Oleh : Reinhard Hutapea
Staf
pengajar HI FISIP UNTAG/Staf ahli DPR RI 2000-2009
Mesir adalah salah satu negara Arab, Timur Tengah atau
Afrika yang sangat penting bagi Amerika Serikat, khususnya pasca perjanjian Camp David 1979. Bagaimana saling pengertian antara kedua
negara telah dimanifestasikan dengan sangat apik. AS membantu perekonomian,
khususnya modernisasi militer Mesir. Sebaliknya Mesir dengan setia mengikuti
pesan-pesan Washington
agar perdamaian dan demokrasi di Timur Tengah tetap dipertahankan. Hubungan yang
saling menguntungkan
Bagaimana hubungan yang sangat bersahabat oleh kedua
negara terlihat ketika pemakaman Anwar Sadat, dimana tiga mantan Presiden AS
menghadirinya. Situasi ini selanjutnya terus berlangsung. Salah satu
indikatornya adalah ketika Barack Obama mengunjungi Mesir belum lama berselang
(juni 2009).
Dengan spektakuler Obama melakukan tindakan-tindakan
politik yang sebelumnya tidak pernah dilakukan pendahulu-pendahulunya, seperti
mengunjungi Masjid Agung di Kairo, berorasi di Universitas Al Azhar, Universitas
yang tidak saja dihormati di Mesir dan dunia Islam, namun juga di banyak negara
umumnya. Tak pelak lagi orasi Obama disimak dengan serius oleh banyak kalangan dunia
Realitanya memang
suatu pidato yang bersejarah. Dengan retorika yang luar biasa dan memukau,
Obama menorehkan pengakuan yang historik akan kealpaan Barat terhadap “Dunia
Islam”, Unilateralisme Bush yang egois dan
politik Hawkish kaum neo konservatif sejak lama dalam konflik Palestina-Israel
dan krisis-krisis lain di Timur Tengah.
Dengan meyakinkan Obama berjanji akan memperbaiki kealpaan
itu semua. Kealpaan-kealpaan yang hanya boleh berlangsung sekali dan tidak lagi
diulangi. Washington
bertekad akan menata kebijakannya lebih adaptif, transparan dan akuntabel sesuai
dengan perkembangan zaman
Terbukti kemudian, Dunia terpesona dengan sihir Obama
tersebut. Terbayang sudah bagaimana krisis Timur Tengah akan segera berakhir, Unilteralisme
akan diganti oleh Multilaterism, politik Hawkish yang doyan perang akan diganti
dengan kebijakan perdamaian (Dovish). Dengan kata lain era baru, yakni “Demokrasi
dalam arti yang sesungguhnya” akan segera terealisasi, sebagaimana label klasik
(kebijakan) Washington
sejak lama ke seantero pelosok dunia.
Akan tetapi dengan sangat mencengangkan dan penuh
kontradiksi, tidak berapa lama setelah pidato bersejarah tersebut
dikumandangkan , terjadi gejolak sosial yang menuntut orang nomor satu Mesir
turun dari singgasana kekuasaan. Bagaimana itu terjadi ketika mata dunia sedang
mengarah kesana? Bagaimana sesungguhnya Washington
melihat stabilitas, khususnya demokrasi dinegeri Firaun tersebut?, terulang
lagi amnesia-amnesia masa lalu?, menjadi teka teki yang patut kita pertanyakan.
Melanggengkan
Otoritarianism
Banyak kalangan tidak mengetahui bahwa dibalik kesuksesan
kunjungan Obama ke Kairo, sesungguhnya terbersit kepiluan mendalam akan situasi
politik domestiknya. Citra Mesir yang mempesona kedunia luar, kedalam adalah kebalikannya
. Situasi lokal kenyataannya sangat rapuh, terbelenggu, mencekam dan jauh dari
kebebasan.
Konteks tersebut kita ketahui ketika membaca salah satu harian
berpengaruh di Kairo yang menuliskan head line beritanya sehari setelah Obama
berpidato di Al Azhar dengan judul.:… Hari
Ini Obama Datang Ke Mesir Setelah Mengevakuasi Warga Mesir. (Al Dastout,
juni 2009)
Umpatan, sindiran atau cemohan yang merepresentasikan keadaan sebenarnya situasi rill politik Mesir. Apa yang ditulis
Al Dastout adalah suara kaum tersingkir, suara dari mereka yang bungkam dan
tertindas oleh rezim Mubarak. Suatu sketsa betapa sesungguhnya ada kesenjangan
(gap) antara masyarakat (society) dengan negara (state), sebagaimana diteorikan
Ted Robert Gurr (1953) ada jurang (Deprivasi Relatif) antara kenyataan (Value Capabilities) dan
harapan (Value Expectation). Masyarakat kecewa terhadap rezim yang
berkuasa
Pemerintahan Mubarak yang menggantikan rezim Anwar Sadat
yang tertembak oleh serdadunya sendiri dalam parade militer (kemarau kemarahan)
tahun 1982 tidak banyak beringsuk. Mubarak sebagaimana Sadat kecenderungannya
hanya mempertahankan kekuasaan an sich. Dari kekuasaan untuk kekuasaan, tidak
untuk kesejahteraan dan keadilan sebagaimana lazimnya tugas suatu pemerintahan
Kekuasaan
dipentaskan sedemikian rupa hanya sekedar mencapai stabilitas keamanan.
Bagaimana supaya tidak terjadi gejolak di dalam masyarakat menjadi paradigma
utama rezim Mubarak Tidak peduli apakah
demi mencapai keamanan semu tersebut dilakukan tindakan-tindakan yang sangat
repressif (alias tidak demokratis)
Dalam perjalanannya terbukti, bahwa rezim yang naik
panggung lebih mengutamakan “security approach” ketimbang pendekatan-pendekatan
yang lain. Dengan kocak namun menohok Fareed Zakaria (2003) menuliskan hal demikian dalam salah satu artikelnya (Hajrianto Y
Tohari k, 26 Janu 11), yakni betapa marahnya Mubarak ketika seorang diplomat AS
meminta agar sang Presiden berhenti memenjarakan para intelektual dan aktivis prodemokrasi
Dengan tegang, marah serta menggebrak meja kencang, ia
meradang dan mengatakan:…jika mereka
diberi kebebasan melakukan aksi-aksinya , fundamentalisme Islam akan mengambil
alih kekuasaan Mesir. Apakah ini yang diinginkan AS? Diplomat
AS itu pun pada akhirnya diam-kecut.
Kecut karena sejak lama fundamentalisme memang merupakan
hantu utama bagi AS. Fundamentalisme sebagaimana hakikinya adalah ideologi yang
sangat kontradiktif dengan nilai-nilai demokrasi (baca: AS). Oleh karena itu
fundamentalisme adalah dagangan paling laris Mubarak ke Washington. Sayang Mubarak alpa bahwa Washington secara
diam-diam, perlahan dan elegan melakukan pendekatan dengan kalangan ekstrim
tersebut, sehingga dagangan demikian lama kelamaan kurang laku
Otoritarianisme Berjubah
Demokrasi?
Tindakan Mubarak sejak lama dan tidak pernah berubah
menjual fundamentalisme ke AS, tanpa disertai dengan pembangunan
social,politik, ekonomi dan kebudayaan
yang berarti, tidak saja membuat masyarakat Mesir jengah, namun juga membuat
masyarakat Internasional (baca AS) jenuh dan jengkel terhadap rezim represif
tersebut
Suasana akan lain jika saja Mubarak dapat memanfaatkan
bantuan atau hubungan dekatnya dengan Washington
sebagaimana dilakukan negara-negara lain yang dibantu AS pada waktu perang dingin.
Bantuan ekonomi dan payung nuklir AS dengan cerdik dimanfaatkan negara-negara
Eropa Barat, khususnya Jepang dalam membangun sosial-ekonominya.
Sebaliknya Mubarak hanya berkutat bagaimana menjaga
hubungan yang harmonis dengan Washington,
namun refresif dengan gerakan-gerakan pro demokrasi serta terus memperkaya
diri, keluarga dan kroni-kroninya melalui mekanisme korupsi, kolusi dan
nepotisme. Suatu tatanan yang suatu saat pasti akan busuk
Faktanya terbukti, Mubarak akhirnya jatuh. Pemerintahan selanjutnya
diserahkan kepada dewan militer untuk melakukan
konsolidasi. Kebijakan pertama yang dilakukan adalah amandemen konstitusi,
kedua mencabut Undang-Undang Darurat dan ketiga mempersiapkan pemilihan
Presiden yang berkedaulatan rakyat. Singkatnya mempersiapkan pola, prosedur dan
mekanisme demokratis.
Persoalan mendasar atau pertanyaan kemudian adalah ; akankah
Mesir semakin demokratis? Pertanyaan ini dikemukakan mengingat Mesir dalam sejarahnya belum mengenal
demokrasi dalam arti substantive. Mesir sejak lama menganut monarkhi dalam
sistim politik, patron-client dalam
sistim sosial dan lain-l;ain pranata yang berbenturan dengan Demokrasi Barat.
Arnold Toynbee (1950) dan khususnya Samuel Huntington (1995) telah mengingatkan
hal ini
Bila sinyalemen tersebut belum berubah dapat diprediksi
(hipotetis) revolusi yang berjalan di Mesir saat ini nasibnya tidak jauh
berbeda dengan pengalaman-negara- negara lain yang sudah lebih dulu mempraktekkan
demokrasi, termasuk Indonesia, yakni secara “prosedur atau mekanisme” melakukan
demokrasi, namun outputnya tidak sebagaimana tujuan demokrasi, yakni semakin
terwujudnya kesejahteraan dan keadilan. Malah secara substantive tetap
otoriter. Dengan kata lain otoritarianism berjubah demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar