Kamis, 29 Desember 2016

MENDORONG PANCASILA KE POSISINYA




MENDORONG PANCASILA KE  POSISINYA
Oleh: Reinhard Hutapea
 Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI
Published, Harian Banyuasin, 1 Juni 2016
Cat: Tulisan ini , meski tidak sama persis telah kami tulis di Harian Tribun Sumsel. Begitu pula sebagai tanggapan kami terhadap refleksi akhir tahun DPP PA GMNI di Ged CCM lt 9, jl Cikini Raya no 95 Jakpus, tulisan ini kembali kami publikasikan di blog ini. Merdeka

Setiap tanggal 1 Juni negeri ini selalu konsisten memperingati hari lahirnya Pancasila. Hari lahirnya dasar negara. Tiada tahun tanpa peringatan. Dari era kelahirannya tahun 1945 yang dikenal dengan Orde Lama, era Orde Baru yang otoriter, era  Reformasi yang super bebas , hingga tahun ini yang marak dengan issu palu arit tidak pernah lekang dari peringatan. Begitu  syahdu, agung hingga sakral peringatan itu, seakan-akan telah menjadi  semacam ritual yang wajib hukum dan moralnya.
Pada acara tersebut  lazimnya selalu diuraikan  historisitas, aktualitas dan rasionalitasnya (Yudi Latif, 2007) secara lengkap, indah, dan menarik, sehingga siapapun yang mengikutinya akan selalu terkesima. Terkagum-kagume betapa agungnya Pancasila itu. Akan tetapi ketika selesai mengikuti hajatan-peringatan tersebut, seketika itu juga  pesan-pesan yang dinarasikan hilang dari ingatan.
Apa itu historisitas (sejarah dan latar belakang lahirnya), aktualitas (relevansinya) dan rasionalitas (ke masuk akalannya) yang  disampaikan dengan  berapi-api dalam peringatan tersebut hilang ditelan angin karena tidak sejalan dengan realita-empiriknya. Rasionalitasnya sebagaimana tertulis dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 adalah “melindungi, mensejahterakan,dan  mencerdaskan bangsa” ,akan tetapi  realita-empiriknya sering sebaliknya, yakni “membiarkan, memelaratkan dan membodohi”. Meminjam Ted Robert Gurr  (1966) ada jurang (gap) yang dalam, cadas dan terjal antara harapan dan kenyataan

Jurang Nilai
Jurang demikian dapat kita lihat dari survey yang dilakukan  Kompas tanggal 27-29 mei 2015. Dalam Survey yang mengambil tiga faktor utama, yakni “nilai-nilai Pancasila, sikap dan perilaku elit politik dan kebijakan pemerintah” diperoleh angka sebagai berikut;  akan nilai-nilai Pancasila  yang sudah dilaksanakan menurut pendapat masyarakat  baru sekitar  37,2%, sekitar 1/3nya, dengan perincian sebagai berikut; sila pertama 45,9%, sila kedua 46,1%, sila ketiga  41,5%, sila ke empat 42,3% dan sila ke lima 15,%.
Sedangkan  terhadap perilaku elit, yakni para pejabat atau pemimpin dalam   menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa, apakah sudah sesuai atau tidak dengan nilai-nilai Pancasila, masih ibarat langit dan bumi. 75% masyarakat berpendapat tidak sesuai. Apa yang dilakukan elit selalu bias dari nilai-nilai Pancasila. Tidak begitu jauh dengan kebijakanyang ditempuh  pemerintah apakah sudah sesuai atau tidak dengan nilai-nilai Pancasila ada di angka 33,4%, artinya baru 1/3nya yang dilaksanakan, selebihnya belum.
Meski survey tersebut dilakukan setahun yang lalu, keadaannya tidak lebih baik hari ini. Malah sebaliknya semakin besar mengingat issu-issu yang berkembang akhir-akhir ini cukup mengenaskan. Beratnya  kehidupan ekonomi, banyaknya elit yang tertangkap tangan korupsi, maraknya kriminalitas, narkotika dan issu-isu lain adalah beberapa contoh betapa keadaan tidak lebih baik dibandingkan tahun yang lalu. Ironi.
Mengapa konstatasinya terus demikian, sukar menjawabnya secara hitam putih. Yang jelas negeri ini sejak merdeka hingga saat ini belum pernah melaksanakannya secara konsisten. Pasca kemerdekaan kita mengalami tantangan penjajah/Belanda yang ingin kembali, perang dingin/cold war, separatisme hingga pengkhianat-pengkhianat domestik. Meski sudah ada tekad pemerintah mewujudkan pembangunan yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 belum dapat terlaksana karena masalah-masalah tersebut. Blue print pembangunan, seperti yang tertuang dalam Manipol USDEK dan yang dirancang secara konseptual dan komprehensif oleh Depernas, tinggal sebatas program di atas kertas.
Setelah Bung Karno diturunkan dari singgasana kekuasaan oleh Orde Baru, keadaan semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila. Dengan jargon “politik no ekonomi yes”, Orde baru mementaskan model pembangunan ekonomi yang berfocus pertumbuhan (Growth economy) dan membuka diri lebar-lebar terhadap investasi dan utang luar negeri (open door policy). Prinsip-prinsip ekonomi sebagaimana yang tertuang dalam pasal 33 butir 1, 2, dan 3 UUD 1945, khususnya sila kelima Pancasila (Keedilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) tidak lagi menjadi rujukan. Rujukannya adalah dikte-dikte dari negara dan investor luar.
Tidak hanya dalam bidang ekonomi, dikte-dikte itu ditekankan, melainkan dalam seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Dalam bidang kebudayaan, seperti pendidikan misalnya mereka menekankan agar kurikulum dan muatan-muatannya harus sesuai dengan sistim perekonomian yang mereka anut. Buku-buku yang berbau kiri diharamkan. Yang diizinkan adalah buku-buku yang mendukung liberalisme-kapitalisme. Dalam bidang politik jauh lebih dahsyat. Selain membubarkan PKI, desukarnoisasi adalah merekayasa partai politik hanya boleh tiga (PPP, Golkar dan PDI). Kongkritnya depolitisasi

Pancasila ke Posisinya
Implikasi-implikasi demikian masih dapat diuraikan sekian panjang lagi. Namun yang pasti model pembangunan yang diterapkan pada Orde Baru sangat menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. Begitu pula ketika era reformasi datang, nilai-nilai Pancasila itu tak kunjung diwujudkan. Dengan dalih reformasi, semua segmen mau direformasi, namun dengan platform yang tidak jelas. Selain model pembangunan ekonomi yang belum sesuai dengan Pancasila, jauh lebih miris adalah pembangunan politik yang semakin liberal-individualistik.
Pemerintaha Jokowi-JK kelihatannya menyadari pembiasan demikian. Dengan prinsip “berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan” sebagaimana yang dipidatokan Bung Karno tahun 1963 , nilai-nilai Pancasila akan dikembalikan ke relnya. Tekad ini telah termaktub dalam Nawa Cita yang dalam implementasinya juga sudah mulai menunjukkan hasil. Kembalikan Pancasila ke posisinya. Merdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar