DPD, fungsikan atau bubarkan
sekalian...
Oleh :
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar FISIP dan MIP UNITAS Palembang.
Timsel Panwaslu Pilkada
7 Kabupaten Sumsel 2014/2015, staf ahli DPR RI
2000-2009
Beberapa bulan yang lalu, tepatnya tanggal 16 Maret
dan 11 April 2016, rapat paripurna DPD diwarnai kericuhan yang akhirnya
mengalami dead lock. Mereka mempersoalkan masalah yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan tugas utamanya sebagai lembaga legislatif (?). Adapun sumber
friksinya adalah karena sebagian anggotanya (60 orang) ngotot agar masa jabatan
pimpinan DPD hanya 2,5 tahun saja. Yang lain berpendapat sebaliknya, yakni tetap
lima tahun.
Pada rapat tanggal 16 Maret, meski suasananya panas,
masih tetap terkendali. Artinya meski perdebatannya super sengit masih dalam
batas-batas toleransi yang dibenarkan dalam suatu forum politik. Namun pada
tanggal 11 April, suasananya tidak lagi terkendali. Rapat menjadi liar, buas
dan vandalis.
Berawal ketika rapat dibuka Irman Gusman sebagai ketua
ketua DPD dan A. Farouk sebagai wakil ketua, sebagian anggota tidak menerima kepemimpinannya.
Secara refleks yang tidak setuju maju ke
depan forum untuk menghentikannya.
Suasana menjadi hiruk pikuk, hingar bingar hingga kheos, karena
seorang anggota dengan beringas keluar dari kursinya (mungkin) hendak memukul
pimpinan sidang, namun dilerai oleh kawan-kawannya. Sidang kemudian dilanjutkan,
yakni dengan menggantinya dengan wakil ketua yang lain, yakni GKR Hemas.
Akan tetapi meskipun pimpinan sidang diganti, suasana
tidak lagi kondusif. Mereka yang bertikai larut mempertahankan pendiriannya masing-masing, yang
saling kontradiktif, dan tak mungkin lagi dipertemukan saat itu.
Demikianlah suasana
DPD sebelum terciduknya Irman Gusman oleh KPK hari Sabtu, 16 sept kemaren. Suasana
yang penuh ketidak pastian dan sangat mencekam. Lalu bagaimana masa depan
lembaga ini selanjutnya ? Akankah menjalankan eksistensinya lebih baik dari ?
Yang pasti
sejak kelahirannya melalui amandemen UUD 1945 tahun 2002 hingga hari ini posisinya tidak jelas. Lembaga legislatif,
namun meminjam Gabriel Almond (1995)
tidak membuat Undang-Undang (UU), legal tapi irrasional ( Max Weber), atau meminjam ilmu gaib “ada tapi tiada”.
Mungkin itulah realitanya sejak ikut pemilu tahun 2004.
Lembaga Disfungsional
Masalahnya hingga penangkapan Irman Gusman ini, DPD tidak
punya kekuatan eksekusi sebagaimana yang dimiliki saudaranya tuanya, DPR. DPR
bersama Pemerintah/Kabinet adalah penentu pembentukan keputusan-keputusan
politik melalui pembahasan UU. Sebaliknya DPD sebagaimana tugas
konstitusionalnya yang dimanatkan pada UUD 1945 hanya sebatas memberikan saran.
Tidak ikut mengeksekusi.
Pada sidang pembukaan pembahasan Undang-Undang (UU),
pembahasan masalah-masalah otonomi daerah dan masalah-masalah lainnya perannya
hanya sekedar memberikan pertimbangan . Pada sidang-sidang pendalaman selanjutnya,
seperti sidang panja, pansus dan sejenisnya sampai eksekusi DPD tidak diikutkan
(meski oleh keputusan MK, DPD sudah boleh ikut).
Artinya secara politik DPD tidak punya kekuasaan
(power), pada hal lembaganya, lembaga politik. Mirip peran Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) dahulu, hanya memberi
pertimbangan. Namanya pertimbangan , dapat di dengar, dapat juga diabaikan.
Lazimnya dalam praktek lebih banyak diabaikan.
Bedanya
dengan DPA adalah , bahwa DPA keanggotannya diangkat Presiden, sebaliknya DPD
dipilih secara demokratis melalui pemilihan langsung sebagaimana DPR, Presiden,
Gubernur, Bupati atau Walikota. Suatu yang sangat strategis sesungguhnya.
Dan beda yang lain, namun sangat significan adalah
kalau DPA, merupakan lembaga tersendiri,
DPD adalah kamar kedua parlemen (MPR), disamping kamar pertama (DPR). Sebagai
kamar kedua, sebagaimana kamar pertama seharusnya harus difungsikan. Yakni sama-sama
dihuni agar rumahnya yang bernama MPR
menjadi sehat, asri, dan dinamis. Konsep gaulnya sering disebut dengan “bicameral”,
sebagai antitese dari “unicameral” (satu kamar) nan statis yang diterapkan pada
era Orde Baru.
Realitanya hanya kamar pertama yang dihuni, kamar kedua dibiarkan
kosong melompong. Mirip rumah hantu yang misterius, sebab ada satu ruangan yang
dikunci rapat-rapat meski ada penghuninya.
Mengapa seperti itu ?, Apakah kamar
tersebut banyak jinnya ? Atau memang sengaja dijadikan tempat pertapaan ? tidak begitu jelas. Yang pasti kamar itu tetap
kosong
Kosong sebagai konsekwensi logis dari dosa yang
disengaja atau hukum karma dari amandemen UUD 1945 yang amburadul. DPD yang
seharusnya menjadi penguat dan penyeimbang DPR direduksi sedemikian rupa sehinga
perannya dimarjinalkan.
Sejak terbentuk tahun 2004 hingga hari ini tidak ada
perannya yang langsung menyentuh kehidupan rakyat, sebab tidak turut dalam
pembahasan (meski sudah diizinkan MK) hingga eksekusi Undang-Undang, sementara
hak, seperti gaji dan fasilitas lainnya sama dengan anggota DPR .
Belum lagi kenikmatan-kenikmatan materi lain yang
menggiurkan. Berapa besar kerugian uang negara olehnya ? tidakkah lebih baik
digunakan kepada yang lebih membutuhkan?, tidakkah untuk sementara hentikan saja
pendapatannya mengingat keuangan negara yang sangat kritis?, mengapa
biaya-biaya operasional di tempat lain, seperti biaya perjalanan dinas, uang
rapat, dan anggaran gedung lain dipotong, tapi pendapatan DPD yang tak
fungsional dijalankan terus ?
Fungsikan atau bubarkan
Ironis dengan sengaja memelihara kekeliruan. Sudah terang
benderang tak berfungsi tapi tidak ada ikhtiar memperbaiki, malah sebaliknya dibiarkan
seakan-akan tidak ada masalah. Aneh bin ajaib, menjalankan yang benar saja
belum tentu berhasil. Apalagi memelihara kekeliruan secara berjamaah (meminjam
Amin Rais). Mengapa bisa?
Mungkin inilah yang disebut politik tingkat tinggi
(high politics). Warisan konflik yang tak tuntas sejak proklamasi hingga hari
ini, yakni konflik ideologis antara pendukung negara federal dengan negara
kesatuan.
Yang pro
federal, adalah kekutan yang menginginkan bentuk negara federal, dimana salah
satu cirinya adalah, selain ada yang mewakili rakyat, yakni DPR, juga/terutama adalah yang mewakili wilayah,
yang disebut Senat. Model utamanya adalah sistim pemerintahan Amerika Serikat. Selain ada Dewan Perwakilan Rakyat yang
namanya “House of Representatif”, juga ada “Senat”
Apakah terinspirasi model demikian, maka dalam
amandemen UUD 1945 yang berlangsung
sejak tahun 1999-2002, muncullah senat ala Indonesia, yang namanya DPD. Akan
tetapi, mengapa kemudian fungsinya tidak sama dengan di AS atau negara-negara
lain penganut sistim dua kamar, anggota MPR pecah dua. Terutama antara kubu
reformis, yang dimotori PAN/Amin Rais dengan kubu PDIP yang tidak setuju dengan
lembaga demikian.
Sebagai jalan tengah atau kompromi disetujuilah DPD,
namun dengan fungsi yang dimarjinalkan, sebagaimana kita saksikan saat ini.
Struktural tapi tidak fungsional, legal
tapi irrasional, dan ada tapi tiada, alias rumah hantu. Namanya hantu sudah
pasti akan merusak. Hendak dilestarikan ?
Oleh karena itu supaya negara, bangsa dan
masyarakat tidak terus-terusan tertawan
irrasionalitas atau kegilaan, sudah waktunya eksistensi DPD dituntaskan. Kalau
memang masih dibutuhkan segera difungsikan, sebagaimana yang berlangsung
dinegara-negara yang menganut bicameral. Kalau tidak segera bubarkan, seperti yang pernah diutarakan
Ketua DPD pertama, Ginanjar Kartasasmita, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla waktu
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar