Oleh:
Reinhard Hutapea
Direktur
CEPP PPS UNITAS Palembang. Staf ahli DPR
RI 1999-2009.
Published, Sumsel Post,10 Februari 2016
Saat-saat ini kita sedang menikmati pertikaian dua partai politik besar, yakni
Golkar dan PPP. Dua-duanya sama-sama mengalami perpecahan dalam pimpinan
puncaknya. Golkar antara kubu Aburizal Bakrie versus kubu Agung laksono. PPP
antara kubu Djan Faridz versus kubu Romarhumuzzi.
Kedua kubu sama-sama mengklaim dirinya paling benar.
Paling tepat menjadi pemimpin. Dengan logika yang sering tidak masuk akal ,
masing-masing pihak saling menyerang. Menyerang kesasaran yang tak jelas, sehingga
kalangan diluarnyapun turut terimbas. Terimbas pendapat yang juga tidak logis.
Sinyalemen demikian dapat kita lihat pada media cetak,
audio visual khususnya media-media sosial. Masing-masing kalangan mengeluarkan
unek-uneknya tanpa lebih dulu mendalami masalahnya dengan seksama. Yang penting
tumpahkan seluruh unek-unek. Masalah itu logis atau sebaliknya, tidak usah
dihiraukan.
Konsekwensinya mencuatlah kebebasan argumen yang
muaranya hanya untuk kebebasan itu sendiri. Dari kebebasan ke kebebasan. Bukan untuk mencari titik temu. Kebebasan yang
seharusnya menuju konsensus berakhir pada anarkhisme. Masing-masing pihak
menganggap argumennya paling benar.
Tak terkecuali
yang namanya ilmuwan sekalipun, turut larut dalam anarkhisme demikian. Dengan
pengetahuan yang minim dalam ilmu politik,khususnya ilmu kepartaian, mereka
menembakkan pelurunya dengan sasaran yang tak jelas. Peluru nyasar kemana-mana
sehingga menambah kebingungan bagi yang mengikutinya
Konflik elit Golkar dan PPP
Supaya tulisan ini tidak terjebak anarkhisme demikian,
pendekatan akan disesuaikan dengan persfektif yang lazim digunakan. Pendekatan
yang meneropong dari eksistensi suatu partai politik secara teoritik maupun
berdasarkan Undang-Undang Kepartaian. Akan kita pertanyakan apakah elit-elit
yang bertikai itu ada hubungannya dengan substansi dan hakiki suatu partai
politik atau hanya ingin jabatan saja. Untuk ini akan didekati dari tiga faktor
penentu, yakni dari definisi, tujuan dan fungsi.
Menurut UU
Partai politik No 8 tahun 2012, partai diartikan sebagai organisasi politik
yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak
dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan
negara melalui pemilihan umum.
Mari sama-sama
kita simak, benarkah Golkar maupun PPP dilahirkan oleh sekelompok warga negara
indonesia yang punya kehendak yang sama?. Menurut historisnya Golkar ditampilkan
sebagai antisipasi terhadap partai-partai politik yang saling sikut-sikutan
pada waktu itu. Supaya tidak terus-terusan terjerat konflik, , pemerintahan
Orde Lama/Bung Karno mengajak kalangan-kalangan profesional-kekaryaan membentuk
Sekber-Golkar. Jadilah Golkar menjadi kekuatan politik.
Agak beda dengan Golkar namun substansi yang sama, PPP
terbentuk adalah atas inisiatif pemerintahan Orde Baru/Soeharto menyederhanakan
sistim kepartaian. Beberapa partai politik yang azasnya Islam di dorong bergabung
(fusi) dalam satu partai baru. Fusi ini berlangsung pada tahun 1973 dengan nama
“Partai Persatuan pembangunan, PPP”.
Mengapa pemerintahan saat itu melakukan kebijakan
demikian jawabannya tak mungkin diulas dalam artikel singkat ini. Yang pasti kedua
partai itu tidak dibentuk oleh sekelompok warga negara yang punya ideologi yang
sama sebagaimana diamanatkan UU No 8 tahun 2012 tersebut. Mereka dibentuk
segelintir elit pemerintah yang berkuasa waktu itu.
Dengan kata
lain dibentuk dari atas (top down) bukan dari bawah (bottom up). Oleh karena
itu tak perlu heran apabila partai itu tidak mengakar di masyarakat. Bagaimana
mengakar wong datangnya dari langit. Akar mereka (Kalaupun ada) hanyalah
segelintir elit dalam pranata kekuasaan. Inilah yang dialami Golkar pasca
Soeharto.
Soeharto lengser Golkar pun dihujat habis-habisan.
Namun apakah untuk memepertahankan eksistensi, atau hanya mencari keuntungan
sesaat, beberapa kalangan, terutama dari ex-ex alumni HMI Golkar kembali
dibangun. Mereka tetap mempertahankan Golkar meski dihujat habis-habisan.
Akan tetapi sebagaimana kemudian dalam perjalanannya,
tetap saja penuh dengan konflik elit. Masing-masing faksi yang ada dalam tubuhnya
saling berebut pengaruh untuk berkuasa. Begitu pula PPP tidak terkecuali, tetap
terjerat konflik elit. Seakan-akan hanya dari konflik ke konflik, bukan dari
konflik ke konsensus (Duverger, M, 1980)
Konsekwensinya tampillah suasana yang tak diinginkan,
namun harus diikuti. Dengan munafik kita mendendangkan idealisasi-idealisasi,
namun yang dijalankan adalah pragmatisasi-pragmatisasi. Kepada akar rumput
didengungkan nilai-nilai normatif, seperti partai adalah jembatan emas antara
masyarakat dan negara, pada hal keduanya selalu terpisah. Hal ini dapat kita
lihat dalam fungsi partai politik.
Fungsi
yang terabaikan
Dalam UU No 12 tahun 2012 fungsi
partai politik adalah ; (1) melakukan pendidikan politik, (2) penciptaan iklim
kondusif dan program kerja kongkrit
untuk kesejahteraan masyarakat, (3) penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi
politik masyarakat (4) instrument partisipasi masyarakat, dan (5) recrutmen
jabatan-jabatan politik.
Mari kita simak secara seksama, kapan partai-partai
politik melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Kapan mereka
menyadarkan masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Dengan
kasar-vulgar dapat kita sebut bahwa fungsi tersebut belum pernah dilakukan.
Apalagi pendidikan politik secara secara terstruktur dan sistemik, sudah pasti
semakin jauh.
Oleh karena itu kita tak paham, apa sesungguhnya yang dikerjakan partai
politik setiap hari. Mereka punya kantor,pengurus dan alat-alat perkantoran
lain tapi tidak jelas apa out put maupun out comenya. Mereka sibuk hanya menjelang
pemilu.
Tidak sebagaimana lazimnya suatu kantor yang dikelola
secara “biro dan teknokratis”. Yang
dalam pekerjaannya ada hierarkhi, prosedur tertulis, spesialisasi hingga
meritokrasi di atas prinsip “legal-rasiona”l.
Kalau melihat fungsinya sebagaimana diamanatkan UU Kepartaian, faktor-faktor
teknokratis itu seharusnya tersedia.
Analog dengan fungsi-fungsi yang lain, seperti,
penciptaan stabilitas/program kerja, agregasi-segregasi-artikulasi politik dan
instrumen demokrasi masyarakat tidak pernah dilakukan partai-partai politik.
Kecuali fungsi terakhir/kelima, yakni penyedia jabatan-jabatan politik mereka
unggul 100%.
Oleh karena itu bila kita ukur secara kwantitatif-matematik, artinya diberi angka
penilaian (rentang 0 – 100) pada lima fungsi itu, maka akan terlihatlah; fungsi
1, 2, 3 dan 4 angkanya nol persen, sedangkan fungsi terakhir/kelima angkanya 20
persen.
Dengan pendekatan kwantitatif matematik tersebut dapat dikatakan
bahwa partai politik hanya menjalankan 20% dari fungsi semestinya. Angka yang moderat/baik
idealnya adalah antara 80 sampai 100, angka sedang, antara 56 sampai 79. Angka
45 sampai 55 lampu merah. Angka atau nilai dibawahnya sudah pasti lonceng
kematian, alias partai sudah menjadi
beban masyarakat.
Telah
Menjadi Konsensus
Kalau begitu konstatasinya kita tak perlu kaget kalau
elit-elit partai-partai hanya sibuk mengejar jabatan politik. Dengan segala
cara para elit-elit tersebut akan mengejar posisi itu sebagaimana yang terjadi
pada Golkar dan PPP saat ini. Demikian pula partai-partai yang lain tidak
tertutup kemungkinan akan mengalami hal yang sama.
Sejarah telah membuktikan siklus demikian. Lalu apa
yang dapat kita perbuat? Apakah mengkaji ulang keberadaan bahkan menolaknya?.
Salah satu kiat mungkin adalah mengajak mereka yang selama ini anti partai
namun bermoral tinggi, masuk ke dalam
partai. Mereka, khususnya para cendekiawan jangan terus diluar, segera masuk
kedalam, sebab negeri ini telah konsensus menjadikan partai sebagai instrumen
demokrasi. Dengan demikian kedepan partai kita harapkan akan berfungsi maksimal
sebagaimana eksistensinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar