PRIVATISASI BUMN DAN AGENDA NEO LIBERAL
Oleh : Reinhard Hutapea
Disampaikan dalam Dialog dan HUT III Genepdara
Htl Permata Hijau, Sukabumi, 26 Juli 2008
Pendahuluan
Tema atau judul yang kita perbincangkan ini adalah tema
atau judul yang tidak habis-habisnya dibahas hingga saat ini dan mungkin untuk
waktu yang lama. Setiap saat tiada waktu tanpa membahas hal demikian. Dari
mereka yang paling awam hingga yang paling memahami tiada henti
membicarakannya.
Dibicarakan , diperbincangkan atau digunjingkan karena menyangkut
kehidupan kita sehari-hari. Dampak atau imbas dari tema tersebut disadari atau
tidak telah memiskinkan, membangkrutkan atau mengalienasi kemanusiaan sebagian
besar masyarakat/ bangsa Indonesia
ke jurang yang sangat dalam. Wong cilik, wong marhaen, wong proletar yang sejak
negeri ini merdeka mengharapkan hidupnya lebih baik, tidak pernah beranjak,
bahkan sebaliknya semakin lama semakin sengsara.
Sengsara, melarat atau teralienasi, karena tetap tampilnya
musuh bersama kita sejak lama, yakni “kapitalisme”. Kapitalisme sejak lama
telah ditengarai pemimpin besar kita Bung Karno sebagai musuh bersama yang
harus dilawan. Dengan tidak henti-hentinya, Bung Karno menggelorakan agar
bangsa Indonesia
dan dunia pada umumnya melawan kapitalisme
Sayang seribu sayang perjuangan itu tidak pernah
terwujud, patah ditengah jalan. Di kala gencar-gencarnya beliau menghantam
kapitalisme, malah ia dijatuhkan oleh rezim Orde Baru, yang justru sebaliknya membenarkan
kapitalisme untuk membangun Indonesia.
Sejak ini sesungguhnya Indonesia
telah terjerat, terperangkap dan tergantung dalam pelukan kapitalisme
Pengertian
Kembali kepada tema tulisan ini, muncul pertanyaan: apa
hubungan kapitalisme , Bung Karno dengan Privatisasi dan Agenda Neo Liberal?.
Jawabannya bisa panjang, bisa sedang bisa singkat. Tergantung kita mau pilih
yang mana. Akan tetapi supaya tidak nyelimet dan terlalu teoritik jawaban yang
akan kita utarakan lebih dulu adalah jawaban yang singkat. Jawaban ini adalah
pendapat yang pernah diutarakan Bung Karno, yakni bahwa suatu waktu nanti akan muncul “penjajah
baru” yang tidak memakai serdadu dan meriam, melainkan “ekonomi”. Penjajahan
ini jauh lebih dahsyat dan lebih mengerikan dari penjajahan-penjajahan
konvensional sebelumnya, sebab akan menggunakan bangsa kita sendiri sebagai
pelaksananya.
Pendapat atau paradigmanya ini terkenal dengan sebutan
“Nekolim” alias Neo kolonialisme dan Neo Imperialisme.
Inilah yang sungguh-sungguh terjadi sekarang ini. Yang
membedakannya hanyalah “peristilahan”. Kalau Bung Karno menyatakan Nekolim,
saat ini disebut dengan “Neo Liberal”. Substansi atau hakikinya tetap sama
yakni sama-sama kapitalisme. Disinilah kehebatan Bung Karno. Ia telah jauh
melihat ke depan.
Neo liberal sebagaimana yang popular dewasa ini adalah
Kapitalisme dalam arti yang sesungguhnya.. Dapat juga disebut dengan Adi
Kapitalisme, Super Kapitalisme, Jumbo Kapitalisme , atau kapitalisme
habis-habisan, Kanan Baru dan sebagainya. Suatu mazhab, sistem, tatanan atau
ideologi yang memberhalakan “benda”. Mendewakan “materi” dan lain-lain hal yang
bersifat keduniawian.
Adapun filosofinya adalah “kebebasan”, bebas, bebas-sebebas
bebasnya tidak boleh dirintang-rintangi. Tidak boleh ada “proteksi atau
perlindungan”. Bebas, lalu lintas barang dan jasa dan sebagainya yang berhubungan
dengan perekonomian harus “bebas”. Bebas sebebas-bebasnya. Oleh karena itulah
dalam terminologi ideologi disebut dengan “Liberalisme- Kapitalisme”. Neo
liberal sama dengan liberalisme atau kapitalisme baru (neo = baru)
Sebagai pilar utama Neo Liberal ada tiga. Satu sudah
disebut diatas (judul) yakni “privatisasi”, yang lain adalah “deregulasi dan
liberalisasi”. Urutan resminya adalah”
·
Deregulasi
·
Privatisasi dan
·
Liberalisasi
Deregulasi artinya negara atau pemerintah tidak boleh
intervensi atau campur tangan dalam urusan-urusan perekonomian. Fungsi Negara
atau pemerintah hanya sebagai “wasit” (negara penjaga malam). Privatisasi
adalah pelaksanaan ekonomi harus dilakukan oleh swasta (swastanisasi), tidak
boleh dialksanakan oleh negara/pemerintah. Semuanya urusan ekonomi harus tanpa
kecuali dilakukan oleh swasta Sedangkan liberalisasi adalah kebebasan yang
penuh kepada lalu lintas barang dan jasa. Dengan kata lain semuanya harus
diserahkan kepada “pasar”. Pasar menjadi segala-galanya. Biarkan pasar bekerja,
sebab ia nanti akan di……oleh tangan-tangan tidak terlihat (invisible hand)
sebagaimana yang diteorikan Adam Smith kira-kira 300 tahun yang lalu.
Tiga pilar Neoliberal ini yakni “deregulasi, privatisasi
dan liberalisasi” telah dijabarkan lebih terinci oleh Bank Dunia, IMF dan WTO
dalam apa yang disebut Structural Adjustment Policy (SAP):
1.
meniadakan hambatan bagi
investasi asing di sektor industri, perbankan, dan jasa keuangan lainnya. Tak
ada lagi pemihakan terhadap lokal atau bank lokal, ataupun perlindungan
terhadap intervensi pihak asing yang kuat
2.
reorientasi ekonomi ke arah
ekspor guna memperoleh valuta asing yang dibutuhkan untuk membayar utang dan
menjadi semakin tergantungnya kepada ekonomi global. Akibatnya mengurangi
keswadayaaan dan keragaman produksi lokal yang mengarah pada satu hasil
manufaktur saja atau satu hasil pertanian saja.
3.
mengurangi upah atau kenaikan
upah, agar ekspor dapat lebih kompetitif. Secara drastis mengurangi pengeluaran
pemerintah, termasuk pengeluran untuk kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan
yang dikombinasikan dengan pengurangan upah; hal ini akan mengurangi inflasi
dan menjamin seluruh uang yang ada digunakan ke arah peningkatan produksi untuk
ekspor.
4.
memotong bea masuk (tariff),
kuota, serta hambatan-hambatan lainnya untuk impor guna memudahkan
pengintegrasian global
5.
melakukan devaluasi mata uang
lokal terhadap mata uang keras, seperti Dollar Amerika Serikat guna membuat
ekspor kompetitif
6.
privatisasi
perusahaan-perusahaan negara serta menyediakan kemudahan bagi masuknya modal
asing
7.
menjalankan program deregulasi
untuk membebaskan perusahaan-perusahaan berorientasi ekspor dari kontrol
pemerintah yang biasanya melindungi kaum pekerja/buruh, lingkungan hidup dan
sumber daya alam; sehingga dapat memotong biaya-biaya dan selanjutnya
meningkatkan daya saing ekspor. Hal ini mengakibatkan efek sekunder dari
diturnkannya upah dan standard lainnya dinegara-negara lain – termasuk negara-negara
industri – guna mempertahankan daya saing mereka.
Terjerat dan Terperangkap
Dengan demikian SAP ini pada dasarnya telah menyentuh
semua dimensi kebijakan ekonomi. Bagi negara-negara pengutang (seperti atau
khususnya Indonesia)
pelaksanaan SAP kemudian merupakan prasyarat untuk mendapatkan Structural
Adjustment Loan (SAL). Pinjaman bagi
penyesuaian structural.
Dengan menerima SAL dapat dikatakan bahwa negara
pengutang telah menerima kontrol ekonomi dari rezim Neo liberal, seperti Bank
Dunia, IMF dan WTO. Lembaga-lembaga ini pada akhirnya menjadi penguasa atas
kedaulatan negara-negara pengutang. Mereka akan bebas menentukan haluan negara
tersebut, mau diarahkan kemana, ke atas, ke bawah , ke samping, ke tempat yang
lebih baik, atau dijerumuskan ke jurung tergantung keinginan mereka.
Kenyatannya negara-negara
yang dikontrol mayoritas (kalau bukan semua) semakin lama bukan semakin baik,
malah sebaliknya semakin terperosok dan terpuruk semakin dalam. Termasuk Indonesia
yang mendapat skema SAL pada tahun 1997, yakni dengan menandatangani 50 Letter
Of Intent yang disodokkan IMF
Sejak saat itu mulailah penggerusan sekaligus
penghancuran Indonesia
secara sistematis.oleh rezim Neoliberal. Seluruh permintaan Bank Dunia, IMF
atau WTO tanpa syarat diterima dan dilaksanakan secara membabi buta (meminjam
istilah Drajad Wibowo). Khusus tentang 50 LOI yang dipaksakan IMF Kwik Kian Gie
memberikan pendapat:
Dalam rangka melaksanakan programnya, entah dengan agenda busuk yang
melatarbelakanginya ada atau tidak, tata kelola ekonomi Indonesia dirusak dengan dahsyatnya
melalui program-program yang tidak masuk akal. Pertama melalui Letter of Intent
dari IMF sampai dengan 18 Maret 2003.
keseluruhan LOI dapat dibagi sebagai berikut; 327 tindakan dalam bidang
restrukturisasi perbankan yang dipaksakan, 114 dalam bidang restrukturisasi
utang perbankan, 41 dalam bidang desentralisasi, 44 dalam bidang lingkungan
hidup, 168 dalam bidang fiscal, 82 dalam bidang perdagangan luar negeri, 59
deregulasi dan perbankan, 131 dalam bidang pinjaman dan pemulihan asset, 105
dalam kebijakan moneter dan Bank Sentral, 26 lain-lain, dan 120 dalam bidang
privatisasi BUMN.
Fantastis, luar biasa, sekaligus mengerikan. Bagaimana
badan luar/asing begitu leluasa (suka-sukanya) memaksakan kehendaknya suatu
yang tidak masuk akal, tapi kenyatannya terjadi/factual. Apakah cakupan
pekerjaan IMF boleh meliputi bidang-bidang non moneter yang demikian
banyaknya?. Berdasarkan laporan tahunan yang diberi nama Countries Strategies
Reform oleh World Bank dan Asian Development Bank, tidak terbantahkan lagi
bahwa yang memerintah bangsa Indonesia bukan pemerintah Indonesia lagi tetapi
mereka. Boleh percaya, boleh tidak, namun itulah faktanya
Tiga hal yang paling merusak akibat tindakan IMF sehingga
Indonesia
terhuyung-huyung sampai sekarang adalah:
1.
menempuh kebijakan “supertight
money policy” (kebijakan uang sangat ketat) dalam menghadapi resesi dan depresi
yang begitu hebat. Tingkat suku bunga yang diberlakukan sangat tinggi, yakni
antara 40 – 60% dealam setahun
2.
dipaksanya pemerintah Indonesia
melikuidasi 16 Bank tanpa persiapan dengan konsekwensi rentetan kejadian-kejadian
yang membuat perbankan domestik porak-poranda.
3.
membuat utang swasta menjadi
utang Negara. IMF menyuruh pemerintah menginjeksi perbankan nasional yang rusak
berat karena dirampok pemiliknya sendiri dengan obligasi rekapitalisasi
perbankan sebesar 430 triliun dengan kewajiban membayar bunga sebesar 600
triliun, jadi minimum sebesar 1030 triliun
Privatisasi
Selain itu, yang
membuat perekonomian semakin suram adalah dipaksanya pemerintah Indonesia menjual bank-bank dengan waktu yang
ditentukan dan diumumkan kepada dunia sehingga dapat dijual dengan harga yang
sangat rendah seperti Bank Central Asia.. BCA yang sahamnya 93% milik
pemerintah karena diinjeksi dengan obligasi rekap, oleh IMF dijual dengan nilai
10 triliun rupiah, sedangkan pembeli swastanya setelah membeli BCA mempunyai
tagihan kepada pemerintah sebesar 60 triliun rupiah. Masih banyak lagi masalah
dan blunder yang dipaksakan IMF kepada Indonesia, seperti MSAA, Release and
Discharge dan sebagainya (Kwik, 2004)
Aneh bin ajaib, dijual Rp 10 T, tapi penjual, kemudian
meminta Rp 60 T. Mungkin khalayak banyak yang tidak percaya, tapi itulah
kenyatannya. Ini baru satu contoh, bagaimana yang lain, yang sudah dijual dan
yang akan dijual? Tidak mungkin terbahas dalam tulisan singkat ini. Persoalan kemudian
adalah kita mau kemana? Apakah terus bersungut-sungut? Atau mencari jalan
keluar?
Jalan keluar: Revolusi
Kita tentu tidak akan bersungut-sungut terus. Jalan
keluar harus kita upayakan. Metode pertama menurut saya, kita hubungkan dulu
dengan Pancasila, UUD 1945 atau khas kita Marhaenisme. Sesuaikah yang sudah
diterapkan saat ini? Mari sama-sama kita diskusikan.
Sukabumi, 26 Juli 2008
PRIVATISASI BUMN
DAN
AGENDA NEO LIBERAL
OLEH : REINHARD HUTAPEA
DISAMPAIKAN DALAM DIALOG
DAN HUT III GENEPDARA
26 JULI 2008, HOTEL
PERMATA HIJAU
SUKABUMI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar