JOKOWI
NGLAKONI, BUKAN JARKONI
Oleh:
Reinhard Hutapea
Direktur
CEPP PPS UNITAS Palembang
Disampaikan
sebagai pengantar diskusi pada diskusi CEPP Unitas, 4 November 2014
dengan tema “Prospek Pemerintahan Baru”
Jokowi telah menciptakan paradigma
baru dalam tatanan, sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan Indonesia.
Paradigma yang telah melewati pemikiran dan
peran yang berkembang selama ini. Khususnya melewati pemikiran yang berlangsung
dalam dunia pendidikan kita. Sementara kita sebut “Jokowilogi”[1]
Meskipun pendapat ini masih penuh
perdebatan (debatable), karena pasti sudah ada yang setuju dan sebaliknya,
paling tidak saya melihat dari demam masyarakat yang begitu menyatu dengan
fenomena (tampil beda) Jokowi tersebut. Saya kira dalam hal ini tidak ada yang
membantah bahwa Jokowi menjadi pergunjingan.
Dimana-mana gemuruh atau euforia Jokowi
mewabah epidemik-pandemik pasca ia dicalonkan jadi Gubernur DKI Jaya hingga
terpilih menjadi Presiden. Dari mulai bentuk pakaian, hingga
perilaku-perilakunya menjadi perbincangan hangat dari mulai warung kopi hingga
hotel berbintang lima, dari pemulung, abang becak, sopir bis hingga pelajar,
elit dan tokoh-tokoh masyarakat, sampai ke mancanegara.
Fachry Ali seorang cendekiawan
kebudayaan yang pandangan-pandangannyabanyak dikutif atau menjadi rujukan
banyak khalayak menyebut fenomena Jokowi tersebut sebagai “politik emosi”. Mencuatnya perasaan emosional
terhadap sepak terjang Jokowi, sebagai antitese terhadap “politik kalkulatif” yang patologis
dan menggerogoti sejak lama.
Politik emosi sebagaimana
substansinya mengunggulkan “keakraban, kepemilikan (self of belonging) dan rasa
sepenanggungan” daripada sekedar nalar dari pada kepentingan pribadi atau
golongan (vested interest) yang sudah melembaga sistemik.
Meminjam Taufik Abdullah (dalam
Fachry Ali) politik yang muncul adalah “politik pasca elite”, yakni politik
yang terlalu berorientasi kepada orang seorang atau segelintir sosok yang
dianggap menonjol yang sesungguhnya menyimpan kelemahan
besar.
Kelemahan-kelemahan elite tersebut (menurut
Fachry Ali) adalah , satu, orientasinya
yang dominan pada pengalaman-pengalaman negara dan masyarakat maju[2].
Kedua, watak kepemimpinannya selalu dibentuk dari atas[3]
oleh lembaga politik maupun birokrasi yang akhirnya terpisah dari keseharian
rakyat banyak
Disadari atau tidak pola tak tepat,
tak layak kalau bukan pola jahanam inilah yang berlangsung sejak negeri
ini merdeka. Meski kaum elit punya good
will, namun karena instrumen (tool) yang digunakannya tidak tepat, tampillah
paradoks, dichotomi atau kontroversial dalam kehidupan masyarakat. Elit
orientasinya kemana....rakyat kemana...tidak pernah ketemu. Anehnya mengapa
jalan terus ?
Lain Fachry Ali, lain Limas Sutanto,
meski dalam substansi yang sama. Limas Sutanto menyatakan bahwa Jokowi telah
melakukan revolusi dalam kepemimpinan, yakni dari “kepemimpinan deduktif” kepada “kepemimpinan hermeneutik-eksperiensal”. Dari kepemimpinan yang berpusat pada
gagasan-gagasan besar sang pemimpin kepada kepemimpinan yang berpusat pada
tindakan mengerti atau memahami secara tepat kehendak dan kebutuhan rakyat[4]
Terpilihnya Jokowi menggaris bawahi
kehendak dan kebutuhan rakyat Indonesia akan pemimpin yang tidak terutama
melahirkan gagasan-gagasan besar dari dirinya sendiri, tetapi pemimpin yang
secara langsung mengalami hidup rakyat, merasakan hidup rakyat, mendengarkan
suara rakyat, dan karena itu semua lalu menjadi mengerti rakyat dengan segala
kehendak dan kebutuhannya (idem Limas Sutanto)
Jokowi telah menjungkirbalikkan
nilai-nilai sesat yang sudah berkarat. Ia tidak ngomong (tidak banyak ngomong)
apalagi omong doang (om do). Tradisi-tradisi verbalism, eufhemism atau
rhetoricsm dibongkar sebagaimana teriakannya Iwan Fals dalam lagunya “bongkar”
Mengutif pepatah Jawa, Jokowi telah “nglakoni”
, yakni mewujudkannya dalam praktek nyata, tidak seperti yang banyak
berlangsung selama ini, yakni jarkoni “iso ngajari, ora iso nglakoni . Merdeka.
Terima kasih.
Palembang, 4 November 2014
[1] Mengapa
kita singgung khusus dunia pendidikan, karena apa yang dilakukan Jokowi agak
lain, kalau bukan sama sekali beda dengan tradisi-tradisi yang dipentaskan di
lembaga pendidikan, termasuk di pendidikan tinggi. Mungkin agak sukar memahami
Jokowi apabila hanya menggunakan
teori-teori yang dipakai selama ini. Apakah ia telah melewati atau pasca modern
sebagaimana diterapkan dalam materi pendidikan selama ini, yakni terobosan
besar atau justru biasa-biasa saja, perlu kajian selanjutnya. Akan tetapi
melihat kenyataan saat ini bahwa dunia pendidikan kita bermasalah, yakni tidak
memberi jawaban terhadap permasalahan bangsanya tidak bisa dinafikan. Rhenald
Kasali mengutif Heckman (dalam Kompas 24
Oktober 2014,).seorang pakar manajemen dari FEUI menengarai bahwa muatan atau
materi pendidikan yang diberi di lembaga pendidikan” yang sarat kognitif dan
membebani (terlalu mekanistik) tidak dapat menjawab persoalan krusial bangsa,
seperti kemiskinan yang terus fenomenologis. Hal ini katanya karena nilai-nilai
yang sangat menentukan yakni hal-hal yang” non kognitif”, seperti “ketrampilan
meregulasi diri, mulai dari mengendalikan perhatian dan perbuatan, sampai
kemampuan mengelola daya tahan, menghadapi tekanan, menunda kenikmatan,
ketekunan menghadapi kejenuhan, dan kecenderungan untuk menjalankan rencana” tidak
diberikan. Bisa saja IP mereka tinggi, SKS nya mengalahkan SKS yang diterapkan
dinegara-negara lain, namun karena mereka
tidak kompeten mayoritas menjadi penganggur atau yang sudah bekerja tidak ada
kreatifitas. Pendapat yang lebih tajam dikemukakan Daoed Yoesoef yakni apabila
syarat-syarat kegiatan ilmiah seperti “eksistensi suatu keseluruhan
kompleksitas dari ide, instrumen, lembaga, publikasi pemikiran dari riset, memedulikan
karya orang lain, dan diskusi interaktif” tidak dijalankan sebagaimana
mestinya, maka ....hanya fatamorgana. Yang terjadi kemudian sebagaimana
kejadian dewasa ini hanya menghasilkan penyandang gelar tanpa spirit ilmiah,
tidak menghayati tradisi akademis, tidak kreatif, karya jiplakan dan
tesis-disertasi plagiat (Kompas, 18 februari 2014)
[2] Entah
mengapa citra negara-negara lain selalu menjadi orientasi negeri ini. Dari
banyak segi eksistensi mereka sangat beda dengan Indonesia. Dari segi politik,
ekonomi, sosial apalagi kebudayaan kita sangat kontras dengan mereka. Daoed
Yoesoef dalam Kompas 24 Oktober 2014 menengarai lima kefatalan negeri ini dalam
pembangunan. Pertama, melupakan Pancasila sebagai dasar pembangunan. Kedua,
penetapan ekonomika sebagai ilmu pengetahuan yang dipercaya memandu logika
pembangunan. Ketiga, revolusi Indonesia beda dengan revolusi negeri lain.
Keempat, impian pembangunan dari warga yang tidak dihiraukan. Ekspektasi tidak
hanya atas dasar individula, melainkan juga kelompok/suku/kedaerahan. Kelima,
melupakan begitu saja natur Indonesia. Indonesia itu maritim dominannya, tidak
kontinental.
[3] Meski
selalu dikatakan akan memperhatikan aspirasi rakyat, alias demokratis,
kenyatannya selalu dipaksakan dari atas.
[4] Dalam
artian Jawa, nglakoni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar