KAJI ULANG SISTIM POLITIK DEMOKRATIS
Oleh: Reinhard Hutapea
Direktur CEPP PPS
UNITAS Palembang.
Published , Suara Pembaruan, 7 Februari 2013
Semakin
lama kita mempraktekkan sistim pemilihan langsung, semakin tidak demokratis
hasilnya. Sinyalemen ini paling tidak dapat di lihat dari semakin merosotnya
partisipasi pemilih dalam
pemilihan-pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dalam pemilihan Walikota
Bekasi misalnya tercatat hanya 48% pemilih yang memberikan suaranya.
Kenapa,
mengapa dan bagaimana distorsi itu terjadi, perlu penelitian lebih jauh. Akan
tetapi secara hipotetik dapat di duga karena pemilihan-pemilihan yang berlangsung sebelumnya jauh dari harapan
masyarakat. Meminjam teori Ted Robert Gurr, terdapat jurang yang besar
(Deprivasi Relatif, DR) antara antara harapan (value expectation, VE) dan
kenyataan (value capabilitas, VC). Konstituen yang berharap kwalitas politik
semakin bermutu, faktanya yang merebak adalah korupsi dan perilaku menyimpang
lainnya.
Aneh bin
ajaib,setelah terjerat korupsi, syahwat berkuasa tetap tidak surut. Tidak bisa
maju dalam pemilihan berikutnya, ia mendorong orang atau klik terdekatnya
menggantikannya. Ia lupa atu pura-pura lupa bahwa pemilih dikiranya tidak tahu track recordnya.
Akan tetapi
kandidat-kandidat yang lain juga tidak lebih bagus. Dalam rumors yang merebak
ditengah-tengah masyarakat, kandidat-kandidat yang lain itu juga, tidak luput
dari perilaku-perilaku menyimpang. Hanya saja mungkin belum diputuskan oleh
pengadilan
Kecenderungan
yang terjadi di Bekasi tersebut kelihatannya akan menjadi mode, trend atau
paddish dalam pilkada-pilkada yang akan datang, termasuk pada
Pemilu 2014. Dalam pemilu ini diprediksikan, partisipasi pemilih semakin
jauh dari ambang minimal persyaratan pemilu demokratis, yakni 50 + 1 persen
Bila asumsi
ini benar, yakni terus merosotnya partisipasi pemilih dalam setiap pemilihan,
menandakan sistim demokrasi berada dalam bahaya.Masyarakat kelihatannya sudah tidak
yakin dengan sistim demikian. Kalau begitu realitanya apakah sistim demokrasi
tersebut layak diteruskan? Atau tidak
sebaiknya dikaji ulang?
Kesalahan Konsep?
Demokrasi,
sistim , atau institusi politik yang kita terapkan saat ini sesungguhnya adalah
paradigma yang belum tuntas. Ia masih terus mencari atau berproses menuju bentuknya yang terbaik.
Demokrasi yang dipraktekkan pascalepas dari colonial barulah sebatas jargon ,
yakni demokrasi itu ”kedaulatan rakyat”
Masalah bagaimana, seperti apa, substansi, prosedur
atau hakikinya kedaulatan rakyat itu belum pernah diuraikan, apalagi
dipraktekkan secara tuntas. Pendeknya “daulat rakyat”. Bukan “daulat tuanku atau daulat raja”. Titik baru
sampai disitu
Konsekwensi
operasionalnya sudah pasti serba coba-coba (trial and error). Karena kita dulu
eks jajahan Belanda, perwujudannya agak dekat dengan demokrasi yang diterapkan disana, atau Eropa Barat pada
umumnya. Meski dengan tema “kebebasan , kesetaraan atau toleransi”,
metode-metode nan patrimonial masih ikut menyertainya (quasi demokrasi?). pola
ini berjalan dalam era Soekarno
Pasca
penggulingan Soekarno, demokrasi yang diadopsi dari Eropa Barta tersebut
mengalami perubahan significan. Ronanya
mulai berbau demokrasi yang dipraksiskan di Amerika Serikat, karena negara
adikuasa ini memang berperan besar (kalau bukan penentu) dalam perubahan
kekuasaan tersebut
Pakar-pakar
politik yang sebelumnya telah studi di universitas-universitas AS, setelah pulang ke Indonesia, (entah dengan pertimbangan
matang atau sebaliknya), menerapkan sistim politik yang mereka pelajari disana.
Demokrasi mereka giring agar semakin liberal dan individualistik
Sekat-sekat
yang dianggap masih menghadang, diamputasi dengan mengamandemen UUD 1945 hingga
empat kali. Sistim pemilihan presiden yang di AS sendiri sekalipun belum
dipilih secara langsung, dengan amandemen dipilih secara langsung. Begitu pula
bidang-bidang lain direformasi agar semakin transparan dan bebas
sebebas-bebasnya.
Singkat
kata atau kongkritnya amandemen menjadi instrument, justifikasi atau legitimasi
perubahan politik yang super liberal-individualistik. Semua hendak diliberalkan
tanpa koridor yang membatasinya
Akan tetapi
kalau dipikir lebih jauh, paradigma “super Liberal-individualistik” yang
dibangun tersebut, mengandung “contradictio in terminis dalam dirinya. Prasyarat-prasyarat atau pendukung-pendukung
(determinant) yang seharusnya turut menyertainya tidak dilampirkan sama sekali.
Determinant
pendukung , seperti, sistim pemilihan berdasarkan distrik, parlemen bicameral, masa jabatan anggota DPR, Presiden
dan Senat (DPD) yang tidak boleh seragam dan lain-lain, partai-partai local,
sistim pemerintahan yang federal,tidak disertakan dalam perubahan politik
tersebut.
Celaka 12
nya lagi adalah factor masyarakat tidak
dihitung dengan seksama. Mereka lupa bahwa sistim masyarakat Indonesia masih jauh
dari “kesetaraan” yang merupakan prinsip
utama demokrasi. Masyarakat Indonesia realitanya masih tertawan pola-pola
vertical oriented, paternalistic (kalau bukan feodal).
Tidak jauh
berbeda dengan celaka 12 tadi, demikian pula
dalam bidang ekonomi. Mayoritas
masyarakat masih terpenjara dalam asimetri alias ketimpangan ekonomis. Mereka
yang berpenghasilan sangat kecil, bahkan tidak berpenghasilan sama sekali masih
cukup besar Bagaimana mungkin mereka berdemokrasi yang mensyaratkan simetri ?
Outputnya sudah pasti tidak menarik
Tidak
menarik karena yang menikmati kekuasaan atau sumberdaya-sumberdaya lainnya dalam
tatanan tersebut hanyalah segelintir elit, yang tidak jarang hanya dari satu
keluarga tertentu. Mayoritas masyarakat tetap marjinal dan lama kelamaan
menjadi teralienasi. Apakah terus dilestarikan?
Sesuai Jati Diri
Mekanisme,
prinsip , atau sistem demikian sudah waktunya dikaji ulang. Kedaulatan rakyat
atau demokrasi..yes!, namun prosedur
atau strateginya sudah harus dicarikan formula
yang pas. Pola “penetapan” dalam
penentuan Gubernur Yogya, atau diizinkannya “partai local” di Aceh, saran Muhammadiyah agar yang dipilih
langsung hanya “Gubernur”, Bupati/Walikota oleh DPRD, atau saran NU agar seluruh kepala daerah
dipilih DPRD, dan sekian konsep politik lain sudah waktunya dipertimbangkan.
Yang pasti harus sesuai jati diri Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar