Selasa, 29 November 2016

STRATEGI PEMDA DKI JAYA MENINGKATKAN WAWASAN KEBANGSAAN




STRATEGI PEMDA DKI JAYA MENINGKATKAN WAWASAN KEBANGSAAN
Oleh: Reinhard Hutapea[1].

Pendahuluan
Dua hari lagi kita akan memperingati 64 tahun kemerdekaan Negara yang kita cintai. Suatu usia yang sudah cukup dewasa. Ibarat pegawai negeri, ia sudah pensiun, kecuali guru besar yang masih diijinkan hingga usia 70 tahun. Dalam usia tersebut sudah selayaknya menikmati apa yang terbaik dalam kehidupan. Bila mengijinkan, mungkin dalam usia seperti itu, ia akan (sudah) hanya menikmati apa-apa yang sudah dicapainya. Begitukah realitas yang dicapai Bangsa Indonesia?. sebelum kita jawab, atau mungkin tidak perlu dijawab karena sudah pada maklum, perlu penulis kemukakan beberapa catatan yang kami ikuti akhir-akhir ini[2]:
  1. meledaknya bom bunuh diri di Hotel J.W.Marriott & Ritz Carlton
  2. diputarnya film perjuangan mulai tanggal 13 Agustus 2009
  3. suatu renungan tentang saudara-saudara kita yang tinggal di daerah perbatasan dengan negara-negara lain
  4. tulisan Prof Dr Sjamsoed Sajad tentang nasib petani dalam 8 windu kemerdekaan
  5. neoliberal versus ekonomi kerakyatan

Ancaman Kebangsaan
peledakan bom di kedua hotel AS yang pengamanannya sangat ketat ditengarai sebagai ulah dari kalangan teroris. Apa, siapa, mengapa, dimana dan bagaimana bagaimana sepak terjang mereka sudah sama-sama kita ikuti. Tiada saat, tanpa berita tentang mereka dipublisir dengan intens, dramatic oleh media-media, khususnya oleh media audio visual. Perburuan di Bekasi, khususnya di Temanggung begitu intens disiarkan. Mungkin telah mengalahkan film yang supercolosal sekalipun. Berbagai pendapat, tanggapan dan sejenisnya dari berbagai kalangan mencuat kepergaulan/perdebatan masyarakat. Cukup marak sekaligus membingungkan. Sebagian berpendapat itu adalah yang sesungguhnya, namun tidak sedikit yang sebaliknya, yakni rekayasa. Mana yang benar biarlah sejarah yang menentukan. Sebagai warga Negara yang baik kita serahkan itu kepada aparat yang berwajib[3].
Dalam hubungan dengan diskusi kita siang ini adalah bahwa teroris itu tidak sekedar tindakan criminal, tapi jauh diatas itu adalah tindakan yang politis dan ideologis. Keberadaan mereka selalu dihubung-hubungkan dengan syariat Islam. Menurut Prof Dr Heddy Shri Ahimsa Putra, guru besar Antropologi UGM, rata-rata kasus pemboman yang terjadi di Indonesia dilatar belakangi keinginan menegakkan Syariat Islam (K, 12 Agustus 2009)  . Permasalahannya jelas ideologis.
Tentang diputarnya film perjuangan menjelang perayaan 64 tahun kemerdekaan Indonesia, mempunyai makna tersendiri. Kalau era Soeharto dulu, setiap tanggal 30 September diputar film dengan judul “Pengkhianatan G 30 S/PKI, kali ini adalah film yang melukiskan bagaimana pahlawan-pahlawan kita berjuang heroik, patriotik dan mati-matian untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan. Film ini adalah drama perang yang mengingatkan Indonesia tentang “Persatuan, Pengorbanan dan Nasionalisme” (K, 12 Agustus 2009)
Tentang nomor 3 dan no 4 adalah eksistensi atau keberadaan saudara-saudara kita di daerah-daerah perbatasan, dan para petani yang tempat tinggalnya (tentunya) jauh dari kota-kota besar, khususnya jauh dari Jakarta.  Nasib mereka yang tidak berubah sejak era colonial hingga era saat ini. Saudara-saudara kita diperbatasan, seperti yang dekat/berbatasan dengan Singapura dan Malaysia hanya bisa “melongo, memantau dan melihat” kemajuan-kemajuan kedua bangsa itu. Mereka sedikit terhibur karena siaran-siaran televise dari kedua Negara tersebut dapat mereka nikmati setiap saat. Siarannya bening, sementara televisi kita sudah buram. Akan tetapi kalau dipikir lebih jauh suasana inipun cukup tidak nyaman.lama kelamaan mereka akan terpengaruh budaya kedua negara itu.
Begitu pula nasib para petani kita (meminjam pendapat Prof Samsoed Sadjad) tetap “gurem, miskin, atau hanya menjadi buruh tani yang tidak memiliki lahan dan terus melarat. Dari waktu ke waktu nasib mereka selalu diperbincangkan, namun hanya sebatas itu. Dari perbincangan ke perbincangan. Mereka selalu dikasihani, tetapi tidak pernah dibantu..gonta ganti kekuasaan, pemerintahan ataupun rezim, tiada kebijakan yang pro petani.
Pada waktu kampanye pilpres yang baru saja kita ikuti, upaya meningkatkan nasib mereka disuarkan dengan gegap gempita. Begitu bergemuruh ikhtiar untuk memperbaiki nasib mereka, sebab salah satu pasangan capres adalah ketua kerukunan tani Indonesia (HKTI) Sayang yang paling menyuarakannya ini tidak menang . meskipun capres yang paling menyuarakannya tidak menang, kedua capres yang lain juga cukup memperhatikan. Kita tunggu apa action mereka nanti. Apa seperti sebelum-sebelumnya?
Akan tetapi yang paling menarik dalam kampanye yang lalu adalah dihembuskannya satu slogan, konsep atau istilah yang cukup ramai sekaligus controversial. Slogan ini adalah “neoliberal”, suatu konsep ekonomi yang memberi kedaulatan penuh kepada pasar. Pasar menjadi alternative vis a vis dengan ekonomi kerakyatan/Negara sebagaimana yang tertulis dalam pasal 33 UUD 1945. Begitu menggelegarnya gaungnya, hampir-hampir tiada waktu tanpa memperbincangkan neoliberal. Semuanya dikonotasikan dengan neoliberal, sampai-sampai pengertiannya menjadi kabur.Baiklah itu menjadi bahasan dilain waktu
Catatan-catatan atau sinyalemen demikian (dan tentu masih banyak lagi) menggambarkan bahwa ancaman, tantangan, hambatan dan gaungguan terhadap kebangsaan, negara dan masyarakat kita masih tetap latent. Tujuan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sebagaimana yang tertuang dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 masih terlalu jauh dari kenyataan. Hal ini dapat kita baca dari beberapa pakar yang menyuusn mata kuliah kebangsaan disalah satu perguruan tinggi besar. Lebih jelasnya mereka menyatakan:
Adapun pertanyaan sentral yang perlu diajukan adalah: Berhasilkah selama ini Indonesia menjalankan transformasi untuk mewujudkan nasionalisme sebagaimana diamanatkan dalam Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 1945?. Jawabannya secara kategoris jelas “b e l u m”. Realitasnya, bukan semangat kebangsaan yang terwujud secara praksis, tetapi justru pemusatan kekuasaan oleh satu kelompok, monopoli dan KKN, feodalisme birokrasi dan represi, primordialisme, yang pada gilirannya semangat kebangsaan dan solidaritas bangsa menjadi rapuh dan terkoyak. Nation and character building yang diupayakan sejak awal keberadaan bangsa dan Negara Indonesia akhirnya menemui kegagalan yang tragis. (Prayitno. HA, Prof Dr,2004:28)

Implikasi Pembangunan
Hambatan-hambatan demikian kalau kita sederhanakan atau kongkritkan adalah:
  1. pemusatan kekuasaan oleh satu kelompok
  2. monopoli dan KKN
  3. feodalisme birokrasi dan represi
  4. primordialisme
kekuasaan yang mentas ternyata tidak menggambarkan seluruh kekuatan masyarakat sebagaimana umumnya pada Negara-negara yang demokratis. Kekuatan politik Indonesia sejak Soeharto berkuasa didominasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Dari mulai jabatan yang terendah hingga yang tertinggi diduduki perwira-perwira TNI, khususnya dari Angkatan Darat (TNI-AD).
Dalam pengelolaan ekonomi terjadi hal yang analog, yakni sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh kelompok tertentu. Mereka menguasai dari sector hulu hingga hilir. Kelompok ini yang umumnya banyak WNI keturunan mendapatkan pripilese karena dekat dengan kekuasaan. Mereka sesungguhnya bukan pengusaha professional, melainkan pengusaha “klin”
Sejalan dengan kekuasaan yang dilakukan satu kelompok dan penguasaan ekonomi yang juga dilakukan oleh kelompok tertentu adalah menjamurnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pemerintahan yang berjalan berlumuran dengan KKN. Banyak birokrat yang kaya raya tanpa jelas dari mana asalnya kekayaan tersebut. Selidik punya selidik, jelas karena penyalahgunaan wewenang.
Konsekwensi derivasinya adalah pemerintahan yang berjalan tidak sesuai fungsinya sebagaimana diamanatkan UUD maupun UU turunannya. Mereka tidak melayani masyarakat. Sebaliknya mereka dilayani masyarakat. Segala urusan yang berhubu8ngan dengan kepentingan masyarakat tidak ada yang gratis, melainkan penuh dengan suap.
Tidak cukup disitu, pemkiran-pemikiran yang tidak sejalan dengan tindakan kekuasaan atau birokrasi diberangus. Para aktipis, tokoh atau intelektual yang coba-coba melakukan pemikiran alternative akan diberangus dengan berbagai metode. Dari mulai yang paling halus hingga yang paling kasar dipraktekkan dengan refresif. Bagi mereka yang ingin selamat, tiada lain mengikuti sistim yang ada. Bagi mereka yang sebaliknya, siap-siap mengambil jalan sulit.
Di atas itu semua yang juga terus menjamur adalah “primordialisme”. Musuh kebangsaan yang latent ini terus berkembang biak dengan sadisnya. Bagaimana pada waktu itu Sudomo berteriak dengan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) adalah manifestasinya. Apa, siapa, mengapa, dimana dan bagaimana issu SARA itu ditiupkan sudah sama-sama kita ketahui.
Satu hal yang mungkin belum masuk dalam tantangan demikian dan ternyata sangat berpengaruh adalah “Globalisasi”., yakni factor-faktor diluar Indonesia, baik itu regional maupun internasional (variable external) Bagi penulis masalah utamanya adalah:
    • primordialisme
    • globalisasi.
Sedangkan jawaban atau jalan keluar sebagaimana yang ditulis dalam kutifan diatas adalah “Nation and Character Building”. Dalam bahasa Indonesia artinya adalah pembangunan karakter, mental, sikap dan budaya bangsa. Nation and character building adalah konsep besar presiden pertama negeri ini, yakni Ir Soekarno, yang akrab dipanggil Bung Karno.
Beliau berpendapat bahwa yang pertama dibangun di Indonesia pasca lepas dari penjajahan colonial Belanda  adalah pembangunan karakter. Dalam terminology pembangunan, model seperti ini dikenal sebagai “pembangunan politik”. Sayang sebelum pembangunan ini tuntas, beliau keburu dijatuhkan suatu kekuatan, rejim atau pemerintahan yang bertolak belakang dengan kebijakan-kebijakannya.
Pembangunan politik yang dikomandoi Soekarno selanjutnya digantikan oleh Soeharto dengan Pembangunan Ekonomi yang berpusat pada “pertumbuhan” (growth). Pembangunan ini sebagaimana faktanya kemudian menimbulkan kemajuan sekaligus ekses-eksesnya. Bagaimana ekses-eksesnya, sudah disinggung dalam kutifan diatas. Yang pasti ekses itu membuat nilai-nilai kebangsaan kita mengalami erosi atau tergerus secara pasti.

Langkah-Langkah Pemda DKI
Tantangan sudah jelas, pertanyaannya adalah kita mau apa? apa yang akan dilakukan pemerintah, khususnya Pemda DKI atau masyarakatnya? jawabannya secara singkat adalah:
  • pemerintah menjalankan fungsinya dengan sungguh-sungguh. Jadilah pemerintah yang pemerintah. Bukan pemerintahan-pemerintahan
  • masyarakat dengan segenap hati dan pikirannya mencintai bangsanya.Jadilah masyarakat yang bangga akan bangsa, negara dan masyarakatnya. Wright or wrong is my country.
Secara teoritik, siapapun, dimanapun itu, pemerintah mempunyai tugas:
    1. menjaga keamanan
    2. menjaga ketertiban
    3. mewujudkan kemakmuran
    4. mewujudkan kesejahteraan
    5. menegakkan keadilan (Sorensen G, 2005)
Secara praksis-konstitusional sudah jelas tertuang dalam UUD 1945 maupun dalam UU Otonomi Daerah atau UU Kekhususan DKI. Dalam pembukaan UUD 1945 ditulis dengan kalimat yang jelas dan pasti…….tugas pemerintahan adalah melindungi segenap warga negara dan tumpah darah  bangsa Indonesia, mewujudkan kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa……….berikan perlindungan, berikan kesejahteraan dan berikan kecerdasan. Tiga factor/variable yang sudah mencakup dari seluruh dimensi kehidupan
Dalam UU Otonomi Daerah bagaimana mewujudkan nilai-nilai demikian telah dijabarkan lebih rinci, yakni:
1.      perencanaan dan pengendalian pembangunan
2.      perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
3.      penyelengaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
4.      penyediaan sarana dan prasarana umum
5.      penanganan bidang kesehatan
6.      penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial
7.      penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota
8.      pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota
9.      fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota
10.  pengendalian lingkungan hidup
11.  pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota
12.  pelayanan kependudukan dan catatan sipil
13.  pelayanan administrasi umum pemerintahan
14.  pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota
15.  penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota dan
16.  urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Political Will
Jelas sudah fungsi pemerintah.Dengan menjalankan fungsi-fungsi tersebut secara maksimal niscaya rasa kebangsaan akan terus terpupuk dan meningkat dari waktu ke waktu. Pertanyaannya adalah : adakah niat untuk itu ? Adakah political will. Ini kata kuncinya. Jika itu ada kebanggaan sebagai bangsa Indonesia akan terus bersinar. Mengutif simbol gedung yang kita pakai ini (Universitas Kristen Indonesia, UKI), yaitu pemerintah atau birokrasi itu seharusnya “melayani, bukan dilayani” . Itulah birokrasi “legal-rasional” yang dititahkan oleh Max Weber. Sebaliknya setiap masyarakat DKI Jaya supaya terus mencintai bangsanya Mereka harus menjadi teladan, contoh atau garda terdepan, sebab bermukim di Ibukota  Sekian dan terima kasih






LANGKAH-LANGKAH PEMDA DALAM RANGKA MENINGKATKAN WAWASAN KEBANGSAAN
BAGI
MASYARAKAT PROVINSI DKI JAKARTA







OLEH: REINHARD HUTAPEA











PRESENTASI UNTUK SEMINAR SEHARI DALAM RANGKA PENDIDIKAN POLITIK DAN KEPEMILUAN BAGI MASYARAKAT DKI JAKARTA. L S M DERAP PEMBANGUNAN DAN KESBANGPOL DEPARTEMEN DALAM NEGERI , 15 agustus 2009


[1] Jika benar akan kacau balau itu
[2] Yah benar
[3]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar