MEMPERTANYAKAN
IMPOTENSI MAHASISWA
Tanggapan
untuk Rasfianik
Oleh :
Reinhard Hutapea
Mantan
aktipis/pengamat
Published Harian Terbit, 3 Agustus
1988
Bicara tentang
kemahasiswaan, tidak ada habisnya. Kelompok ini mempunyai kekhususan
tersendiri. Beberapa ilmuwan, tidak canggung menjadikan mahasiswa sebagai objek
penelitiannya. Sarlito Wirawan Sarwono dalam disertasi doktornya mengambil tema
“Perbedaan Antara Pemimpin dan Aktipis Dalam Gerakan Protes Mahasiswa”, Victor
Immanuel Tanja dalam disertasi doktor yang dipertahankan di Amerika Serikat
mengambil judul “Himpunan Mahasiswa Islam, Sejarah dan Kedudukannya Dalam
Gerakan-Gerakan Pembaharu Muslim”. Demikian pula beberapa ilmuwan kawakan
dunia, seperti Symour Marthin Lipset (bukunya Rebellion at the Universities),
Edaward Shills, Francois Raillon dan lain-lain.
Dalam bentuk artikel juga
banyak. Beberapa mantan aktipis mahasiswa yang sudah punya kedudukan sosial
tertentu, terus menulis, seperti Arief Budiman, Burhan Magenda, Ong Hok Ham,
Ridwan Saidi, Nurcholis Madjid, Sucipto WS, Abdul Gafur, Cosmas Batubara dll.
Hal ini penulis paparkan untukmenanggapi tulisan Rasfianik dalam harian Terbit
tanggal 13 Juli 1988 dengan topik “Dilemma Interaksi Sosial Mahasiswa”
Selain judul cukup
bombastis, isinya banyak yang perlu dipertanyakan. Khususnya, apa yang di tulis
pada pembukaan artikel tersebut yang kiranya terlalu jauh menyimpang. Untuk
lebih jelasnya kembali kita kutip....Lewat diskusi, seminar, simposium
seharusnya kita akan mudah menyaksikan tumbuhnya pakar diskusi. Terutama jika
mahasiswa terlibat pada seminar umum yang dihadiri masyarakat
umum.....Begitukah?
Anehnya alasan apa yang
membuat sampai pada pemikiran demikian, tak diuraikan pada tulisan tersebut.
kalau boleh disebut tulisan itu tidak mempunyai “benang merah”. Kami yakin bila
ada mahasiswa yang membaca, pasti akan terbahak-bahak atau berang sama sekali.
Bukankah mahasiswa sejak menjejakkkan kakinya di kampus sudah hidup dalam dunia
diskusi?. Diskusi merupakan perangkat yang tidak lekang dari diri mahasiswa
sampai lulus perguruan tinggi. Apa itu mahasiswa, bagaimana fungsi, peran,
hakikat dan lain-lainnya itu dapat di lihat pada disertasi Sarlito yang banyak
di jual di toko-toko buku. Apakah ada hubungannya dengan sosial-politik?
Ada kemungkinan, yang dimaksud
oleh Rosfianik tidak vokalnya lagi mahasiswasekarang ketimbang mahasiswa
terdahulu dengan melihat rentetan peristiwa, seperti aksi 66, aksi 70-an,
Malari 74 dan 78.
Pada waktu itu mahasiswa
begitu vokal dan militan. Diskusi menjamur ibart cendawan di musim hujan. Dalam
artian lain, dapat dikatakan, apa yang didiskusikan atau diseminarkan oleh
mahasiswa pada waktu itu sejalan dengan keinginan masyarakat. Peran mahasiswa
menjadi besar. Namun timbul pertanyaan; benarkah mahasiswa begitu besar jasanya
dalam “Revolusi sosial” itu sehingga suaranya begitu merdu bagai kicauan burung
parkit?. Jawabannya abstrak berbagai visi, pandangan dan pendekatan menguak ke
permukaan.
Pendekatan Sosio-Kultural
Mahasiswa berperan dalam
perubahan-perubahan sosial, tidak ada yang mebantah. Persoalannya sejauh apakah
peran itu. SM. Lipset berpendapat bahwa mahasiswa bergerak apabila negara dalam
keadaan krisis. Arief Budiman, mantan aktipis 66 mengakui peran itu, namun
hanya sebagai katalisator. Ong Hok Ham yang melihat dari sudut sejarah
berpendapat bahwa mahasiswa pada revolusi sosial hanya dijadikan sebagai umpan
peluru. Francois Raillon tidak mau ketinggalan, beliau melihat
kelompok-kelompok yang menunggangi aksi Mahasiswa Indonesia (bukunya, Politik
dan Ideologi Mahasiswa Indonesia, LP3ES)
Apa yang dapat ditarik
dari beberapa pendapat tersebut?. Secara singkat dapat disebut bahwa mahasiswa
bukanlah penentu dalam Revolusi Sosial maupun Politik. Peran mereka cenderung
dibesar-besarkan sekarang ini tidaklah beralasan. Kelompok ini menjadi alat
bagi kepentingan-kepentingan tertentu. Mereka ditunggangi seperti hewan.
Karenanya, tidaklah adil
melihat peran mahasiswa hanya pada saat aksi berlangsung yang seakan-akan
memang besar itu. banyak faktor yang perlu diperhitungkan, seperti sistim
maupun tatanan sosial-kebudayaan secara purna menyeluruh
Apa mahasiswa dapat dipisahkan
dari masyarakat? Faktor-faktor sosial maupun kebudayaan ini cukup luas dan memang......bila
suara kita ingin di dengar. Mau tidak mau, senang tidak senang, faktor ini
harus diperhitungkaan, agar dianggap tidak sepi dan kurang sopan.
Mahasiswa Sekarang
Mahasiswa saat ini
menyadari itu semua. Mereka telah mempelajari buku-buku tentang kemahasiswaan
yang di tulis di Indonesia maupun di manca negara. Faktor-faktor lebih luas,
seperti di sebut di atas (sosial dan kultural) sudah diperhitungkan agar tidak
terjebak pada analisis yang an sich
politis. Semua itu mereka diskusikan sesama teman, sesama profesi dalam
group-group study tertentu, dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan (intra
maupun ekstra dan lain bentuk yang fenomenal akhir-akhir ini)
Semua itu dapat
disaksikan saat mereka berdiskusi begitu lugas dan cekatan dalam menuangkan
pikiran pada setiap diskusi. Tak cukup disitu, beberapa singa diskusi ini telah
menjadi kolumnis di harian-harian Ibukota. Pada Terbit misalnya, tercatat Andus
Simbolon, Yakob Bobo, dan Binoto Nadapdap. Tentunya Rosfianik pernah membaca
tulisan-tulisan mereka.
Terima kasih Pak, artikel ini menggerakan saya sebagai pelajar yang juga akan menjadi mahasiswa, untuk terus membangun diskusi yang baik. Saya merasa lebih tergerak lagi, melihat nama ayah saya, Yakub Bobo, tercantum sebagai salah satu singa diskusi dalam artikel ini. GBU Pak.
BalasHapus