Senin, 30 Januari 2017

GMNI HENDAKNYA MENGUBUR KONFLIK YANG TENGAH BERLANGSUNG




Oleh: Reinhard Hutapea
Mantan Aktivis GMNI Jakarta Raya
Published , 5 September 1989, Harian Jayakarta
Sarlito Wirawan Sarwono dalam disertasinya berjudul “Perbedaan Antara Pemimpin dan Aktivis Dalam Gerakan Protes Mahasiswa” mensiratkan bahwa Mahasiswa mempunyai peranan penting dalam setiap perubahan sosial maupun perubahan politik. Contohnya adalah aksi 66 yang berhasil menggulingkan Soekarno dari singgasana kekusaan dan malapetaka 15 Januarai 1974 (Malari) yang walaupun tidak berhasil menumbangkan power establish namun beberapa tuntutannya berhasil dipenuhi.
Arief Budiman sebagai salah satu pelaku dalam aksi 66 tidak sependapat dengan Sarlito. Yang menyulut maupun menentukan jalannya revolusi itu bukanlah pihak mahasiswa. Kalaupun mahasiswa ikut ambil bagian di dalamnya hanyalah sebagai “katalisator”. Demikian Arief dalam “Golongan Cendekiawan” yang di edit oleh Dick Hartoko. Sementara Ong Hok Ham, seorang pakar sejarah berpendapat lebih jauh lagi. Mahasiswa pada aksi itu tak lebih tak kurang adalah sebagai “umpan peluru” (baca, Kekuatan Politik Indonesia, LP3ES)
Mana yang benar? Barangkali tidak perlu kita pertentangkan. Bisa benar, bisa salah, tergantung dari sudut mana melihatnya. Pandangan para politisi sudah pasti bertolak belakang dengan pandangan para cendekiawan. Cendekiawan yang satu dengan cendekiawan yang lain sesuai dengan spesialisasinya mempunyai pandangan yang berbeda-beda dn tidak mustahil bermuara pada perdebatan filosofis.
Terserahlah bagi mereka yang senang dengan “talar-menalar” sejauh mana peranan mahasiswa kita itu. Tulisan ini tidak akan mengulasnya lebih jauh, melainkan akan mencoba mengkaitkannya dengan salah satu orgnisasi extra universiter, yakni GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) yang pernah ikut ambil bagian dalam sejarah perjuangan bangsa ini. Sekitar pertengahan September yang akan datang organisasi itu akan melaksanakan Kongres Nasional di Salatiga, Jawa Tengah.
Historis
Membicarakan GMNI kiranya tidak berlebihan apabila kita sebut plural alias multi kompleks. Khususnya apabila dihubungkan dengan sistim yang ada, dengan organisasi extra lainnya,, dengan aksi akhir-akhir ini, dengan cita-cita maupun tujuan utama organisasi ini didirikan. Namun agar lebih terarah kita tinjau dulu latar belakang kelahiran organisasi tersebut.
GMNI sebagaimana ke empat organisasi extra universiter lainnya, HMI, GMKI, PMKRI, dan PMII lahir dalam kandungan Orde Lama. Kelahiran ini dilatar belakangi sistim sosial pada waktu itu. kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan 1945 nyata-nyata masih bertempur dengan Belanda hingga tahun 1949. Demikian pula sistim pendidikan tinggi mentah-mentah masih warisan asing. HMI yang lahir 1947 dengan kesadaran penuh ikut angkat senjata menumpas Belanda dan pemberontakan komunis di Madiun 1948. Mahasiswa-mahasiswa yang sadar akan tanggung jawabnya dalam berbangsa maupun bernegara di tuntut untuk tidak study oriented an sich. Dalam artian lain bahwa nilai-nilai kejungan (Patriotisme, Heroisme, dan Nasionalisme) sangat relevan saat itu.
Jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan tesebut selanjutnya tidak lagi di dasarkan kepada bedil, senapan, meriam, ataupun kekuatan otot lainnya (negara sudah tidak lagi bertempur). Namun untuk mengisi kemerdekaan yang ibarat bayi menuju dewasa itu memerlukan perjuangan yang cukup berat. Perjuangan semakin majemuk. Karenanya pada era tersebut apa saja selalu dipredikatkan dengn istilah “pejuang”. Prajurit, prajurit pejuang, Diplomasi, diplomasi pejuang, dan sebagainya.
Pendidikan tinggi kala itu mentah-mentah masih warisan Barat. Suatu hal yang riskan (orang Timur kok di Baratin). Sebagian pemimpin-pemimpin kita atau lebih tepatnya para mahasiswa-mahasiswa kita mensinyalir bahaya demikian. Alumnus-alumnus dari sistim demikian cenderung materialistis (minus rohani) dan sekuler ungkap para mahasiswa itu.
Kedua hal itulah (pentingnya nilai-nilai kejuangan dan penyaringan sistim Pendidikan Tinggi Baarat) menggerakkan beberapa pimpinan kelompok mahasiswa membuat suatu gerakan dengan nama “Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)” awal dekade limapuluha di Jakarta. Sebagai tema atau jargonnya adalah “pejuang pemikir-pemikir pejuang”
Berpolitik
Sejalan dengan predikatnya (pejuang pemikir-pemikir pejuang) GMNI terlibat secara langsung dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan. Atau dapat juga disebut bahwa GMNI berpolitik dalam kancah yng sesungghnya. Masalah-masalah atau issu-issu yang ada mereka angkat ke permukaan. Baik itu secara langsung menemui pejabat/instansi bersangkutan, melalui seminar-seminar, dan aksi-aksi lainnya.
Keikut sertaan mahasiswa terjun dalam arena politik sudah pasti menyita waktunya untuk belajar. Target sarjana yang seharusnya dapat mereka selesaikan dalam waktu 6 tahun molor hingga di atas 10 tahun. Sebagian malah menjadi MA (Mahasiswa Abadi). Mereka yang abadi tentu karena kesalahan sendiri (mengapa yang lain lulus?). Politik sebagaimana ilmu adalah netral. Mau digunakan ke arah yang baik, silahkan. Mau sebaliknya (ke arah merusak) juga silahkan. GMNI dengan politik adalah dalam artian kreatif-konstruktif yang di dukung iklim pada waktu itu. karenanya tiada alasan untuk melarang mahasiswa berpolitik.
Era selanjutnya
Tragedi 66 hingga beberapa tahun kemudian mengakibatkan kevakuman bagi GMNI. Hal ini mengingat GMNI yang sempat menjadi onderbow PNI ikut terimbas kemelut partai tersebut (antara lain). Tahun 1972 GMNI bersama ke empat organisasi ekstra lainnya mengadakan pertemuan di Cipayung, Bogor (Hotel Mars). Demikianlah pada tanggal 22 Januari tahun itu dalam udara yang sangat dingin malam yang pekat dengan diiringi lagu Padamu Negeri, pemimpin kelima organisasi organisasi ekstra universiter itu mencetuskan deklarasi sebagaii hasil dari konsultasi mereka dengan tema “Indonesia yang kami cita-citakan”. Saat itu adalah lahirnya Kelompok Cipayung.
Mascot GMNI yang menandatangani deklarasi Cipayung tersebut adalah ketua umum PDI sekarang (Drs Suryadi). GMNI mulai menunjukkan giginya. Metode perjuangan-metode perjuangan era orde lama (zaman Soekarno) kembali menggelegar. Tradisi mencampuri urusan kenegaraan/kemasyarakatan secara langsung diterapkan dalam udara yang sudah berubah (political change)
Kritik-kritik sosial dan dampak negatif dari pembangunan cenderung mendominasi GMNI yang akhirnya menempatkan dirinya sebagai pressure groups elitist opposan, terhadap power establish. Lontaran-lontran yang mereka suarakan dengn vokal dan militan itu mendapat tepuk tangan masyarakat. Penguasa sedikit banyak sudah pasti gusar dan tidak mungkin membiarkannya berlarut-larut. Dalam konteks inilah kelahiran Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) mendapat arti penting. Secara perlahan, namun pasti muncul ke depan meng counter GMNI cs. KNPI yang mendapat restu pemerintah terus melaju dengan visi yang bertolak belakang dengan visi GMNI.
Kehadiran KNPI yang nyata-nyata juga dibidani mantan-mantan pencetus Cipayung tidak segera dapat menguasai kepemudaan (khususnya kemahasiswaan). Meletupnya aksi unjuk rasa “Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) adalah buktinya. Trauma ini kembali membuat pemerintah berpikir. Biang keladi huru-hara dianggap adalah mahasiswa yang dimotori Dewan Mahasiswa (Dema). Syarif Thayeb sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun itu mengeluarkan SK 028 yang membatasi gerak gerik Dema. Tidak cukup disitu. Empat tahun kemudian lahirlah NKK-BKK yang sama sekali menghilangkan eksitensi Dewan Mahasiswa. Rektor menjadi penguasa tunggal universitas. GMNI dan kawan-kawan yang berbasis di kampus mendapat pukulan telak dengan situasi demikian. Pukulan ini semakin telak lagi dengan diterapkannya sistem SKS yang mengharuskan mahasiswa study oriented dan cepat selesai
SK 028, NKK-BKK, dan SKS mendepak organisasi sejenis GMNI ke sudut yang paling pojok. Bisa berbuat apa lagi?, keasyikan beropposisi tidak sempat mencari alternatif. Apa jadinya? Kebingungan pusing tujuh keliling. Tidak cukup disitu! Masih dalam suasana kebingungan tersebut muncul lagi saran pemerintah untuk menerapkan Pancasila sebagai satu-satunya azas berorganisasi dan bermasyarakat. Sudah kebingungan disuruh pula mengganti azas organisasi.
Masalah Pancasila sebagai azas bagi GMNI sebenarnya hanyalah teknis. Namun karena ada pihak-pihak tertentu yang ingin menimba di air keruh maka persoalannya dieskalasikan. GMNI dengan Pancasila adalah ibarat air dengan ikan atau jiwa dan raga. Bukankah GMNI sangat dekat dengan figur Bung Karno yang mencetuskan Pancasila pada 1 Juni 1945? Lain hal barangkali bagi ke empat organisasi ekstra lainnya yang bertolak dari sudut keagamaan. Besarnya tarikan-tarikan yang bermain dalam organisasi ini tidak dapat dituntaskan hingga Kongres Nasional dilaksanakan di Lembang.
Kenyataan Kongres Lembang telah berlangsung dalam situasi menegangkan. Kongres di kawal dengan ekstra ketat oleh pihak keamanan resmi. Dalam suasana demikian inilah Pancasila legal-formal diterima sebagai azas orgnisasi menggantikan azas sebelumnya. Aktivis-aktivis yang tidak berhasil memasuki arena kongres dan mereka-mereka yang tidak sejalan dengan policy dedengkot pelaksanaan kongres serta mereka yang memang sudah sakit hati sebelumnya termangu-mangu di luar pagar dengan luka yang semakin membengkak. Sejak saat inilah konflik dalam tubuh GMNI formal tercetus.
Disengaja atau tidak organisasi ini selanjutnya pecah-pecah. Di satu kota rata-rata ada dua cabang (yang sah dan tidak sah). Dua-duanya mengklaim dirinya sebagai GMNI yang paling benar. Di Jakarta misalnya ada cabang yang direstui Presidium tapi tidak punya massa. Sebaliknya cabang yang diharamkan Presidium mengakar dengan kokohnya (aneh?). demikianlah di kota-kota lainnya. Konon di Bogor ada tiga cabang GMNI dengan versi yang berbeda-beda.
Tiga tahun setelah tragedi Lembang tibalah saatnya melaksanakan Kongres Nasional kembali. Kali ini tempatnya Samarinda. Pelaksanaan Kongres ini memang misterius, sebab 24 jm sebelum pelaksanaan barulah ketahuan (sengaja diciptakan demikian). Yang berangkat kesana menurut sumber-sumber di Jakarta waktu itu bukanlah anggota aktif GMNI (sebagian besar) melainkan anak-anak SMA yang diberikan jeket GMNI. Demikian pula pengakuan seorang aktivis Medan yang tidak mengirim utusan ke sana, tapi dalam laporan kongres disebut ada (dipalsukan?)
Kemisteriusan ini akhirnya terjawab setelah Kongres diumumkan, Kristiya kartika SH yang keluar masuk Presidium (gaek) terpilih kembali sebagai Ketua Umum (ingat beliau ini masuk Presidium tahun 1979). Mungkin beliau inilah salah satu biangnya. Gagal masuk KNPI (stekah jungkir balik bertarung dengan rekan-rivalnya, Daryatmo), gagal pula menjadi Ketua Pemuda Demokrat Indonesia. Rupanya tiada lagi lahan, GMNI pun jadilah. Barangkali bila gagal pula menjadi ketua GMNI, Ketua OSIS pun akan disikatnya. Sudah berapa tahun sih beliau lulus sarjana? Meminjam istilah sekarang Kristiya itu bukan lagi pasca, tapi sudah purna. Apa tidak ada calon lain? Samarinda akhirnya menggandakan konflik yang sudah di bidani Lembang.
Alternatif
Bagaimana dengan Kongres Salatiga yang akan datang? Apakah kembali menggandakan konflik yang tengah berlangsung? Mudah-mudahan jawabannya tidak. Problem GMNI seperti kita singgung di depan cukup rumit dan multi dimensional. Apabila ditelaah lebih jauh konflik ini sebenarnya sudah menggejala sejak Orde Baru dicanangkan. Pemerintah Orde Baru telah bertekad menjadikan ekonomi sebagai primadona pembangunan. Akibatnya gaya-gaya politik era Orla sudah pasti tidak mendapat tempat. GMNI kelihatannya kurang memperhitungkan konteks demikian. Organisasi ini keasyikan terus berpolitik sampai-sampai mendapat cap sebagai Kelompok Opposisi (bersama rekannya Kelompok Cipayung). Kultur opposisi sebagaimana kultur kebudayaan kita masih dianggap premature. Siapa yang mencoba opposisi akan tergilas sistem. Menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman menjadi syarat utama bagi GMNI untuk dapat berperan. Bila hal ini dilakukan niscaya konflik ideologis yang melanda GMNI saat ini dapat dituntaskan. GMNI dapat menyelesaikan itu dengan cara GMNI sendiri, tanpa perlu campur tangan luar. Selesaikanlah konflik itu dengan cara GMNI sendiri. Mudah-mudahan berhasil. GMNI jaya. Selamat berkongres.   
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar