Oleh: Reinhard Hutapea
Kompartemen Ideologi
dan Kaderisasi DPP PA GMNI
Disampaikan pada PPAB
GMNI Ogan Ilir/Unsri, Indralaya, 25 November 2016
Pada PPAB GMNI Ogan Ilir/Unsri
Indralaya yang bersejarah ini saya mencoba mendekati judul di atas dengan
bahasa populer. Bahasa yang mungkin dapat dipahami generasi muda sekarang.
Generasi yang sering disebut sebagai generasi Y, generasi Millenia, atau generasi
gadget , atau apalah istilahnya.
Generasi yang kecenderungannya tidak
begitu suka dengan cara-cara formaliistik, sebagaimana misalnya dengan generasi
sebelumnya. Baik itu generasi X, dan atau khususnya generasi senior. Generasi
ini (generasi Y) kecenderungannya tidak begitu menarik dengan cara-cara
logis-sistimatis yang kaku nan serius.
Begitu pula dengan cara-cara yang langsung
kepada “arti, makna, dan sejarah nan serius filosofik, meski temanya adalah “ideologi”
yang sarat dengan nilai-nilai filosofis. Oleh karena itu saya akan memulainya
dari tulisan seorang sejarawan muda yang cukup terkenal saat ini, yakni
J.J.Rizal. Judul tulisannya “Jokowi, Ahok, dan Marhaenisme”.
Judul yang mungkin dapat memancing
kita memahaminya, berhubung, nama-nama ini sedang melesat kontroversinya,
khususnya pasca 4 November 2016 yang lalu. Bagaimana kontroversial tersebut,
tentu bukan tema pembicaraan kita,
walaupun kita tidak mungkin tidak membicarakannya juga. Agar tidak melebar
kesana baiklah saya kutip apa yang diuraikan JJ Rizal dalam tulisannya:
Marhaenisme
bangkit dari kubur sejarah. Setelah puluhan tahun raib di ruang publik,
ujug-ujug Wakil Gubernur DKI, Jakarta Basuki Tjahaya Purnama, alias Ahok
menggunakannya untuk menerawang dunia bathin Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo,
alias Jokowi. Syukur, akhirnya keluar juga pemikiran penting itu dari seorang
pejabat. Pada hal, setelah Soekarno dijatuhkan dan semua eksperimen politiknya
digulung, mulailah para pejabat diharamkan mengucapkan kata itu. Demikianlah
Orde Baru membunuh Marhaenisme.
Cukup menarik tulisan ini. Rizal
menggunakan frase “bangkit dari kubur sejarah dan keluar juga pemikiran itu
dari seorang pejabat”. Artinya pernah mati, namun hidup kembali. Mengapa mati?,
........ mati karena dibunuh rezim Orde Baru. Mengapa, kenapa, siapa, kapan dan
bagaimana pembunuhannya?. Cukup panjang narasi-ceritanya. Yang jelas ia pernah
dilarang oleh suatu rezim yang berkuasa di negeri ini.
Akan tetapi sebagaimana hukum besi
kekuasaan atau historisitasnya, suatu rezim itu tidak pernah abadi. Ia saling
berganti. Pada waktu Bung Karno begini tekanannya..., pada waktu Soeharto
begitu, pada saat ini (pasca reformasi)......Yang pasti selalu berganti. Masalah
pergantian itu berlangsung secara damai, atau sebaliknya dengan, ” konflik”, tidak perlu
kita perdebatkan. Yang pasti ia selalu berganti.
Namun apabila ditilik dari perjalanan
negeri ini, baik sewaktu terjajah maupun sewaktu merdeka, pergantian rezim itu
umumnya selalu melalui konflik, benturan, bahkan kekerasan.
Tidak sebagaimana teori yang lazimnya
disodokkan para pejabat, termasuk yang dominan dikuliahkan dalam
perguruan-perguruan tinggi, seperti teori “struktural-fungsional, teori
keseimbangan, teori sistem/Easton”, bahwa perubahan itu konon selalu damai.
Damai karena teriring pola-pola yang
dititahkan Parsons dengan AGILnya, yakni “Adaptation, Goal, Integration, and Lattern
pattern maintenace/pemeliharaan pola-pola...Memang aneh realitanya konflik, namun
teori yang dikemukakan selalu teori
keseimbangan.
Terserah mau teorinya pakai apa, yang
pasti setiap rezim akan memaksakan kehendaknya. Orde Baru yang anti Soekarno
sudah pasti akan meminimalisir, mengeliminir, kalau mungkin membumihanguskan
seluruh ajaran-ajarannya. Tidak saja menjungkalkan kekuasaan tokoh proklamator
ini, terutama adalah ajaran-ajarannya. Siapapun yang berkuasa lazimnya akan
melakukan hal ini.
Itulah hukum besi politik. Sebaliknya
lain lagi hukum sejarah. Menurut ilmu sejarah, sejarah itu selalu berulang.
Apapun yang terjadi di dunia ini akan selalu berulang (reinkarnasi?). seperti
bunyai satu adagium yang terkenal....”di
bawah matahari tidak ada yang baru”
Jadi tidak usah heran jika dalam era
Orde Baru banyak yang takut bicara
Marhaenisme. Takut bicara Soekarno, takut memakai lambang-lambang Bung Karno,
dan lain-lain yang berhubungan dengan eksistensi pemimpin besar revolusi
tersebut. Akan tetapi sebagaimana hukum sejarah, kekuasaan itu tidak ada yang
abadi, (datang, pergi, datang, pergi, datang, dstnya)....maka ketika Orde Baru
tumbang oleh gerakan Mahasiswa yang diharamkan itu pun kembali dihalalkan.
Adalah Ahok yang pertama-tama sebagai
pejabat publik yang bicara Marhaenisme (idem Rizal). Ahok mengatakan bahwa
atasannya, Gubernur DKI Jaya, yakni Joko
Widodo adalah penganut paham Marhaenisme. Sedangkan Megawati kata Ahok adalah
representasi pemikiran Soekarno.....Mega itu bukan cuma anak biologis Bung
Karno, tapi juga anak ideologisnya.
Selanjutnya Ahok mengatakan demikian:
...Jokowi melihat Mega adalah
representasi Marhaenisme. Sebaliknya, Mega pun melihat jiwa Marhaen dalam diri
Jokowi. Lalu apa Marhaenisme itu sesungguhnya menurut Ahok ?. Ini yang
penting dalam PPAB ini.
Menurut Ahok Marhaenisme itu adalah
paham yang menentang penindasan terhadap rakyat kecil. Singkat tapi Ahok
cukup tepat. Marhaenisme memang paham yang menolak penindasan rakyat kecil.
Istilah Marhaenisme dan Marhaen pertama
kali disebut dalam pidato Sukarno sebagai ketua PNI yang didirikannya pada Juli
1927. Namun secara resmi istilah Marhaen memperoleh definisi dalam pidato
pembelaannya, Indonesia Menggugat, di
Bandung pada tahun 1930 (idem Rizal)
Sukarno menyatakan bahwa pergaulan
hidup Marhaen adalah pergaulan hidup yang
sebagian besar terdiri dari kaum petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil,
pelayar kecil; kaum Marhaen adalah yang semuanya kaum kecil sengsara dan
melarat (idem Rizal).
Versi Dedi Mulyadi
Selain Ahok, pejabat lain yang juga
blak-blakan bicara Marhaenisme adalah Dedi Mulyadi. Dedi sebagaimana kita kenal
saat ini adalah Bupati Purwakarta, yang
juga bertepatan sebagai Ketua DPD Golkar Jawa Barat. Dalam rapat/Musda Golkar Kabupaten Indramayu,
14 September 2016 beliau mengatakan:
....meski
saya Ketua Golkar Jawa Barat, saya ini adalah seorang Marhaenisme. Saya
menjalankannya langsung dalam pola aplikatif, baik sebagai Ketua Golkar maupun
sebagai Bupati Purwakarta.
Selanjutnya dalam Musda itu Dedi
menekankan pentingnya mengimplementasikan Marhaenisme dalam setiap kebijakan
regional ataupun nasional. Dedi sangat optimis apabila nilai-nilai
Marhaenisme di aplikasikan akan dapat mengantarkan Jawa Barat menuju
kesejahteraan. Baca pernyataan berikut ini;...
Saya mendalami
ide-ide Bung Karno, Marhaenisme itu sudah menjadi bagian kultur masyarakat Jawa
barat. Kontekstualisasi itu sudah lama dipraktekkan dalam masyarakat
tradisional Jawa Barat. Mereka memproduksi beras sendiri, di lahan sendiri, dan
sisanya di simpan di leuit (lumbung). Saat masa paceklik, beras yang disimpan
itu masih aman dan digunakan untuk kebutuhan sendiri. Itulah konsep Soekarno
tentang Marhaenisme yang telah ratusan tahun diterapkan masyarakat adat. Oleh
karena itu Marhaenisme adalah cikal
bakal serta roh kemandirian Jawa Barat dalam soal pangan, seperti dalam upaya
meraih swasembada beras......
Pengakuan yang tidak sekedar politis,
melainkan sarat dengan moral, yang pantas kita renungkan. Dedi sebagai public
figure tidak mungkin mengucapkan itu hanya sekedar basa-basi politik, mengingat
ketokohan beliau yang sudah diakui, baik nasional maupun internasional.
Keberhasilannya membangun Purwakarta adalah fakta kepemimpinannya yang mengantar
beliau berpidato di PBB Agustus 2015 yang lalu.
Pengantar Diskusi
Demikianlah sekilas perkenalan kita
dengan Marhaenisme. Perkenalan yang saya antar dari tokoh-tokoh yang tidak dari
kalangan Marhaenis, yang bertepatan
sedang in action dalam pentas
politik. Saya antar sampai sini, selanjutnya untuk pendalaman mari sama-sama
kita diskusikan. Merdeka .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar