Oleh:
Reinhard Huta
pea
Staf pengajar
MIP Unitas /direktur CEPP PPS Unitas Palembang
Disampaikan pada Talk Show Campus Fair, Universitas Taman
Siswa, Palembang 3 Mei 2016.
==========================================================================
Pengantar/pointers talk show
Memahami perjuangan pekerja/buruh mencapai
kesejahteraannya telah dilakukan sejak lama, khususnya sejak pembentukan ILO
1919 melalui deklarasi Philadelphia. Berbagai cara, metode dan strategi, baik
halus maupun keras telah dipraksiskan supaya buruh sungguh-sungguh bermartabat,
menjadi subjek dan tidak menjadi barang komoditas. Data/fakta terakhir
perjuangan buruh yang relevan kita kaji sore/malam ini adalah demo akbar
November 2015 yang lalu di Jakarta. Demo
yang diikuti sekitar 30.000 buruh juga berlangsung di semua daerah di Indonesia
. Tuntutan-tuntutan mereka pada waktu itu adalah:
1. Turunkan harga 9 bahan pokok dan
bahan bakar minyak
2. Tolak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
akibat perlambatan ekonomi dan melemahnya rupiah
3. Tolak masuknya Tenaga Kerja Asing,
dan tolak dihapuskannya kewajiban berbahasa Indonesia bagi pekerja asing
tersebut
4. Naikkan Upah Minimum 22% pada tahun
2016 dan tolak Rancangan Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan yang hanya
berbasis “Inflasi plus PDB” serta “Revisi Kehidupan Layak (KHL) dari 60 item
menjadi 84 item
5. Revisi PP Jaminan Pensiun, yaitu
disamakan dengan PNS/ASN. Bukan seperti yang berlaku saat ini, yakni hanya Rp 300.000,-/perbulan
6. Perbaiki layanan program kesehatan
7. Bubarkan pengadilan buruh dan revisi
UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tahun ini
8. Angkat pekerja “outsourching”,
terutama di BUMN, sebab BUMN telah menjadi motor utama praksis (pelaksanaan)
outsourcing
9. Hapuskan perbudakan modern dengan
mensahkan RUU Perlindungan PRT
10. Penjarakan Presdir......lalai
keselamatan kerja sehingga 27 orang pekerja meninggal[1].
Adapun pendorong atau motif utama
demo besar-besaraan ini menurut ketua umum Komite Serikat Pekerja Indonesia
(KSPI) Said Iqbal adalah “formula
kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP) dengan basis “inflasi dan pertumbuhan
ekonomi”. Pekerja/buruh menolak kedua faktor ekonomi ini sebagai dasar kenaikan
pendapatan. Lalu apa yang baru dari gerakan buruh ini?
Akar persoalan yang
tidak tersentuh
Menurut hemat penulis tidak ada yang
baru dari gerakan buruh demikian. Dari setting historis, sosial dan culturalnya
tuntutan-tuntutan seperti itu sudah nyaring disuarakan sejak dulu hingga saat
ini. Dari era revolusi Industri, era
kolonialisme, era kemerdekaan, era otoritarian Soeharto, era reformasi, hingga
era Jokowi suara-suara nyaring demikian nyaris tak pernah hilang, namun belum
ada substansi/hakiki yang berubah. Masih begitu-begitu juga. Meminjam Marx buruh/pekerja
tetap saja “terpinggirkan,
termarjinalisasi kalau bukan teralienasi” dari kemanusiaannya.
Bahkan dengan miris, walau masih
debatable, banyak kalangan yang menuding bahwa gerakan-gerakan buruh yang tak
pernah layu itu justru digerakkan kekuatan yang dihantamnya sendiri (meminjam
Marx, para pemodal/kapitalist). Dengan segala cara para penggerak/tokoh-tokoh
demo tersebut dipengaruhi para pemegang kapital/pengusaha supaya merekayasa
demo sesuai keinginan para pemegang kapital. Bahasa kasar atau vulgarnya
penggerak demo tersebut telah disuap lebih dulu. Mereka sudah dibayar alias
sudah dibeli. Dapat dibayangkan bahwa demo yang berjalan, adalah demo-demoan. Demo yang dijalankan
supaya hak-hak yang dimiliki kalangan buruh, seperti hak mogok, hak menuntut
dan lain-lain hak demokratis, telah dijalankan, meski kenyataannya adalah demo
yang direkayasa.
Disisi lain secara psikologis dengan
dijalankannya demo, kalangan buruh telah terkanalisasi aspirasi atau gerakannya
meski tuntutannya tidak terpenuhi. Mereka telah puas, walaupun mungkin hanya
kepuasan sesaat, yang sewaktu-waktu akan kambuh lagi. Yang penting sudah
teriak, sudah menunjukkan eksistensinya. Kalau masih diizinkan besok, atau
kapan, demo lagi, mungkin itulah kira-kira dalih atau semangatnya. Dari waktu
ke waktu, hari ke hari, bahkan tahun ke tahun berputar-putar terus disirkuit
tak ada ujung itu. semacam rutinitas nan ritual, namun hilang maknanya.
Muaranya permanen, yakni tetap pada khittahnya, yaitu “kembali bekerja sebagai kaum
yang kalah”
Adegan demikian sudah lebih dari
cukup kita saksikan. Dari sekedar pawai-pawai allegoris yang dinamis hingga
yang vandalis, seperti memblokade jalan tol, membakar fasilitas-fasilitas umum,
bakar ban ditengah jalan sampai pembantaian lawan-lawannya telah kita saksikan
bagai menonton sinetron di layar kaca. Demo supir-supir taksi terhadap hadirnya
taksi digital adalah ilustrasi terakhir tuntutan tersebut. Apa yang
disepakati?, kita sudah sama sama tahu. Tidak ada penyelesaian yang tuntas.
Tetap seperti demo-demo sebelumnya, semua serba menggantung, verbalism, euphemism,
retorika, sebab akar masalah tidak pernah tersentuh
Negara Kesejahteraan?
Akar masalah demikian yang seharusnya
dituntaskan. Dengan kata lain penyelesaian harus konseptual dan komprehensif. Jangan
sepotong-sepotong atau parsial. Persoalan pekerja/buruh tidak an sich persoalan
pekerja/buruh, tapi adalah persoalan holistik bangsa ini. Jadi harus dimulai
dari sini. Pertanyaannya (1)“negara ini kita dirikan untuk apa”? (2) apa
tujuannya?, (3) siapa dan bagaimana mencapainya?. Pertanyaan no 1 dan no 2 mungkin
tak perlu lagi kita bahas. Masing-masing sudah paham, lain hal mungkin no 3
yang berhubungan dengan tema kita malam ini. Atau mungkin juga sudah paham?.
Meski demikian ada baiknya kita baca Pembukaan konstitusi kita, sebab menurut hemat
saya disitulah jawabannya, yakni bahwa Indonesia menganut prinsip “negara
kesejahteraan” (welfare state)
Dalam Pembukaan UUD 1945, alinea ke
4, dengan jelas disebutkan bahwa tugas/fungsi pemerintah adalah....melindungi
segenap warga negara dan tumpah darah.....mewujudkan kesejahteraan dan
mencerdaskan kehidupan bangsa.......yang implementasi atau pengoperasiannya diatur
lebih lanjut dalam pasal-pasalnya seperti; pemenuhan hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (psl 27 ayat 2), pengembangan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasar (psl 28C ayat 1), hidup sejahtera lahir dan
bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan (psl 28 H, ayat 1), jaminan sosial
yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat (psl28 H ayat 3), pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak terlantar
oleh negara (psl 34, ayat 1)
Jelas dan gamblang itulah jawabannya.
Pemerintah harus punya political will
atau comitment untuk itu. Selanjutnya
rombak strukur, sistem atau tatanan ekonomi yang cenderung liar ke arah jumbo capitalism, dan yang tak kurang
pentingnya adalah hilangkan feodalisme yang masih kuat mengakar, khususnya
dalam tatanan pemerintahan. Dengan kata lain jalankan demokrasi. Merdeka.
Palembang , 3 Mei 2016
[1] Issu
lain yang sangat mengganggu adalah masalah TKI/TKW. Bagaimana perlakuan yang
mereka hadapi dinegara yang mereka kunjungi sudah sama-sama kita tahu.
Mengenaskan, memilukan dan menyakitkan. Jalan keluar yang ditempuh selalu
parsial. Di era Megawati sempat dilarang kerja keluar negeri, namun buruh
menolak dan mengadakan demo besar-besaran di DPR RI, karena mereka butuh
pekerjaan. Akhirnya walau hak dan kewajiban yang mereka dapatkan tidak
sebanding, pekerja wanita ini tetap diizinkan kerja ke luar negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar