FILM DALAM
PERSFEKTIF POLITIK
Oleh :
Reinhard Hutapea
Mantan
Anggota Liga Film Mahasiswa Untag,asuhan Eros Djarot
Pulished, 3 April 1990 Bintang Sport Film
Awal dekade tujuh puluhan, Farouk
Afero dengan kepala yang dibotakin plus dengan poster di tubuhnya melakukan
uunjuk rasa ke Balai Kota DKI dimana pada waktu itu Gubernurnya adalah Bang Ali
(H. Ali Sadikin). Dalam poster tersebut termuat tuntutan agar film menjadi tuan
rumah di negeri sendiri. Bang Ali yang saat itu memang ada di kantor dengan
serta merta, tangan terbuka, dan baik-baik menerima aksi Farouk . Mereka dialog
panjang lebar tentang film. Esoknya terpublisir di media-media Ibukota bahwa
Bang Ali rupanya nyeletuk dengan film-film kita yang “ngak ngik ngok”
Ngak ngik ngok yang dimaksud itu
mungkin tidak begitu berbeda dengan apa yang disinyalir Harmoko baru-baru ini
tentang lagu “cengeng”, lagu yang penuh perasaan, penuh keharuan, penuh
kesedihan, dan vulgar. Singkatnya penuh haru biru pertangisan. Sebaliknya dapat
terjadi dimana film itu di dominasi tema-tema kemewahan, glamour, kekerasan,
dan style yang lari dari realita sosial. Konteks inipun barangkali dapat
diklasifikasikan ke dalam kategori “ngak ngik ngok” tersebut
Setelah hampir dua dasawarsa Farouk
mengadakan demonstrasi dan setelah sekian Festival Fim Indonesia dilaksanakan,
adakah film kita sudah sesuai dengan fungsinya? Kultural edukatif? Dan
bagaimana relasinya dengan sistem politik? Mari sama-sama kita diskusikan
Fungsi Film
Sebelum dibuktikan apakah film kita
sudah sesui dengan fungsinya atau belum, maka ada baiknya di telaah hasil
wawancara Bintang Sport Film dengan Dono Warkop Prambors yang berkunjung ke
Medan beberapa bulan yang lalu. Pada intinya Dono mengatakan bahwa film adalah
manifestasi dari masyarakat. Apabila film itu tidak bermutu, tidak mendidik,
tidak kultural edukatif dan tidak menunjang pembngunan itulah realitanya
(conditio sine qua non?). Masyarakat sudah letih dengan problem kehiduan
sehari-hari. Oleh karenanya tidak ada lagi waktu untuk memikirkan tau menikmati
film-film yang butuh penalaran atau analisa. Film bagi penonton bagaimana
supaya dia senang dan terhibur titik, ujr Dono memperkuat argumennya. Apakah
terus menjadi tawanan sistem demikian?
Abdul Gafur sewaktu menjabat Menteri
Pemuda dan Olahraga pernah mengajak kalangan perfilman agar membuat tema yang
kultural edukatif, yakni film dalam rangka pembangunan kebudayaan. Karena
menariknya masalah ini sampai-sampai TVRI mengangkatnya ke layar kaca dimana
sebagai pembicra adalah Abdul Gafur sendiri, para bintang film, para produser,
dan juga para wartawan. Gafur apa diilihami salah satu trilogi Bung Karno dulu,
yaitu “berkepribadian dalam bidang kebudayaan” atau karena memng jabatannya
mencela kalangan perfilman yang mencipta film tidak bermutu, tidak kulturl educatif,
tidak berkepribadian alias ngak ngik ngok. Tembakan Gafur ini ditangkis
wartawan yang turut nimbrung dalam tukar pikirn itu. Bagaimana membuat film yng
berbobot apabila tidak ada yang menonton ergah wartawan tersebut
Apapun perdebatan tentang film, satu
catatan yang perlu digaris bawahi, yakni film kita tak kurang tak lebih
cenderung hanya sebtas sarana hiburan. Sementara fungsi utamanya sebagai
instrumen pendidikan maupun instrumen informasi msih merupakan cita-cita yang
entah kapan terwujud.
Dengan Sistem Politik
Film meminjm teori Talcott Parsons
adalah bahagian dari sistem sosial,khususnya dengan sistem politik yang sedang
mentas di panggung kekuasaan. Siapa, pihak mana, atau kelompok mana yang
memegang tampuk kekuasaan maka merekalah yang berkuasa untuk melaksanakan
aktivitas-aktivitas kenegaraan/pemerintahan secara langsung
Kekuasaan yang dijalankan di atas
rela-rel demokrasi lazimnya mewujudkan kebebasan. Kebebasan mencipta, kebebasan
berskpressi, kebebasan berkreasi, termasuk kebebasan menciptkan film yng
mengkritik kebijaksanaan penguasa. Sebaliknya kekuasaan yang dijalankan oleh
rezim otoriter-totaliter akan mencuatkan pembatasan yang terkadang mlah tidak
terbatas (absolut). Pembatasan seperti itu tidak mustahil kepada penguburan
kreativitas (harus sesuai dengan selera penguasa). Lalu bagaimana apabila
kekuasaan itu didominasi pendekatan keamanan/stabilitas??
Dalam sistim yang mengutamakan
stabilitas (approach security), maka seluruh sendi-sendi kehidupan selalu di
deteksi aman tau tidak, begejolak atau stabil. Karena banyaknya pertimbangan
demikian biasanya juga mengarah kepada apatisme atau penguburan kreativitas.
Seniman-seniman film berbobot dalam suasana seperti itu akhirnya tidak mendapat
di alam realitas, melainkan berkarya di atas angin. Untukmengisi kekosongan ini
muncullah pembuat film picisan yang mengutamakan pasar sebagai ultima ratio
Pengutamaan pasar dalam perfilman
sebagaimana disinyalir Dono di atas plus banyaknya pembatasan dari penguasa
(badan Sensor Film , BSF) melahirkan film yang penuh dengan sibakan paha Meriam
Bellina, Nurul Arifin, dan entah siapa lagi itu bintang-bintang sexi. Kalau
tidak sexi paling bertema kemewahan, glamour, kekerasan hingga pemajangan
artis-artismolek model Ida Iasha, Minati Atmanegara, dan lain-lain. Bila
dimatematikkan 80% film kita ada dalamlingkaran demikian.
Sementara nan 20% lagi
terbagi dalam beberapa kategori, seperti film yang coba nyerempet-nyerempet
bahaya, yang merupakan indoktrinasi penguasa dan yang kompromistis. Yang
nyerempet bahaya dapat dicatat film Max Havelaar berdasarkan bukunya Multatuli.
Film yang disutradarai Teguh Karya ini hampir lebih 10 tahun ngendon baru dapat
diputar, itupun sesudah disensor sana sini sehingga tidak sesuai lagi dengan
aslinya. Konon pihak Belanda tidak senang dengan film tersebut. apa urusannya?
Perasaan Belanda walaupun sudah 350 tahun menjajah kita masih harus di jaga.
Maklum deh belanda kan ketuanya itu tuh
IGGI. Buku yes, Film no, itulah primatnya.
Pengkhianatan G 30 S PKI
adalah sebuah film yang dimotori Almarhum Jend Dr Nugroho Notosusanto untuk
merenungkan kekejaman Komunis di Indonesia. Film ini adalah kategori doktriner.
Karena sesuai dengan misi penguasa maka sudah pasti tidk ada hambatan. Seluruh
pelajar wajib menonton. Tak cukup disitu tiap tahun diputar di layar kaca TV.
Yang msuk kategori
kompromistis adalah “Gema Kampus”. Sebagaimana menurut media-media Ibukota film
ini katanya telah disensor 40% baru izin pemutaran dapat dilaksanakan.
Adegan-adegannya kiranya cukup menarik, sebab penuh dengan demonstrasi
mahasiswa menumbangkan rezim Orde Lama. Namun entah karena diilhami atau bukan
oleh film ini beberapa bulan lemudian pecahlah aksi-aksi Mahasiswa di Jakarta
dan lain-lain daerah. Kasus tanah Badega, Kaca Piring, Waduk Kedung Ombo,
penurunan tarif listrik, kasus 5 Agustus di ITB adalah beberapa contoh yang
masih kasak di mata kita
Kemauan Politik
Perbincangan tentang film
akan tetap menghangat. Selain hangat karena sibakan paha MeriamBellina,
terlebih-lebih karena fungsi sosialnya yang belum mau menampakkan diri. Para
kritikus, cendekiawan, dan kaum agamawan sudah lebih dari cukup menghimpun film
non kultural dukatif, namun itulah kenyataannya “himbauan tinggal himbauan,
pernyataan tinggal pernyataan, anjing menggonggong kafilah jalan terus, film dengan
tema picisan terus berkutat di panggung-panggung bioskop
Picisan untuk picisan?,
harapan tidak demikian. Film akan berfungsi kultural edukatif apabila ada
kemauan untuk itu. Kemauan ini terutama datangnya dari penguasa. Dalam artian
lain pemerintah harus menciptakan suasana yang mengijinkan untuk itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar