Jumat, 25 November 2016

KESEJAHTERAAN PEKERJA; ADAKAH YANG BARU?




Oleh: Reinhard Huta
pea
Staf pengajar MIP Unitas /direktur CEPP PPS Unitas Palembang
Disampaikan pada Talk Show Campus Fair, Universitas Taman Siswa, Palembang 3 Mei 2016.
==========================================================================
Pengantar/pointers talk show
 Memahami perjuangan pekerja/buruh mencapai kesejahteraannya telah dilakukan sejak lama, khususnya sejak pembentukan ILO 1919 melalui deklarasi Philadelphia. Berbagai cara, metode dan strategi, baik halus maupun keras telah dipraksiskan supaya buruh sungguh-sungguh bermartabat, menjadi subjek dan tidak menjadi barang komoditas. Data/fakta terakhir perjuangan buruh yang relevan kita kaji sore/malam ini adalah demo akbar November 2015 yang lalu  di Jakarta. Demo yang diikuti sekitar 30.000 buruh juga berlangsung di semua daerah di Indonesia . Tuntutan-tuntutan mereka pada waktu itu  adalah:
1.      Turunkan harga 9 bahan pokok dan bahan bakar minyak
2.      Tolak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat perlambatan ekonomi dan melemahnya rupiah
3.      Tolak masuknya Tenaga Kerja Asing, dan tolak dihapuskannya kewajiban berbahasa Indonesia bagi pekerja asing tersebut
4.      Naikkan Upah Minimum 22% pada tahun 2016 dan tolak Rancangan Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan yang hanya berbasis “Inflasi plus PDB” serta “Revisi Kehidupan Layak (KHL) dari 60 item menjadi 84 item
5.      Revisi PP Jaminan Pensiun, yaitu disamakan dengan PNS/ASN. Bukan seperti yang berlaku saat ini, yakni hanya Rp 300.000,-/perbulan
6.      Perbaiki layanan program kesehatan
7.      Bubarkan pengadilan buruh dan revisi UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tahun ini
8.      Angkat pekerja “outsourching”, terutama di BUMN, sebab BUMN telah menjadi motor utama praksis (pelaksanaan) outsourcing
9.      Hapuskan perbudakan modern dengan mensahkan RUU Perlindungan PRT
10.  Penjarakan Presdir......lalai keselamatan kerja sehingga 27 orang pekerja meninggal[1].
Adapun pendorong atau motif utama demo besar-besaraan ini menurut ketua umum Komite Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal  adalah “formula kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP) dengan basis “inflasi dan pertumbuhan ekonomi”. Pekerja/buruh menolak kedua faktor ekonomi ini sebagai dasar kenaikan pendapatan. Lalu apa yang baru dari gerakan buruh ini?

Akar persoalan yang tidak tersentuh
Menurut hemat penulis tidak ada yang baru dari gerakan buruh demikian. Dari setting historis, sosial dan culturalnya tuntutan-tuntutan seperti itu sudah nyaring disuarakan sejak dulu hingga saat ini.  Dari era revolusi Industri, era kolonialisme, era kemerdekaan, era otoritarian Soeharto, era reformasi, hingga era Jokowi suara-suara nyaring demikian nyaris tak pernah hilang, namun belum ada substansi/hakiki yang berubah. Masih begitu-begitu juga. Meminjam Marx buruh/pekerja tetap saja “terpinggirkan, termarjinalisasi kalau bukan teralienasi” dari kemanusiaannya.
Bahkan dengan miris, walau masih debatable, banyak kalangan yang menuding bahwa gerakan-gerakan buruh yang tak pernah layu itu justru digerakkan kekuatan yang dihantamnya sendiri (meminjam Marx, para pemodal/kapitalist). Dengan segala cara para penggerak/tokoh-tokoh demo tersebut dipengaruhi para pemegang kapital/pengusaha supaya merekayasa demo sesuai keinginan para pemegang kapital. Bahasa kasar atau vulgarnya penggerak demo tersebut telah disuap lebih dulu. Mereka sudah dibayar alias sudah dibeli. Dapat dibayangkan bahwa demo yang berjalan,  adalah demo-demoan. Demo yang dijalankan supaya hak-hak yang dimiliki kalangan buruh, seperti hak mogok, hak menuntut dan lain-lain hak demokratis, telah dijalankan, meski kenyataannya adalah demo yang direkayasa.
 Disisi lain secara psikologis dengan dijalankannya demo, kalangan buruh telah terkanalisasi aspirasi atau gerakannya meski tuntutannya tidak terpenuhi. Mereka telah puas, walaupun mungkin hanya kepuasan sesaat, yang sewaktu-waktu akan kambuh lagi. Yang penting sudah teriak, sudah menunjukkan eksistensinya. Kalau masih diizinkan besok, atau kapan, demo lagi, mungkin itulah kira-kira dalih atau semangatnya. Dari waktu ke waktu, hari ke hari, bahkan tahun ke tahun berputar-putar terus disirkuit tak ada ujung itu. semacam rutinitas nan ritual, namun hilang maknanya. Muaranya permanen, yakni tetap pada khittahnya, yaitu “kembali bekerja sebagai kaum yang  kalah”
Adegan demikian sudah lebih dari cukup kita saksikan. Dari sekedar pawai-pawai allegoris yang dinamis hingga yang vandalis, seperti memblokade jalan tol, membakar fasilitas-fasilitas umum, bakar ban ditengah jalan sampai pembantaian lawan-lawannya telah kita saksikan bagai menonton sinetron di layar kaca. Demo supir-supir taksi terhadap hadirnya taksi digital adalah ilustrasi terakhir tuntutan tersebut. Apa yang disepakati?, kita sudah sama sama tahu. Tidak ada penyelesaian yang tuntas. Tetap seperti demo-demo sebelumnya, semua serba menggantung, verbalism, euphemism, retorika, sebab akar masalah tidak pernah tersentuh

Negara Kesejahteraan?
Akar masalah demikian yang seharusnya dituntaskan. Dengan kata lain penyelesaian harus konseptual dan komprehensif. Jangan sepotong-sepotong atau parsial. Persoalan pekerja/buruh tidak an sich persoalan pekerja/buruh, tapi adalah persoalan holistik bangsa ini. Jadi harus dimulai dari sini. Pertanyaannya (1)“negara ini kita dirikan untuk apa”? (2) apa tujuannya?, (3) siapa dan bagaimana mencapainya?. Pertanyaan no 1 dan no 2 mungkin tak perlu lagi kita bahas. Masing-masing sudah paham, lain hal mungkin no 3 yang berhubungan dengan tema kita malam ini. Atau mungkin juga sudah paham?. Meski demikian ada baiknya kita baca Pembukaan konstitusi kita, sebab menurut hemat saya disitulah jawabannya, yakni bahwa Indonesia menganut prinsip “negara kesejahteraan” (welfare state)
Dalam Pembukaan UUD 1945, alinea ke 4, dengan jelas disebutkan bahwa tugas/fungsi pemerintah adalah....melindungi segenap warga negara dan tumpah darah.....mewujudkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.......yang implementasi atau pengoperasiannya diatur lebih lanjut dalam pasal-pasalnya seperti; pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (psl 27 ayat 2), pengembangan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar (psl 28C ayat 1), hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan (psl 28 H, ayat 1), jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (psl28 H ayat 3), pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak terlantar oleh negara (psl 34, ayat 1)
Jelas dan gamblang itulah jawabannya. Pemerintah harus punya political will atau comitment untuk itu. Selanjutnya rombak strukur, sistem atau tatanan ekonomi yang cenderung liar ke arah jumbo capitalism, dan yang tak kurang pentingnya adalah hilangkan feodalisme yang masih kuat mengakar, khususnya dalam tatanan pemerintahan. Dengan kata lain jalankan demokrasi. Merdeka.
                                                                                                        Palembang , 3 Mei 2016


[1] Issu lain yang sangat mengganggu adalah masalah TKI/TKW. Bagaimana perlakuan yang mereka hadapi dinegara yang mereka kunjungi sudah sama-sama kita tahu. Mengenaskan, memilukan dan menyakitkan. Jalan keluar yang ditempuh selalu parsial. Di era Megawati sempat dilarang kerja keluar negeri, namun buruh menolak dan mengadakan demo besar-besaran di DPR RI, karena mereka butuh pekerjaan. Akhirnya walau hak dan kewajiban yang mereka dapatkan tidak sebanding, pekerja wanita ini tetap diizinkan kerja ke luar negeri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar