MENGAPA
JENUH DENGAN DEMOKRASI ?
Oleh:
Reinhard Hutapea
Direktur CEPP PPS UNITAS Palembang. Staf ahli DPR RI 1999-2009.
Published, Analisa, 2013
Awal 2013 ini mencuat tulisan-tulisan dari berbagai pakar politik yang mengevaluasi
perjalanan politik Indonesia, khususnya pasca reformasi 1998. Reformasi yang dikhotbahkan akan membuat
kehidupan semakin demokratis dalam prakteknya semakin jauh dari cita-cita agung
tersebut. Rotasi kekuasaan sebagaimana prinsip utama demokrasi, plus pembagian
sumber-sumber daya yang merata tidak terjadi. Bahkan sebaliknya yang mengental
yakni “asimetri dan oligarchi”. Mengapa? Apa yang salah?
Kegagalan Reformasi
Ketika angin reformasi berhembus akhir 1990-an, public berharap bahwa
cita-cita demokrasi, yakni kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan akan terwujud
ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Masyarakat berharap besar bahwa
kehidupannya yang terkekang, merana dan penuh ketimpangan dalam era
Soeharto/Orde Baru, akan segera berakhir.
Kenyataan, pada awal Reformasi harapan tersebut mendapat momentumnya,
yakni dengan melesatnya kebebasan ke permukaan politik. Setiap orang bebas
mengeluarkan pendapat, berserikat dan mendirikan organisasi sebagaimana pesan
pasal 28 UUD 1945
Dimana-mana tanpa kecualiKebebasan merebak. Tidak saja dalam berekspressi.akan
tetapi sebaliknya, yakni termasuk
mencaci maki, memprovokasi hingga menghujat. Tiada waktu tanpa euphoria
kebebasan. Dari mulai bangun, tidur, hingga mimpi penuh dengan kebebasan
Konteks tersebut semakin dinamis, seiring dengan perubahan
lembaga-lembaga politik yang semakin demokratis. Pemilihan Presiden, Gubernur,
Bupati/Walikota yang sebelumnya tidak langsung, melainkan dipilih oleh
legislative, dengan semangat reformasi dirubah menjadi langsung dipilih rakyat.
Utusan daerah, golongan dan sejenisnya, yang sebelumnya diangkat untuk MPR,
kini dipilih langsung oleh rakyat (DPD).
Untuk menegakkan UUD 1945 supaya konsisten dilaksanakan dibentuk Mahkamah
Konstitusi (MK). Demikian pula jabatan Presiden yang sebelumnya tidak terbatas,
kini hanya diizinkan dua periode, plus perubahan lain dalam institusi-institusi
politik
Akan tetapi dalam perjalanannya kebebasan politik ini, tidak diikuti oleh
kebebasan dalam bidang-bidang lain, seperti (khususnya) bidang ekonomi. Bidang
ekonomi yang diharapkan dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat tidak bergeming sama sekali.
Konsekwensinya kehidupan ekonomi rakyat tetap dalam status quo. Mereka
tetap marjinal hingga teralienasi dari sumber-sumber ekonomi sebagaimana yang
mereka alami pada era otoritarian Soeharto.
Meski tidak dikatakan dengan jelas, melainkan sayup-sayup harapan rakyat
pada reformasi adalah perbaikan ekonominya. Kemiskinan yang sudah lama
membelenggu, seiring dengan kebebasan politik, diharapkan akan segera teretas.
Itu harapan abadinya.
Asimetri dan Oligarchi
Faktanya jangankan teretas, tanda-tanda kearah itupun sama sekali tidak
muncul-muncul. Kehidupan mayoritas
masyarak sama sekali tidak ada perubahan. Bahkan yang mencuat kemudian adalah,
mereka semakin melarat, sementara kalangan berpunya (the haves) nan segelintir
semakin kaya raya
Tidak cukup disitu, yakni selain tidak menyinggung bidang ekonomi, dalam
perjalanannya kebebasan politik yang berhembus kencang, kenyataanya semakin
tidak mempunyai arah.
Persis seperti angin yang
berhembus, tidak tentu kemana arahnya. Sebentar ke utara, sebentar ke selatan,
ke barat atau ketimur, keatas kebawah. Pokoknya suka-sukanya. Namanya saja angin.
Politik Indonesia mirip dengan perilaku angin tersebut. Bebas, namun tanpa tujuan. Konsekwensi
logisnya yakni karena tidak punya arah, akan dimanfaatkan kelompok tertentu untuk
menangguk keuntungan di air keruh. Iklim demokrasi yang sudah mulai terbangun
dibelokkan sesuai kepentingannya
Mereka-mereka ini terutama adalah kaum yang mendapatkan keuntungan di era
otoritarian Orde Baru. Secara perlahan, namun pasti mereka menyelusup ke dalam
sistim politik, dan mulai membajak kebebasan politik dan menguasainya.
Dengan kemasan demokrasi mereka mementaskan nepotisme, primordialisme
baru nan asimetris, hingga oligarchi. Jabatan-jabatan politik/pemerintahan dan
asset-asset ekonomi mereka kuasai sebagaimana di era Orde Baru. Kaum ini tak
jarang hanya dari satu keluarga,dinasti atau klik tertentu.
Demokrasi Deliberatif
Tatanan inilah yang berlangsung dalam sistim politik Indonesia saat ini.
Dalam Pemilihan-Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), nuansa nepotisme ini sangat
kental dan terus menguat. Mereka yang maju hanya “dari, oleh dan untuk itu-itu
saja”. Tidak jauh berbeda dengan era primitive nan patrimonial yang membuahkan
asimetri alias ketimpangan. Apakan ini terus dilestarikan? Jawabannya sudah
pasti tidak
Demokrasi yang kita bangun pasca reformasi, meski dengan tantangan yang
cukup cadas, curam dan terjal tetap harus dikawal. Demokrasi mengutif Churchill
memang bukan sistem pemerintahan yang terbaik, tetapi belum ada sistem yang
lebih baik daripadanya. Oleh karena itu betapapun beratnya distorsi yang
terjadi saat ini harus terus direnovasi.
Yakni mementaskan demokrasi itu
semakin masuk akal, melalui nalar sebagaimana pesan demokrasi deliberative.
Kita tidak bisa lagi hanya terpaku
kepada prosedur atau mekanisme yang ada. Mekanisme, prosedur atau proses yang
ada harus terus menerus diperbaiki agar rasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar