Selasa, 06 September 2016

PROGRAM EKONOMI PAARPOL; MAKAN BALIHO DAN MINUM SLOGAN



PROGRAM EKONOMI PARPOL;
 MAKAN BALIHO DAN MINUM SLOGAN ?
Oleh: Reinhard Hutapea,
 Penulis buku; Implikasi Utang Luar Negeri Bagi Pembangunan Nasional:
 Pemutihan Bagi Indonesia.


Ahmad Erani Yustika (kompas, 18 Maret 2013) galau melihat partai politik tidak mempunyai konsep ekonomi secara utuh. Kalaupun ada hanya samar-samar dan terkesan sekedar sloganistik. Konon itu fenomenologis karena preferensi pemilih hanya pada sosok (figure), uang dan primordialisme. Pernyataan  yang sama  pernah dikeluhkan M.Chatib Basri beberapa tahun sebelumnya masih di harian yang sama. Mengapa mereka mempermasalahkan  masalah yang sudah dipahami? Bukankah struktur ekonomi yang terlembaga saat ini membuat partai politik tidak punya gagasan ekonomi? 
Tampilnya Momentum Baru
Thee Kian Wie (1980) dalam beberapa buku dan tulisan-tulisannya menyatakan, bahwa sekali  kebijakan ditempuh, khususnya kebijakan ekonomi, akan melahirkan momentum-momentumnya sendiri. Momentum , yang apabila suatu saat disadari keliru, akan sangat  sukar mengembalikannya ketempat semula
Momentum yang dalam perjalanannya tidak sekedar ekonomik, apalagi sekedar pertumbuhan . Jauh di atas itu akan menyeruak ke aspek-aspek lain seperti politik, sosial dan budaya, meski ekonomi menjadi lokomotifnya. Dengan saling berproses,atau  berkelindan akan mencuatkan momentum baru ,yang beda dengan momentum  sebelumnya
Saya tak paham betul, pendekatan apa yang diterapkan Thee kian Wie terhadap sinyalemen demikian . Apakah pendekatan ekonomi an sich, politik, gabungannya (ekonomi-politik) atau  persfektif yang lain, tidak begitu jelas. Yang pasti beliau dikenal sebagai ekonom handal yang pendapatnya banyak di dengar.
            Akan tetapi apabila sinyalemen tersebut dihubungkan dengan persfektif lain, khususnya dengan kata, istilah atau frasa “kebijakan”, sudah pasti tidak sekedar pendapat seorang ekonom, meski keputusannya ekonomik. Mungkin la lebih dekat dengan pendekatan politik, sebab dalam persfektif ilmu politik/administrasi negara, kebijakan dipelajari sangat intens.
Terlepas dari pendekatan apa yang digunakan, kiranya tidak begitu penting dipertentangkan. Biarlah itu urusan para teoritisi dikampus atau di laboratorium.  Yang jelas  Thee Kian Wie menyatakan sinyalemen tersebut  bukan tanpa dasar, alias asal-asalan. Dasarnya  adalah pengalaman sejarah perekonomian yang berhubungan dengan aspek-aspek diluarnya.
            Dari sejarah terlihat bahwa kebijakan-kebijakan penting yang diputuskan suatu rezim, selalu melahirkan struktur, sistem atau  tatanan sendiri. Tatanan nan mirip   air yang  selalu menciptakan arusnya sendiri. Arus yang  mengalir dari tempat yang tinggi ketempat yang rendah sebagaimana kodratnya.
Aliran demikian mencuat ketika Soeharto membuka kran lebar-lebar kepada modal asing (open door policy). Dengan pengendalian yang sentralistik dan berlebih-lebihan (Mahbub Ul Haq, 1974) tampillah arus baru yang sama sekali bertolak belakang dengan arus ekonomi (politik) sebelumnya.
            Aliran yang sebelumnya berhulu di negara (BUMN/BUMD/Bumdes dan koperasi), berubah arah menjadi berhulu di swasta, namun tidak begitu jelas, alias malu-malu. Yoon Hwan Shin (1987) menyebutnya sebagai “capitalist in formation”, sedang Yoshihara Kunio (1980) sebelumnya mencapnya sebagai “ersatz capitalism”
Namun apapun konsepnya, biarlah itu menjadi pembahasan sekaligus kegenitan intelektul di menara gading. Urusan  artikel ini adalah bahwa arus tersebut sudah mengalir, dan setelah mengalir ditengarai ternyata tidak jernih. Terkesan jorok, polutif, hingga beracun.
Akan tetapi karena sudah mengalir dan arusnya sangat deras,  sudah sukar dibendung, apalagi dikembalikan ke aliran semula. Paling-paling yang bisa dilakukan tinggal mengurut dada sambil menggerutu “nasi sudah jadi bubur”. Inilah momentum yang ditengarai Thee Kian Wie dengan konsep kebijakan (policy), yang melahirkan aliran-alirannya sendiri. Aliran  yang apabila suatu waktu diketahui keliru sudah sukar dikembalikan ke asalnya semula.
Asal tinggal asal, tinggal sejarah, bahkan tidak tertutup kemungkinan menjadi prasasti/monumen yang diatasnya tertulis...”dulu bersemayam disini ekonomi kekeluargaan, penguasaan negara, dan kemakmuran rakyat”...pasal 33 UUD 1945
Konstitusi Baru Ekonomi
Meminjam teori sistim, momentum demikian  telah sistemik, yakni “terstruktur dan fungsional” secara mekanistis.  Secara regular  atau melembaga, ia akan dinamis (langgeng) berproses menyelesaikan sendiri  kendala yang dihadapinya .
            Kendala-kendala  bercokol, seperti masih diterapkannya metode Keynesian selama Soeharto berkuasa, diterjang tuntas medio 1997-an. Dengan dalih krisis moneter, atau ada konspirasi lain, the smiling general dipaksa IMF bertekuk lutut dan menandatangani lima puluh Letter Of Intent (50 LOI) yang sudah dipersiapkan untuk memuluskan langkahnya
            Konsekwensi logis , dan derivasi selanjutnya adalah, Indonesia full power  menganut  “ pasar bebas (free market)” dalam sistim perekonomiannya, sebagaimana pesan  Washington consensus awal 1980-an. Deregulasi, privatisasi dan liberalisasi sebagai inti consensus Washington,menjadi jubah baru menggantikan Keynesian yang bercokol sebelumnya. Keynesian,  is death urai Stiglitz suatu waktu .
Konsensus Washington yang lahir dari kasus Amerika Latin dan seharusnya hanya berlaku disitu (Stiglitz, 2003) menyeruak  ke seluruh kawasan, tak terkecuali Indonesia. Dengan membabi buta, MOUnya  yang bernama 50 LOI menjadi berhala baru yang wajib disembah.
Siapapun yang menakhodai kekuasaan pemerintahan tanpa kecuali wajib menjalankannya.  Kalau tidak, siap-siap diisolir oleh dunia, dan atau khususnya kapitalis Internasional. Oleh karena itu tidak berlebihan jika 50 LOI telah  menjadi dasar, jalan bahkan konstitusi baru ekonomi Indonesia.
Makan Baliho dan Minum Slogan
Justifikasi sekaligus legitimasinya dapat dilihat ketika anggota-anggota DPR RI hasil pemilu 1999. ditanya IMF apakah  masih yakin dengan mekanisme pasar sebagai sistim perekonomian, bak koor  philharmonic orchestra New York pimpinan Zubin Mehta, semuanya mengamini. Setujuuuuu...
Koornya sungguh koor yang  sangat merdu meski menyakitkan. Tak secuilpun false. Bulat betul, sebagaimana istilah Soeharto dalam era kekuasannya, demokrasi tidak boleh lonjong, harus bulat. Meski tidak diakui, itulah lagu wajibnya, yakni fundamentalisme pasar dalam tanda kutif.
Fundamentalisme pasar menjadi konstitusi baru ekonomi yang hukumnya wajib dijalankan oleh kekuasaan/ politik, beserta seluruh institusi-institusinya. Termasuk yang namanya partai politik. Partai itu akan survive apabila programnya selaras dengan momentum yang sudah berjalan. Bukan yang diluar itu. Yang diluar itu hanya, cukup atau sekedar asesoris saja.
Karena hanya sebatas kembang dan asesoris, maka tak perlu dilukis panjang-panjang, atau di narasikan utuh, bak konsep nan komprehensif- konseptual-ideologis. Cukup bikin spanduk poster, dan disampingnya diiringi kata-kata yang indah nan sloganistik. Itulah gagasan ekonomi partai politik saat ini ; yakni  makan baliho dan minum slogan (07/07/16).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar