Rabu, 25 Januari 2017

PRIVATISASI BUMN DAN AGENDA NEOLIBERAL




PRIVATISASI BUMN DAN AGENDA NEO LIBERAL
Oleh : Reinhard Hutapea
Disampaikan dalam Dialog dan HUT III Genepdara
Htl Permata Hijau, Sukabumi, 26 Juli 2008

Pendahuluan
Tema atau judul yang kita perbincangkan ini adalah tema atau judul yang tidak habis-habisnya dibahas hingga saat ini dan mungkin untuk waktu yang lama. Setiap saat tiada waktu tanpa membahas hal demikian. Dari mereka yang paling awam hingga yang paling memahami tiada henti membicarakannya.
Dibicarakan , diperbincangkan atau digunjingkan karena menyangkut kehidupan kita sehari-hari. Dampak atau imbas dari tema tersebut disadari atau tidak telah memiskinkan, membangkrutkan atau mengalienasi kemanusiaan sebagian besar masyarakat/ bangsa Indonesia ke jurang yang sangat dalam. Wong cilik, wong marhaen, wong proletar yang sejak negeri ini merdeka mengharapkan hidupnya lebih baik, tidak pernah beranjak, bahkan sebaliknya semakin lama semakin sengsara.
Sengsara, melarat atau teralienasi, karena tetap tampilnya musuh bersama kita sejak lama, yakni “kapitalisme”. Kapitalisme sejak lama telah ditengarai pemimpin besar kita Bung Karno sebagai musuh bersama yang harus dilawan. Dengan tidak henti-hentinya, Bung Karno menggelorakan agar bangsa Indonesia dan dunia pada umumnya melawan kapitalisme
Sayang seribu sayang perjuangan itu tidak pernah terwujud, patah ditengah jalan. Di kala gencar-gencarnya beliau menghantam kapitalisme, malah ia dijatuhkan oleh rezim Orde Baru, yang justru sebaliknya membenarkan kapitalisme untuk membangun Indonesia. Sejak ini sesungguhnya Indonesia telah terjerat, terperangkap dan tergantung dalam pelukan kapitalisme

Pengertian
Kembali kepada tema tulisan ini, muncul pertanyaan: apa hubungan kapitalisme , Bung Karno dengan Privatisasi dan Agenda Neo Liberal?. Jawabannya bisa panjang, bisa sedang bisa singkat. Tergantung kita mau pilih yang mana. Akan tetapi supaya tidak nyelimet dan terlalu teoritik jawaban yang akan kita utarakan lebih dulu adalah jawaban yang singkat. Jawaban ini adalah pendapat yang pernah diutarakan Bung Karno, yakni  bahwa suatu waktu nanti akan muncul “penjajah baru” yang tidak memakai serdadu dan meriam, melainkan “ekonomi”. Penjajahan ini jauh lebih dahsyat dan lebih mengerikan dari penjajahan-penjajahan konvensional sebelumnya, sebab akan menggunakan bangsa kita sendiri sebagai pelaksananya.
Pendapat atau paradigmanya ini terkenal dengan sebutan “Nekolim” alias Neo kolonialisme dan Neo Imperialisme.
Inilah yang sungguh-sungguh terjadi sekarang ini. Yang membedakannya hanyalah “peristilahan”. Kalau Bung Karno menyatakan Nekolim, saat ini disebut dengan “Neo Liberal”. Substansi atau hakikinya tetap sama yakni sama-sama kapitalisme. Disinilah kehebatan Bung Karno. Ia telah jauh melihat ke depan.
Neo liberal sebagaimana yang popular dewasa ini adalah Kapitalisme dalam arti yang sesungguhnya.. Dapat juga disebut dengan Adi Kapitalisme, Super Kapitalisme, Jumbo Kapitalisme , atau kapitalisme habis-habisan, Kanan Baru dan sebagainya. Suatu mazhab, sistem, tatanan atau ideologi yang memberhalakan “benda”. Mendewakan “materi” dan lain-lain hal yang bersifat keduniawian.
Adapun filosofinya adalah “kebebasan”, bebas, bebas-sebebas bebasnya tidak boleh dirintang-rintangi. Tidak boleh ada “proteksi atau perlindungan”. Bebas, lalu lintas barang dan jasa dan sebagainya yang berhubungan dengan perekonomian harus “bebas”. Bebas sebebas-bebasnya. Oleh karena itulah dalam terminologi ideologi disebut dengan “Liberalisme- Kapitalisme”. Neo liberal sama dengan liberalisme atau kapitalisme baru (neo = baru)
Sebagai pilar utama Neo Liberal ada tiga. Satu sudah disebut diatas (judul) yakni “privatisasi”, yang lain adalah “deregulasi dan liberalisasi”. Urutan resminya adalah”
·         Deregulasi
·         Privatisasi dan
·         Liberalisasi
Deregulasi artinya negara atau pemerintah tidak boleh intervensi atau campur tangan dalam urusan-urusan perekonomian. Fungsi Negara atau pemerintah hanya sebagai “wasit” (negara penjaga malam). Privatisasi adalah pelaksanaan ekonomi harus dilakukan oleh swasta (swastanisasi), tidak boleh dialksanakan oleh negara/pemerintah. Semuanya urusan ekonomi harus tanpa kecuali dilakukan oleh swasta Sedangkan liberalisasi adalah kebebasan yang penuh kepada lalu lintas barang dan jasa. Dengan kata lain semuanya harus diserahkan kepada “pasar”. Pasar menjadi segala-galanya. Biarkan pasar bekerja, sebab ia nanti akan di……oleh tangan-tangan tidak terlihat (invisible hand) sebagaimana yang diteorikan Adam Smith kira-kira 300 tahun yang lalu.
Tiga pilar Neoliberal ini yakni “deregulasi, privatisasi dan liberalisasi” telah dijabarkan lebih terinci oleh Bank Dunia, IMF dan WTO dalam apa yang disebut Structural Adjustment Policy (SAP):
1.      meniadakan hambatan bagi investasi asing di sektor industri, perbankan, dan jasa keuangan lainnya. Tak ada lagi pemihakan terhadap lokal atau bank lokal, ataupun perlindungan terhadap intervensi pihak asing yang kuat
2.      reorientasi ekonomi ke arah ekspor guna memperoleh valuta asing yang dibutuhkan untuk membayar utang dan menjadi semakin tergantungnya kepada ekonomi global. Akibatnya mengurangi keswadayaaan dan keragaman produksi lokal yang mengarah pada satu hasil manufaktur saja atau satu hasil pertanian saja.
3.      mengurangi upah atau kenaikan upah, agar ekspor dapat lebih kompetitif. Secara drastis mengurangi pengeluaran pemerintah, termasuk pengeluran untuk kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan yang dikombinasikan dengan pengurangan upah; hal ini akan mengurangi inflasi dan menjamin seluruh uang yang ada digunakan ke arah peningkatan produksi untuk ekspor.
4.      memotong bea masuk (tariff), kuota, serta hambatan-hambatan lainnya untuk impor guna memudahkan pengintegrasian global
5.      melakukan devaluasi mata uang lokal terhadap mata uang keras, seperti Dollar Amerika Serikat guna membuat ekspor kompetitif
6.      privatisasi perusahaan-perusahaan negara serta menyediakan kemudahan bagi masuknya modal asing
7.      menjalankan program deregulasi untuk membebaskan perusahaan-perusahaan berorientasi ekspor dari kontrol pemerintah yang biasanya melindungi kaum pekerja/buruh, lingkungan hidup dan sumber daya alam; sehingga dapat memotong biaya-biaya dan selanjutnya meningkatkan daya saing ekspor. Hal ini mengakibatkan efek sekunder dari diturnkannya upah dan standard lainnya dinegara-negara lain – termasuk negara-negara industri – guna mempertahankan daya saing mereka.

Terjerat dan Terperangkap
Dengan demikian SAP ini pada dasarnya telah menyentuh semua dimensi kebijakan ekonomi. Bagi negara-negara pengutang (seperti atau khususnya Indonesia) pelaksanaan SAP kemudian merupakan prasyarat untuk mendapatkan Structural Adjustment Loan (SAL). Pinjaman  bagi penyesuaian structural.
Dengan menerima SAL dapat dikatakan bahwa negara pengutang telah menerima kontrol ekonomi dari rezim Neo liberal, seperti Bank Dunia, IMF dan WTO. Lembaga-lembaga ini pada akhirnya menjadi penguasa atas kedaulatan negara-negara pengutang. Mereka akan bebas menentukan haluan negara tersebut, mau diarahkan kemana, ke atas, ke bawah , ke samping, ke tempat yang lebih baik, atau dijerumuskan ke jurung tergantung keinginan mereka.
 Kenyatannya negara-negara yang dikontrol mayoritas (kalau bukan semua) semakin lama bukan semakin baik, malah sebaliknya semakin terperosok dan terpuruk semakin dalam. Termasuk Indonesia yang mendapat skema SAL pada tahun 1997, yakni dengan menandatangani 50 Letter Of Intent yang disodokkan IMF
Sejak saat itu mulailah penggerusan sekaligus penghancuran Indonesia secara sistematis.oleh rezim Neoliberal. Seluruh permintaan Bank Dunia, IMF atau WTO tanpa syarat diterima dan dilaksanakan secara membabi buta (meminjam istilah Drajad Wibowo). Khusus tentang 50 LOI yang dipaksakan IMF Kwik Kian Gie memberikan pendapat:
Dalam rangka melaksanakan programnya, entah dengan agenda busuk yang melatarbelakanginya ada atau tidak, tata kelola ekonomi Indonesia dirusak dengan dahsyatnya melalui program-program yang tidak masuk akal. Pertama melalui Letter of Intent dari IMF  sampai dengan 18 Maret 2003. keseluruhan LOI dapat dibagi sebagai berikut; 327 tindakan dalam bidang restrukturisasi perbankan yang dipaksakan, 114 dalam bidang restrukturisasi utang perbankan, 41 dalam bidang desentralisasi, 44 dalam bidang lingkungan hidup, 168 dalam bidang fiscal, 82 dalam bidang perdagangan luar negeri, 59 deregulasi dan perbankan, 131 dalam bidang pinjaman dan pemulihan asset, 105 dalam kebijakan moneter dan Bank Sentral, 26 lain-lain, dan 120 dalam bidang privatisasi BUMN.

Fantastis, luar biasa, sekaligus mengerikan. Bagaimana badan luar/asing begitu leluasa (suka-sukanya) memaksakan kehendaknya suatu yang tidak masuk akal, tapi kenyatannya terjadi/factual. Apakah cakupan pekerjaan IMF boleh meliputi bidang-bidang non moneter yang demikian banyaknya?. Berdasarkan laporan tahunan yang diberi nama Countries Strategies Reform oleh World Bank dan Asian Development Bank, tidak terbantahkan lagi bahwa yang memerintah bangsa Indonesia bukan pemerintah Indonesia lagi tetapi mereka. Boleh percaya, boleh tidak, namun itulah faktanya
Tiga hal yang paling merusak akibat tindakan IMF sehingga Indonesia terhuyung-huyung sampai sekarang adalah:
1.      menempuh kebijakan “supertight money policy” (kebijakan uang sangat ketat) dalam menghadapi resesi dan depresi yang begitu hebat. Tingkat suku bunga yang diberlakukan sangat tinggi, yakni antara 40 – 60% dealam setahun
2.      dipaksanya pemerintah Indonesia melikuidasi 16 Bank tanpa persiapan dengan konsekwensi rentetan kejadian-kejadian yang membuat perbankan domestik porak-poranda.
3.      membuat utang swasta menjadi utang Negara. IMF menyuruh pemerintah menginjeksi perbankan nasional yang rusak berat karena dirampok pemiliknya sendiri dengan obligasi rekapitalisasi perbankan sebesar 430 triliun dengan kewajiban membayar bunga sebesar 600 triliun, jadi minimum sebesar 1030 triliun

Privatisasi
            Selain itu, yang membuat perekonomian semakin suram adalah dipaksanya pemerintah Indonesia  menjual bank-bank dengan waktu yang ditentukan dan diumumkan kepada dunia sehingga dapat dijual dengan harga yang sangat rendah seperti Bank Central Asia.. BCA yang sahamnya 93% milik pemerintah karena diinjeksi dengan obligasi rekap, oleh IMF dijual dengan nilai 10 triliun rupiah, sedangkan pembeli swastanya setelah membeli BCA mempunyai tagihan kepada pemerintah sebesar 60 triliun rupiah. Masih banyak lagi masalah dan blunder yang dipaksakan IMF kepada Indonesia, seperti MSAA, Release and Discharge dan sebagainya (Kwik, 2004)
Aneh bin ajaib, dijual Rp 10 T, tapi penjual, kemudian meminta Rp 60 T. Mungkin khalayak banyak yang tidak percaya, tapi itulah kenyatannya. Ini baru satu contoh, bagaimana yang lain, yang sudah dijual dan yang akan dijual? Tidak mungkin terbahas dalam tulisan singkat ini. Persoalan kemudian adalah kita mau kemana? Apakah terus bersungut-sungut? Atau mencari jalan keluar?

Jalan keluar: Revolusi
Kita tentu tidak akan bersungut-sungut terus. Jalan keluar harus kita upayakan. Metode pertama menurut saya, kita hubungkan dulu dengan Pancasila, UUD 1945 atau khas kita Marhaenisme. Sesuaikah yang sudah diterapkan saat ini? Mari sama-sama kita diskusikan.

Sukabumi, 26 Juli 2008


PRIVATISASI BUMN
DAN
AGENDA NEO LIBERAL











OLEH : REINHARD HUTAPEA








DISAMPAIKAN DALAM DIALOG DAN HUT III GENEPDARA
26 JULI 2008, HOTEL PERMATA HIJAU
SUKABUMI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar