Rabu, 21 September 2016

DPD; FUNGSIKAAN ATAU BUBARKAN SEKALIAN



 DPD, fungsikan atau bubarkan sekalian...
Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP dan MIP UNITAS  Palembang. Timsel Panwaslu Pilkada
 7 Kabupaten Sumsel 2014/2015, staf ahli DPR RI 2000-2009

Beberapa bulan yang lalu, tepatnya tanggal 16 Maret dan 11 April 2016, rapat paripurna DPD diwarnai kericuhan yang akhirnya mengalami dead lock. Mereka mempersoalkan masalah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan tugas utamanya sebagai lembaga legislatif (?). Adapun sumber friksinya adalah karena sebagian anggotanya (60 orang) ngotot agar masa jabatan pimpinan DPD hanya 2,5 tahun saja. Yang lain berpendapat sebaliknya, yakni tetap lima tahun.
Pada rapat tanggal 16 Maret, meski suasananya panas, masih tetap terkendali. Artinya meski  perdebatannya super sengit masih dalam batas-batas toleransi yang dibenarkan dalam suatu forum politik. Namun pada tanggal 11 April, suasananya tidak lagi terkendali. Rapat menjadi liar, buas dan vandalis.
Berawal ketika rapat dibuka Irman Gusman sebagai ketua ketua DPD dan A. Farouk sebagai wakil ketua, sebagian anggota tidak menerima kepemimpinannya. Secara refleks yang tidak setuju  maju ke depan forum untuk menghentikannya.
Suasana menjadi  hiruk pikuk, hingar bingar hingga kheos, karena seorang anggota dengan beringas keluar dari kursinya (mungkin) hendak memukul pimpinan sidang, namun dilerai oleh kawan-kawannya. Sidang kemudian dilanjutkan, yakni dengan menggantinya dengan wakil ketua yang lain, yakni GKR Hemas.
Akan tetapi meskipun pimpinan sidang diganti, suasana tidak lagi kondusif. Mereka yang bertikai larut  mempertahankan pendiriannya masing-masing, yang saling kontradiktif, dan tak mungkin lagi dipertemukan saat itu.
 Demikianlah suasana DPD sebelum terciduknya Irman Gusman oleh KPK hari Sabtu, 16 sept kemaren. Suasana yang penuh ketidak pastian dan sangat mencekam. Lalu bagaimana masa depan lembaga ini selanjutnya ? Akankah menjalankan eksistensinya lebih baik dari ?
 Yang pasti sejak kelahirannya melalui amandemen UUD 1945 tahun 2002 hingga hari ini  posisinya tidak jelas. Lembaga legislatif, namun  meminjam Gabriel Almond (1995) tidak membuat Undang-Undang (UU), legal tapi irrasional ( Max Weber),  atau meminjam ilmu gaib “ada tapi tiada”. Mungkin  itulah realitanya sejak  ikut pemilu tahun 2004.
Lembaga Disfungsional
Masalahnya  hingga penangkapan Irman Gusman ini, DPD tidak punya kekuatan eksekusi sebagaimana yang dimiliki saudaranya tuanya, DPR. DPR bersama Pemerintah/Kabinet adalah penentu pembentukan keputusan-keputusan politik melalui pembahasan UU. Sebaliknya DPD sebagaimana tugas konstitusionalnya yang dimanatkan pada UUD 1945 hanya sebatas memberikan saran. Tidak ikut mengeksekusi.
Pada   sidang pembukaan pembahasan Undang-Undang (UU), pembahasan masalah-masalah otonomi daerah dan masalah-masalah lainnya perannya hanya sekedar memberikan pertimbangan . Pada sidang-sidang pendalaman selanjutnya, seperti sidang panja, pansus dan sejenisnya sampai eksekusi DPD tidak diikutkan (meski oleh keputusan MK, DPD sudah boleh ikut).
Artinya secara politik DPD tidak punya kekuasaan (power), pada hal lembaganya, lembaga politik. Mirip peran Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dahulu,  hanya memberi pertimbangan. Namanya pertimbangan , dapat di dengar, dapat juga diabaikan. Lazimnya dalam praktek lebih banyak diabaikan.
            Bedanya dengan DPA adalah , bahwa DPA keanggotannya diangkat Presiden, sebaliknya DPD dipilih secara demokratis melalui pemilihan langsung sebagaimana DPR, Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota. Suatu yang sangat strategis sesungguhnya.
Dan beda yang lain, namun sangat significan adalah kalau DPA, merupakan  lembaga tersendiri, DPD adalah kamar kedua parlemen (MPR), disamping kamar pertama (DPR). Sebagai kamar kedua, sebagaimana kamar pertama seharusnya harus difungsikan. Yakni sama-sama dihuni  agar rumahnya yang bernama MPR menjadi sehat, asri, dan dinamis. Konsep gaulnya sering disebut dengan “bicameral”, sebagai antitese dari “unicameral” (satu kamar) nan statis yang diterapkan pada era Orde Baru.
Realitanya  hanya kamar pertama yang dihuni, kamar kedua dibiarkan kosong melompong. Mirip rumah hantu yang misterius, sebab ada satu ruangan yang dikunci rapat-rapat meski ada penghuninya.  Mengapa  seperti itu ?, Apakah kamar tersebut banyak jinnya ? Atau memang sengaja dijadikan tempat pertapaan ?  tidak begitu jelas. Yang pasti kamar itu tetap kosong
Kosong sebagai konsekwensi logis dari dosa yang disengaja atau hukum karma dari  amandemen UUD 1945 yang amburadul. DPD yang seharusnya menjadi penguat dan penyeimbang DPR direduksi sedemikian rupa sehinga perannya dimarjinalkan.
Sejak terbentuk tahun 2004 hingga hari ini tidak ada perannya yang langsung menyentuh kehidupan rakyat, sebab tidak turut dalam pembahasan (meski sudah diizinkan MK) hingga eksekusi Undang-Undang, sementara hak, seperti gaji dan fasilitas lainnya sama dengan anggota DPR .
Belum lagi kenikmatan-kenikmatan materi lain yang menggiurkan. Berapa besar kerugian uang negara olehnya ? tidakkah lebih baik digunakan kepada yang lebih membutuhkan?, tidakkah untuk sementara hentikan saja pendapatannya mengingat keuangan negara yang sangat kritis?, mengapa biaya-biaya operasional di tempat lain, seperti biaya perjalanan dinas, uang rapat, dan anggaran gedung lain dipotong, tapi pendapatan DPD yang tak fungsional dijalankan terus ?
Fungsikan atau bubarkan
Ironis dengan sengaja memelihara kekeliruan. Sudah terang benderang tak berfungsi tapi tidak ada ikhtiar memperbaiki, malah sebaliknya dibiarkan seakan-akan tidak ada masalah. Aneh bin ajaib, menjalankan yang benar saja belum tentu berhasil. Apalagi memelihara kekeliruan secara berjamaah (meminjam Amin Rais). Mengapa bisa?
Mungkin inilah yang disebut politik tingkat tinggi (high politics). Warisan konflik yang tak tuntas sejak proklamasi hingga hari ini, yakni konflik ideologis antara pendukung negara federal dengan negara kesatuan.
 Yang pro federal, adalah kekutan yang menginginkan bentuk negara federal, dimana salah satu cirinya adalah, selain ada yang mewakili rakyat, yakni  DPR, juga/terutama adalah yang mewakili wilayah, yang disebut Senat. Model utamanya adalah sistim pemerintahan Amerika Serikat.  Selain ada Dewan Perwakilan Rakyat yang namanya “House of Representatif”, juga ada “Senat”
Apakah terinspirasi model demikian, maka dalam amandemen UUD 1945 yang  berlangsung sejak tahun 1999-2002, muncullah senat ala Indonesia, yang namanya DPD. Akan tetapi, mengapa kemudian fungsinya tidak sama dengan di AS atau negara-negara lain penganut sistim dua kamar, anggota MPR pecah dua. Terutama antara kubu reformis, yang dimotori PAN/Amin Rais dengan kubu PDIP yang tidak setuju dengan lembaga demikian.
Sebagai jalan tengah atau kompromi disetujuilah DPD, namun dengan fungsi yang dimarjinalkan, sebagaimana kita saksikan saat ini. Struktural tapi tidak fungsional,  legal tapi irrasional, dan ada tapi tiada, alias rumah hantu. Namanya hantu sudah pasti akan merusak. Hendak dilestarikan ?    
Oleh karena itu supaya negara, bangsa dan masyarakat  tidak terus-terusan tertawan irrasionalitas atau kegilaan, sudah waktunya eksistensi DPD dituntaskan. Kalau memang masih dibutuhkan segera difungsikan, sebagaimana yang berlangsung dinegara-negara yang menganut bicameral. Kalau tidak segera  bubarkan, seperti yang pernah diutarakan Ketua DPD pertama, Ginanjar Kartasasmita, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla waktu itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar