Sabtu, 14 Januari 2017

MEMPERTANYAKAN IMPOTENSI MAHASISWA




MEMPERTANYAKAN IMPOTENSI MAHASISWA
Tanggapan untuk Rasfianik
Oleh : Reinhard Hutapea
Mantan aktipis/pengamat
Published Harian Terbit, 3 Agustus 1988

Bicara tentang kemahasiswaan, tidak ada habisnya. Kelompok ini mempunyai kekhususan tersendiri. Beberapa ilmuwan, tidak canggung menjadikan mahasiswa sebagai objek penelitiannya. Sarlito Wirawan Sarwono dalam disertasi doktornya mengambil tema “Perbedaan Antara Pemimpin dan Aktipis Dalam Gerakan Protes Mahasiswa”, Victor Immanuel Tanja dalam disertasi doktor yang dipertahankan di Amerika Serikat mengambil judul “Himpunan Mahasiswa Islam, Sejarah dan Kedudukannya Dalam Gerakan-Gerakan Pembaharu Muslim”. Demikian pula beberapa ilmuwan kawakan dunia, seperti Symour Marthin Lipset (bukunya Rebellion at the Universities), Edaward Shills, Francois Raillon dan lain-lain.
Dalam bentuk artikel juga banyak. Beberapa mantan aktipis mahasiswa yang sudah punya kedudukan sosial tertentu, terus menulis, seperti Arief Budiman, Burhan Magenda, Ong Hok Ham, Ridwan Saidi, Nurcholis Madjid, Sucipto WS, Abdul Gafur, Cosmas Batubara dll. Hal ini penulis paparkan untukmenanggapi tulisan Rasfianik dalam harian Terbit tanggal 13 Juli 1988 dengan topik “Dilemma Interaksi Sosial Mahasiswa”
Selain judul cukup bombastis, isinya banyak yang perlu dipertanyakan. Khususnya, apa yang di tulis pada pembukaan artikel tersebut yang kiranya terlalu jauh menyimpang. Untuk lebih jelasnya kembali kita kutip....Lewat diskusi, seminar, simposium seharusnya kita akan mudah menyaksikan tumbuhnya pakar diskusi. Terutama jika mahasiswa terlibat pada seminar umum yang dihadiri masyarakat umum.....Begitukah?
Anehnya alasan apa yang membuat sampai pada pemikiran demikian, tak diuraikan pada tulisan tersebut. kalau boleh disebut tulisan itu tidak mempunyai “benang merah”. Kami yakin bila ada mahasiswa yang membaca, pasti akan terbahak-bahak atau berang sama sekali. Bukankah mahasiswa sejak menjejakkkan kakinya di kampus sudah hidup dalam dunia diskusi?. Diskusi merupakan perangkat yang tidak lekang dari diri mahasiswa sampai lulus perguruan tinggi. Apa itu mahasiswa, bagaimana fungsi, peran, hakikat dan lain-lainnya itu dapat di lihat pada disertasi Sarlito yang banyak di jual di toko-toko buku. Apakah ada hubungannya dengan sosial-politik?
Ada kemungkinan, yang dimaksud oleh Rosfianik tidak vokalnya lagi mahasiswasekarang ketimbang mahasiswa terdahulu dengan melihat rentetan peristiwa, seperti aksi 66, aksi 70-an, Malari 74 dan 78.
Pada waktu itu mahasiswa begitu vokal dan militan. Diskusi menjamur ibart cendawan di musim hujan. Dalam artian lain, dapat dikatakan, apa yang didiskusikan atau diseminarkan oleh mahasiswa pada waktu itu sejalan dengan keinginan masyarakat. Peran mahasiswa menjadi besar. Namun timbul pertanyaan; benarkah mahasiswa begitu besar jasanya dalam “Revolusi sosial” itu sehingga suaranya begitu merdu bagai kicauan burung parkit?. Jawabannya abstrak berbagai visi, pandangan dan pendekatan menguak ke permukaan.

Pendekatan Sosio-Kultural
Mahasiswa berperan dalam perubahan-perubahan sosial, tidak ada yang mebantah. Persoalannya sejauh apakah peran itu. SM. Lipset berpendapat bahwa mahasiswa bergerak apabila negara dalam keadaan krisis. Arief Budiman, mantan aktipis 66 mengakui peran itu, namun hanya sebagai katalisator. Ong Hok Ham yang melihat dari sudut sejarah berpendapat bahwa mahasiswa pada revolusi sosial hanya dijadikan sebagai umpan peluru. Francois Raillon tidak mau ketinggalan, beliau melihat kelompok-kelompok yang menunggangi aksi Mahasiswa Indonesia (bukunya, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia, LP3ES)
Apa yang dapat ditarik dari beberapa pendapat tersebut?. Secara singkat dapat disebut bahwa mahasiswa bukanlah penentu dalam Revolusi Sosial maupun Politik. Peran mereka cenderung dibesar-besarkan sekarang ini tidaklah beralasan. Kelompok ini menjadi alat bagi kepentingan-kepentingan tertentu. Mereka ditunggangi seperti hewan.
Karenanya, tidaklah adil melihat peran mahasiswa hanya pada saat aksi berlangsung yang seakan-akan memang besar itu. banyak faktor yang perlu diperhitungkan, seperti sistim maupun tatanan sosial-kebudayaan secara purna menyeluruh
Apa mahasiswa dapat dipisahkan dari masyarakat? Faktor-faktor sosial maupun kebudayaan ini cukup luas dan memang......bila suara kita ingin di dengar. Mau tidak mau, senang tidak senang, faktor ini harus diperhitungkaan, agar dianggap tidak sepi dan kurang sopan.

Mahasiswa Sekarang
Mahasiswa saat ini menyadari itu semua. Mereka telah mempelajari buku-buku tentang kemahasiswaan yang di tulis di Indonesia maupun di manca negara. Faktor-faktor lebih luas, seperti di sebut di atas (sosial dan kultural) sudah diperhitungkan agar tidak terjebak pada analisis  yang an sich politis. Semua itu mereka diskusikan sesama teman, sesama profesi dalam group-group study tertentu, dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan (intra maupun ekstra dan lain bentuk yang fenomenal akhir-akhir ini)
Semua itu dapat disaksikan saat mereka berdiskusi begitu lugas dan cekatan dalam menuangkan pikiran pada setiap diskusi. Tak cukup disitu, beberapa singa diskusi ini telah menjadi kolumnis di harian-harian Ibukota. Pada Terbit misalnya, tercatat Andus Simbolon, Yakob Bobo, dan Binoto Nadapdap. Tentunya Rosfianik pernah membaca tulisan-tulisan mereka.

1 komentar:

  1. Terima kasih Pak, artikel ini menggerakan saya sebagai pelajar yang juga akan menjadi mahasiswa, untuk terus membangun diskusi yang baik. Saya merasa lebih tergerak lagi, melihat nama ayah saya, Yakub Bobo, tercantum sebagai salah satu singa diskusi dalam artikel ini. GBU Pak.

    BalasHapus