Sabtu, 21 Januari 2017

KAPAN PARTAI MENJALANKAN FUNGSINYA




Oleh: Reinhard Hutapea
Direktur CEPP PPS UNITAS  Palembang. Staf ahli DPR RI 1999-2009.
Published, Sumsel Post,10 Februari 2016
Saat-saat ini kita sedang menikmati  pertikaian dua partai politik besar, yakni Golkar dan PPP. Dua-duanya sama-sama mengalami perpecahan dalam pimpinan puncaknya. Golkar antara kubu Aburizal Bakrie versus kubu Agung laksono. PPP antara kubu Djan Faridz versus kubu Romarhumuzzi.
Kedua kubu sama-sama mengklaim dirinya paling benar. Paling tepat menjadi pemimpin. Dengan logika yang sering tidak masuk akal , masing-masing pihak saling menyerang. Menyerang kesasaran yang tak jelas, sehingga kalangan diluarnyapun turut terimbas. Terimbas  pendapat yang juga tidak logis.
Sinyalemen demikian dapat kita lihat pada media cetak, audio visual khususnya media-media sosial. Masing-masing kalangan mengeluarkan unek-uneknya tanpa lebih dulu mendalami masalahnya dengan seksama. Yang penting tumpahkan seluruh unek-unek. Masalah itu logis atau sebaliknya, tidak usah dihiraukan.
Konsekwensinya mencuatlah kebebasan argumen yang muaranya hanya untuk kebebasan itu sendiri. Dari kebebasan ke kebebasan. Bukan  untuk mencari titik temu. Kebebasan yang seharusnya menuju konsensus berakhir pada anarkhisme. Masing-masing pihak menganggap argumennya paling benar.
 Tak terkecuali yang namanya ilmuwan sekalipun, turut larut dalam anarkhisme demikian. Dengan pengetahuan yang minim dalam ilmu politik,khususnya ilmu kepartaian, mereka menembakkan pelurunya dengan sasaran yang tak jelas. Peluru nyasar kemana-mana sehingga menambah kebingungan bagi yang mengikutinya

Konflik elit Golkar dan PPP
Supaya tulisan ini tidak terjebak anarkhisme demikian, pendekatan akan disesuaikan dengan persfektif yang lazim digunakan. Pendekatan yang meneropong dari eksistensi suatu partai politik secara teoritik maupun berdasarkan Undang-Undang Kepartaian. Akan kita pertanyakan apakah elit-elit yang bertikai itu ada hubungannya dengan substansi dan hakiki suatu partai politik atau hanya ingin jabatan saja. Untuk ini akan didekati dari tiga faktor penentu, yakni dari definisi, tujuan dan fungsi.
Menurut  UU Partai politik No 8 tahun 2012, partai diartikan sebagai organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia  secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum.
Mari  sama-sama kita simak, benarkah Golkar maupun PPP dilahirkan oleh sekelompok warga negara indonesia yang punya kehendak yang sama?. Menurut historisnya Golkar ditampilkan sebagai antisipasi terhadap partai-partai politik yang saling sikut-sikutan pada waktu itu. Supaya tidak terus-terusan terjerat konflik, , pemerintahan Orde Lama/Bung Karno mengajak kalangan-kalangan profesional-kekaryaan membentuk Sekber-Golkar. Jadilah Golkar menjadi kekuatan politik.
Agak beda dengan Golkar namun substansi yang sama, PPP terbentuk adalah atas inisiatif pemerintahan Orde Baru/Soeharto menyederhanakan sistim kepartaian. Beberapa partai politik yang azasnya Islam di dorong bergabung (fusi) dalam satu partai baru. Fusi ini berlangsung pada tahun 1973 dengan nama “Partai Persatuan pembangunan, PPP”.
Mengapa pemerintahan saat itu melakukan kebijakan demikian jawabannya tak mungkin diulas dalam artikel singkat ini. Yang pasti kedua partai itu tidak dibentuk oleh sekelompok warga negara yang punya ideologi yang sama sebagaimana diamanatkan UU No 8 tahun 2012 tersebut. Mereka dibentuk segelintir elit pemerintah yang berkuasa waktu itu.
 Dengan kata lain dibentuk dari atas (top down) bukan dari bawah (bottom up). Oleh karena itu tak perlu heran apabila partai itu tidak mengakar di masyarakat. Bagaimana mengakar wong datangnya dari langit. Akar mereka (Kalaupun ada) hanyalah segelintir elit dalam pranata kekuasaan. Inilah yang dialami Golkar pasca Soeharto.
Soeharto lengser Golkar pun dihujat habis-habisan. Namun apakah untuk memepertahankan eksistensi, atau hanya mencari keuntungan sesaat, beberapa kalangan, terutama dari ex-ex alumni HMI Golkar kembali dibangun. Mereka tetap mempertahankan Golkar meski dihujat habis-habisan.
Akan tetapi sebagaimana kemudian dalam perjalanannya, tetap saja penuh dengan konflik elit. Masing-masing faksi yang ada dalam tubuhnya saling berebut pengaruh untuk berkuasa. Begitu pula PPP tidak terkecuali, tetap terjerat konflik elit. Seakan-akan hanya dari konflik ke konflik, bukan dari konflik ke konsensus (Duverger, M, 1980)
Konsekwensinya tampillah suasana yang tak diinginkan, namun harus diikuti. Dengan munafik kita mendendangkan idealisasi-idealisasi, namun yang dijalankan adalah pragmatisasi-pragmatisasi. Kepada akar rumput didengungkan nilai-nilai normatif, seperti partai adalah jembatan emas antara masyarakat dan negara, pada hal keduanya selalu terpisah. Hal ini dapat kita lihat dalam fungsi partai politik.

 Fungsi yang terabaikan
Dalam UU No 12 tahun 2012   fungsi partai politik adalah ; (1) melakukan pendidikan politik, (2) penciptaan iklim kondusif dan  program kerja kongkrit untuk kesejahteraan masyarakat, (3) penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat (4) instrument partisipasi masyarakat, dan (5) recrutmen jabatan-jabatan politik.
Mari kita simak secara seksama, kapan partai-partai politik melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Kapan mereka menyadarkan masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Dengan kasar-vulgar dapat kita sebut bahwa fungsi tersebut belum pernah dilakukan. Apalagi pendidikan politik secara secara terstruktur dan sistemik, sudah pasti semakin jauh.
Oleh karena itu kita tak  paham, apa sesungguhnya yang dikerjakan partai politik setiap hari. Mereka punya kantor,pengurus dan alat-alat perkantoran lain tapi tidak jelas apa out put maupun out comenya. Mereka sibuk hanya menjelang pemilu.
Tidak sebagaimana lazimnya suatu kantor yang dikelola secara  “biro dan teknokratis”. Yang dalam pekerjaannya ada hierarkhi, prosedur tertulis, spesialisasi hingga meritokrasi di atas  prinsip “legal-rasiona”l. Kalau melihat fungsinya sebagaimana diamanatkan UU Kepartaian, faktor-faktor teknokratis itu seharusnya tersedia.
Analog dengan fungsi-fungsi yang lain, seperti, penciptaan stabilitas/program kerja, agregasi-segregasi-artikulasi politik dan instrumen demokrasi masyarakat tidak pernah dilakukan partai-partai politik. Kecuali fungsi terakhir/kelima, yakni penyedia jabatan-jabatan politik mereka unggul 100%.    
Oleh karena itu bila kita ukur secara  kwantitatif-matematik, artinya diberi angka penilaian (rentang 0 – 100) pada lima fungsi itu, maka akan terlihatlah; fungsi 1, 2, 3 dan 4 angkanya nol persen, sedangkan fungsi terakhir/kelima angkanya 20 persen.
Dengan pendekatan  kwantitatif matematik tersebut dapat dikatakan bahwa partai politik hanya menjalankan 20% dari fungsi semestinya. Angka yang moderat/baik idealnya adalah antara 80 sampai 100, angka sedang, antara 56 sampai 79. Angka 45 sampai 55 lampu merah. Angka atau nilai dibawahnya sudah pasti lonceng kematian, alias  partai sudah menjadi beban masyarakat.
  
Telah Menjadi Konsensus
Kalau begitu konstatasinya kita tak perlu kaget kalau elit-elit partai-partai hanya sibuk mengejar jabatan politik. Dengan segala cara para elit-elit tersebut akan mengejar posisi itu sebagaimana yang terjadi pada Golkar dan PPP saat ini. Demikian pula partai-partai yang lain tidak tertutup kemungkinan akan mengalami hal yang sama.
Sejarah telah membuktikan siklus demikian. Lalu apa yang dapat kita perbuat? Apakah mengkaji ulang keberadaan bahkan menolaknya?. Salah satu kiat mungkin adalah mengajak mereka yang selama ini anti partai namun bermoral tinggi,  masuk ke dalam partai. Mereka, khususnya para cendekiawan jangan terus diluar, segera masuk kedalam, sebab negeri ini telah konsensus menjadikan partai sebagai instrumen demokrasi. Dengan demikian kedepan partai kita harapkan akan berfungsi maksimal sebagaimana eksistensinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar