Kamis, 19 Januari 2017

FILM DALAM PERSPEKTIF POLITIK




FILM DALAM PERSFEKTIF POLITIK
Oleh : Reinhard Hutapea
Mantan Anggota Liga Film Mahasiswa Untag,asuhan Eros Djarot
Pulished, 3 April 1990 Bintang Sport Film

Awal dekade tujuh puluhan, Farouk Afero dengan kepala yang dibotakin plus dengan poster di tubuhnya melakukan uunjuk rasa ke Balai Kota DKI dimana pada waktu itu Gubernurnya adalah Bang Ali (H. Ali Sadikin). Dalam poster tersebut termuat tuntutan agar film menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Bang Ali yang saat itu memang ada di kantor dengan serta merta, tangan terbuka, dan baik-baik menerima aksi Farouk . Mereka dialog panjang lebar tentang film. Esoknya terpublisir di media-media Ibukota bahwa Bang Ali rupanya nyeletuk dengan film-film kita yang “ngak ngik ngok”
Ngak ngik ngok yang dimaksud itu mungkin tidak begitu berbeda dengan apa yang disinyalir Harmoko baru-baru ini tentang lagu “cengeng”, lagu yang penuh perasaan, penuh keharuan, penuh kesedihan, dan vulgar. Singkatnya penuh haru biru pertangisan. Sebaliknya dapat terjadi dimana film itu di dominasi tema-tema kemewahan, glamour, kekerasan, dan style yang lari dari realita sosial. Konteks inipun barangkali dapat diklasifikasikan ke dalam kategori “ngak ngik ngok” tersebut
Setelah hampir dua dasawarsa Farouk mengadakan demonstrasi dan setelah sekian Festival Fim Indonesia dilaksanakan, adakah film kita sudah sesuai dengan fungsinya? Kultural edukatif? Dan bagaimana relasinya dengan sistem politik? Mari sama-sama kita diskusikan
Fungsi Film
Sebelum dibuktikan apakah film kita sudah sesui dengan fungsinya atau belum, maka ada baiknya di telaah hasil wawancara Bintang Sport Film dengan Dono Warkop Prambors yang berkunjung ke Medan beberapa bulan yang lalu. Pada intinya Dono mengatakan bahwa film adalah manifestasi dari masyarakat. Apabila film itu tidak bermutu, tidak mendidik, tidak kultural edukatif dan tidak menunjang pembngunan itulah realitanya (conditio sine qua non?). Masyarakat sudah letih dengan problem kehiduan sehari-hari. Oleh karenanya tidak ada lagi waktu untuk memikirkan tau menikmati film-film yang butuh penalaran atau analisa. Film bagi penonton bagaimana supaya dia senang dan terhibur titik, ujr Dono memperkuat argumennya. Apakah terus menjadi tawanan sistem demikian?
Abdul Gafur sewaktu menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga pernah mengajak kalangan perfilman agar membuat tema yang kultural edukatif, yakni film dalam rangka pembangunan kebudayaan. Karena menariknya masalah ini sampai-sampai TVRI mengangkatnya ke layar kaca dimana sebagai pembicra adalah Abdul Gafur sendiri, para bintang film, para produser, dan juga para wartawan. Gafur apa diilihami salah satu trilogi Bung Karno dulu, yaitu “berkepribadian dalam bidang kebudayaan” atau karena memng jabatannya mencela kalangan perfilman yang mencipta film tidak bermutu, tidak kulturl educatif, tidak berkepribadian alias ngak ngik ngok. Tembakan Gafur ini ditangkis wartawan yang turut nimbrung dalam tukar pikirn itu. Bagaimana membuat film yng berbobot apabila tidak ada yang menonton ergah wartawan tersebut
Apapun perdebatan tentang film, satu catatan yang perlu digaris bawahi, yakni film kita tak kurang tak lebih cenderung hanya sebtas sarana hiburan. Sementara fungsi utamanya sebagai instrumen pendidikan maupun instrumen informasi msih merupakan cita-cita yang entah kapan terwujud.
Dengan Sistem Politik
Film meminjm teori Talcott Parsons adalah bahagian dari sistem sosial,khususnya dengan sistem politik yang sedang mentas di panggung kekuasaan. Siapa, pihak mana, atau kelompok mana yang memegang tampuk kekuasaan maka merekalah yang berkuasa untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas kenegaraan/pemerintahan secara langsung
Kekuasaan yang dijalankan di atas rela-rel demokrasi lazimnya mewujudkan kebebasan. Kebebasan mencipta, kebebasan berskpressi, kebebasan berkreasi, termasuk kebebasan menciptkan film yng mengkritik kebijaksanaan penguasa. Sebaliknya kekuasaan yang dijalankan oleh rezim otoriter-totaliter akan mencuatkan pembatasan yang terkadang mlah tidak terbatas (absolut). Pembatasan seperti itu tidak mustahil kepada penguburan kreativitas (harus sesuai dengan selera penguasa). Lalu bagaimana apabila kekuasaan itu didominasi pendekatan keamanan/stabilitas??
Dalam sistim yang mengutamakan stabilitas (approach security), maka seluruh sendi-sendi kehidupan selalu di deteksi aman tau tidak, begejolak atau stabil. Karena banyaknya pertimbangan demikian biasanya juga mengarah kepada apatisme atau penguburan kreativitas. Seniman-seniman film berbobot dalam suasana seperti itu akhirnya tidak mendapat di alam realitas, melainkan berkarya di atas angin. Untukmengisi kekosongan ini muncullah pembuat film picisan yang mengutamakan pasar sebagai ultima ratio
Pengutamaan pasar dalam perfilman sebagaimana disinyalir Dono di atas plus banyaknya pembatasan dari penguasa (badan Sensor Film , BSF) melahirkan film yang penuh dengan sibakan paha Meriam Bellina, Nurul Arifin, dan entah siapa lagi itu bintang-bintang sexi. Kalau tidak sexi paling bertema kemewahan, glamour, kekerasan hingga pemajangan artis-artismolek model Ida Iasha, Minati Atmanegara, dan lain-lain. Bila dimatematikkan 80% film kita ada dalamlingkaran demikian.
Sementara nan 20% lagi terbagi dalam beberapa kategori, seperti film yang coba nyerempet-nyerempet bahaya, yang merupakan indoktrinasi penguasa dan yang kompromistis. Yang nyerempet bahaya dapat dicatat film Max Havelaar berdasarkan bukunya Multatuli. Film yang disutradarai Teguh Karya ini hampir lebih 10 tahun ngendon baru dapat diputar, itupun sesudah disensor sana sini sehingga tidak sesuai lagi dengan aslinya. Konon pihak Belanda tidak senang dengan film tersebut. apa urusannya? Perasaan Belanda walaupun sudah 350 tahun menjajah kita masih harus di jaga. Maklum deh belanda kan ketuanya  itu tuh IGGI. Buku yes, Film no, itulah primatnya.
Pengkhianatan G 30 S PKI adalah sebuah film yang dimotori Almarhum Jend Dr Nugroho Notosusanto untuk merenungkan kekejaman Komunis di Indonesia. Film ini adalah kategori doktriner. Karena sesuai dengan misi penguasa maka sudah pasti tidk ada hambatan. Seluruh pelajar wajib menonton. Tak cukup disitu tiap tahun diputar di layar kaca TV.
Yang msuk kategori kompromistis adalah “Gema Kampus”. Sebagaimana menurut media-media Ibukota film ini katanya telah disensor 40% baru izin pemutaran dapat dilaksanakan. Adegan-adegannya kiranya cukup menarik, sebab penuh dengan demonstrasi mahasiswa menumbangkan rezim Orde Lama. Namun entah karena diilhami atau bukan oleh film ini beberapa bulan lemudian pecahlah aksi-aksi Mahasiswa di Jakarta dan lain-lain daerah. Kasus tanah Badega, Kaca Piring, Waduk Kedung Ombo, penurunan tarif listrik, kasus 5 Agustus di ITB adalah beberapa contoh yang masih kasak di mata kita
Kemauan Politik
Perbincangan tentang film akan tetap menghangat. Selain hangat karena sibakan paha MeriamBellina, terlebih-lebih karena fungsi sosialnya yang belum mau menampakkan diri. Para kritikus, cendekiawan, dan kaum agamawan sudah lebih dari cukup menghimpun film non kultural dukatif, namun itulah kenyataannya “himbauan tinggal himbauan, pernyataan tinggal pernyataan, anjing menggonggong kafilah jalan terus, film dengan tema picisan terus berkutat di panggung-panggung bioskop
Picisan untuk picisan?, harapan tidak demikian. Film akan berfungsi kultural edukatif apabila ada kemauan untuk itu. Kemauan ini terutama datangnya dari penguasa. Dalam artian lain pemerintah harus menciptakan suasana yang mengijinkan untuk itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar