Jumat, 02 Desember 2016

JOKOWI NGLAKONI, BUKAN JARKONI




JOKOWI NGLAKONI, BUKAN JARKONI
Oleh: Reinhard Hutapea
Direktur CEPP PPS UNITAS Palembang

Disampaikan sebagai pengantar diskusi pada diskusi CEPP Unitas, 4 November 2014
 dengan tema “Prospek Pemerintahan Baru”

Jokowi telah menciptakan paradigma baru dalam tatanan, sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan Indonesia. Paradigma yang  telah melewati pemikiran dan peran yang berkembang selama ini. Khususnya melewati pemikiran yang berlangsung dalam dunia pendidikan kita. Sementara kita sebut “Jokowilogi”[1]
Meskipun pendapat ini masih penuh perdebatan (debatable), karena pasti sudah ada yang setuju dan sebaliknya, paling tidak saya melihat dari demam masyarakat yang begitu menyatu dengan fenomena (tampil beda) Jokowi tersebut. Saya kira dalam hal ini tidak ada yang membantah bahwa Jokowi menjadi pergunjingan.
 Dimana-mana gemuruh atau euforia Jokowi mewabah epidemik-pandemik pasca ia dicalonkan jadi Gubernur DKI Jaya hingga terpilih menjadi Presiden. Dari mulai bentuk pakaian, hingga perilaku-perilakunya menjadi perbincangan hangat dari mulai warung kopi hingga hotel berbintang lima, dari pemulung, abang becak, sopir bis hingga pelajar, elit dan tokoh-tokoh masyarakat, sampai ke mancanegara.
            Fachry Ali seorang cendekiawan kebudayaan yang pandangan-pandangannyabanyak dikutif atau menjadi rujukan banyak khalayak menyebut fenomena Jokowi tersebut sebagai  “politik emosi”. Mencuatnya perasaan emosional terhadap sepak terjang Jokowi, sebagai  antitese terhadap “politik kalkulatif” yang patologis dan menggerogoti sejak lama.
Politik emosi sebagaimana substansinya mengunggulkan “keakraban, kepemilikan (self of belonging) dan rasa sepenanggungan” daripada sekedar nalar dari pada kepentingan pribadi atau golongan (vested interest) yang sudah melembaga sistemik.
Meminjam Taufik Abdullah (dalam Fachry Ali) politik yang muncul adalah “politik pasca elite”, yakni politik yang terlalu berorientasi kepada orang seorang atau segelintir sosok yang dianggap menonjol yang sesungguhnya menyimpan kelemahan besar.
Kelemahan-kelemahan elite tersebut (menurut Fachry Ali)  adalah , satu, orientasinya yang dominan pada pengalaman-pengalaman negara dan masyarakat maju[2]. Kedua, watak kepemimpinannya selalu dibentuk dari atas[3] oleh lembaga politik maupun birokrasi yang akhirnya terpisah dari keseharian rakyat banyak
Disadari atau tidak pola tak tepat, tak layak kalau bukan pola jahanam inilah yang berlangsung sejak negeri ini merdeka.  Meski kaum elit punya good will, namun karena instrumen (tool) yang digunakannya tidak tepat, tampillah paradoks, dichotomi atau kontroversial dalam kehidupan masyarakat. Elit orientasinya kemana....rakyat kemana...tidak pernah ketemu. Anehnya mengapa jalan terus ?
Lain Fachry Ali, lain Limas Sutanto, meski dalam substansi yang sama. Limas Sutanto menyatakan bahwa Jokowi telah melakukan revolusi dalam kepemimpinan, yakni dari “kepemimpinan deduktif” kepada “kepemimpinan hermeneutik-eksperiensal”. Dari kepemimpinan yang berpusat pada gagasan-gagasan besar sang pemimpin kepada kepemimpinan yang berpusat pada tindakan mengerti atau memahami secara tepat kehendak dan kebutuhan rakyat[4]
Terpilihnya Jokowi menggaris bawahi kehendak dan kebutuhan rakyat Indonesia akan pemimpin yang tidak terutama melahirkan gagasan-gagasan besar dari dirinya sendiri, tetapi pemimpin yang secara langsung mengalami hidup rakyat, merasakan hidup rakyat, mendengarkan suara rakyat, dan karena itu semua lalu menjadi mengerti rakyat dengan segala kehendak dan kebutuhannya (idem Limas Sutanto)
Jokowi telah menjungkirbalikkan nilai-nilai sesat yang sudah berkarat. Ia tidak ngomong (tidak banyak ngomong) apalagi omong doang (om do). Tradisi-tradisi verbalism, eufhemism atau rhetoricsm dibongkar sebagaimana teriakannya Iwan Fals dalam lagunya “bongkar”
Mengutif pepatah Jawa, Jokowi telah “nglakoni” , yakni mewujudkannya dalam praktek nyata, tidak seperti yang banyak berlangsung selama ini, yakni jarkoni “iso ngajari, ora iso nglakoni . Merdeka. Terima kasih.
                                                                                                 Palembang, 4 November 2014


[1] Mengapa kita singgung khusus dunia pendidikan, karena apa yang dilakukan Jokowi agak lain, kalau bukan sama sekali beda dengan tradisi-tradisi yang dipentaskan di lembaga pendidikan, termasuk di pendidikan tinggi. Mungkin agak sukar memahami Jokowi apabila hanya  menggunakan teori-teori yang dipakai selama ini. Apakah ia telah melewati atau pasca modern sebagaimana diterapkan dalam materi pendidikan selama ini, yakni terobosan besar atau justru biasa-biasa saja, perlu kajian selanjutnya. Akan tetapi melihat kenyataan saat ini bahwa dunia pendidikan kita bermasalah, yakni tidak memberi jawaban terhadap permasalahan bangsanya tidak bisa dinafikan. Rhenald Kasali  mengutif Heckman (dalam Kompas 24 Oktober 2014,).seorang pakar manajemen dari FEUI menengarai bahwa muatan atau materi pendidikan yang diberi di lembaga pendidikan” yang sarat kognitif dan membebani (terlalu mekanistik) tidak dapat menjawab persoalan krusial bangsa, seperti kemiskinan yang terus fenomenologis. Hal ini katanya karena nilai-nilai yang sangat menentukan yakni hal-hal yang” non kognitif”, seperti “ketrampilan meregulasi diri, mulai dari mengendalikan perhatian dan perbuatan, sampai kemampuan mengelola daya tahan, menghadapi tekanan, menunda kenikmatan, ketekunan menghadapi kejenuhan, dan kecenderungan untuk menjalankan rencana” tidak diberikan. Bisa saja IP mereka tinggi, SKS nya mengalahkan SKS yang diterapkan dinegara-negara lain, namun  karena mereka tidak kompeten mayoritas menjadi penganggur atau yang sudah bekerja tidak ada kreatifitas. Pendapat yang lebih tajam dikemukakan Daoed Yoesoef yakni apabila syarat-syarat kegiatan ilmiah seperti “eksistensi suatu keseluruhan kompleksitas dari ide, instrumen, lembaga, publikasi pemikiran dari riset, memedulikan karya orang lain, dan diskusi interaktif” tidak dijalankan sebagaimana mestinya, maka ....hanya fatamorgana. Yang terjadi kemudian sebagaimana kejadian dewasa ini hanya menghasilkan penyandang gelar tanpa spirit ilmiah, tidak menghayati tradisi akademis, tidak kreatif, karya jiplakan dan tesis-disertasi plagiat (Kompas, 18 februari 2014)
[2] Entah mengapa citra negara-negara lain selalu menjadi orientasi negeri ini. Dari banyak segi eksistensi mereka sangat beda dengan Indonesia. Dari segi politik, ekonomi, sosial apalagi kebudayaan kita sangat kontras dengan mereka. Daoed Yoesoef dalam Kompas 24 Oktober 2014 menengarai lima kefatalan negeri ini dalam pembangunan. Pertama, melupakan Pancasila sebagai dasar pembangunan. Kedua, penetapan ekonomika sebagai ilmu pengetahuan yang dipercaya memandu logika pembangunan. Ketiga, revolusi Indonesia beda dengan revolusi negeri lain. Keempat, impian pembangunan dari warga yang tidak dihiraukan. Ekspektasi tidak hanya atas dasar individula, melainkan juga kelompok/suku/kedaerahan. Kelima, melupakan begitu saja natur Indonesia. Indonesia itu maritim dominannya, tidak kontinental.
[3] Meski selalu dikatakan akan memperhatikan aspirasi rakyat, alias demokratis, kenyatannya selalu dipaksakan dari atas.
[4] Dalam artian Jawa, nglakoni


Tidak ada komentar:

Posting Komentar