MENGKAJI KONFLIK YANG MELANDA GMNI
Menyongsong Kongres Nasional II GMNI, 8 Juli 1992 di
Malang
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP UNTAG Jakarta& Mantan
aktivis GMNI
Published, 6
Juli 1992, Wawasan Semarang
Dalam
tanya jawab dengan beberapa anggota dan pengurus Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GMNI) baru-baru ini, terkesan bahwa mereka belum siap masuk ke
organisasi tersebut. selain belum siap, sepertinya kemasukan mereka cenderung
agak dipaksakan, sekedar ikut-ikutan, atau hura-hura.
Sinyalemen
ini dikedepankan, mengingat bahwa hal-hal yang mendasar tentang GMNI, seperti
dasar, tujuan, motto dan lain-lainnya tidak dipahami. Tidak tertutup
kemungkinan kemasukan mereka bertolak belakang
dengan eksistensi atau jati dirinya.akibatnya, terstrukturlah insan-insan
kontroversi.
Gambaran
demikian selanjutnya dapat dibayangkan akan melahirkan out put-output yang jauh
dari harapan organisasi. In put yang keliru, membias, atau salah akan
menghasilkan keluaran (out put) yang seperti itu juga, begitu kata David Easton
mengenai sistem politik. Bila dikaitkan dengan GMNI, maka sistem yang
terstruktur di organisasi mahasiswa terebut tidak sehat.
Tidak
sehatnya sistem ini, terkulminasi pada awal Mei 1992 di Lembang. Rakornas yang
dilaksanakan di kota dingin tersebut hanya oleh dua orang Presidium, sementara
yang tujuh lagi tidak tahu sama sekali. Hasilnya kelompok dua memecat kelompok
tujuh. Beberapa waktu kemudian, kelompok tujuh memecat kelompok dua. Mereka
pecat-pecatan, disintegrasi, atau perpecahan, akhirnya menurun ke
daerah-daerah.
Bila
dikaitkan dengan pendapat DavidApter tentang pluralisme politik, maka
keorganisasian GMNI terjerat ke dua kategori negatip. Kategori pertama, yakni
suatu sistem yang kelebihan beban, yang akibatnya menjadi ambruk. Kondisi ini
tercipta karena semakin banyak (besar) yang turut serta berpartisipasi dalam
organisasi, baik itu individu, atau kelompok. Hal ini dengan sendirinya
mencuatkan persaingan yang cukup tajam. GMNI rupanya tidak punya metode,
siasat, atau teknik untuk mengarahkan, mengontrol, atau mengkoordinasi
persaingan demikian. Dalam bahasa Maurice Duverger, konflik di giring ke
integrasi (lihat Sosiologi Politik)
Kategori
ke dua yakni kontrol yang tidak terkendali. Anggota-anggota atau para
simpatisan yang melihat tidak ada lagi koordinasi, menganggap partisipasinya
tidak lagi mempunyai arti/merasa sia-sia. Pada akhirnya mereka bermuara ke
lembah kesinisan, kecewa, dan masa bodo.
Setting
sejarah
Untuk
sementara, teori-teori yang dikedepankan Apter maupun Easton dapat dipakai
sebagai salah satu pisau analisa untuk membedah persoalan yang lebih dalam. Hal
ini mengingat bahwa pendekatan yang dilakukan kedua pakar politik itu adalah
pendekatan behaviour, yang lazim dinegeri nan sudah mapan.GMNI sebaliknya lahir
di negeri yang masih berkembang. Untuk ini pendekatan-pendekatan tradisional,
seperti historis masih dibutuhkan, agar ketahuan dimana sesungguhnya akar
(radix) masalah.
GMNI
dilahirkan oleh empat kelompok mahasiswa, yakni Gerakan Mahasiswa Marhaenis,
Gerakan Mahasiswa Demokrat, Gerakan Mahasiswa Merdeka, dan Mahasiswa Partai
Nasional Indonesia pada tanggal 23 Maret 1954, keempat kelompok mahasiswa ini
adalah kelompok yang gandrung akan ajaran-ajaran Bung Karno. Dimana
ajaran-ajaran ini akhirnya menjadi landasan, dan sikap mereka berorganisasi.
Marhaenisme
sebagai inti ajaran Bung Karno dijadikan azas (bersama dengan PNI). Sebagai mottonya dipilih “Pejuang
Pemikir-Pemikir Pejuang”. Yang unik dari dari azas dan motto ini adalah bahwa
penjabaran yang lebih mendetail/tuntas belum pernah ditempuh. Mungkin karena
pada waktu itu bintang idola masih bertakhta disinggasana kekuasaan, maka
pengejawantahan azas dan motto tersebut kurang dipermasalahkan. Pokoknya kalau
sudah pidato berapi-api, penuh retorika, dan sekian kali menyebut nama Bung
Karno, maka dialah itu (T.Jami, mantan Presidium GMNI 1976/1979). Kala itu
memang fenomenologis apabila masuk GMNI. Anak jenderal sekalipun masuk
kedalamnya, ungkap Djoko Pitoyo SH.
Betapa
maraknya aktivitas GMNI pada waktu itu, semua pihak mengakuinya. Organisasi ini
dengan gaya yang vokal dan militan dapat mempengaruhi otoritas (pimpinan
perguruan tinggi atau the rulling clash).
Maka tepatlah apabila mereka disebut sebagai pressure group elitist yang
bertujuandemi kemaslahatan mayoritas masyarakat, bukan seperti vested interest yang menggejalan dewasa
ini.
Kondisi
itu ternyata tidak langgeng, peristiwa G 30 S/PKI yang selanjutnya melahirkan
Orde Baru menancapkan suatu tatanan sosial politik yang sama sekali berbeda
dengan era sebelumnya. Bagi GMNI yang sempat mendapatkan lindungan (protection)
dari orang pertama republik ikut terimbas, seiring dengan hengkangnya Soekarno
dari panggung politik.
Paling
terpukul.
Menurut
beberapa mantan aktivis mahasiswa, GMNI paling terpukul dengan perubahan politik
tersebut, sebab dituduh tidak ikut ambil andil dalam Orde Baru. Lain hal dengan
rekannya HMI, PMKRI, GMKI, dan PMII yang turut aktif memperjuangkan lahirnya
Orde Baru. Sejauh mana kebenaran diktum ini, perlu diskusi tersendiri yang tak
mungkin terulas dalam artikel singkat ini.
Di
sisi lain, Orde Baru yang dinakhodai Soeharto sibuk mengkonsolidasi kekuatan
untuk memantapkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang mana berkecenderungan
untuk membuat ke lima organisasi ekstra universiter tersebut mengalami kekosongan
atau vacum power
Kevacuman
ini akhirnya berakhir pada awal Januari 1972, yakni ketika kelima organisasi
ini bersepakat membuat suatu wadah berhimpun yang mereka namakan sesuai dengan
tempat mereka berkumpul, yaitu “Kelompok Cipayung”. Kiprah-kiptah politik
sebagaimana yang pernah dilakukan pada era-era sebelumnya kembali menggelegar
ke atmosfir persilatan.
Ciri
khas kelompok Cipayung sejak dicetuskannya adalah “kritik sosial”
Mereka
mengkritik para pelaksana negara, pejabat, atau power establish dengan
blak-blakan apabila dirasa mempunyai kesalahan atau kekeilruan. Kritik mereka
begitu tajam, pedas, dan menohok ke sasaran. Sudah barang tentu banyak yang
gusar dengan situasi seperti itu. hal ini tidak usah kita ceritakan panjang
lebar, namun satu catatan yaitu bahwa GMNI dan Csnya asyik berpolitik praktis
tapi lupa memikirkan hal-hal yang strategis. Khususnya bgi GMNI mabuk kepayang
memikirkan negara, bangsa, dan masyarakat, lupa memikirkan organisasinya.
Sinyalemen
yang tidak enak ini dikemukakan mengingat bahw ketika pengusa melakukan
reformasi pada organisasi-organisasi kepemudaan, dan atau khususnya dalam
bidang kemahasiswaan, merek tidak sanggup memberikan alternatif tandingan.
Secara perlahan tapi pasti peran mereka akhirnya sangat minimal, bahkan tidak
terlalu salah kalau disebutkan telah impoten pada akhir dekade 70-an.
Inti
masalah
Dari
setting kesejarahan ini plus teori
DavidApter dan David Easton dapatlah diasumsikan bahwa kemelut antagonis yang
terkulminasi saat ini diakibatkan tiga faktor penentu (determinant). Pertama, sejak terbentuknya GMNI masalah
ideologi dan organisasi tidak pernah dituntaskan. Masing-masing pihak
menginprestasikan sesuai dengan seleranya. Akibat selanjutnya adalah tidak
melahirkan kader ideologis, tapi kader individu. Lain hal dengan HMI dan
kawan-kawan yang terikat dengan norma-norma relijius. Meminjam teori organisasi,
maka sistem seperti ini tidak mempunyai ikatan yang kuat.
Kedua,
karena GMNI tidak dapat dilepaskan dari Bung Karno dan Partai Nasional
Indonesia, maka organisasi ini selalu ekwivalen dengan Orde Lama. Banyak
kalangan (sebagaimana di sebut di depan) menganggap bahwa GMNI tidak ikut andil
dalam Orde Baru. Sebaliknya dengan HMI Cs yang turut menumbangkan rezim
Soekarno.
Ketiga,
reformasi yang sangat sistematis dan konsepsional oleh the rulling clash dalam
bidang kemahasiswaan. Penguasa dengan gemilang berhasil menggiring GMNI dan
menumbuhkan organisasi tandingan yang berorientasi pada power establish kepermukaan politik, seperti KNPI, AMPI, FKPPI, dan
lain-lain.
Bila
GMNI masih ingin survive, maka ketiga masalah ini harus dituntaskan. Hal itu
tidak terlalu sulit dilakukan mengingat bahwa organisasi ini berdasar pada
nasionalisme dan demokrasi. Persoalan sekarang adalah good will mereka untuk itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar