu ?. tidakkah mereka makan nasi dan minum air ?
 Kampanye sebagaimana pasar dalam dunia ekonomi adalah wahana transaksi ide, program atau gagasan yang akan dijual kepada konstituen. Bukan sekedar rapat raksasa yang mengerahkan massa, menikmati alunan dangdut, atau hanya memajang spanduk, baliho, dan lain-lain alat peraga yang indah dan photogenic.
Bukan tontonan pembodohan seperti itu yang dipentaskan. Selain tidak menghibur, konstalasi demikian adalah racun bagi kehidupan politik. Sistim politik yang tampil sudah pasti sistim yang tidak sehat alias jauh dari kepentingan masyarakat. Bisa jadi ia akan menampilkan sistim politik yang otoriter atas nama demokrasi, pada hal yang tampil misalnya adalah oligarchi.
Pasca otonomi daerah, 2001, politik oligarchis ini semakin fenomenal, termasuk di Sumsel. Banyak Penguasa daerah saat ini yang terdiri dari hanya kerabat, saudara, klin atau komplotannya sendiri. Istri menjadi ini, anak, menjadi itu, menantu menjadi…dan sebagainya. Masalah oligarchi atau politik dinasti ini biarlah menjadi pembahasan lain. Selanjutnya kembali ke diskursus pemilu pileg Sumsel.
Apakah karena konsekwensi. derivasi atau ada factor lain dari suasana yang tak lazim (un common) tersebut, selanjutnya berimbas pada “sistim sosial atau struktur masyarakat”. Masyarakat akhirnya menikmati “penyimpangan, anomi, atau konstatasi yang tidak sehat itu secara terstruktur, sistemik dan massif. Kalangan ini apakah konsekwensi logis dari pembusukan politik ini atau entah karena factor lain tidak tumbuh menjadi pemilih yang cerdas, yang kritis atau yang mandiri. Mereka terikat kepada patron-patron tertentu yang tidak egaliter, tidak bebas dan tidak demokratis.
Bisa saja itu kepada mereka yang mempunyai duit, seperti yang baru saja terjadi pada pemilu pileg Sumatera Selatan. Mereka katut pada uang dan benda-benda lainnya. Bukan kepada akal sehatnya. Cita-cita civil society yang sejak lama diharapkan menjadi alternative meretas kebuntuan, kenyataanya tidak pernah menampakkan diri. Yang mencuat sebagaimana diuraikan di atas adalah membudayanya money politic, maraknya pelanggaran, kecurangan dan noda-noda lain pada pemilihan legislative. Sampai kapan ini berlangsung ? mungkin sudah waktunya dikaji ulang.
                                                                                                Bumi Sriwijaya, 30 april 2014

DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam, 2000, Dasar_Dasar Ilmu Politik, Gramedia Jakarta
Easton ,David, 1953, Political system, A. Knoff, New York
Hayyik Abdul,2006, Konsolidasi Demokrasi, Friedrich Ebert Naumann Stiftung, Jakarta
Held, David, 2006, Models Of Democracy, Akbar Institute, Jakarta
Lapalombara J & Jeffrey A, 1992, Political Parties, Routledge, New York
Schumpeter j, 1976, Capitalism, Socialism, and Democracy, Knoff, New York
Setyanto W & Halomoan Pulung, 2010, Representasi Kepentingan Rakyat Pada Pemilu Legislatif 2009, Percik, Yogyakarta.
Surbakti, Ramlan dalam Hayyik Abdul.
Undang Undang:
UU No 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik
UU No 15 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pemilu
UU No 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD
Surat Kabar:
Sriwijaya Post tanggal 10 sampai 20 April 2014
Tribun Sumsel tanggal 10 sampai 30 April 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar