Selasa, 17 Januari 2017

KAJI ULANG SISTIM POLITIK DEMOKRATIS




KAJI ULANG  SISTIM POLITIK DEMOKRATIS
Oleh: Reinhard Hutapea
Direktur CEPP PPS UNITAS Palembang.
Published , Suara Pembaruan, 7 Februari 2013

Semakin lama kita mempraktekkan sistim pemilihan langsung, semakin tidak demokratis hasilnya. Sinyalemen ini paling tidak dapat di lihat dari semakin merosotnya partisipasi pemilih dalam  pemilihan-pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dalam pemilihan Walikota Bekasi misalnya tercatat hanya 48% pemilih yang memberikan suaranya.
Kenapa, mengapa dan bagaimana distorsi itu terjadi, perlu penelitian lebih jauh. Akan tetapi secara hipotetik dapat di duga karena pemilihan-pemilihan  yang berlangsung sebelumnya jauh dari harapan masyarakat. Meminjam teori Ted Robert Gurr, terdapat jurang yang besar (Deprivasi Relatif, DR) antara antara harapan (value expectation, VE) dan kenyataan (value capabilitas, VC). Konstituen yang berharap kwalitas politik semakin bermutu, faktanya yang merebak adalah korupsi dan perilaku menyimpang lainnya.
Aneh bin ajaib,setelah terjerat korupsi, syahwat berkuasa tetap tidak surut. Tidak bisa maju dalam pemilihan berikutnya, ia mendorong orang atau klik terdekatnya menggantikannya. Ia lupa atu pura-pura lupa bahwa pemilih dikiranya  tidak tahu track recordnya.
Akan tetapi kandidat-kandidat yang lain juga tidak lebih bagus. Dalam rumors yang merebak ditengah-tengah masyarakat, kandidat-kandidat yang lain itu juga, tidak luput dari perilaku-perilaku menyimpang. Hanya saja mungkin belum diputuskan oleh pengadilan
Kecenderungan yang terjadi di Bekasi tersebut kelihatannya akan menjadi mode, trend atau paddish dalam pilkada-pilkada yang akan datang, termasuk  pada  Pemilu 2014. Dalam pemilu ini diprediksikan, partisipasi pemilih semakin jauh dari ambang minimal persyaratan pemilu demokratis, yakni  50 + 1 persen
Bila asumsi ini benar, yakni  terus merosotnya  partisipasi pemilih dalam setiap pemilihan, menandakan sistim demokrasi berada dalam  bahaya.Masyarakat kelihatannya sudah tidak yakin dengan sistim  demikian. Kalau  begitu realitanya apakah sistim demokrasi tersebut layak  diteruskan? Atau tidak sebaiknya dikaji ulang?

Kesalahan Konsep?
Demokrasi, sistim , atau institusi politik yang kita terapkan saat ini sesungguhnya adalah paradigma yang belum tuntas. Ia masih terus mencari  atau berproses menuju bentuknya yang terbaik. Demokrasi yang dipraktekkan pascalepas dari colonial barulah sebatas jargon , yakni demokrasi itu ”kedaulatan rakyat”
Masalah  bagaimana, seperti apa, substansi, prosedur atau hakikinya kedaulatan rakyat itu belum pernah diuraikan, apalagi dipraktekkan secara tuntas. Pendeknya “daulat rakyat”. Bukan  “daulat tuanku atau daulat raja”. Titik baru sampai disitu
Konsekwensi operasionalnya sudah pasti serba coba-coba (trial and error). Karena kita dulu eks jajahan Belanda, perwujudannya agak dekat dengan demokrasi  yang diterapkan disana, atau Eropa Barat pada umumnya. Meski dengan tema “kebebasan , kesetaraan atau toleransi”, metode-metode nan patrimonial masih ikut menyertainya (quasi demokrasi?). pola ini berjalan dalam era Soekarno
Pasca penggulingan Soekarno, demokrasi yang diadopsi dari Eropa Barta tersebut mengalami perubahan  significan. Ronanya mulai berbau demokrasi yang dipraksiskan di Amerika Serikat, karena negara adikuasa ini memang berperan besar (kalau bukan penentu) dalam perubahan kekuasaan tersebut
Pakar-pakar politik yang sebelumnya telah studi di universitas-universitas AS, setelah  pulang ke Indonesia, (entah dengan pertimbangan matang atau sebaliknya), menerapkan sistim politik yang mereka pelajari disana. Demokrasi mereka giring agar semakin liberal dan individualistik
Sekat-sekat yang dianggap masih menghadang, diamputasi dengan mengamandemen UUD 1945 hingga empat kali. Sistim pemilihan presiden yang di AS sendiri sekalipun belum dipilih secara langsung, dengan amandemen dipilih secara langsung. Begitu pula bidang-bidang lain direformasi agar semakin transparan dan bebas sebebas-bebasnya.
            Singkat kata atau kongkritnya amandemen menjadi instrument, justifikasi atau legitimasi perubahan politik yang super liberal-individualistik. Semua hendak diliberalkan tanpa  koridor yang membatasinya
Akan tetapi kalau dipikir lebih jauh, paradigma “super Liberal-individualistik” yang dibangun tersebut, mengandung “contradictio in terminis  dalam dirinya. Prasyarat-prasyarat atau pendukung-pendukung (determinant) yang seharusnya turut menyertainya tidak dilampirkan sama sekali.
Determinant pendukung , seperti, sistim pemilihan berdasarkan distrik, parlemen  bicameral, masa jabatan anggota DPR, Presiden dan Senat (DPD) yang tidak boleh seragam dan lain-lain, partai-partai local, sistim pemerintahan yang federal,tidak disertakan dalam perubahan politik tersebut.
Celaka 12 nya lagi adalah factor masyarakat  tidak dihitung dengan seksama. Mereka lupa bahwa sistim masyarakat Indonesia   masih jauh dari  “kesetaraan” yang merupakan prinsip utama demokrasi. Masyarakat Indonesia realitanya masih tertawan pola-pola vertical oriented, paternalistic (kalau bukan feodal).
Tidak jauh berbeda dengan celaka 12 tadi, demikian pula   dalam bidang ekonomi. Mayoritas masyarakat masih terpenjara dalam asimetri alias ketimpangan ekonomis. Mereka yang berpenghasilan sangat kecil, bahkan tidak berpenghasilan sama sekali masih cukup besar Bagaimana mungkin mereka berdemokrasi yang mensyaratkan simetri ? Outputnya sudah pasti tidak menarik
Tidak menarik karena yang menikmati kekuasaan atau sumberdaya-sumberdaya lainnya dalam tatanan tersebut hanyalah segelintir elit, yang tidak jarang hanya dari satu keluarga tertentu. Mayoritas masyarakat tetap marjinal dan lama kelamaan menjadi teralienasi. Apakah terus dilestarikan?

Sesuai Jati Diri
Mekanisme, prinsip , atau sistem demikian sudah waktunya dikaji ulang. Kedaulatan rakyat atau  demokrasi..yes!, namun prosedur atau strateginya sudah harus dicarikan  formula yang pas. Pola “penetapan” dalam  penentuan Gubernur Yogya, atau diizinkannya “partai local”  di Aceh, saran Muhammadiyah agar yang dipilih langsung hanya “Gubernur”, Bupati/Walikota oleh DPRD,  atau saran NU agar seluruh kepala daerah dipilih DPRD, dan sekian konsep politik lain sudah waktunya dipertimbangkan. Yang pasti harus sesuai jati diri Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar