Minggu, 16 Oktober 2016

MESIR PASCA MUBARAK, OTORITARIANISM BERJUBAH DEMOKRASI?




Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar HI FISIP UNTAG/Staf ahli DPR RI 2000-2009

Mesir adalah salah satu negara Arab, Timur Tengah atau Afrika yang sangat penting bagi Amerika Serikat, khususnya pasca perjanjian Camp David 1979. Bagaimana saling pengertian antara kedua negara telah dimanifestasikan dengan sangat apik. AS membantu perekonomian, khususnya modernisasi militer Mesir. Sebaliknya Mesir dengan setia mengikuti pesan-pesan Washington agar perdamaian dan demokrasi di Timur Tengah tetap dipertahankan. Hubungan yang  saling menguntungkan
Bagaimana hubungan yang sangat bersahabat oleh kedua negara terlihat ketika pemakaman Anwar Sadat, dimana tiga mantan Presiden AS menghadirinya. Situasi ini selanjutnya terus berlangsung. Salah satu indikatornya adalah ketika Barack Obama mengunjungi Mesir belum lama berselang (juni 2009).
Dengan spektakuler Obama melakukan tindakan-tindakan politik yang sebelumnya tidak pernah dilakukan pendahulu-pendahulunya, seperti mengunjungi Masjid Agung di Kairo, berorasi di Universitas Al Azhar, Universitas yang tidak saja dihormati di Mesir dan dunia Islam, namun juga di banyak negara umumnya. Tak pelak lagi orasi Obama disimak dengan serius oleh banyak kalangan  dunia
Realitanya  memang suatu pidato yang bersejarah. Dengan retorika yang luar biasa dan memukau, Obama menorehkan pengakuan yang historik akan kealpaan Barat terhadap “Dunia Islam”, Unilateralisme  Bush yang egois dan politik Hawkish kaum neo konservatif sejak lama dalam konflik Palestina-Israel dan krisis-krisis lain di Timur Tengah.
Dengan meyakinkan Obama berjanji akan memperbaiki kealpaan itu semua. Kealpaan-kealpaan yang hanya boleh berlangsung sekali dan tidak lagi diulangi. Washington bertekad akan menata kebijakannya lebih adaptif, transparan dan akuntabel sesuai dengan perkembangan zaman
Terbukti kemudian, Dunia terpesona dengan sihir Obama tersebut. Terbayang sudah bagaimana krisis Timur Tengah akan segera berakhir, Unilteralisme akan diganti oleh Multilaterism, politik Hawkish yang doyan perang akan diganti dengan kebijakan perdamaian (Dovish). Dengan kata lain era baru, yakni “Demokrasi dalam arti yang sesungguhnya” akan segera terealisasi, sebagaimana label klasik (kebijakan) Washington  sejak lama ke seantero pelosok dunia.
            Akan tetapi dengan sangat mencengangkan dan penuh kontradiksi, tidak berapa lama setelah pidato bersejarah tersebut dikumandangkan , terjadi gejolak sosial yang menuntut orang nomor satu Mesir turun dari singgasana kekuasaan. Bagaimana itu terjadi ketika mata dunia sedang mengarah kesana? Bagaimana sesungguhnya Washington melihat stabilitas, khususnya demokrasi dinegeri Firaun tersebut?, terulang lagi amnesia-amnesia masa lalu?, menjadi teka teki yang patut kita pertanyakan.

Melanggengkan Otoritarianism
Banyak kalangan tidak mengetahui bahwa dibalik kesuksesan kunjungan Obama ke Kairo, sesungguhnya terbersit kepiluan mendalam akan situasi politik domestiknya. Citra Mesir yang mempesona kedunia luar, kedalam adalah kebalikannya . Situasi lokal kenyataannya sangat rapuh, terbelenggu, mencekam dan jauh dari kebebasan.
Konteks tersebut  kita ketahui ketika membaca salah satu harian berpengaruh di Kairo yang menuliskan head line beritanya sehari setelah Obama berpidato di Al Azhar dengan judul.:… Hari Ini Obama Datang Ke Mesir Setelah Mengevakuasi Warga Mesir. (Al Dastout, juni 2009)
Umpatan, sindiran atau cemohan  yang merepresentasikan keadaan sebenarnya  situasi rill politik Mesir. Apa yang ditulis Al Dastout adalah suara kaum tersingkir, suara dari mereka yang bungkam dan tertindas oleh rezim Mubarak. Suatu sketsa betapa sesungguhnya ada kesenjangan (gap) antara masyarakat (society) dengan negara (state), sebagaimana diteorikan Ted Robert Gurr (1953) ada jurang (Deprivasi Relatif) antara kenyataan (Value Capabilities)  dan  harapan (Value Expectation). Masyarakat kecewa terhadap rezim yang berkuasa
Pemerintahan Mubarak yang menggantikan rezim Anwar Sadat yang tertembak oleh serdadunya sendiri dalam parade militer (kemarau kemarahan) tahun 1982 tidak banyak beringsuk. Mubarak sebagaimana Sadat kecenderungannya hanya mempertahankan kekuasaan an sich. Dari kekuasaan untuk kekuasaan, tidak untuk kesejahteraan dan keadilan sebagaimana lazimnya tugas suatu pemerintahan
 Kekuasaan dipentaskan sedemikian rupa hanya sekedar mencapai stabilitas keamanan. Bagaimana supaya tidak terjadi gejolak di dalam masyarakat menjadi paradigma utama rezim Mubarak  Tidak peduli apakah demi mencapai keamanan semu tersebut dilakukan tindakan-tindakan yang sangat repressif (alias tidak demokratis)
Dalam perjalanannya terbukti, bahwa rezim yang naik panggung lebih mengutamakan “security approach” ketimbang pendekatan-pendekatan yang lain. Dengan kocak namun menohok  Fareed Zakaria (2003) menuliskan hal demikian  dalam salah satu artikelnya (Hajrianto Y Tohari k, 26 Janu 11), yakni betapa marahnya Mubarak ketika seorang diplomat AS meminta agar sang Presiden berhenti memenjarakan para intelektual dan aktivis prodemokrasi
Dengan tegang, marah serta menggebrak meja kencang, ia meradang dan mengatakan:…jika mereka diberi kebebasan melakukan aksi-aksinya , fundamentalisme Islam akan mengambil alih kekuasaan Mesir. Apakah ini yang diinginkan AS?  Diplomat AS itu pun pada akhirnya diam-kecut.
Kecut karena sejak lama fundamentalisme memang merupakan hantu utama bagi AS. Fundamentalisme sebagaimana hakikinya adalah ideologi yang sangat kontradiktif dengan nilai-nilai demokrasi (baca: AS). Oleh karena itu fundamentalisme adalah dagangan paling laris Mubarak ke Washington. Sayang Mubarak alpa bahwa Washington secara diam-diam, perlahan dan elegan melakukan pendekatan dengan kalangan ekstrim tersebut, sehingga dagangan demikian lama kelamaan kurang laku

Otoritarianisme Berjubah Demokrasi?
Tindakan Mubarak sejak lama dan tidak pernah berubah menjual fundamentalisme ke AS, tanpa disertai dengan pembangunan social,politik,  ekonomi dan kebudayaan yang berarti, tidak saja membuat masyarakat Mesir jengah, namun juga membuat masyarakat Internasional (baca AS) jenuh dan jengkel terhadap rezim represif tersebut
Suasana akan lain jika saja Mubarak dapat memanfaatkan bantuan atau hubungan dekatnya dengan Washington sebagaimana dilakukan negara-negara lain yang dibantu AS pada waktu perang dingin. Bantuan ekonomi dan payung nuklir AS dengan cerdik dimanfaatkan negara-negara Eropa Barat, khususnya Jepang dalam membangun sosial-ekonominya.
Sebaliknya Mubarak hanya berkutat bagaimana menjaga hubungan yang harmonis dengan Washington, namun refresif dengan gerakan-gerakan pro demokrasi serta terus memperkaya diri, keluarga dan kroni-kroninya melalui mekanisme korupsi, kolusi dan nepotisme. Suatu tatanan yang suatu saat pasti akan busuk
Faktanya terbukti, Mubarak akhirnya jatuh. Pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada dewan militer  untuk melakukan konsolidasi. Kebijakan pertama yang dilakukan adalah amandemen konstitusi, kedua mencabut Undang-Undang Darurat dan ketiga mempersiapkan pemilihan Presiden yang berkedaulatan rakyat. Singkatnya mempersiapkan pola, prosedur dan mekanisme demokratis.
Persoalan mendasar atau pertanyaan kemudian adalah ; akankah Mesir semakin demokratis? Pertanyaan ini dikemukakan mengingat  Mesir dalam sejarahnya belum mengenal demokrasi dalam arti substantive. Mesir sejak lama menganut monarkhi dalam sistim politik,  patron-client dalam sistim sosial dan lain-l;ain pranata yang berbenturan dengan Demokrasi Barat. Arnold Toynbee (1950) dan khususnya Samuel Huntington (1995) telah mengingatkan hal ini
Bila sinyalemen tersebut belum berubah dapat diprediksi (hipotetis) revolusi yang berjalan di Mesir saat ini nasibnya tidak jauh berbeda dengan pengalaman-negara- negara lain yang sudah lebih dulu mempraktekkan demokrasi, termasuk Indonesia, yakni secara “prosedur atau mekanisme” melakukan demokrasi, namun outputnya tidak sebagaimana tujuan demokrasi, yakni semakin terwujudnya kesejahteraan dan keadilan. Malah secara substantive tetap otoriter. Dengan kata lain otoritarianism  berjubah demokrasi.
                                                          


Tidak ada komentar:

Posting Komentar