PROGRAM
EKONOMI PARPOL;
MAKAN BALIHO DAN MINUM SLOGAN ?
Oleh:
Reinhard Hutapea,
Penulis buku; Implikasi Utang Luar Negeri Bagi
Pembangunan Nasional:
Pemutihan Bagi Indonesia.
Ahmad Erani Yustika (kompas, 18 Maret 2013) galau
melihat partai politik tidak mempunyai konsep ekonomi secara utuh. Kalaupun ada
hanya samar-samar dan terkesan sekedar sloganistik. Konon itu fenomenologis
karena preferensi pemilih hanya pada sosok (figure), uang dan primordialisme. Pernyataan
yang sama pernah dikeluhkan M.Chatib Basri beberapa
tahun sebelumnya masih di harian yang sama. Mengapa mereka mempermasalahkan masalah yang sudah dipahami? Bukankah struktur
ekonomi yang terlembaga saat ini membuat partai politik tidak punya gagasan
ekonomi?
Tampilnya Momentum Baru
Thee Kian Wie (1980) dalam beberapa buku dan
tulisan-tulisannya menyatakan, bahwa sekali kebijakan ditempuh, khususnya kebijakan
ekonomi, akan melahirkan momentum-momentumnya sendiri. Momentum , yang apabila
suatu saat disadari keliru, akan sangat
sukar mengembalikannya ketempat semula
Momentum yang dalam perjalanannya tidak sekedar ekonomik,
apalagi sekedar pertumbuhan . Jauh di atas itu akan menyeruak ke aspek-aspek
lain seperti politik, sosial dan budaya, meski ekonomi menjadi lokomotifnya.
Dengan saling berproses,atau berkelindan
akan mencuatkan momentum baru ,yang beda dengan momentum sebelumnya
Saya tak paham betul, pendekatan apa yang diterapkan
Thee kian Wie terhadap sinyalemen demikian . Apakah pendekatan ekonomi an sich,
politik, gabungannya (ekonomi-politik) atau persfektif yang lain, tidak begitu jelas. Yang
pasti beliau dikenal sebagai ekonom handal yang pendapatnya banyak di dengar.
Akan
tetapi apabila sinyalemen tersebut dihubungkan dengan persfektif lain,
khususnya dengan kata, istilah atau frasa “kebijakan”, sudah pasti tidak
sekedar pendapat seorang ekonom, meski keputusannya ekonomik. Mungkin la lebih dekat
dengan pendekatan politik, sebab dalam persfektif ilmu politik/administrasi negara,
kebijakan dipelajari sangat intens.
Terlepas dari pendekatan apa yang digunakan, kiranya
tidak begitu penting dipertentangkan. Biarlah itu urusan para teoritisi
dikampus atau di laboratorium. Yang jelas
Thee Kian Wie menyatakan sinyalemen
tersebut bukan tanpa dasar, alias
asal-asalan. Dasarnya adalah pengalaman
sejarah perekonomian yang berhubungan dengan aspek-aspek diluarnya.
Dari
sejarah terlihat bahwa kebijakan-kebijakan penting yang diputuskan suatu rezim,
selalu melahirkan struktur, sistem atau tatanan
sendiri. Tatanan nan mirip air yang selalu menciptakan arusnya sendiri. Arus yang mengalir dari tempat yang tinggi ketempat yang
rendah sebagaimana kodratnya.
Aliran demikian mencuat ketika Soeharto membuka kran
lebar-lebar kepada modal asing (open door policy). Dengan pengendalian yang sentralistik
dan berlebih-lebihan (Mahbub Ul Haq, 1974) tampillah arus baru yang sama sekali
bertolak belakang dengan arus ekonomi (politik) sebelumnya.
Aliran
yang sebelumnya berhulu di negara (BUMN/BUMD/Bumdes dan koperasi), berubah arah
menjadi berhulu di swasta, namun tidak begitu jelas, alias malu-malu. Yoon Hwan
Shin (1987) menyebutnya sebagai “capitalist in formation”, sedang Yoshihara
Kunio (1980) sebelumnya mencapnya sebagai “ersatz capitalism”
Namun apapun konsepnya, biarlah itu menjadi pembahasan
sekaligus kegenitan intelektul di menara gading. Urusan artikel ini adalah bahwa arus tersebut sudah
mengalir, dan setelah mengalir ditengarai ternyata tidak jernih. Terkesan
jorok, polutif, hingga beracun.
Akan tetapi karena sudah mengalir dan arusnya sangat
deras, sudah sukar dibendung, apalagi
dikembalikan ke aliran semula. Paling-paling yang bisa dilakukan tinggal mengurut
dada sambil menggerutu “nasi sudah jadi bubur”. Inilah momentum yang ditengarai
Thee Kian Wie dengan konsep kebijakan (policy), yang melahirkan
aliran-alirannya sendiri. Aliran yang
apabila suatu waktu diketahui keliru sudah sukar dikembalikan ke asalnya
semula.
Asal tinggal asal, tinggal sejarah, bahkan tidak
tertutup kemungkinan menjadi prasasti/monumen yang diatasnya tertulis...”dulu
bersemayam disini ekonomi kekeluargaan, penguasaan negara, dan kemakmuran
rakyat”...pasal 33 UUD 1945
Konstitusi Baru Ekonomi
Meminjam teori sistim, momentum demikian telah sistemik, yakni “terstruktur dan
fungsional” secara mekanistis. Secara
regular atau melembaga, ia akan dinamis
(langgeng) berproses menyelesaikan sendiri kendala yang dihadapinya .
Kendala-kendala
bercokol, seperti masih diterapkannya
metode Keynesian selama Soeharto berkuasa, diterjang tuntas medio 1997-an.
Dengan dalih krisis moneter, atau ada konspirasi lain, the smiling general
dipaksa IMF bertekuk lutut dan menandatangani lima puluh Letter Of Intent (50
LOI) yang sudah dipersiapkan untuk memuluskan langkahnya
Konsekwensi
logis , dan derivasi selanjutnya adalah, Indonesia full power menganut “ pasar bebas (free market)” dalam sistim
perekonomiannya, sebagaimana pesan Washington consensus awal 1980-an. Deregulasi,
privatisasi dan liberalisasi sebagai inti consensus Washington,menjadi jubah
baru menggantikan Keynesian yang bercokol sebelumnya. Keynesian, is death urai Stiglitz suatu waktu .
Konsensus Washington yang lahir dari kasus Amerika
Latin dan seharusnya hanya berlaku disitu (Stiglitz, 2003) menyeruak ke seluruh kawasan, tak terkecuali Indonesia.
Dengan membabi buta, MOUnya yang bernama
50 LOI menjadi berhala baru yang wajib disembah.
Siapapun yang menakhodai kekuasaan pemerintahan tanpa
kecuali wajib menjalankannya. Kalau
tidak, siap-siap diisolir oleh dunia, dan atau khususnya kapitalis
Internasional. Oleh karena itu tidak berlebihan jika 50 LOI telah menjadi dasar, jalan bahkan konstitusi baru
ekonomi Indonesia.
Makan Baliho dan Minum Slogan
Justifikasi sekaligus legitimasinya dapat dilihat ketika
anggota-anggota DPR RI hasil pemilu 1999. ditanya IMF apakah masih yakin dengan mekanisme pasar sebagai
sistim perekonomian, bak koor
philharmonic orchestra New York pimpinan Zubin Mehta, semuanya mengamini.
Setujuuuuu...
Koornya sungguh koor yang sangat merdu meski menyakitkan. Tak secuilpun
false. Bulat betul, sebagaimana istilah Soeharto dalam era kekuasannya,
demokrasi tidak boleh lonjong, harus bulat. Meski tidak diakui, itulah lagu
wajibnya, yakni fundamentalisme pasar dalam tanda kutif.
Fundamentalisme pasar menjadi konstitusi baru ekonomi
yang hukumnya wajib dijalankan oleh kekuasaan/ politik, beserta seluruh
institusi-institusinya. Termasuk yang namanya partai politik. Partai itu akan
survive apabila programnya selaras dengan momentum yang sudah berjalan. Bukan
yang diluar itu. Yang diluar itu hanya, cukup atau sekedar asesoris saja.
Karena hanya sebatas kembang dan asesoris, maka tak
perlu dilukis panjang-panjang, atau di narasikan utuh, bak konsep nan
komprehensif- konseptual-ideologis. Cukup bikin spanduk poster, dan
disampingnya diiringi kata-kata yang indah nan sloganistik. Itulah gagasan
ekonomi partai politik saat ini ; yakni makan baliho dan minum slogan (07/07/16).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar