Minggu, 04 September 2016

RAIBNYA IDEOLOGI DAN MELESATNYA PRAGMATISME




Menyongsong Pilkada Serentak 9 Desember 2015
ABSENNYA IDEOLOGI DAN MELESATNYA PRAGMATISME
Oleh; Reinhard Hutapea
  Timsel pemilihan Panwaslu Pilkada 9 Kabupaten Sumatera Selatan
Sejak ditempuhnya pemilihan langsung dengan rumus “one man one vote and one value (OPOVOV) alias satu orang satu suara dan satu nilai memilih pemimpin-pemimpin politik, seperti Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota muncullah fenomena baru yang belum terpikirkan sebelumnya.
Salah satu adalah maraknya intensitas penyelenggaraan pemilu. Setiap hari terjadi pemilu, karena jumlah daerah tingkat dua saja sudah mencapai 545 kabupaten/kota plus 34 provinsi. Tidak perlu heran kalau setiap hari ada pemilu yang selanjutnya tidak saja menegakkan demokrasi namun juga adalah ekses negatifnya. Setiap hari seakan-akan kerja pemerintah hanya mengurusi pemilu. Bagaimana kerja-kerja lain?
Jelas tidak efektif dan membosankan. Yang lebih trenyuh lagi adalah  hasilnya jauh dari harapan. Pemerintahan baru yang terbentuk tidak begitu beda, kalau bukan lebih jelek dari pemerintahan sebelumnya yang dipilih tidak langsung (melalui DPRD). Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, 70 persen kepala daerah terindikasi korupsi. Mengapa membias? Berharap kemajuan yang tampil sebaliknya.
Sebagai alternatifnya muncullah pemikiran baru, yakni  agar efisien dan efektif diputuskanlah agar pelaksanaannya dilakukan serentak, yakni melalui UU No 8 tahun 2015. Dengan serentak diharapkan akan menghasilkan out put yang lebih baik.
Ketidakcakapan dan kesengajaan
Realitanya  keinginan itu jauh dari harapan. Selain masalah substantif yang laten tambah lagi masalah baru yakni masalahteknis  yang belum terpikirkan sebelumnya. Dengan niat mengurangi biaya pelaksanaan yang cukup besar faktanya malah sebaliknya. Biaya membengkak di luar dugaan .Biaya-biaya yang sebelumnya tidak teradopsi dalam pilkada-pilkada yang lalu melesat dalam pilkada serentak ini.
 Biaya-biaya demikian terutama adalah “anggaran kampanye”. Kalau pada pemilihan-pemilihan sebelumnya ditanggung oleh calon dan partai pengusungnya, kali ini ditanggung oleh pemerintah. Pembengkakan anggaran terutama adalah “alat-alat peraga dan iklan kampanye serta  keperluan-keperluan operasional” lainnya.
Selain melesatnya anggaran baru demikian, yang membuat pembengkakan semakin besar  adalah perhitungan yang kurang cermat dari “pelaksana pemilu”, yakni KPU/KPUD. Institusi ini (KPU/KPUD) disinyalir menyusun anggaran yang jauh dari layak sebagaimana ditunjukkan hasil pemeriksaan BPK.
 BPK menemukan biaya-biaya yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Barang-barang yang seharusnya X Rp di naikkan menjadi lebih dari X Rp tersebut. Begitu pula pos-pos yang sebenarnya tidak perlu direkayasa supaya ada. Apakah  salah hitung atau disengaja  menjadi pertanyaan besar.
Salah hitung mungkin saja terjadi karena ketidak cakapan KPU/KPUD menyusun anggaran. Sebagaimana faktanya sosok-sosok komisioner KPU/KPUD yang terdiri dari beragam profesi belum tentu menguasai teknis-teknis kepemiluan. Seorang sarjana agama, kimia, pertanian dan lain-lain yang bukan disiplin ilmu politik akan cenderung meraba-raba, bahkan tergagap-gagap akan detil-detil kepemiluan. Lain hal ilmuwan politik yang dalam mata kuliah/kurikulumnya telah diajarkan kepemiluan secara sistematis.
 Akan tetapi di atas itu semua yang paling menentukan (determinan kesengajaan) adalah masalah “niat alias komitmen”. Adakah komitmen mereka kepada pengabdian yang tulus, yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi? Tidakkah ada maksud-maksud terselubung, seperti memperkaya pribadi dan vested-vested interest lainnya? Inilah yang perlu dikaji lebih lanjut.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa seluruh institusi-institusi formal dinegeri ini  semua terjerat korupsi. Tidakkah Transparansi International telah memasukkan birokrasi kita sebagai salah satu birokrasi terkorup di dunia?. Jadi, meskipun para penyelenggara memahami teknis-teknis kepemiluan secara profesional, jika niatnya sudah tidak tulus, seperti memperkaya diri-pribadi, sudah pasti akan menggelembungkan anggaran.
Kong kali kong antara komisioner/anggota penyelenggara dengan aparat birokrasi yang selama ini sudah terkenal korup, memuluskan penggelembungan biaya itu
Mencuatnya Pragmatisme
Akan semakin mulus mengingat akar masalah yang tak pernah dituntaskan, yakni tidak jelasnya tujuan atau ideologi pemilu dan khususnya ideologi partai-partai politik. Apa yang menjadi  orientasi, cita-cita dan tata nilai yang akan diperjuangkan masing-masing partai politik tidak pernah jelas.
 Secara umum sudah sering didengungkan bahwa Pancasila adalah ideologi negara yang harus dipraksiskan. Namun seperti apa kongkritnya Pancasila itu dipraktekkan oleh masing-masing partai sesuai kekhususannya belum pernah kita lihat atau rasakan secara nyata. Yang muncul adalah konsep-konsep yang cenderung verbal, euphemism dan retoris.
Slogan-slogan seperti akan melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, masyarakat yang adil dan makmur, atau yang tertulis dalam alinea ke 4 pembukaan UUD 1945....melindungi segenap warga negara, mensejahterakan dan mencerdaskan, telah berkumandang sejak negeri ini merdeka. Termasuk dalam setiap kampanye pilkada, sinyalemen itu tetap nyaring.
 Namun sebagaimana realitanya, semakin sering cita-cita akbar tersebut didengungkan semakin besar antitesanya, yakni pengangguran, kemiskinan dan ketidakadilan terus tereskalasi. Bagaimana tidak seperti apa metode kongkrit mereka mengimplementasikan orientasi yang normatif itu menjadi kongkrit tidak pernah hadir.
Begitu pula partai-partai politik yang mengusung calon-calonnya, dalam pilkada 9 Desember ini, tidak jelas apa ideologinya. Apa platform perjuangan yang diusung partai X yang menjagokan Y, partai R yang mengusung S, partai D yang mendesakkan E tidak pernah tertulis dalam satu naskah yang sistemik. Akan semakin tidak jelas apabila calon itu diusung oleh beberapa partai.
Apalagi partai yang ditengarai saling kontradiktif, namun dalam pilkada mengusung satu pasangan calon yang sama, seperti apa jadinya warna ideologinya. Partai R yang warnanya hitam, S yang hijau, dan T yang merah, akan memperjuangkan warna yang mana?, warna campuran bak pelangi?.
 Tak mungkin pelangi. Bagaimana minyak dicampur dengan air, apa bisa bersatu? Golkar yang jumbo pragmatis, PPP, PKS yang super Islami, PDIP yang condong rakyat kecil, PAN yang reformis etc-etc,  tidak mungkin/mustahil bisa bekerjasama. Kerjasama seperti apa? Kerjasama pura-pura?. Yang pasti kerjasama untuk kepentingan sesaat, sempit alias pragmatis, seperti “jabatan, takhta dan atau khususnya uang”. Hanya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar