MENDORONG
PANCASILA KE POSISINYA
Oleh:
Reinhard Hutapea
Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA
GMNI
Published,
Harian Banyuasin, 1 Juni 2016
Cat:
Tulisan ini , meski tidak sama persis telah kami tulis di Harian
Tribun Sumsel. Begitu pula sebagai tanggapan kami terhadap refleksi akhir tahun
DPP PA GMNI di Ged CCM lt 9, jl Cikini Raya no 95 Jakpus, tulisan ini kembali
kami publikasikan di blog ini. Merdeka
Setiap tanggal 1 Juni negeri ini selalu konsisten
memperingati hari lahirnya Pancasila. Hari lahirnya dasar negara. Tiada tahun
tanpa peringatan. Dari era kelahirannya tahun 1945 yang dikenal dengan Orde
Lama, era Orde Baru yang otoriter, era Reformasi yang super bebas , hingga tahun ini
yang marak dengan issu palu arit tidak pernah lekang dari peringatan. Begitu syahdu, agung hingga sakral peringatan itu,
seakan-akan telah menjadi semacam ritual
yang wajib hukum dan moralnya.
Pada acara tersebut lazimnya selalu diuraikan historisitas, aktualitas dan rasionalitasnya
(Yudi Latif, 2007) secara lengkap, indah, dan menarik, sehingga siapapun yang
mengikutinya akan selalu terkesima. Terkagum-kagume betapa agungnya Pancasila
itu. Akan tetapi ketika selesai mengikuti hajatan-peringatan tersebut, seketika
itu juga pesan-pesan yang dinarasikan hilang
dari ingatan.
Apa itu historisitas (sejarah dan latar
belakang lahirnya), aktualitas (relevansinya) dan rasionalitas (ke masuk
akalannya) yang disampaikan dengan berapi-api dalam peringatan tersebut hilang
ditelan angin karena tidak sejalan dengan realita-empiriknya. Rasionalitasnya sebagaimana
tertulis dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 adalah “melindungi,
mensejahterakan,dan mencerdaskan bangsa”
,akan tetapi realita-empiriknya sering
sebaliknya, yakni “membiarkan, memelaratkan dan membodohi”. Meminjam Ted Robert
Gurr (1966) ada jurang (gap) yang dalam,
cadas dan terjal antara harapan dan kenyataan
Jurang Nilai
Jurang demikian dapat kita lihat dari
survey yang dilakukan Kompas tanggal
27-29 mei 2015. Dalam Survey yang mengambil tiga faktor utama, yakni “nilai-nilai
Pancasila, sikap dan perilaku elit politik dan kebijakan pemerintah” diperoleh
angka sebagai berikut; akan nilai-nilai
Pancasila yang sudah dilaksanakan
menurut pendapat masyarakat baru
sekitar 37,2%, → sekitar 1/3nya, dengan perincian sebagai berikut; sila
pertama 45,9%, sila kedua 46,1%, sila ketiga
41,5%, sila ke empat 42,3% dan sila ke lima 15,%.
Sedangkan terhadap perilaku elit, yakni para pejabat
atau pemimpin dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa, apakah
sudah sesuai atau tidak dengan nilai-nilai Pancasila, masih ibarat langit dan
bumi. 75% masyarakat berpendapat tidak sesuai. Apa yang dilakukan elit selalu
bias dari nilai-nilai Pancasila. Tidak begitu jauh dengan kebijakanyang
ditempuh pemerintah apakah sudah sesuai atau
tidak dengan nilai-nilai Pancasila ada di angka 33,4%, artinya baru 1/3nya yang
dilaksanakan, selebihnya belum.
Meski survey tersebut dilakukan setahun
yang lalu, keadaannya tidak lebih baik hari ini. Malah sebaliknya semakin besar
mengingat issu-issu yang berkembang akhir-akhir ini cukup mengenaskan.
Beratnya kehidupan ekonomi, banyaknya
elit yang tertangkap tangan korupsi, maraknya kriminalitas, narkotika dan
issu-isu lain adalah beberapa contoh betapa keadaan tidak lebih baik dibandingkan
tahun yang lalu. Ironi.
Mengapa konstatasinya terus demikian,
sukar menjawabnya secara hitam putih. Yang jelas negeri ini sejak merdeka
hingga saat ini belum pernah melaksanakannya secara konsisten. Pasca
kemerdekaan kita mengalami tantangan penjajah/Belanda yang ingin kembali,
perang dingin/cold war, separatisme hingga pengkhianat-pengkhianat domestik.
Meski sudah ada tekad pemerintah mewujudkan pembangunan yang didasarkan pada
Pancasila dan UUD 1945 belum dapat terlaksana karena masalah-masalah tersebut.
Blue print pembangunan, seperti yang tertuang dalam Manipol USDEK dan yang
dirancang secara konseptual dan komprehensif oleh Depernas, tinggal sebatas
program di atas kertas.
Setelah Bung Karno diturunkan dari
singgasana kekuasaan oleh Orde Baru, keadaan semakin jauh dari nilai-nilai
Pancasila. Dengan jargon “politik no ekonomi yes”, Orde baru mementaskan model
pembangunan ekonomi yang berfocus pertumbuhan (Growth economy) dan membuka diri
lebar-lebar terhadap investasi dan utang luar negeri (open door policy).
Prinsip-prinsip ekonomi sebagaimana yang tertuang dalam pasal 33 butir 1, 2,
dan 3 UUD 1945, khususnya sila kelima Pancasila (Keedilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia) tidak lagi menjadi rujukan. Rujukannya adalah dikte-dikte
dari negara dan investor luar.
Tidak hanya dalam bidang ekonomi,
dikte-dikte itu ditekankan, melainkan dalam seluruh sendi-sendi kehidupan
bangsa. Dalam bidang kebudayaan, seperti pendidikan misalnya mereka menekankan
agar kurikulum dan muatan-muatannya harus sesuai dengan sistim perekonomian
yang mereka anut. Buku-buku yang berbau kiri diharamkan. Yang diizinkan adalah
buku-buku yang mendukung liberalisme-kapitalisme. Dalam bidang politik jauh lebih
dahsyat. Selain membubarkan PKI, desukarnoisasi adalah merekayasa partai
politik hanya boleh tiga (PPP, Golkar dan PDI). Kongkritnya depolitisasi
Pancasila ke
Posisinya
Implikasi-implikasi demikian masih dapat
diuraikan sekian panjang lagi. Namun yang pasti model pembangunan yang
diterapkan pada Orde Baru sangat menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. Begitu
pula ketika era reformasi datang, nilai-nilai Pancasila itu tak kunjung
diwujudkan. Dengan dalih reformasi, semua segmen mau direformasi, namun dengan
platform yang tidak jelas. Selain model pembangunan ekonomi yang belum sesuai
dengan Pancasila, jauh lebih miris adalah pembangunan politik yang semakin
liberal-individualistik.
Pemerintaha Jokowi-JK kelihatannya
menyadari pembiasan demikian. Dengan prinsip “berdaulat dalam bidang politik,
berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan” sebagaimana
yang dipidatokan Bung Karno tahun 1963 , nilai-nilai Pancasila akan
dikembalikan ke relnya. Tekad ini telah termaktub dalam Nawa Cita yang dalam
implementasinya juga sudah mulai menunjukkan hasil. Kembalikan Pancasila ke
posisinya. Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar