Selasa, 03 Januari 2017

MENGAPA JENUH DENGAN DEMOKRASI?




MENGAPA JENUH DENGAN DEMOKRASI ?
Oleh: Reinhard Hutapea
Direktur  CEPP PPS UNITAS  Palembang. Staf ahli DPR RI 1999-2009.
Published, Analisa, 2013

Awal 2013 ini mencuat tulisan-tulisan dari berbagai pakar politik yang mengevaluasi perjalanan politik Indonesia, khususnya pasca reformasi  1998. Reformasi yang dikhotbahkan akan membuat kehidupan semakin demokratis dalam prakteknya semakin jauh dari cita-cita agung tersebut. Rotasi kekuasaan sebagaimana prinsip utama demokrasi, plus pembagian sumber-sumber daya yang merata tidak terjadi. Bahkan sebaliknya yang mengental yakni “asimetri dan oligarchi”. Mengapa? Apa yang salah?

Kegagalan Reformasi
Ketika angin reformasi berhembus akhir 1990-an, public berharap bahwa cita-cita demokrasi, yakni kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan akan terwujud ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Masyarakat berharap besar bahwa kehidupannya yang terkekang, merana dan penuh ketimpangan dalam era Soeharto/Orde Baru, akan segera berakhir.
Kenyataan, pada awal Reformasi harapan tersebut mendapat momentumnya, yakni dengan melesatnya kebebasan ke permukaan politik. Setiap orang bebas mengeluarkan pendapat, berserikat dan mendirikan organisasi sebagaimana pesan pasal 28 UUD 1945
Dimana-mana tanpa kecualiKebebasan merebak. Tidak saja dalam berekspressi.akan tetapi  sebaliknya, yakni termasuk mencaci maki, memprovokasi hingga menghujat. Tiada waktu tanpa euphoria kebebasan. Dari mulai bangun, tidur, hingga mimpi penuh dengan kebebasan
Konteks tersebut semakin dinamis, seiring dengan perubahan lembaga-lembaga politik yang semakin demokratis. Pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota yang sebelumnya tidak langsung, melainkan dipilih oleh legislative, dengan semangat reformasi dirubah menjadi langsung dipilih rakyat. Utusan daerah, golongan dan sejenisnya, yang sebelumnya diangkat untuk MPR, kini dipilih langsung oleh rakyat (DPD).
Untuk menegakkan UUD 1945 supaya konsisten dilaksanakan dibentuk Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian pula jabatan Presiden yang sebelumnya tidak terbatas, kini hanya diizinkan dua periode, plus perubahan lain dalam institusi-institusi politik
Akan tetapi dalam perjalanannya kebebasan politik ini, tidak diikuti oleh kebebasan dalam bidang-bidang lain, seperti (khususnya) bidang ekonomi. Bidang ekonomi yang diharapkan dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat tidak bergeming sama sekali.
Konsekwensinya kehidupan ekonomi rakyat tetap dalam status quo. Mereka tetap marjinal hingga teralienasi dari sumber-sumber ekonomi sebagaimana yang mereka alami pada era otoritarian Soeharto.
Meski tidak dikatakan dengan jelas, melainkan sayup-sayup harapan rakyat pada reformasi adalah perbaikan ekonominya. Kemiskinan yang sudah lama membelenggu, seiring dengan kebebasan politik, diharapkan akan segera teretas. Itu harapan abadinya.

Asimetri dan Oligarchi
Faktanya jangankan teretas, tanda-tanda kearah itupun sama sekali tidak muncul-muncul. Kehidupan  mayoritas masyarak sama sekali tidak ada perubahan. Bahkan yang mencuat kemudian adalah, mereka semakin melarat, sementara kalangan berpunya (the haves) nan segelintir semakin kaya raya
Tidak cukup disitu, yakni selain tidak menyinggung bidang ekonomi, dalam perjalanannya kebebasan politik yang berhembus kencang, kenyataanya semakin tidak mempunyai arah.
 Persis seperti angin yang berhembus, tidak tentu kemana arahnya. Sebentar ke utara, sebentar ke selatan, ke barat atau ketimur, keatas kebawah. Pokoknya  suka-sukanya. Namanya saja angin.
Politik Indonesia mirip dengan perilaku  angin tersebut. Bebas, namun tanpa tujuan. Konsekwensi logisnya yakni karena tidak punya arah, akan dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menangguk keuntungan di air keruh. Iklim demokrasi yang sudah mulai terbangun dibelokkan sesuai kepentingannya
Mereka-mereka ini terutama adalah kaum yang mendapatkan keuntungan di era otoritarian Orde Baru. Secara perlahan, namun pasti mereka menyelusup ke dalam sistim politik, dan mulai membajak kebebasan politik dan menguasainya.
Dengan kemasan demokrasi mereka mementaskan nepotisme, primordialisme baru nan asimetris, hingga oligarchi. Jabatan-jabatan politik/pemerintahan dan asset-asset ekonomi mereka kuasai sebagaimana di era Orde Baru. Kaum ini tak jarang hanya dari satu keluarga,dinasti  atau klik tertentu.

Demokrasi Deliberatif
Tatanan inilah yang berlangsung dalam sistim politik Indonesia saat ini. Dalam Pemilihan-Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), nuansa nepotisme ini sangat kental dan terus menguat. Mereka yang maju hanya “dari, oleh dan untuk itu-itu saja”. Tidak jauh berbeda dengan era primitive nan patrimonial yang membuahkan asimetri alias ketimpangan. Apakan ini terus dilestarikan? Jawabannya sudah pasti tidak
Demokrasi yang kita bangun pasca reformasi, meski dengan tantangan yang cukup cadas, curam dan terjal tetap harus dikawal. Demokrasi mengutif Churchill memang bukan sistem pemerintahan yang terbaik, tetapi belum ada sistem yang lebih baik daripadanya. Oleh karena itu betapapun beratnya distorsi yang terjadi saat ini harus terus direnovasi.
 Yakni mementaskan demokrasi itu semakin masuk akal, melalui nalar sebagaimana pesan demokrasi deliberative. Kita tidak  bisa lagi hanya terpaku kepada prosedur atau mekanisme yang ada. Mekanisme, prosedur atau proses yang ada harus terus menerus diperbaiki agar rasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar