Jumat, 14 Oktober 2016

BAGAIMANA KEMAUAN POLITIK PEMUDA DEMOKRAT ?




MENYONGSONG KONGRES NASIONAL XI (15-19 Desember 1990)
Oleh : Reinhard Hutapea
Anggota Kelompok Studi dan Komunikasi Humanitas Medan
Published, harian Terbit, 13 Desember 1990

Max Weber menyatakan agar pemuda jujur pada diri maupun cita-citanya. Dalam artian lain pemuda jangan gemar berbohong, jangan tertawan alam pura-pura, jangan munafik/hipokrit, jangan sudah tahu keliru masih diteruskan, jangan Asal Bapak Senang Ibu Pertiwi sebaliknya, jangan hanya pintar meniru sebagaimana teori Gabriel Tarde “imitation”, dan sederet jangan-jangan yang lain.
Apa yang diisyaratkan Max Weber tersebut kiranya merupakan diktum yang sangat mendasar, aktual, klasik, general, dan universal sepanjang masa, sebagaimana yang sudah lebih dari cukup diceramahkan para guru-guru di sekolah, tokoh-tokoh masyarakat dalam setiap kesempatan, pendeta atau ulama di tempat-tempat peribadatan, mengikuti titah yang diajarkan para rasul kepada murid-muridnya.
Idealnya memang tidak semata-mata (an sich) pemuda saja yang dituntut demikian, melainkan semua lapisan masyarakat. Namun karena pemuda adalah fase terakhir untuk kelak menjadi orang tua (setelah bayi, anak-anak, dan remaja) yang punya kunci dan power maka adagium tersebut perlu penekanan ekstra, karena siapa tahu orang tua yang kelak akan digantikan tersebut melakukan kekeliruan besar, baik dalam scope terkecil hingga scope berbangsa, bernegara atau memanca negara.
Pemuda sebagai agent of change, pelopor pembaharuan sudah barang tentu akan menemukan “nilai (value) yang tidak selalu selaras dengan” kekinian atau status quo. Orang tua karena predikat ketuaannya biasanya cenderung mencurigai setiap nilai di luar tradisinya. Disisi lain juga aktingnya juga agak lamban, terlalu banyak pertimbangan. Selanjutnya dapat di duga akan timbul konflik. Suatu yang wajar dan sah pada setiap perubahan. Akan tetapi apabila kedua pihak sama-sama harga mati pada pendiriannya otomatis yang mencuat adalah “snobisme”, ketegangan, atau anarkhi, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Bagaimana bentuknya tidak begitu penting dibahas, cukuplah dimaklumi bahwa dalam konteks demikian tidak terjadi dialog, keterbukaan, atau komunikasi dua arah, sebagaimana prasyarat demokrasi yang dipentaskan di dunia Barat.
Demokrasi Indonesia
Demokrasi Indonesia menurut pemimpin-pemimpin negeri ini tidak sama dengan demokrasi Barat nan Liberal-Kapitalis. Demokrasi Indonesia berciri kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan (sila ke empat Pancasila). Aplikasinya populer dengan istilah “musyawarah-mufakat” untuk konsensus. Oleh karena itu tidak mengenal sistim opposisi. Timbul pertanyaan bukankah itu contradictio in terminis atau ignoran dalam demokrasi itu sendiri ?
Jawabannya memang tidak hitam-putih, sebab situasi sosial kita sangat berbeda dengan situasi sosial di mana demokrasi itu lahir dan berkembang.
Sebagai ilustrasi tentang perjalanan demokrasi di Indonesia, ideal kita bandingkan dengan hasil diskusi Kompas, 16 Agustus 1990 menyongsong 45 tahun kemerdekaan. Menurut diskusi tersebut rekayasa sosial masyarakat Indonesia sekarang ini memperlihatkan betapa demokrasi kita masih termasuk dalam kategori demokrasi konsensus. Suatu praktek demokrasi yang secara sosiologis merupakan bentuk manajemen untuk memecahkan segala konflik dari sebuah masyarakat majemuk fragmentasi.
Asumsinya karakteristik struktural sebuah masyarakat pluralistis, termasuk Indonesia ialah kemungkinan timbulnya kecenderungan perilaku konflik dalam hubungan antara komunikasi etnis. Lantas kehadiran sebuah kekuatan sebagai daya integratip utama mempertahankan kesatuan dan keutuhan masyarakat di nilai mutlak dan sangat diperlukan.
Manifestasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ialah meluasnya sentralisasi dan birokratisasi. Konsekwensinya lalu muncul negara pejabat. Selanjutnya manakala muncul pula elite konsumerisme yang merupakan gaya hidup kelas menengah khas negara industri, maka hal itu sangat berpengaruh terhadap solidaritas sosial. Maka selanjutnya terjadilah kesenjangan sosial. Bahkan ciri hubungan kebudayaan, kekuasaan, dan kelompok sosial bisa melahirkan pola hubungan patron-klien, yang sering menimbulkan eksploitasi dan alienasi.
Sebaliknya masyarakat lapisan bawah setiap saat/waktu dituntut tunduk dan menghormati asas konsensus, musyawarah dan mufakat. Dalam ekstremitasnya, perbedaan pendapat sering seolah-olah sampai dianggap tabu, sehingga mematikan kreatifitas untuk berpikir alternatip.
Pada hal, esensi utama prinsip demokrasi adalah penghormatan terhadap harkat setiap individu manusia. Manusia menjadi sentral dan tolok ukur. Atas asas itu, diperlukan kondisi struktural yang lebih bisa menjamin terciptanya sikap partisipatif, antisipatif, serta inovatif daripada sikap yang konformistis. Kondisi demikian hanya dimungkinkan apabila kebebasan untuk berusaha dan berekspresi dalam bidang politik semakin dihargai.
Bagaimana pemuda demokrat yang bermotto “Sosial Nasional Demokrasi ?”. adakah terobosan yang mereka pentaskan? Atau sama saja dengan eksistensi kepemudaan saat ini yang dituding telah mengalami erosi nasionalisme, berpolitik demi uang, dan kedudukan, serta terjerat neo feodalisme?
Pendekatan Historis
Pemuda Demokrat yang didirikan, 31 Mei 1947, antara lain oleh Mh Isnaeni (mantan wakil ketua DPR/MPR, Dubes di Rumania tahun 1982-1986). Bertujuan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dasar dari pendirian ini sebagaimana organisasi pemuda yang lain, seperti HMI misalnya adalah Nasionalisme yang merupakan tuntutan revolusi saat itu.
Selanjutnya pemuda-pemuda yang sadar akan tanggungjawabnya berbangsa tersebut ikut angkat senjata menghadapi pihak Belanda pada chlas I. Demikian pula pada penumpasan pemberontakan Komunis di Madiun 1948, dimana banyak yang gugur sebagai pahlawan.
Setelah perjuangan fisik selesai, selanjutnya Pemuda Demokrat terlibat praktis politik. Sebagai manifestasinya berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Tahun 1963 organisasi ini melebur diri menjadi Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) dan resmi menjadi underbow PNI. Tragedi G 30 S/PKI yang menurunkan rezim Soekarno dari singgasana kekuasaan ternyata juga meluluhlantahkan PNI. Partai politik terbesar Orde Lama ini terimbas kemelut perubahan sosial. PNI ada yang digolongkan ekwivalen dengan PKI (ASU), yang sebaliknya disebut PNI Osa-Usep. Konteks inipun merayap ke GPM
Konflik ini akhirnya mencapai titik kulminasi tahun 1982, ketika Bambang Haryanto SH selaku ketua GPM, tanpa melalui Kongres mendeklarasikan bahwa GPM kembali menjadi Pemuda Demokrat Indonesia sebagaimana pertama kali dicetuskan tahun 1947 dengan asas Pancasila. Personil lain yang tidak setuju tindakan Bambang Cs tetap mempertahankan GPM. Dua-duanya sama-sama jalan, sama-sama eksis dan sama-sama punya pimpinan pusat di Jalan Salemba Raya 73 Jakarta. Empat tahun kemudian GPM hilang dari peredaran.
Pemuda Demokrat yang kemudian  berjalan sendiri tidak otomatis berjaya dalam panggung kepemudaan Indonesia. Ormas-ormas pemuda yang lahir setelah Orde Baru dicanangkan, seperti KNPI, Pemuda Pancasila, AMPI, FKPPI dan lain-lain melaju bagaikan jet membelah langit, sementara Pemuda Demokrat rupanya hanya sanggup naik becak.
Kemauan Politik
Di atas itu semua bukan berarti tiada harapan lagi. Fenomena kepemudaan Indonesia yang dituding telah mengalami erosi nasionalisme, berpolitik hanya demi uang dan jabatan, serta terjebak neo feodalisme, adalah momen tepat bagi Pemuda Demokrat berperan. Berperan  untuk meluruskannya sebagaimana dititahkan Max Weber diatas, sebab Pemuda Demokrat lahir dari kancah perjuangan. Adakah kemauan untuk itu ?
Cat: Pemuda Demokrat berkongres terakhir pada tahun 2007, di Wisma Kinasih,Caringin, Bogor. Pada waktu itu terpilih Ketua Umum H Fachruddin, Sekjen Endro S Yahman. Saya sendiri menjadi salah satu Ketua. Hingga tulisan ini dimasukkan ke blog (12 Okt 2016) Pemuda Demokrat belum pernah berkongres.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar