Kamis, 02 Februari 2017

MENGKAJI KONFLIK YANG MELANDA GMNI




MENGKAJI KONFLIK YANG MELANDA GMNI
Menyongsong Kongres Nasional II GMNI, 8 Juli 1992 di Malang
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP UNTAG Jakarta& Mantan aktivis GMNI
Published, 6 Juli 1992, Wawasan Semarang

Dalam tanya jawab dengan beberapa anggota dan pengurus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) baru-baru ini, terkesan bahwa mereka belum siap masuk ke organisasi tersebut. selain belum siap, sepertinya kemasukan mereka cenderung agak dipaksakan, sekedar ikut-ikutan, atau hura-hura.
Sinyalemen ini dikedepankan, mengingat bahwa hal-hal yang mendasar tentang GMNI, seperti dasar, tujuan, motto dan lain-lainnya tidak dipahami. Tidak tertutup kemungkinan kemasukan mereka bertolak  belakang dengan eksistensi atau jati dirinya.akibatnya, terstrukturlah insan-insan kontroversi.
Gambaran demikian selanjutnya dapat dibayangkan akan melahirkan out put-output yang jauh dari harapan organisasi. In put yang keliru, membias, atau salah akan menghasilkan keluaran (out put) yang seperti itu juga, begitu kata David Easton mengenai sistem politik. Bila dikaitkan dengan GMNI, maka sistem yang terstruktur di organisasi mahasiswa terebut tidak sehat.
Tidak sehatnya sistem ini, terkulminasi pada awal Mei 1992 di Lembang. Rakornas yang dilaksanakan di kota dingin tersebut hanya oleh dua orang Presidium, sementara yang tujuh lagi tidak tahu sama sekali. Hasilnya kelompok dua memecat kelompok tujuh. Beberapa waktu kemudian, kelompok tujuh memecat kelompok dua. Mereka pecat-pecatan, disintegrasi, atau perpecahan, akhirnya menurun ke daerah-daerah.
Bila dikaitkan dengan pendapat DavidApter tentang pluralisme politik, maka keorganisasian GMNI terjerat ke dua kategori negatip. Kategori pertama, yakni suatu sistem yang kelebihan beban, yang akibatnya menjadi ambruk. Kondisi ini tercipta karena semakin banyak (besar) yang turut serta berpartisipasi dalam organisasi, baik itu individu, atau kelompok. Hal ini dengan sendirinya mencuatkan persaingan yang cukup tajam. GMNI rupanya tidak punya metode, siasat, atau teknik untuk mengarahkan, mengontrol, atau mengkoordinasi persaingan demikian. Dalam bahasa Maurice Duverger, konflik di giring ke integrasi (lihat Sosiologi Politik)
Kategori ke dua yakni kontrol yang tidak terkendali. Anggota-anggota atau para simpatisan yang melihat tidak ada lagi koordinasi, menganggap partisipasinya tidak lagi mempunyai arti/merasa sia-sia. Pada akhirnya mereka bermuara ke lembah kesinisan, kecewa, dan masa bodo.
Setting sejarah
Untuk sementara, teori-teori yang dikedepankan Apter maupun Easton dapat dipakai sebagai salah satu pisau analisa untuk membedah persoalan yang lebih dalam. Hal ini mengingat bahwa pendekatan yang dilakukan kedua pakar politik itu adalah pendekatan behaviour, yang lazim dinegeri nan sudah mapan.GMNI sebaliknya lahir di negeri yang masih berkembang. Untuk ini pendekatan-pendekatan tradisional, seperti historis masih dibutuhkan, agar ketahuan dimana sesungguhnya akar (radix) masalah.
GMNI dilahirkan oleh empat kelompok mahasiswa, yakni Gerakan Mahasiswa Marhaenis, Gerakan Mahasiswa Demokrat, Gerakan Mahasiswa Merdeka, dan Mahasiswa Partai Nasional Indonesia pada tanggal 23 Maret 1954, keempat kelompok mahasiswa ini adalah kelompok yang gandrung akan ajaran-ajaran Bung Karno. Dimana ajaran-ajaran ini akhirnya menjadi landasan, dan sikap mereka berorganisasi.
Marhaenisme sebagai inti ajaran Bung Karno dijadikan azas (bersama dengan PNI). Sebagai mottonya dipilih “Pejuang Pemikir-Pemikir Pejuang”. Yang unik dari dari azas dan motto ini adalah bahwa penjabaran yang lebih mendetail/tuntas belum pernah ditempuh. Mungkin karena pada waktu itu bintang idola masih bertakhta disinggasana kekuasaan, maka pengejawantahan azas dan motto tersebut kurang dipermasalahkan. Pokoknya kalau sudah pidato berapi-api, penuh retorika, dan sekian kali menyebut nama Bung Karno, maka dialah itu (T.Jami, mantan Presidium GMNI 1976/1979). Kala itu memang fenomenologis apabila masuk GMNI. Anak jenderal sekalipun masuk kedalamnya, ungkap Djoko Pitoyo SH.
Betapa maraknya aktivitas GMNI pada waktu itu, semua pihak mengakuinya. Organisasi ini dengan gaya yang vokal dan militan dapat mempengaruhi otoritas (pimpinan perguruan tinggi atau the rulling clash). Maka tepatlah apabila mereka disebut sebagai pressure group elitist yang bertujuandemi kemaslahatan mayoritas masyarakat, bukan seperti vested interest yang menggejalan dewasa ini.
Kondisi itu ternyata tidak langgeng, peristiwa G 30 S/PKI yang selanjutnya melahirkan Orde Baru menancapkan suatu tatanan sosial politik yang sama sekali berbeda dengan era sebelumnya. Bagi GMNI yang sempat mendapatkan lindungan (protection) dari orang pertama republik ikut terimbas, seiring dengan hengkangnya Soekarno dari panggung politik.
Paling terpukul.
Menurut beberapa mantan aktivis mahasiswa, GMNI paling terpukul dengan perubahan politik tersebut, sebab dituduh tidak ikut ambil andil dalam Orde Baru. Lain hal dengan rekannya HMI, PMKRI, GMKI, dan PMII yang turut aktif memperjuangkan lahirnya Orde Baru. Sejauh mana kebenaran diktum ini, perlu diskusi tersendiri yang tak mungkin terulas dalam artikel singkat ini.
Di sisi lain, Orde Baru yang dinakhodai Soeharto sibuk mengkonsolidasi kekuatan untuk memantapkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang mana berkecenderungan untuk membuat ke lima organisasi ekstra universiter tersebut mengalami kekosongan atau vacum power
Kevacuman ini akhirnya berakhir pada awal Januari 1972, yakni ketika kelima organisasi ini bersepakat membuat suatu wadah berhimpun yang mereka namakan sesuai dengan tempat mereka berkumpul, yaitu “Kelompok Cipayung”. Kiprah-kiptah politik sebagaimana yang pernah dilakukan pada era-era sebelumnya kembali menggelegar ke atmosfir persilatan.
Ciri khas kelompok Cipayung sejak dicetuskannya adalah “kritik sosial”
Mereka mengkritik para pelaksana negara, pejabat, atau power establish dengan blak-blakan apabila dirasa mempunyai kesalahan atau kekeilruan. Kritik mereka begitu tajam, pedas, dan menohok ke sasaran. Sudah barang tentu banyak yang gusar dengan situasi seperti itu. hal ini tidak usah kita ceritakan panjang lebar, namun satu catatan yaitu bahwa GMNI dan Csnya asyik berpolitik praktis tapi lupa memikirkan hal-hal yang strategis. Khususnya bgi GMNI mabuk kepayang memikirkan negara, bangsa, dan masyarakat, lupa memikirkan organisasinya.
Sinyalemen yang tidak enak ini dikemukakan mengingat bahw ketika pengusa melakukan reformasi pada organisasi-organisasi kepemudaan, dan atau khususnya dalam bidang kemahasiswaan, merek tidak sanggup memberikan alternatif tandingan. Secara perlahan tapi pasti peran mereka akhirnya sangat minimal, bahkan tidak terlalu salah kalau disebutkan telah impoten pada akhir dekade 70-an.
Inti masalah
Dari setting kesejarahan ini plus teori DavidApter dan David Easton dapatlah diasumsikan bahwa kemelut antagonis yang terkulminasi saat ini diakibatkan tiga faktor penentu (determinant). Pertama, sejak terbentuknya GMNI masalah ideologi dan organisasi tidak pernah dituntaskan. Masing-masing pihak menginprestasikan sesuai dengan seleranya. Akibat selanjutnya adalah tidak melahirkan kader ideologis, tapi kader individu. Lain hal dengan HMI dan kawan-kawan yang terikat dengan norma-norma relijius. Meminjam teori organisasi, maka sistem seperti ini tidak mempunyai ikatan yang kuat.
Kedua, karena GMNI tidak dapat dilepaskan dari Bung Karno dan Partai Nasional Indonesia, maka organisasi ini selalu ekwivalen dengan Orde Lama. Banyak kalangan (sebagaimana di sebut di depan) menganggap bahwa GMNI tidak ikut andil dalam Orde Baru. Sebaliknya dengan HMI Cs yang turut menumbangkan rezim Soekarno.
Ketiga, reformasi yang sangat sistematis dan konsepsional oleh the rulling clash dalam bidang kemahasiswaan. Penguasa dengan gemilang berhasil menggiring GMNI dan menumbuhkan organisasi tandingan yang berorientasi pada power establish kepermukaan politik, seperti KNPI, AMPI, FKPPI, dan lain-lain.
Bila GMNI masih ingin survive, maka ketiga masalah ini harus dituntaskan. Hal itu tidak terlalu sulit dilakukan mengingat bahwa organisasi ini berdasar pada nasionalisme dan demokrasi. Persoalan sekarang adalah good will mereka untuk itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar