Selasa, 22 November 2016

MARHAENISME, SUATU PERKENALAN AWAL




Oleh: Reinhard Hutapea
Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI
Disampaikan pada PPAB GMNI Ogan Ilir/Unsri, Indralaya, 25 November 2016

Pada PPAB GMNI Ogan Ilir/Unsri Indralaya yang bersejarah ini saya mencoba mendekati judul di atas dengan bahasa populer. Bahasa yang mungkin dapat dipahami generasi muda sekarang. Generasi yang sering disebut sebagai generasi Y, generasi Millenia, atau generasi gadget , atau apalah istilahnya.
Generasi yang kecenderungannya tidak begitu suka dengan cara-cara formaliistik, sebagaimana misalnya dengan generasi sebelumnya. Baik itu generasi X, dan atau khususnya generasi senior. Generasi ini (generasi Y) kecenderungannya tidak begitu menarik dengan cara-cara logis-sistimatis yang kaku nan serius.
 Begitu pula dengan cara-cara yang langsung kepada “arti, makna, dan sejarah nan serius filosofik, meski temanya adalah “ideologi” yang sarat dengan nilai-nilai filosofis. Oleh karena itu saya akan memulainya dari tulisan seorang sejarawan muda yang cukup terkenal saat ini, yakni J.J.Rizal. Judul tulisannya “Jokowi, Ahok, dan Marhaenisme”.
Judul yang mungkin dapat memancing kita memahaminya, berhubung, nama-nama ini sedang melesat kontroversinya, khususnya pasca 4 November 2016 yang lalu. Bagaimana kontroversial tersebut, tentu bukan tema  pembicaraan kita, walaupun kita tidak mungkin tidak membicarakannya juga. Agar tidak melebar kesana baiklah saya kutip apa yang diuraikan  JJ Rizal dalam tulisannya:
Marhaenisme bangkit dari kubur sejarah. Setelah puluhan tahun raib di ruang publik, ujug-ujug Wakil Gubernur DKI, Jakarta Basuki Tjahaya Purnama, alias Ahok menggunakannya untuk menerawang dunia bathin Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, alias Jokowi. Syukur, akhirnya keluar juga pemikiran penting itu dari seorang pejabat. Pada hal, setelah Soekarno dijatuhkan dan semua eksperimen politiknya digulung, mulailah para pejabat diharamkan mengucapkan kata itu. Demikianlah Orde Baru membunuh Marhaenisme.
Cukup menarik tulisan ini. Rizal menggunakan frase “bangkit dari kubur sejarah dan keluar juga pemikiran itu dari seorang pejabat”. Artinya pernah mati, namun hidup kembali. Mengapa mati?, ........ mati karena dibunuh rezim Orde Baru. Mengapa, kenapa, siapa, kapan dan bagaimana pembunuhannya?. Cukup panjang narasi-ceritanya. Yang jelas ia pernah dilarang oleh suatu rezim yang berkuasa di negeri ini.
Akan tetapi sebagaimana hukum besi kekuasaan atau historisitasnya, suatu rezim itu tidak pernah abadi. Ia saling berganti. Pada waktu Bung Karno begini tekanannya..., pada waktu Soeharto begitu, pada saat ini (pasca reformasi)......Yang pasti selalu berganti. Masalah pergantian itu berlangsung secara damai, atau  sebaliknya dengan, ” konflik”, tidak perlu kita perdebatkan. Yang pasti ia selalu berganti.
Namun apabila ditilik dari perjalanan negeri ini, baik sewaktu terjajah maupun sewaktu merdeka, pergantian rezim itu umumnya selalu melalui konflik, benturan, bahkan kekerasan.
Tidak sebagaimana teori yang lazimnya disodokkan para pejabat, termasuk yang dominan dikuliahkan dalam perguruan-perguruan tinggi, seperti teori “struktural-fungsional, teori keseimbangan, teori sistem/Easton”, bahwa perubahan itu konon selalu damai. Damai  karena teriring pola-pola yang dititahkan Parsons dengan AGILnya, yakni “Adaptation, Goal, Integration, and Lattern pattern maintenace/pemeliharaan pola-pola...Memang aneh realitanya konflik, namun teori yang dikemukakan selalu  teori keseimbangan.
Terserah mau teorinya pakai apa, yang pasti setiap rezim akan memaksakan kehendaknya. Orde Baru yang anti Soekarno sudah pasti akan meminimalisir, mengeliminir, kalau mungkin membumihanguskan seluruh ajaran-ajarannya. Tidak saja menjungkalkan kekuasaan tokoh proklamator ini, terutama adalah ajaran-ajarannya. Siapapun yang berkuasa lazimnya akan melakukan hal ini.
Itulah hukum besi politik. Sebaliknya lain lagi hukum sejarah. Menurut ilmu sejarah, sejarah itu selalu berulang. Apapun yang terjadi di dunia ini akan selalu berulang (reinkarnasi?). seperti bunyai satu adagium yang terkenal....”di bawah matahari tidak ada yang baru
Jadi tidak usah heran jika dalam era Orde Baru  banyak yang takut bicara Marhaenisme. Takut bicara Soekarno, takut memakai lambang-lambang Bung Karno, dan lain-lain yang berhubungan dengan eksistensi pemimpin besar revolusi tersebut. Akan tetapi sebagaimana hukum sejarah, kekuasaan itu tidak ada yang abadi, (datang, pergi, datang, pergi, datang, dstnya)....maka ketika Orde Baru tumbang oleh gerakan Mahasiswa yang diharamkan itu pun kembali dihalalkan.
Adalah Ahok yang pertama-tama sebagai pejabat publik yang bicara Marhaenisme (idem Rizal). Ahok mengatakan bahwa atasannya, Gubernur DKI Jaya,  yakni Joko Widodo adalah penganut paham Marhaenisme. Sedangkan Megawati kata Ahok adalah representasi pemikiran Soekarno.....Mega itu bukan cuma anak biologis Bung Karno, tapi juga anak ideologisnya.
Selanjutnya Ahok mengatakan demikian: ...Jokowi melihat Mega adalah representasi Marhaenisme. Sebaliknya, Mega pun melihat jiwa Marhaen dalam diri Jokowi. Lalu apa Marhaenisme itu sesungguhnya menurut Ahok ?. Ini yang penting dalam PPAB ini.
Menurut Ahok Marhaenisme itu adalah paham yang menentang penindasan terhadap rakyat kecil. Singkat tapi Ahok cukup tepat. Marhaenisme memang paham yang menolak penindasan rakyat kecil.
 Istilah Marhaenisme dan Marhaen pertama kali disebut dalam pidato Sukarno sebagai ketua PNI yang didirikannya pada Juli 1927. Namun secara resmi istilah Marhaen memperoleh definisi dalam pidato pembelaannya, Indonesia Menggugat, di Bandung pada tahun 1930 (idem Rizal)
Sukarno menyatakan bahwa pergaulan hidup Marhaen adalah pergaulan hidup yang sebagian besar terdiri dari kaum petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil, pelayar kecil; kaum Marhaen adalah yang semuanya kaum kecil sengsara dan melarat (idem Rizal).

Versi Dedi Mulyadi
Selain Ahok, pejabat lain yang juga blak-blakan bicara Marhaenisme adalah Dedi Mulyadi. Dedi sebagaimana kita kenal saat ini adalah  Bupati Purwakarta, yang juga bertepatan sebagai Ketua DPD Golkar Jawa Barat.  Dalam rapat/Musda Golkar Kabupaten Indramayu, 14 September 2016 beliau mengatakan:
....meski saya Ketua Golkar Jawa Barat, saya ini adalah seorang Marhaenisme. Saya menjalankannya langsung dalam pola aplikatif, baik sebagai Ketua Golkar maupun sebagai Bupati Purwakarta.
Selanjutnya dalam Musda itu Dedi menekankan pentingnya mengimplementasikan Marhaenisme dalam setiap kebijakan regional ataupun nasional. Dedi sangat optimis apabila nilai-nilai Marhaenisme di aplikasikan akan dapat mengantarkan Jawa Barat menuju kesejahteraan. Baca pernyataan berikut ini;...
Saya mendalami ide-ide Bung Karno, Marhaenisme itu sudah menjadi bagian kultur masyarakat Jawa barat. Kontekstualisasi itu sudah lama dipraktekkan dalam masyarakat tradisional Jawa Barat. Mereka memproduksi beras sendiri, di lahan sendiri, dan sisanya di simpan di leuit (lumbung). Saat masa paceklik, beras yang disimpan itu masih aman dan digunakan untuk kebutuhan sendiri. Itulah konsep Soekarno tentang Marhaenisme yang telah ratusan tahun diterapkan masyarakat adat. Oleh karena itu Marhaenisme adalah  cikal bakal serta roh kemandirian Jawa Barat dalam soal pangan, seperti dalam upaya meraih swasembada beras......
Pengakuan yang tidak sekedar politis, melainkan sarat dengan moral, yang pantas kita renungkan. Dedi sebagai public figure tidak mungkin mengucapkan itu hanya sekedar basa-basi politik, mengingat ketokohan beliau yang sudah diakui, baik nasional maupun internasional. Keberhasilannya membangun Purwakarta adalah fakta kepemimpinannya yang mengantar beliau berpidato di PBB Agustus 2015 yang lalu.

Pengantar Diskusi
Demikianlah sekilas perkenalan kita dengan Marhaenisme. Perkenalan yang saya antar dari tokoh-tokoh yang tidak dari kalangan  Marhaenis, yang bertepatan sedang in action dalam pentas politik. Saya antar sampai sini, selanjutnya untuk pendalaman mari sama-sama kita diskusikan. Merdeka .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar