MENYONGSONG KONGRES
NASIONAL XI (15-19 Desember 1990)
Oleh : Reinhard Hutapea
Anggota Kelompok Studi
dan Komunikasi Humanitas Medan
Published, harian Terbit, 13 Desember 1990
Max Weber menyatakan agar pemuda jujur pada
diri maupun cita-citanya. Dalam artian lain pemuda jangan gemar berbohong,
jangan tertawan alam pura-pura, jangan munafik/hipokrit, jangan sudah tahu
keliru masih diteruskan, jangan Asal Bapak Senang Ibu Pertiwi sebaliknya,
jangan hanya pintar meniru sebagaimana teori Gabriel Tarde “imitation”, dan sederet jangan-jangan yang lain.
Apa yang diisyaratkan Max
Weber tersebut kiranya merupakan diktum yang sangat mendasar, aktual,
klasik, general, dan universal sepanjang masa, sebagaimana yang sudah lebih
dari cukup diceramahkan para guru-guru di sekolah, tokoh-tokoh masyarakat dalam
setiap kesempatan, pendeta atau ulama di tempat-tempat peribadatan, mengikuti
titah yang diajarkan para rasul kepada murid-muridnya.
Idealnya memang tidak semata-mata (an sich) pemuda saja yang dituntut demikian, melainkan semua
lapisan masyarakat. Namun karena pemuda adalah fase terakhir untuk kelak
menjadi orang tua (setelah bayi, anak-anak, dan remaja) yang punya kunci dan
power maka adagium tersebut perlu penekanan ekstra, karena siapa tahu orang tua
yang kelak akan digantikan tersebut melakukan kekeliruan besar, baik dalam
scope terkecil hingga scope berbangsa, bernegara atau memanca negara.
Pemuda sebagai agent of
change, pelopor pembaharuan sudah barang tentu akan menemukan “nilai
(value) yang tidak selalu selaras dengan” kekinian atau status quo. Orang tua
karena predikat ketuaannya biasanya cenderung mencurigai setiap nilai di luar
tradisinya. Disisi lain juga aktingnya juga agak lamban, terlalu banyak
pertimbangan. Selanjutnya dapat di duga akan timbul konflik. Suatu yang wajar
dan sah pada setiap perubahan. Akan tetapi apabila kedua pihak sama-sama harga
mati pada pendiriannya otomatis yang mencuat adalah “snobisme”, ketegangan,
atau anarkhi, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Bagaimana bentuknya tidak begitu penting dibahas, cukuplah
dimaklumi bahwa dalam konteks demikian tidak terjadi dialog, keterbukaan, atau
komunikasi dua arah, sebagaimana prasyarat demokrasi yang dipentaskan di dunia
Barat.
Demokrasi Indonesia
Demokrasi Indonesia menurut pemimpin-pemimpin negeri ini
tidak sama dengan demokrasi Barat nan Liberal-Kapitalis. Demokrasi Indonesia
berciri kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan (sila ke empat Pancasila). Aplikasinya populer
dengan istilah “musyawarah-mufakat” untuk konsensus. Oleh karena itu tidak
mengenal sistim opposisi. Timbul pertanyaan bukankah itu contradictio in terminis atau ignoran
dalam demokrasi itu sendiri ?
Jawabannya memang tidak hitam-putih, sebab situasi sosial
kita sangat berbeda dengan situasi sosial di mana demokrasi itu lahir dan
berkembang.
Sebagai ilustrasi tentang perjalanan demokrasi di Indonesia,
ideal kita bandingkan dengan hasil diskusi Kompas, 16 Agustus 1990 menyongsong
45 tahun kemerdekaan. Menurut diskusi tersebut rekayasa sosial masyarakat
Indonesia sekarang ini memperlihatkan betapa demokrasi kita masih termasuk
dalam kategori demokrasi konsensus. Suatu praktek demokrasi yang secara
sosiologis merupakan bentuk manajemen untuk memecahkan segala konflik dari
sebuah masyarakat majemuk fragmentasi.
Asumsinya karakteristik struktural sebuah masyarakat
pluralistis, termasuk Indonesia ialah kemungkinan timbulnya kecenderungan
perilaku konflik dalam hubungan antara komunikasi etnis. Lantas kehadiran
sebuah kekuatan sebagai daya integratip utama mempertahankan kesatuan dan
keutuhan masyarakat di nilai mutlak dan sangat diperlukan.
Manifestasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ialah
meluasnya sentralisasi dan birokratisasi. Konsekwensinya lalu muncul negara
pejabat. Selanjutnya manakala muncul pula elite konsumerisme yang merupakan
gaya hidup kelas menengah khas negara industri, maka hal itu sangat berpengaruh
terhadap solidaritas sosial. Maka selanjutnya terjadilah kesenjangan sosial.
Bahkan ciri hubungan kebudayaan, kekuasaan, dan kelompok sosial bisa melahirkan
pola hubungan patron-klien, yang sering menimbulkan eksploitasi dan alienasi.
Sebaliknya masyarakat lapisan bawah setiap saat/waktu
dituntut tunduk dan menghormati asas konsensus, musyawarah dan mufakat. Dalam
ekstremitasnya, perbedaan pendapat sering seolah-olah sampai dianggap tabu,
sehingga mematikan kreatifitas untuk berpikir alternatip.
Pada hal, esensi utama prinsip demokrasi adalah penghormatan
terhadap harkat setiap individu manusia. Manusia menjadi sentral dan tolok
ukur. Atas asas itu, diperlukan kondisi struktural yang lebih bisa menjamin
terciptanya sikap partisipatif, antisipatif, serta inovatif daripada sikap yang
konformistis. Kondisi demikian hanya dimungkinkan apabila kebebasan untuk
berusaha dan berekspresi dalam bidang politik semakin dihargai.
Bagaimana pemuda demokrat yang bermotto “Sosial Nasional
Demokrasi ?”. adakah terobosan yang mereka pentaskan? Atau sama saja dengan
eksistensi kepemudaan saat ini yang dituding telah mengalami erosi
nasionalisme, berpolitik demi uang, dan kedudukan, serta terjerat neo feodalisme?
Pendekatan Historis
Pemuda Demokrat yang didirikan, 31 Mei 1947, antara lain oleh
Mh Isnaeni (mantan wakil ketua DPR/MPR, Dubes di Rumania tahun 1982-1986).
Bertujuan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dasar dari
pendirian ini sebagaimana organisasi pemuda yang lain, seperti HMI misalnya
adalah Nasionalisme yang merupakan tuntutan revolusi saat itu.
Selanjutnya pemuda-pemuda yang sadar akan tanggungjawabnya
berbangsa tersebut ikut angkat senjata menghadapi pihak Belanda pada chlas I.
Demikian pula pada penumpasan pemberontakan Komunis di Madiun 1948, dimana
banyak yang gugur sebagai pahlawan.
Setelah perjuangan fisik selesai, selanjutnya Pemuda Demokrat
terlibat praktis politik. Sebagai manifestasinya berafiliasi dengan Partai
Nasional Indonesia (PNI). Tahun 1963 organisasi ini melebur diri menjadi
Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) dan resmi menjadi underbow PNI. Tragedi G 30 S/PKI yang menurunkan rezim Soekarno
dari singgasana kekuasaan ternyata juga meluluhlantahkan PNI. Partai politik terbesar
Orde Lama ini terimbas kemelut perubahan sosial. PNI ada yang digolongkan
ekwivalen dengan PKI (ASU), yang sebaliknya disebut PNI Osa-Usep. Konteks
inipun merayap ke GPM
Konflik ini akhirnya mencapai titik kulminasi tahun 1982,
ketika Bambang Haryanto SH selaku ketua GPM, tanpa melalui Kongres
mendeklarasikan bahwa GPM kembali menjadi Pemuda Demokrat Indonesia sebagaimana
pertama kali dicetuskan tahun 1947 dengan asas Pancasila. Personil lain yang
tidak setuju tindakan Bambang Cs tetap mempertahankan GPM. Dua-duanya sama-sama
jalan, sama-sama eksis dan sama-sama punya pimpinan pusat di Jalan Salemba Raya
73 Jakarta. Empat tahun kemudian GPM hilang dari peredaran.
Pemuda Demokrat yang kemudian
berjalan sendiri tidak otomatis berjaya dalam panggung kepemudaan
Indonesia. Ormas-ormas pemuda yang lahir setelah Orde Baru dicanangkan, seperti
KNPI, Pemuda Pancasila, AMPI, FKPPI dan lain-lain melaju bagaikan jet membelah
langit, sementara Pemuda Demokrat rupanya hanya sanggup naik becak.
Kemauan Politik
Di atas itu semua bukan berarti tiada harapan lagi. Fenomena
kepemudaan Indonesia yang dituding telah mengalami erosi nasionalisme,
berpolitik hanya demi uang dan jabatan, serta terjebak neo feodalisme, adalah
momen tepat bagi Pemuda Demokrat berperan. Berperan untuk meluruskannya sebagaimana dititahkan Max Weber diatas, sebab Pemuda Demokrat
lahir dari kancah perjuangan. Adakah kemauan untuk itu ?
Cat: Pemuda Demokrat berkongres
terakhir pada tahun 2007, di Wisma Kinasih,Caringin, Bogor. Pada waktu itu
terpilih Ketua Umum H Fachruddin, Sekjen Endro S Yahman. Saya sendiri menjadi
salah satu Ketua. Hingga tulisan ini dimasukkan ke blog (12 Okt 2016) Pemuda
Demokrat belum pernah berkongres.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar