Menyongsong Pilkada Serentak 9 Desember 2015
ABSENNYA IDEOLOGI DAN MELESATNYA PRAGMATISME
Oleh; Reinhard Hutapea
Timsel pemilihan Panwaslu Pilkada 9 Kabupaten
Sumatera Selatan
Sejak
ditempuhnya pemilihan langsung dengan rumus “one man one vote and one value
(OPOVOV) alias satu orang satu suara dan satu nilai memilih pemimpin-pemimpin
politik, seperti Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota muncullah fenomena baru
yang belum terpikirkan sebelumnya.
Salah satu
adalah maraknya intensitas penyelenggaraan pemilu. Setiap hari terjadi pemilu,
karena jumlah daerah tingkat dua saja sudah mencapai 545 kabupaten/kota plus 34
provinsi. Tidak perlu heran kalau setiap hari ada pemilu yang selanjutnya tidak
saja menegakkan demokrasi namun juga adalah ekses negatifnya. Setiap hari
seakan-akan kerja pemerintah hanya mengurusi pemilu. Bagaimana kerja-kerja
lain?
Jelas tidak
efektif dan membosankan. Yang lebih trenyuh lagi adalah hasilnya jauh dari harapan. Pemerintahan baru
yang terbentuk tidak begitu beda, kalau bukan lebih jelek dari pemerintahan
sebelumnya yang dipilih tidak langsung (melalui DPRD). Menurut catatan
Kementerian Dalam Negeri, 70 persen kepala daerah terindikasi korupsi. Mengapa
membias? Berharap kemajuan yang tampil sebaliknya.
Sebagai
alternatifnya muncullah pemikiran baru, yakni agar efisien dan efektif diputuskanlah agar pelaksanaannya
dilakukan serentak, yakni melalui UU No 8 tahun 2015. Dengan serentak
diharapkan akan menghasilkan out put yang lebih baik.
Ketidakcakapan
dan kesengajaan
Realitanya keinginan itu jauh dari harapan. Selain
masalah substantif yang laten tambah lagi masalah baru yakni masalahteknis yang belum terpikirkan sebelumnya. Dengan niat
mengurangi biaya pelaksanaan yang cukup besar faktanya malah sebaliknya. Biaya
membengkak di luar dugaan .Biaya-biaya yang sebelumnya tidak teradopsi dalam
pilkada-pilkada yang lalu melesat dalam pilkada serentak ini.
Biaya-biaya demikian terutama adalah “anggaran
kampanye”. Kalau pada pemilihan-pemilihan sebelumnya ditanggung oleh calon dan
partai pengusungnya, kali ini ditanggung oleh pemerintah. Pembengkakan anggaran
terutama adalah “alat-alat peraga dan iklan kampanye serta keperluan-keperluan operasional” lainnya.
Selain melesatnya
anggaran baru demikian, yang membuat pembengkakan semakin besar adalah perhitungan yang kurang cermat dari “pelaksana
pemilu”, yakni KPU/KPUD. Institusi ini (KPU/KPUD) disinyalir menyusun anggaran
yang jauh dari layak sebagaimana ditunjukkan hasil pemeriksaan BPK.
BPK menemukan biaya-biaya yang tidak sesuai
dengan peruntukannya. Barang-barang yang seharusnya X Rp di naikkan menjadi
lebih dari X Rp tersebut. Begitu pula pos-pos yang sebenarnya tidak perlu
direkayasa supaya ada. Apakah salah
hitung atau disengaja menjadi pertanyaan
besar.
Salah hitung
mungkin saja terjadi karena ketidak cakapan KPU/KPUD menyusun anggaran.
Sebagaimana faktanya sosok-sosok komisioner KPU/KPUD yang terdiri dari beragam
profesi belum tentu menguasai teknis-teknis kepemiluan. Seorang sarjana agama,
kimia, pertanian dan lain-lain yang bukan disiplin ilmu politik akan cenderung
meraba-raba, bahkan tergagap-gagap akan detil-detil kepemiluan. Lain hal
ilmuwan politik yang dalam mata kuliah/kurikulumnya telah diajarkan kepemiluan
secara sistematis.
Akan tetapi di atas itu semua yang paling
menentukan (determinan kesengajaan) adalah masalah “niat alias komitmen”.
Adakah komitmen mereka kepada pengabdian yang tulus, yang lebih mengutamakan
kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi? Tidakkah ada maksud-maksud
terselubung, seperti memperkaya pribadi dan vested-vested interest lainnya?
Inilah yang perlu dikaji lebih lanjut.
Sudah menjadi
rahasia umum bahwa seluruh institusi-institusi formal dinegeri ini semua terjerat korupsi. Tidakkah Transparansi
International telah memasukkan birokrasi kita sebagai salah satu birokrasi
terkorup di dunia?. Jadi, meskipun para penyelenggara memahami teknis-teknis
kepemiluan secara profesional, jika niatnya sudah tidak tulus, seperti
memperkaya diri-pribadi, sudah pasti akan menggelembungkan anggaran.
Kong kali kong
antara komisioner/anggota penyelenggara dengan aparat birokrasi yang selama ini
sudah terkenal korup, memuluskan penggelembungan biaya itu
Mencuatnya
Pragmatisme
Akan semakin
mulus mengingat akar masalah yang tak
pernah dituntaskan, yakni tidak jelasnya tujuan atau ideologi pemilu dan
khususnya ideologi partai-partai politik. Apa yang menjadi orientasi, cita-cita dan tata nilai yang akan diperjuangkan
masing-masing partai politik tidak pernah jelas.
Secara umum sudah sering didengungkan bahwa
Pancasila adalah ideologi negara yang harus dipraksiskan. Namun seperti apa kongkritnya
Pancasila itu dipraktekkan oleh masing-masing
partai sesuai kekhususannya belum pernah kita lihat atau rasakan secara nyata.
Yang muncul adalah konsep-konsep yang cenderung verbal, euphemism dan retoris.
Slogan-slogan
seperti akan melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen,
masyarakat yang adil dan makmur, atau yang tertulis dalam alinea ke 4 pembukaan
UUD 1945....melindungi segenap warga
negara, mensejahterakan dan mencerdaskan, telah berkumandang sejak negeri
ini merdeka. Termasuk dalam setiap kampanye pilkada, sinyalemen itu tetap
nyaring.
Namun sebagaimana realitanya, semakin sering cita-cita
akbar tersebut didengungkan semakin besar antitesanya, yakni pengangguran,
kemiskinan dan ketidakadilan terus tereskalasi. Bagaimana tidak seperti apa
metode kongkrit mereka mengimplementasikan orientasi yang normatif itu menjadi
kongkrit tidak pernah hadir.
Begitu pula
partai-partai politik yang mengusung calon-calonnya, dalam pilkada 9 Desember
ini, tidak jelas apa ideologinya. Apa platform perjuangan yang diusung partai X
yang menjagokan Y, partai R yang mengusung S, partai D yang mendesakkan E tidak
pernah tertulis dalam satu naskah yang sistemik. Akan semakin tidak jelas
apabila calon itu diusung oleh beberapa partai.
Apalagi partai yang
ditengarai saling kontradiktif, namun dalam pilkada mengusung satu pasangan calon
yang sama, seperti apa jadinya warna ideologinya. Partai R yang warnanya hitam,
S yang hijau, dan T yang merah, akan memperjuangkan warna yang mana?, warna campuran
bak pelangi?.
Tak mungkin pelangi. Bagaimana minyak dicampur
dengan air, apa bisa bersatu? Golkar yang jumbo pragmatis, PPP, PKS yang super
Islami, PDIP yang condong rakyat kecil, PAN yang reformis etc-etc, tidak mungkin/mustahil bisa bekerjasama. Kerjasama
seperti apa? Kerjasama pura-pura?. Yang pasti kerjasama untuk kepentingan
sesaat, sempit alias pragmatis, seperti “jabatan, takhta dan atau khususnya
uang”. Hanya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar