STRATEGI
PEMDA DKI JAYA MENINGKATKAN WAWASAN KEBANGSAAN
Oleh: Reinhard Hutapea[1].
Pendahuluan
Dua hari lagi kita akan memperingati 64 tahun
kemerdekaan Negara yang kita cintai. Suatu usia yang sudah cukup dewasa. Ibarat
pegawai negeri, ia sudah pensiun, kecuali guru besar yang masih diijinkan
hingga usia 70 tahun. Dalam usia tersebut sudah selayaknya menikmati apa yang
terbaik dalam kehidupan. Bila mengijinkan, mungkin dalam usia seperti itu, ia
akan (sudah) hanya menikmati apa-apa yang sudah dicapainya. Begitukah realitas
yang dicapai Bangsa Indonesia?.
sebelum kita jawab, atau mungkin tidak perlu dijawab karena sudah pada maklum,
perlu penulis kemukakan beberapa catatan yang kami ikuti akhir-akhir ini[2]:
- meledaknya bom bunuh diri di Hotel J.W.Marriott & Ritz Carlton
- diputarnya film perjuangan mulai tanggal 13 Agustus 2009
- suatu renungan tentang saudara-saudara kita yang tinggal di daerah perbatasan dengan negara-negara lain
- tulisan Prof Dr Sjamsoed Sajad tentang nasib petani dalam 8 windu kemerdekaan
- neoliberal versus ekonomi kerakyatan
Ancaman Kebangsaan
peledakan bom di kedua hotel AS yang pengamanannya
sangat ketat ditengarai sebagai ulah dari kalangan teroris. Apa, siapa,
mengapa, dimana dan bagaimana bagaimana sepak terjang mereka sudah sama-sama
kita ikuti. Tiada saat, tanpa berita tentang mereka dipublisir dengan intens,
dramatic oleh media-media, khususnya oleh media audio visual. Perburuan di
Bekasi, khususnya di Temanggung begitu intens disiarkan. Mungkin telah
mengalahkan film yang supercolosal sekalipun. Berbagai pendapat, tanggapan dan
sejenisnya dari berbagai kalangan mencuat kepergaulan/perdebatan masyarakat.
Cukup marak sekaligus membingungkan. Sebagian berpendapat itu adalah yang
sesungguhnya, namun tidak sedikit yang sebaliknya, yakni rekayasa. Mana yang
benar biarlah sejarah yang menentukan. Sebagai warga Negara yang baik kita
serahkan itu kepada aparat yang berwajib[3].
Dalam hubungan dengan diskusi kita siang ini adalah
bahwa teroris itu tidak sekedar tindakan criminal, tapi jauh diatas itu adalah
tindakan yang politis dan ideologis. Keberadaan mereka selalu
dihubung-hubungkan dengan syariat Islam. Menurut Prof Dr Heddy Shri Ahimsa
Putra, guru besar Antropologi UGM, rata-rata kasus pemboman yang terjadi di Indonesia
dilatar belakangi keinginan menegakkan Syariat Islam (K, 12 Agustus 2009) . Permasalahannya jelas ideologis.
Tentang diputarnya film perjuangan menjelang perayaan 64
tahun kemerdekaan Indonesia,
mempunyai makna tersendiri. Kalau era Soeharto dulu, setiap tanggal 30
September diputar film dengan judul “Pengkhianatan G 30 S/PKI, kali ini adalah
film yang melukiskan bagaimana pahlawan-pahlawan kita berjuang heroik,
patriotik dan mati-matian untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan. Film ini
adalah drama perang yang mengingatkan Indonesia tentang “Persatuan,
Pengorbanan dan Nasionalisme” (K, 12 Agustus 2009)
Tentang nomor 3 dan no 4 adalah eksistensi atau
keberadaan saudara-saudara kita di daerah-daerah perbatasan, dan para petani
yang tempat tinggalnya (tentunya) jauh dari kota-kota besar, khususnya jauh
dari Jakarta. Nasib mereka yang tidak berubah sejak era
colonial hingga era saat ini. Saudara-saudara kita diperbatasan, seperti yang
dekat/berbatasan dengan Singapura dan Malaysia hanya bisa “melongo,
memantau dan melihat” kemajuan-kemajuan kedua bangsa itu. Mereka sedikit
terhibur karena siaran-siaran televise dari kedua Negara tersebut dapat mereka
nikmati setiap saat. Siarannya bening, sementara televisi kita sudah buram.
Akan tetapi kalau dipikir lebih jauh suasana inipun cukup tidak nyaman.lama
kelamaan mereka akan terpengaruh budaya kedua negara itu.
Begitu pula nasib para petani kita (meminjam pendapat
Prof Samsoed Sadjad) tetap “gurem, miskin, atau hanya menjadi buruh tani yang
tidak memiliki lahan dan terus melarat. Dari waktu ke waktu nasib mereka selalu
diperbincangkan, namun hanya sebatas itu. Dari perbincangan ke perbincangan. Mereka
selalu dikasihani, tetapi tidak pernah dibantu..gonta ganti kekuasaan,
pemerintahan ataupun rezim, tiada kebijakan yang pro petani.
Pada waktu kampanye pilpres yang baru saja kita ikuti,
upaya meningkatkan nasib mereka disuarkan dengan gegap gempita. Begitu
bergemuruh ikhtiar untuk memperbaiki nasib mereka, sebab salah satu pasangan
capres adalah ketua kerukunan tani Indonesia (HKTI) Sayang yang paling
menyuarakannya ini tidak menang . meskipun capres yang paling menyuarakannya
tidak menang, kedua capres yang lain juga cukup memperhatikan. Kita tunggu apa
action mereka nanti. Apa seperti sebelum-sebelumnya?
Akan tetapi yang paling menarik dalam kampanye yang lalu
adalah dihembuskannya satu slogan, konsep atau istilah yang cukup ramai
sekaligus controversial. Slogan ini adalah “neoliberal”, suatu konsep ekonomi
yang memberi kedaulatan penuh kepada pasar. Pasar menjadi alternative vis a vis
dengan ekonomi kerakyatan/Negara sebagaimana yang tertulis dalam pasal 33 UUD
1945. Begitu menggelegarnya gaungnya, hampir-hampir tiada waktu tanpa
memperbincangkan neoliberal. Semuanya dikonotasikan dengan neoliberal,
sampai-sampai pengertiannya menjadi kabur.Baiklah itu menjadi bahasan dilain
waktu
Catatan-catatan atau sinyalemen demikian (dan tentu
masih banyak lagi) menggambarkan bahwa ancaman, tantangan, hambatan dan gaungguan
terhadap kebangsaan, negara dan masyarakat kita masih tetap latent. Tujuan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sebagaimana yang tertuang dalam
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 masih terlalu jauh dari kenyataan. Hal ini
dapat kita baca dari beberapa pakar yang menyuusn mata kuliah kebangsaan
disalah satu perguruan tinggi besar. Lebih jelasnya mereka menyatakan:
Adapun pertanyaan sentral yang perlu diajukan adalah: Berhasilkah
selama ini Indonesia
menjalankan transformasi untuk mewujudkan nasionalisme sebagaimana diamanatkan
dalam Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 1945?. Jawabannya secara
kategoris jelas “b e l u m”. Realitasnya, bukan semangat kebangsaan yang
terwujud secara praksis, tetapi justru pemusatan kekuasaan oleh satu kelompok,
monopoli dan KKN, feodalisme birokrasi dan represi, primordialisme, yang pada gilirannya
semangat kebangsaan dan solidaritas bangsa menjadi rapuh dan terkoyak. Nation
and character building yang diupayakan sejak awal keberadaan bangsa dan Negara Indonesia
akhirnya menemui kegagalan yang tragis. (Prayitno. HA, Prof Dr,2004:28)
Implikasi Pembangunan
Hambatan-hambatan demikian kalau kita sederhanakan atau kongkritkan
adalah:
- pemusatan kekuasaan oleh satu kelompok
- monopoli dan KKN
- feodalisme birokrasi dan represi
- primordialisme
kekuasaan yang mentas ternyata tidak menggambarkan seluruh kekuatan
masyarakat sebagaimana umumnya pada Negara-negara yang demokratis. Kekuatan
politik Indonesia
sejak Soeharto berkuasa didominasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI). Dari mulai jabatan yang terendah hingga yang tertinggi diduduki perwira-perwira
TNI, khususnya dari Angkatan Darat (TNI-AD).
Dalam pengelolaan ekonomi terjadi hal yang analog, yakni
sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh kelompok tertentu. Mereka menguasai dari
sector hulu hingga hilir. Kelompok ini yang umumnya banyak WNI keturunan
mendapatkan pripilese karena dekat dengan kekuasaan. Mereka sesungguhnya bukan
pengusaha professional, melainkan pengusaha “klin”
Sejalan dengan kekuasaan yang dilakukan satu kelompok dan penguasaan
ekonomi yang juga dilakukan oleh kelompok tertentu adalah menjamurnya Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme. Pemerintahan yang berjalan berlumuran dengan KKN. Banyak
birokrat yang kaya raya tanpa jelas dari mana asalnya kekayaan tersebut.
Selidik punya selidik, jelas karena penyalahgunaan wewenang.
Konsekwensi derivasinya adalah pemerintahan yang berjalan tidak
sesuai fungsinya sebagaimana diamanatkan UUD maupun UU turunannya. Mereka tidak
melayani masyarakat. Sebaliknya mereka dilayani masyarakat. Segala urusan yang
berhubu8ngan dengan kepentingan masyarakat tidak ada yang gratis, melainkan
penuh dengan suap.
Tidak cukup disitu, pemkiran-pemikiran yang tidak sejalan dengan
tindakan kekuasaan atau birokrasi diberangus. Para
aktipis, tokoh atau intelektual yang coba-coba melakukan pemikiran alternative
akan diberangus dengan berbagai metode. Dari mulai yang paling halus hingga
yang paling kasar dipraktekkan dengan refresif. Bagi mereka yang ingin selamat,
tiada lain mengikuti sistim yang ada. Bagi mereka yang sebaliknya, siap-siap
mengambil jalan sulit.
Di atas itu semua yang juga terus menjamur adalah “primordialisme”.
Musuh kebangsaan yang latent ini terus berkembang biak dengan sadisnya.
Bagaimana pada waktu itu Sudomo berteriak dengan SARA (Suku, Agama, Ras dan
Antar Golongan) adalah manifestasinya. Apa, siapa, mengapa, dimana dan
bagaimana issu SARA itu ditiupkan sudah sama-sama kita ketahui.
Satu hal yang mungkin belum masuk dalam tantangan
demikian dan ternyata sangat berpengaruh adalah “Globalisasi”., yakni
factor-faktor diluar Indonesia,
baik itu regional maupun internasional (variable external) Bagi penulis masalah
utamanya adalah:
- primordialisme
- globalisasi.
Sedangkan jawaban atau jalan keluar sebagaimana yang ditulis dalam
kutifan diatas adalah “Nation and Character
Building”. Dalam bahasa Indonesia
artinya adalah pembangunan karakter, mental, sikap dan budaya bangsa. Nation
and character building adalah konsep besar presiden pertama negeri ini, yakni
Ir Soekarno, yang akrab dipanggil Bung Karno.
Beliau berpendapat bahwa yang pertama dibangun di Indonesia
pasca lepas dari penjajahan colonial Belanda
adalah pembangunan karakter. Dalam terminology pembangunan, model
seperti ini dikenal sebagai “pembangunan politik”. Sayang sebelum pembangunan
ini tuntas, beliau keburu dijatuhkan suatu kekuatan, rejim atau pemerintahan
yang bertolak belakang dengan kebijakan-kebijakannya.
Pembangunan politik yang dikomandoi Soekarno selanjutnya
digantikan oleh Soeharto dengan Pembangunan Ekonomi yang berpusat pada
“pertumbuhan” (growth). Pembangunan ini sebagaimana faktanya kemudian
menimbulkan kemajuan sekaligus ekses-eksesnya. Bagaimana ekses-eksesnya, sudah
disinggung dalam kutifan diatas. Yang pasti ekses itu membuat nilai-nilai
kebangsaan kita mengalami erosi atau tergerus secara pasti.
Langkah-Langkah Pemda DKI
Tantangan sudah jelas, pertanyaannya adalah kita mau
apa? apa yang akan dilakukan pemerintah, khususnya Pemda DKI atau
masyarakatnya? jawabannya secara singkat adalah:
- pemerintah menjalankan fungsinya dengan sungguh-sungguh. Jadilah pemerintah yang pemerintah. Bukan pemerintahan-pemerintahan
- masyarakat dengan segenap hati dan pikirannya mencintai bangsanya.Jadilah masyarakat yang bangga akan bangsa, negara dan masyarakatnya. Wright or wrong is my country.
Secara teoritik, siapapun, dimanapun itu, pemerintah mempunyai
tugas:
- menjaga keamanan
- menjaga ketertiban
- mewujudkan kemakmuran
- mewujudkan kesejahteraan
- menegakkan keadilan (Sorensen G, 2005)
Secara praksis-konstitusional sudah jelas tertuang dalam UUD 1945
maupun dalam UU Otonomi Daerah atau UU Kekhususan DKI. Dalam pembukaan UUD 1945
ditulis dengan kalimat yang jelas dan pasti…….tugas pemerintahan adalah
melindungi segenap warga negara dan tumpah darah bangsa Indonesia, mewujudkan kesejahteraan
sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa……….berikan perlindungan, berikan kesejahteraan
dan berikan kecerdasan. Tiga factor/variable yang sudah mencakup dari seluruh
dimensi kehidupan
Dalam UU Otonomi Daerah bagaimana mewujudkan nilai-nilai demikian
telah dijabarkan lebih rinci, yakni:
1.
perencanaan dan pengendalian
pembangunan
2.
perencanaan, pemanfaatan, dan
pengawasan tata ruang
3.
penyelengaraan ketertiban umum
dan ketentraman masyarakat
4.
penyediaan sarana dan prasarana
umum
5.
penanganan bidang kesehatan
6.
penyelenggaraan pendidikan dan
alokasi sumber daya manusia potensial
7.
penanggulangan masalah sosial
lintas kabupaten/kota
8.
pelayanan bidang
ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota
9.
fasilitasi pengembangan
koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota
10.
pengendalian lingkungan hidup
11.
pelayanan pertanahan termasuk
lintas kabupaten/kota
12.
pelayanan kependudukan dan
catatan sipil
13.
pelayanan administrasi umum
pemerintahan
14.
pelayanan administrasi
penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota
15.
penyelenggaraan pelayanan dasar
lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota dan
16.
urusan wajib lainnya yang diamanatkan
oleh peraturan perundang-undangan.
Political Will
Jelas sudah fungsi pemerintah.Dengan menjalankan
fungsi-fungsi tersebut secara maksimal niscaya rasa kebangsaan akan terus
terpupuk dan meningkat dari waktu ke waktu. Pertanyaannya adalah : adakah niat
untuk itu ? Adakah political will. Ini kata kuncinya. Jika itu ada kebanggaan
sebagai bangsa Indonesia
akan terus bersinar. Mengutif simbol gedung yang kita pakai ini (Universitas
Kristen Indonesia, UKI), yaitu pemerintah atau birokrasi itu seharusnya “melayani, bukan dilayani” . Itulah
birokrasi “legal-rasional” yang dititahkan oleh Max Weber. Sebaliknya setiap
masyarakat DKI Jaya supaya terus mencintai bangsanya Mereka harus menjadi
teladan, contoh atau garda terdepan, sebab bermukim di Ibukota Sekian dan terima kasih
LANGKAH-LANGKAH PEMDA DALAM RANGKA
MENINGKATKAN WAWASAN KEBANGSAAN
BAGI
MASYARAKAT PROVINSI DKI JAKARTA
OLEH:
REINHARD HUTAPEA
PRESENTASI
UNTUK SEMINAR SEHARI DALAM RANGKA PENDIDIKAN POLITIK DAN KEPEMILUAN BAGI
MASYARAKAT DKI JAKARTA.
L S M DERAP PEMBANGUNAN DAN KESBANGPOL DEPARTEMEN DALAM NEGERI , 15 agustus
2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar