Oleh:
Reinhard Hutapea
Mantan
Aktivis GMNI Jakarta Raya
Published , 5 September 1989, Harian
Jayakarta
Sarlito Wirawan Sarwono
dalam disertasinya berjudul “Perbedaan Antara Pemimpin dan Aktivis Dalam
Gerakan Protes Mahasiswa” mensiratkan bahwa Mahasiswa mempunyai peranan penting
dalam setiap perubahan sosial maupun perubahan politik. Contohnya adalah aksi
66 yang berhasil menggulingkan Soekarno dari singgasana kekusaan dan malapetaka
15 Januarai 1974 (Malari) yang walaupun tidak berhasil menumbangkan power establish namun beberapa
tuntutannya berhasil dipenuhi.
Arief Budiman sebagai
salah satu pelaku dalam aksi 66 tidak sependapat dengan Sarlito. Yang menyulut
maupun menentukan jalannya revolusi itu bukanlah pihak mahasiswa. Kalaupun
mahasiswa ikut ambil bagian di dalamnya hanyalah sebagai “katalisator”.
Demikian Arief dalam “Golongan Cendekiawan” yang di edit oleh Dick Hartoko.
Sementara Ong Hok Ham, seorang pakar sejarah berpendapat lebih jauh lagi. Mahasiswa
pada aksi itu tak lebih tak kurang adalah sebagai “umpan peluru” (baca,
Kekuatan Politik Indonesia, LP3ES)
Mana yang benar?
Barangkali tidak perlu kita pertentangkan. Bisa benar, bisa salah, tergantung
dari sudut mana melihatnya. Pandangan para politisi sudah pasti bertolak
belakang dengan pandangan para cendekiawan. Cendekiawan yang satu dengan
cendekiawan yang lain sesuai dengan spesialisasinya mempunyai pandangan yang
berbeda-beda dn tidak mustahil bermuara pada perdebatan filosofis.
Terserahlah bagi mereka
yang senang dengan “talar-menalar” sejauh mana peranan mahasiswa kita itu.
Tulisan ini tidak akan mengulasnya lebih jauh, melainkan akan mencoba
mengkaitkannya dengan salah satu orgnisasi extra universiter, yakni GMNI
(Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) yang pernah ikut ambil bagian dalam
sejarah perjuangan bangsa ini. Sekitar pertengahan September yang akan datang
organisasi itu akan melaksanakan Kongres Nasional di Salatiga, Jawa Tengah.
Historis
Membicarakan GMNI kiranya
tidak berlebihan apabila kita sebut plural alias multi kompleks. Khususnya
apabila dihubungkan dengan sistim yang ada, dengan organisasi extra lainnya,,
dengan aksi akhir-akhir ini, dengan cita-cita maupun tujuan utama organisasi
ini didirikan. Namun agar lebih terarah kita tinjau dulu latar belakang
kelahiran organisasi tersebut.
GMNI sebagaimana ke empat
organisasi extra universiter lainnya, HMI, GMKI, PMKRI, dan PMII lahir dalam
kandungan Orde Lama. Kelahiran ini dilatar belakangi sistim sosial pada waktu
itu. kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan 1945 nyata-nyata masih
bertempur dengan Belanda hingga tahun 1949. Demikian pula sistim pendidikan
tinggi mentah-mentah masih warisan asing. HMI yang lahir 1947 dengan kesadaran
penuh ikut angkat senjata menumpas Belanda dan pemberontakan komunis di Madiun
1948. Mahasiswa-mahasiswa yang sadar akan tanggung jawabnya dalam berbangsa
maupun bernegara di tuntut untuk tidak study oriented an sich. Dalam artian lain bahwa nilai-nilai kejungan (Patriotisme,
Heroisme, dan Nasionalisme) sangat relevan saat itu.
Jiwa, semangat, dan
nilai-nilai kejuangan tesebut selanjutnya tidak lagi di dasarkan kepada bedil,
senapan, meriam, ataupun kekuatan otot lainnya (negara sudah tidak lagi
bertempur). Namun untuk mengisi kemerdekaan yang ibarat bayi menuju dewasa itu
memerlukan perjuangan yang cukup berat. Perjuangan semakin majemuk. Karenanya
pada era tersebut apa saja selalu dipredikatkan dengn istilah “pejuang”.
Prajurit, prajurit pejuang, Diplomasi, diplomasi pejuang, dan sebagainya.
Pendidikan tinggi kala
itu mentah-mentah masih warisan Barat. Suatu hal yang riskan (orang Timur kok
di Baratin). Sebagian pemimpin-pemimpin kita atau lebih tepatnya para
mahasiswa-mahasiswa kita mensinyalir bahaya demikian. Alumnus-alumnus dari
sistim demikian cenderung materialistis (minus rohani) dan sekuler ungkap para
mahasiswa itu.
Kedua hal itulah
(pentingnya nilai-nilai kejuangan dan penyaringan sistim Pendidikan Tinggi
Baarat) menggerakkan beberapa pimpinan kelompok mahasiswa membuat suatu gerakan
dengan nama “Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)” awal dekade
limapuluha di Jakarta. Sebagai tema atau jargonnya adalah “pejuang
pemikir-pemikir pejuang”
Berpolitik
Sejalan dengan
predikatnya (pejuang pemikir-pemikir pejuang) GMNI terlibat secara langsung
dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan. Atau dapat juga disebut bahwa GMNI
berpolitik dalam kancah yng sesungghnya. Masalah-masalah atau issu-issu yang
ada mereka angkat ke permukaan. Baik itu secara langsung menemui
pejabat/instansi bersangkutan, melalui seminar-seminar, dan aksi-aksi lainnya.
Keikut sertaan mahasiswa
terjun dalam arena politik sudah pasti menyita waktunya untuk belajar. Target
sarjana yang seharusnya dapat mereka selesaikan dalam waktu 6 tahun molor
hingga di atas 10 tahun. Sebagian malah menjadi MA (Mahasiswa Abadi). Mereka
yang abadi tentu karena kesalahan sendiri (mengapa yang lain lulus?). Politik
sebagaimana ilmu adalah netral. Mau digunakan ke arah yang baik, silahkan. Mau
sebaliknya (ke arah merusak) juga silahkan. GMNI dengan politik adalah dalam
artian kreatif-konstruktif yang di dukung iklim pada waktu itu. karenanya tiada
alasan untuk melarang mahasiswa berpolitik.
Era selanjutnya
Tragedi 66 hingga
beberapa tahun kemudian mengakibatkan kevakuman bagi GMNI. Hal ini mengingat
GMNI yang sempat menjadi onderbow PNI ikut terimbas kemelut partai tersebut
(antara lain). Tahun 1972 GMNI bersama ke empat organisasi ekstra lainnya
mengadakan pertemuan di Cipayung, Bogor (Hotel Mars). Demikianlah pada tanggal
22 Januari tahun itu dalam udara yang sangat dingin malam yang pekat dengan
diiringi lagu Padamu Negeri, pemimpin kelima organisasi organisasi ekstra
universiter itu mencetuskan deklarasi sebagaii hasil dari konsultasi mereka
dengan tema “Indonesia yang kami cita-citakan”. Saat itu adalah lahirnya
Kelompok Cipayung.
Mascot GMNI yang
menandatangani deklarasi Cipayung tersebut adalah ketua umum PDI sekarang (Drs
Suryadi). GMNI mulai menunjukkan giginya. Metode perjuangan-metode perjuangan
era orde lama (zaman Soekarno) kembali menggelegar. Tradisi mencampuri urusan
kenegaraan/kemasyarakatan secara langsung diterapkan dalam udara yang sudah
berubah (political change)
Kritik-kritik sosial dan
dampak negatif dari pembangunan cenderung mendominasi GMNI yang akhirnya
menempatkan dirinya sebagai pressure
groups elitist opposan, terhadap power
establish. Lontaran-lontran yang mereka suarakan dengn vokal dan militan
itu mendapat tepuk tangan masyarakat. Penguasa sedikit banyak sudah pasti gusar
dan tidak mungkin membiarkannya berlarut-larut. Dalam konteks inilah kelahiran
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) mendapat arti penting. Secara perlahan,
namun pasti muncul ke depan meng counter GMNI cs. KNPI yang mendapat restu
pemerintah terus melaju dengan visi yang bertolak belakang dengan visi GMNI.
Kehadiran KNPI yang
nyata-nyata juga dibidani mantan-mantan pencetus Cipayung tidak segera dapat
menguasai kepemudaan (khususnya kemahasiswaan). Meletupnya aksi unjuk rasa
“Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) adalah buktinya. Trauma ini kembali
membuat pemerintah berpikir. Biang keladi huru-hara dianggap adalah mahasiswa
yang dimotori Dewan Mahasiswa (Dema). Syarif Thayeb sebagai menteri Pendidikan
dan Kebudayaan pada tahun itu mengeluarkan SK 028 yang membatasi gerak gerik
Dema. Tidak cukup disitu. Empat tahun kemudian lahirlah NKK-BKK yang sama
sekali menghilangkan eksitensi Dewan Mahasiswa. Rektor menjadi penguasa tunggal
universitas. GMNI dan kawan-kawan yang berbasis di kampus mendapat pukulan
telak dengan situasi demikian. Pukulan ini semakin telak lagi dengan
diterapkannya sistem SKS yang mengharuskan mahasiswa study oriented dan cepat selesai
SK 028, NKK-BKK, dan SKS
mendepak organisasi sejenis GMNI ke sudut yang paling pojok. Bisa berbuat apa
lagi?, keasyikan beropposisi tidak sempat mencari alternatif. Apa jadinya?
Kebingungan pusing tujuh keliling. Tidak cukup disitu! Masih dalam suasana
kebingungan tersebut muncul lagi saran pemerintah untuk menerapkan Pancasila
sebagai satu-satunya azas berorganisasi dan bermasyarakat. Sudah kebingungan
disuruh pula mengganti azas organisasi.
Masalah Pancasila sebagai
azas bagi GMNI sebenarnya hanyalah teknis. Namun karena ada pihak-pihak
tertentu yang ingin menimba di air keruh maka persoalannya dieskalasikan. GMNI
dengan Pancasila adalah ibarat air dengan ikan atau jiwa dan raga. Bukankah
GMNI sangat dekat dengan figur Bung Karno yang mencetuskan Pancasila pada 1
Juni 1945? Lain hal barangkali bagi ke empat organisasi ekstra lainnya yang
bertolak dari sudut keagamaan. Besarnya tarikan-tarikan yang bermain dalam
organisasi ini tidak dapat dituntaskan hingga Kongres Nasional dilaksanakan di
Lembang.
Kenyataan Kongres Lembang
telah berlangsung dalam situasi menegangkan. Kongres di kawal dengan ekstra
ketat oleh pihak keamanan resmi. Dalam suasana demikian inilah Pancasila
legal-formal diterima sebagai azas orgnisasi menggantikan azas sebelumnya.
Aktivis-aktivis yang tidak berhasil memasuki arena kongres dan mereka-mereka
yang tidak sejalan dengan policy dedengkot pelaksanaan kongres serta mereka
yang memang sudah sakit hati sebelumnya termangu-mangu di luar pagar dengan
luka yang semakin membengkak. Sejak saat inilah konflik dalam tubuh GMNI formal
tercetus.
Disengaja atau tidak
organisasi ini selanjutnya pecah-pecah. Di satu kota rata-rata ada dua cabang
(yang sah dan tidak sah). Dua-duanya mengklaim dirinya sebagai GMNI yang paling
benar. Di Jakarta misalnya ada cabang yang direstui Presidium tapi tidak punya
massa. Sebaliknya cabang yang diharamkan Presidium mengakar dengan kokohnya
(aneh?). demikianlah di kota-kota lainnya. Konon di Bogor ada tiga cabang GMNI
dengan versi yang berbeda-beda.
Tiga tahun setelah
tragedi Lembang tibalah saatnya melaksanakan Kongres Nasional kembali. Kali ini
tempatnya Samarinda. Pelaksanaan Kongres ini memang misterius, sebab 24 jm
sebelum pelaksanaan barulah ketahuan (sengaja diciptakan demikian). Yang
berangkat kesana menurut sumber-sumber di Jakarta waktu itu bukanlah anggota
aktif GMNI (sebagian besar) melainkan anak-anak SMA yang diberikan jeket GMNI.
Demikian pula pengakuan seorang aktivis Medan yang tidak mengirim utusan ke
sana, tapi dalam laporan kongres disebut ada (dipalsukan?)
Kemisteriusan ini
akhirnya terjawab setelah Kongres diumumkan, Kristiya kartika SH yang keluar
masuk Presidium (gaek) terpilih kembali sebagai Ketua Umum (ingat beliau ini
masuk Presidium tahun 1979). Mungkin beliau inilah salah satu biangnya. Gagal
masuk KNPI (stekah jungkir balik bertarung dengan rekan-rivalnya, Daryatmo),
gagal pula menjadi Ketua Pemuda Demokrat Indonesia. Rupanya tiada lagi lahan,
GMNI pun jadilah. Barangkali bila gagal pula menjadi ketua GMNI, Ketua OSIS pun
akan disikatnya. Sudah berapa tahun sih beliau lulus sarjana? Meminjam istilah
sekarang Kristiya itu bukan lagi pasca, tapi sudah purna. Apa tidak ada calon
lain? Samarinda akhirnya menggandakan konflik yang sudah di bidani Lembang.
Alternatif
Bagaimana dengan Kongres
Salatiga yang akan datang? Apakah kembali menggandakan konflik yang tengah
berlangsung? Mudah-mudahan jawabannya tidak. Problem GMNI seperti kita singgung
di depan cukup rumit dan multi dimensional. Apabila ditelaah lebih jauh konflik
ini sebenarnya sudah menggejala sejak Orde Baru dicanangkan. Pemerintah Orde
Baru telah bertekad menjadikan ekonomi sebagai primadona pembangunan. Akibatnya
gaya-gaya politik era Orla sudah pasti tidak mendapat tempat. GMNI kelihatannya
kurang memperhitungkan konteks demikian. Organisasi ini keasyikan terus
berpolitik sampai-sampai mendapat cap sebagai Kelompok Opposisi (bersama
rekannya Kelompok Cipayung). Kultur opposisi sebagaimana kultur kebudayaan kita
masih dianggap premature. Siapa yang mencoba opposisi akan tergilas sistem.
Menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman menjadi syarat utama bagi GMNI
untuk dapat berperan. Bila hal ini dilakukan niscaya konflik ideologis yang
melanda GMNI saat ini dapat dituntaskan. GMNI dapat menyelesaikan itu dengan
cara GMNI sendiri, tanpa perlu campur tangan luar. Selesaikanlah konflik itu
dengan cara GMNI sendiri. Mudah-mudahan berhasil. GMNI jaya. Selamat berkongres.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar