PEMBANGUNAN, JATI DIRI BANGSA
DAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA
Oleh: Reinhard Hutapea
ABSTRACT
Sejak Indonesia merdeka
hingga saat ini belum bisa mewujudkan tujuan nasionalnya sebagaimana yang
tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yakni menjaga tumpah darah Indonesia,
mewujudkan kesejahteraan sosial dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada era
Soekarno telah diupayakan suatu ikhtiar yang dikenal sebagai “Pembangunan
Politik” dengan tekanan kepada “Nation and character building”. Belum sempat
diwujudkan, Soekarno digantikan Soeharto yang menempuh pola yang berkebalikan
dengan kebijakan Soekarno. Soeharto merubah total tatanan sebelumnya. Kalau
Soekarno melakukan pembangunan politik, Soeharto melakukan “Pembangunan
Ekonomi” dengan titik sentral “Pertumbuhan” (Growth, GNP). Model pembangunan
ekonomi ini diharapkan akan membawa kesejahteraan dan lain-lain tujuan nasional
melalui strategi “tricle down effect” (penetesan kebawah). Adapun teori,
landasan atau filosofinya (meskipun tidak pernah dikatakan) adalah paradigmanya
WW. Rostow dengan teori pentahapannya. Akan tetapi setelah dipraktekkan sekian
pelita, efek tetesan yang akan menghasilkan kesejahteraan itu tidak pernah
terwujud. Malah sebaliknya yang terjadi, yaitu capital yang ada malah menguap
keluar (capital flight). Pengangguran, kemiskinan dan ketidak adilanyang sejak
lama menjadi musuh bersama tidak dapat diretas. Menurut para para pakar atau
pemerhati pembangunan, pembiasan atau distorsi seperti itu terjadi akibat
model, pola atau strategi pembangunan yang dipilih tidak tepat. Meminjam
pendapatnya Mahbub Ul Haq adalah pola pembangunan yang palsu (the catching up
fallacy)atau pertumbuhan yang menyengsarakan (Arndt). Suatu bentuk pembangunan
yang hanya mengejar pertumbuhan, bukan keseluruhan dimensi (Todaro) agar tercapai
kehidupan nasional yang lebih baik (Katz). Ketika reformasi bertiup suasana ini
diharapkan akan berubah, yakni model pembangunannya disesuaikan dengan
socio-cultural atau jati diri bangsa Indonesia. kenyatannya tetap tidak
berubah. Pola, tatanan atau strategi tetap sama, yaitu melanjutkan apa yang
sudah ditempuh rezim Soeharto
Hari-hari ini, dan mungkin waktu-waktu ke depan tiada
saat tanpa membicarakan apa yang menjadi tema seminar kita, yakni
“pembangunan”. Dari mulai warung kopi dipinggir jalan hingga café di
hotel-hotel mewah, dari grasroth hingga para elite, dari anak kecil hingga
aki-aki memperbincangkan masalah pembangunan. Berbagai pendapat dari mulai yang
pesimis hingga optimis meramaikan blantika perdebatan, yang semakin marak
karena dipublisir oleh media dengan anthusias. Media, baik cetak, khususnya
audiovisual tiada hari tanpa perbincangan pembangunan Program para caleg,
khususnya para Capres menjadi perbincangan yang tiada henti Istilah, konsep
atau paradigma baru yang sebelumnya tidak popular mencuat kepermukaan
perdebatan Neolib (neoliberal) yang tadinya hanya wacana para elit. menjadi
bahasa sehari-hari
Akan tetapi dari sekian perdebatan itu yang menarik bagi penulis adalah
pendapat Abdurahman Wahid (Gus Dur), W.S.Rendra dan Rikard Bagun. Gus Dur
menyeringai bahwa ketiga Capres tidak ada yang layak, sebab tidak punya konsep
pembangunan yang jelas (Kompas, Juni, 2009). WS.Rendra nyeletuk bahwa
pemerintah saat ini belum mempunyai program yang jelas dalam membawa agenda
perubahan (Media Indonesia, 1 Mei 2009). Dengan bahasa yang lain namun
substansi yang sama Rikard Bagun mempertanyakan apakah bangsa Indonesia mampu dan siap
beradaptasi dengan arus perubahan (Kompas, 26 Juni 2009)
Masalah demikian kalau kita perhatikan dengan serksama sesungguhnya
bukanlah hal yang baru. Ia sudah ada sejak lama, khususnya sejak Orde Baru
mencanangkan program pembangunan. Prof Kuntjaraningrat pada tahun 1970 dalam
satu seminar menyatakan bahwa bentuk masyarakat seperti apa yang ingin dicapai
dalam pembangunan belum pernah ditulis dengan jelas (Kuntjaraningrat, 1974:38) Begitu
pula pakar-pakar yang lain. Sekian pendapat mungkin masih dapat kita uraikan
lebih jauh
Namun apabila ditanyakan apa sebenarnya yang dimaksud
dengan pembangunan, apa sasaran, hakikat dan tujuannya, bagaimana bentuknya,
mengapa ia dibutuhkan, bagaimana sejarah perkembangannya, apakah dalam
melakukan pembangunan harus meniru model pembangunan negara-negara maju atau
tidak, membuat paradigma tersendiri dan atau khususnya apakah dalam pembangunan
harus berutang sudah pasti tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan semua
pihak. Masing-masing pihak atau kalangan akan mengeluarkan pendapatnya, dimana
antara pendapat yang satu dan yang lain tidak jarang saling bertolak belakang.
Suatu hal yang lumrah dalam kehidupan. Penulisan ini akan mencoba menelusuri
hal-hal demikian menurut teori-teori tertentu yang akan dideskripsikan dalam
sub-sub bab sebagai berikut. Yakni Sub bab a tentang “arti, sasaran, hakikat
dan tujuan pembangunan”, sub bab b sejarah dan konsep-konsep pembangunan”, sub
bab c ciri-ciri atau karakteristik pembangunan Indonesia, sub bab d, kritik
terhadap model pembangunan Orde Baru,sub bab e, teknologi tepat guna, dan sub
bab f ,Jati diri bangsa.
A.Arti dan Tujuan
Pembangunan
Michael P.Todaro (1983) seorang pakar ekonomi
pembangunan Dunia lll dalam bukunya yang terkenal, yakni “Pembanguna Ekonomi di
Dunia III” sebagaimana penulis kenamaan pada umumnya tidak langsung memberikan
definisi pembangunan. Dua bab sebelum sampai dalam pemberian pengertian atau
suatu definisi pembangunan., Todaro terlebih dahulu memberikan berbagai
ilustrasi-ilustrasi yang cukup panjang, rumit dan cenderung berat.
Ilustrasi-ilustrasi ini adalah
persfektif dunia tentang kelembagaan, ekonomi dan pembangunan, pada bab satu.
Berbagai struktur dan karakteristik umum negara-negara sedang berkembang, pada
bab dua. Baru pada bab tiga, Todaro memberikan definisi, itupun dalam bentuk
pertanyaan.
Metode ini mungkin ditempuh betapa pengertian atau
definisi pembangunan itu tidak sederhana dan cukup abstrak. Tidak sebagaimana
pengertian-pengertian atau konsep-konsep lain . seperti ilmu eksak yang umumnya
sederhana dan kongkrit. Meminjam pendapatnya Prof Mulyarto (1995) pengertian
atau definisi pembangunan bukanlah konsep yang netral, bukanlah konsep yang
bebas nilai. Pembangunan adalah suatu konsep yang sarat nilai atau value
loaded. Artinya pembangunan terkait dengan apa yang dianggap baik dan buruk
menurut pengalaman sejarah suatu bangsa. Dengan demikian, konsep pembangunan
bersifat culture specific, yakni dapat didefinisikan secara berbeda oleh dua
negara yang lingkungannya berbeda. Disisi lain pembangunan juga bersifat time
specific, yakni dalam suatu negara pun pembangunan dapat didefinisikan secara
berbeda.
Akan tetapi meskipun tidak mungkin mendefinisikan
pembangunan dengan memuaskan semua pihak, untuk kepentingan penelitian ini akan
didekati dengan beberapa konsep atau persfektif yang dianggap paling netral dan
mungkin bebas nilai. Pendefinisian pertama akan diambil dari pendapat Prof Saul
M Katz. Kedua dari Michael P.Todaro.. Menurut Saul M.Katz pembangunan adalah:
Pergeseran dari satu kondisi nasional yang satu menuju ke kondisi
nasional yang lain, yang dipandang lebih baik, tetapi apa yang disebut lebih
baik/lebih berharga, berbeda dari satu negara ke negara lain atau dari satu
periode ke periode lain (Katz dalam Tjokrowinoto, 1995:8)
Menurut Michael P.Todaro:
Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang menyangkut
reorganisasi dan reorientasi sistim ekonomi dan sistem sosial sebagai
keseluruhan. Disamping peningkatan pendapatan dan out put, pembangunan
menyangkut pula perubahan radikal struktur kelembagaan, struktur sosial serta
struktur administrasi serta perubahan sikap, adat kebiasaan serta kepercayaan.(Todaro
dalam Tjokrowinoto, 1995:8)
Definisi demikian memberikan pengertian bahwa
pembangunan itu adalah ikhtiar, reorganisasi, reorientasi atau upaya untuk
menciptakan kehidupan yang lebih baik, lebih berkualitas dan lebih sejahtera
dari kehidupan-kehidupan sebelumnya.
Akan tetapi
sebagaimana dalam setiap “kebijakan” selalu ada yang diprioritaskan. Tidak
mungkin semua dilakukan secara simultan. Dalam konteks pembangunan ini yang
menjadi skala prioritas atau yang lebih didahulukan adalah “bidang ekonomi”,
sebab bidang ini adalah dimensi yang paling mendasar dari setiap pembangunan, sebab menyangkut kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan.
Bersamaan dengan dilakukannya pengentasan terhadap ketiga penyakit masyarakat
ini selanjutnya dilakukan perombakan dalam bidang-bidang yang lain, yakni struktur kelembagaan, struktur sosial,
politik, administrasi hingga kebidang yang lebih luas yakni perombakan dalam
sikap, adat/tradisi/kebudayaan hingga kepercayaan. Singkatnya pembangunan,
membangun semua sendi-sendi kehidupan secara sistimatis, logis dan objektif.
Definisi atau Pengertian demikian dikemukakan mengingat
ada pihak-pihak atau kalangan tertentu yang mengertikan pembangunan secara
sempit, tidak menyeluruh, tidak konseptual atau tidak komprehensif. Pengertian
pembangunan diartikan sepotong-sepotong sesuai kepentingannya, yang mana pada
akhirnya justru bermuara pada “anti pembangunan” itu sendiri sebagaimana yang
dititahkan oleh PBB pada tahun 1950-an.
PBB pada tahun itu mendefinisikan pembangunan hanya sebatas
“pertumbuhan ekonomi” bukan dalam arti holistik. Bila pertumbuhan telah
mencapai angka 5% maka pembangunan itu dianggap berhasil. Kenyataannya banyak
negara yang mencapai atau bahkan melebihi angka tersebut, namun tidak
menggambarkan yang sesungguhnya. Kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan
bukannya semakin berkurang. Malah sebaliknya yang terjadi yakni semakin
membesar.
Dari uraian
tersebut jelas dan terbukti bahwa pembangunan yang hanya mengutamakan
pertumbuhan adalah penyimpangan atau kesesatan. Bagaimana ekses negative dari
pola ini telah banyak diulas para pakar di seluruh dunia. Salah satunya adalah
Mahbub Ul Haq, seorang ekonom yang pada mulanya sangat yakin dengan “filsafat
pertumbuhan”, namun setelah melihat prakteknya tidak seperti yang diharapkan,
beliau akhirnya berubah arah.
Bagaimana
akhirnya Mahbub Ul Haq melihat betapa pola pertumbuhan yang dipraktekkan di
negerinya, Pakistan
membuat kehidupan ekonomi semakin suram, timpang yang membuat kehidupan
mayoritas masyarakat semakin sengsara dapat dibaca dibawah ini:
Saya peringatkan negeri saya terhadap gejala makin terpusatnya
kekayaan dan pendapatan industri tergenggam dalam tangan hanya 2 2 kelompok
keluarga. Saya kemukakan betapa kelompok keluarga ini menguasai sekitar 2/3
kekayaan perindustrian, 80% bidang perbankan, dan 70% bidang asuransi di
Pakistan. Saya tekankan pula akibat politik dan akibat sosial yang terkandung
dalam pola pembangunan semacam ini, pola yang selama dasawarsa sebelumnya
mengakibatkan bertambah lebarnya jurang perbedaan pendapatan perkepala antara
Pakistan Timur dan Pakistan Barat, dan yang mengakibatkan turunnya upah nyata
pekerja industri, yang terpusat di beberapa kota besar, sebesar 1/3. Jelas
sekali, bagian terbesar rakyat banyak tidak tersentuh sama sekali oleh
kekuatan-kekuatan pembawa perubahan ekonomi, karena pembangunan ekonomi timpang
dan menguntungkan segelintir orang saja (Haq MU, 1983:16)
Pendapat Mahbub Ul Haq ini meskipun dalam kasus Pakistan
adalah cerminan umum dari seluruh negara-negara dunia ketiga yang melaksanakan
pembangunan ekonomi dengan focus pertumbuhan. Kemiskinan, pengangguran dan
ketimpangan yang seharusnya pertama-tama dihilangkan, malah sebaliknya semakin
membesar, semakin tidak terkendali yang melahirkan ekses-ekses yang lebih buruk
. Oleh karena itulah pembangunan yang titik sentralnya
pertumbuhan ini akhirnya dikoreksi. Berbagai pakar mengeluarkan pendapat betapa
pembangunan yang hanya berdasarkan kwantitas itu itu sangat jauh dari harapan
atau kenyataan. Salah satu pakar yang paling menolak model pembanguan seperti
itu adalah Dudley Seers. Beliau tidak henti-hentinya menyatakan bahwa
Pembangunan akan berhasil hanya apabila kemiskinan, pengangguran dan
ketimpangan dapat dihilangkan.
Salah satu atau apalagi dua-duanya dari penyakit ini
tidak bisa diberantas maka pembangunan gagal. Lebih jelasnya Prof Dr Dudley
Seers menyatakan:
Oleh karena itu persoalan-persoalan yang perlu ditanyakan mengenai
pembangunan suatu negara itu ialah, apa yang telah dilakukan terhadap
kemiskinan?. Apa yang telah dilakukan terhadap pengangguran?. Apa yang telah
dilakukan dengan ketimpangan?. Jika ketiga pertanyaan ini memberikan jawaban
yang positif, dengan kata lain, kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan itu
ada tanda-tanda menurun, maka tidak diragukan lagi bahwa pembangunan itu sudah
berjalan dinegara yang bersangkutan. Jika satu atau dua dari problema sentral
ini semakin jelek, apalagi kalau ketiga-tiganya, maka agak aneh untuk
mengatakan pembangunan itu berhasil, kendatipun pendapatan perkapita meningkat
dua kali (dalam Todaro,1983:123)
Bukan angka pertumbuhan sebagaimana yang disarankan oleh
PBB, sebab angka pertumbuhan yang dimanifestasikan dengan pendapatan perkapita
tidak menggambarkan kemajuan yang sesungguhnya. Disisi lain angka pertumbuhan
itu adalah upaya mengejar yang palsu. Bagaimana mungkin suatu negara yang baru
membangun dengan angka pertumbuhan 5% dapat mengejar kemajuan negara yang sudah
maju dengan angka pertumbuhan yang juga sama-sama 5%.
Pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan semata
sebagaimana yang disarankan PBB tidak akan menjawab nilai-nilai hakiki dari
pembangunan itu sendiri, yakni:
1.
kebutuhan hidup
2.
harga diri dan
3.
kebebasan (Goulet dalam Todaro,
1983:125)
Sebab hanya melakukan sebagian kecil saja dari ketiga nilai itu Oleh
karena itu agar pembangunan tersebut berjalan sesuai dengan yang sebenarnya,
maka yang seharusnya menjadi sasaran pembangunan adalah:
1.
meningkatkan persediaan dan
memperluas pembagian/pemerataan bahan-bahan pokok yang dibutuhkan untuk bisa
hidup, seperti makanan, perumahan, kesehatan dan perlindungan
2.
mengangkat taraf hidup,
termasuk menambah dan mempertinggi penghasilan, penyediaan lapangan kerja yang
memadai, pendidikan yang lebih baik dan perhatian yang lebih besar terhadap
nilai-nilai budaya dan manusiawi, semuanya itu bukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan materi semata-mata, tetapi juga untuk mengangkat kesadaran akan harga
diri, baik individual maupun nasional
3.
memperluas jangkauan pilihan
ekonomi dan sosial bagi semua individual dan nasional dengan cara membebaskan
mereka dari sikap-sikap budak dan ketergantungan, tidak hanya dalam hubungannya
dengan orang lain dan Negara-negara lain, tetapi juga dari sumber-sumber
kebodohan dan penderitaan manusia.(Todaro, 1983:128)
Indonesia
yang melakukan pembangunan, khususnya sejak Orde Baru dicanangkan telah
mengadopsi nilai-nilai demikian dalam blue print pembangunannya. Hal ini dapat
dilihat dalam pengertian , maksud, tujuan pembangunan yang tertulis dalam
GBHN/Pelita. Dalam GBHN 1993 dinyatakan bahwa pembangunan nasional merupakan
rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan
tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Pengertian pembangunan dalam definisi
tersebut adalah “rangkaian upaya”. Rangkaian upaya yang seperti apa? adalah
pertanyaan yang kemudian mengemuka mengingat definisi itu sangat umum dan
mempunyai interpretasi yang banyak. Ibarat suatu tujuan, jalan dan kenderaan
yang akan digunakan mencapai tujuan tersebut dapat berbagai jenis. Untuk
mengetahui jalan atau kenderaan yang digunakan Indonesia mencapai tujuan
bernegaranya akan ditulis dibawah ini.
B. Model-Model
Pembangunan.
Model-model
pembangunan yang ada di dunia cukup beragam. Namun kalau ditilik dengan seksama
sesungguhnya model itu hanya dua jenis, yang lain adalah turunan-turunan dari
kedua model tersebut. Kedua model ini adalah pembangunan yang didasarkan kepada
ideologi liberal dan ideologi sosialis. Pembangunan yang didasarkan kepada
ideologi liberal dikenal dengan sebutan paradigma pertumbuhan. Pembangunan yang
didasarkan kepada ideologi sosialis dengan paradigma dependensi.. Berbagai
paradigma ini akan dideskripsikan secara singkat berdasarkan tulisannya Prof Dr
Muljarto Tjokrowinoto (1995)
B1.Model Pertumbuhan.
Model ini memandang
tujuan pembangunan nasional sebagai pertumbuhan ekonomi dalam arti sempit,
yakni menyangkut kapasitas ekonomi nasional yang semula dalam jangka waktu yang
lama berada dalam kondisi statis, kemudian bangkit untuk menghasilkan
peningkatan GNP pertahun pada angka lima
sampai tujuh persen atau lebih. PBB dalam decade Pembangunan Pertama
(1960-1970) memandang pembangunan dalam arti pencapaian angka pertumbuhan per
tahun GNP 6%
Guna mencapai angka
pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti itu, maka pemilihan struktur produksi
dan kesempatan kerja yang terencana guna meningkatkan porsi industri jasa dan
manufaktur, serta mengurangi porsi sektor pertanian secara berimbang,
barangkali tidak dapat dihindari. Karena itu proses pembangunan, terpusat pada
produksi, sedangkan penghapusan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan
menduduki urutan kepentingan kedua terutama dicapai melalui “tricle down
effect”
Model ini juga
mengasumsikan bahwa angka pertumbuhan suatu negara terutama tergantung pada
tingkat investasi tertentu. Hal ini direalisir melalui peningkatan tabungan
dalam negeri, investasi swasta asing dan atau bantuan asing. Adalah tanggung
jawab pokok pemerintah untuk menciptakan suatu lingkungan yang akan memungkinkan
negeri tersebut meraih titik kritis
tingkat investasi guna mendorong tinggal landas, serta untuk melampaui
tahap-tahap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Karena itu peranan pemerintah
sejak semula bersifat entrepreneurial
Diperlukan beberapa waktu sebelum pembuat kebijaksanaan menyadari
bahwa pembangunan ekonomi seperti itu semata-mata akan gagal meningkatkan
kesejahteraan rakyat, kecuali sebagian kecil penduduk. Pada masa lalu,
pertumbuhan telah memperkuat ketimpangan dalam distribusi pendapatan, asset dan
kekuasaan yang menyebabkan tidak dimungkinkannya penyebaran
keuntungan-keuntungan yang diperoleh, baik secara ekonomi maupun politis. Suatu
studi komprehensif antara bangsa yang meliputi 74 negara menunjukkan bahwa
kenaikan GNP cenderung diikuti oleh suatu penurunan dalam proporsi relative
pendapatan nasional yang diterima oleh bagian penduduk termiskin. Hasil
penelitian para ahli lainnya juga menunjukkan konklusi yang sama, demikian pula
dalam cakupan ketimpangan secara global.
B2.Model Kebutuhan Dasar.
Model pembangunan nasional kebutuhan dasar atau
kesejahteraan muncul untuk mengoreksi kekurangan-kekurangan model pembangunan
nasional yang berorientasi pada pertumbuhan. Model ini memfokuskan diri pada
bagian penduduk yang miskin dinegara-negara berkembang, dan menandaskan bahwa
masalah kemiskinan dinegara-negara yang sedang berkembang pada dasarnya
bukanlah merupakan kemubaziran ekonomi perse, akan tetapi masalah kemiskinan
tadi pada hakekatnya merupakan pengalaman kerja keras dan tidak produktif
selama berjam-jam dalam rangka membiayai kehidupan subsistensi dan marjinal
mereka. Jadi problem utamanya adalah mengupayakan peningkatan kualitas kerja
mereka lebih daripada kuantitas kerja mereka. Model pembangunan nasional yang
berorientasi kebutuhan dasar atau kesejahteraan, mencoba memecahkan masalah
kemiskinan melalui mekanisme “tricle down effect”
Pada dasarnya model ini merupakan suatu program
kesejahteraan atau bantuan bagi orang yang sangat miskin melalui pemenuhan
kebutuhan dasar, yang mencakup tidak hanya kesempatan memperoleh penghasilan
akan tetapi juga akses terhadap pelayanan public seperti pendidikan, kesehatan,
air bersih, transportasi umum dan lain-lain.
Model ini didasarkan pada tiga argumentasi pokok
- banyak dari kaum miskin tidak memiliki asset-aset produktif selain kekuatan fisik mereka, keinginan kerja mereka dan inteleigensi dasar mereka. Pemeliharaan asset tersebut tergantung pada peningkatan akses terhadap pelayanan public seperti pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyediaan air pada umumnya.
- peningkatan pendapatan kaum miskin boleh jadi tidak meningkatkan standar hidup mereka kalau barang-barang dan jasa yang cocok dengan kebutuhan dan tingkat pendapatan mereka tidak tersedia
- peningkatan standar hidup golongan termiskin dari yang miskin melalui peningkatan produktipitas mereka memerlukan waktu yang sangat lama, dan dalam porsi tertentu karena satu dan lain hal mereka barangkali tetap tidak dapat bekerja. Paling tidak program subsidi jangka pendek, dan barangkali program subsidi permanent diperlukan agar rakyat mendapat bagian dari hasil pembangunan.
Rakyatlah yang menjadi orientasi utama model ini. Tugas
pemerintah dalam model pembangunan nasional ini adalah pelayan.
Lahir dari
prakarsa Gunnar Myrdall dalam karya agungnya, Asian Drama, model kebutuhan
dasar kemudian menemukan dorongan barunya dalam ILO World Employment Conference
yang diselenggarakan di Jenewa tahun 1976. Konferensi ini menekankan arti
penting proses pembangunan guna menemukan kebutuhan dasar dari si miskin yang
mencakup persyaratan tertentu dari keluarga untuk konsumsi pribadi, yakni
makanan yang layak, pemukiman, pelayanan, perkakas, rumah tangga, perabot dan
lain-lain serta pelayanan esensial yang diberikan pemerintah kepada masyarakat
luas, seperti air minum, sanitasi, transportasi umum, kesehatan dan fasilitas
pendidikan. Konferensi ini sepakat bahwa dalam keadaan bagaimanapun kebutuhan
pokok tidak boleh diartikan hanya sebagai kebutuhan minimum untuk subsistensi.
Namun, konferensi ini juga menyadari bahwa konsep kebutuhan pokok ini dapat
berbeda antara satu negara dengan yang lain dan bersifat dinamis. Ia harus
ditempatkan di dalam suatu konteks pembangunan ekonomi dan sosial bangsa secara
menyeluruh.
B3. Model Neo
Ekonomi
Sebagaimana
model pembangunan kebutuhan dasar atau kesejahteraan, model neo ekonomi, juga
adalah tanggapan terhadap kegagalan model pertumbuhan menciptakan pemerataan.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dimanifestasikan dengan GNP dan
derivasinya melalui tricle down effect sangat jauh dari harapan. Peningkatan
pertumbuhan ekonomi, tidak hanya tumbuh sekedar 5% sebagaimana yang disarankan
PBB, namun lebih dari situ, angka/jumlah kemiskinan, pengangguran atau
ketimpangan tidak pernah berkurang.
Malah sebaliknya kwantitasnya bertambah. Pelencengan ini terjadi karena angka
pertumbuhan ekonomi yang dimaksud oleh model pertumbuhan itu tidak pernah
dirinci lebih seksama. Oleh karena itu model neo ekonomi ini tetap didasarkan
kepada model pertumbuhan, namun pertumbuhan yang lebih disempurnakan
Dudley Seers salah satu tokoh model
neo ekonomi, dalam rangka menanggapi kegagalan model ekonomi, memberikan
pendapat atau definisi bahwa pembangunan ekonomi akan berhasil jika kemiskinan,
ketimpangan dan pengangguran mengalami penurunan atau penghapusan dalam konteks
ekonomi yang sedang tumbuh. Mahbub Ul Haq yang sejalan dengan Dudley Seers
memperkuat argumen demikian dengan jalan sebagai berikut:
1.
sasaran utamanya haruslah
40-50% penduduk termiskin. Kebutuhan pokok golongan ini haruslah mendapatkan
perhatian utama. Orientasi produksi dan distribusi haruslah kebutuhan minimum
kelompok sasaran ini, dan bukan permintaan pasar yang cenderung merefleksikan
permintaan yang didukung oleh daya beli yang efektif
2.
perluasan kesempatan kerja
harus menjadi tujuan utama pembangunan, karena kesempatan kerja ini akan
mempengaruhi distribusi pendapatan dan hasil pembangunan
3.
ketergantungan kepada
negara-negara asing haruslah dikurangi, dan kemandirian harus mendapat
perhatian utama
4.
pemerataan pendapatan harus
dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Pemerataan pendapatan yang efektif akan
menghilangkan kemiskinan relative sebagai suatu fenomena sosial yang socially
defined
B4.Model Yang
Berpusat Pada Manusia
Model pembangunan nasional ini
berwawasan lebih jauh daripada sekadar angka pertumbuhan GNP atau pengadaan
pelayanan sosial. Peningkatan perkembangan manusia dan kesejahteraan manusia,
persamaan dan suistanability manusia menjadi focus sentral proses pembangunan,
pelaksana pembangunan yang menentukan tujuan, sumber-sumber pengawasan dan
untuk mengarahkan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Persfektif baru pembangunan tersebut
memberikan peranan yang khusus kepada pemerintah, yang jelas berbeda dengan
peranan pemerintah pada dua model pembangunan nasional yang pertama. Peranan
pemerintah dalam hal ini adalah menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan
untuk berkembang, yaitu lingkungan sosial yang mendorong perkembangan manusia
dan aktualisasi potensi manusia secara lebih besar.
Penciptaan lingkungan sosial memerlukan
sistim belajar mengorganisasikan diri, yakni dengan mengorientasikan jaringan
informasi informal dan arus komunikasi pada kebutuhan dan variasi local sebagai
pelengkap dari sistim komando yang lebih formal. Berfungsinya pengaturan
strauktural tersebut sangat tergantung pada inisiatif rakyat untuk berkreasi
pada sumber informasi yang tidak pernah kering. Keduanya menentukan input-input
sumber utama model tersebut.
B5.Model
Dependensia
Model pembangunan ini bertolak
belakang dengan keempat model pembangunan sebelumnya. Kalau keempat model
sebelumnya berasal dari satu ideologi, model dependensia ini berasal dari
ideologi lain. Dua aliran, filsafat atau model yang saling berlawanan dan tak
mungkin diketemukan
Salah satu tesis utama paradigma
dependencia adalah bahwa keterbelakangan (underdevelopment) bukanlah suatu
kondisi asli yang harus diakhiri melalui proses pembangunan, akan tetapi
merupakan suatu proses yang berkelanjutan yang merupakan akibat dari penetrasi
kapitalis dikawasan tadi. Negara atau kawasan tadi mungkin mempunyai kondisi
awal “underdeveloped” akan tetapi bukan “underdeveloped” (Paul Baran dalam
Tjokrowinoto, 1995:51).
Model dependensia dengan demikian,
melihat development dan underdevelopment bukan merupakan produk proses sosial
yang berbeda, akan tetapi merupakan dua sisi dari proses sosial yang sama, yang
berawal dari diintegrasikannya negara atau kawasan pra kapitalis ke dalam
sistem kapitalisme internasional. Baik melalui kolonialisme maupun melalui
perdagangan internasional. Proses development dan under development berawal
pada waktu negara-negara Eropa melakukan ekspansi merkantilis dan kapitalisnya
ke berbagai dunia lain.
Sistem kapitalisme yang diterapkan
dinegara-negara Barat telah menghasilkan “actual surplus” melalui proses
eksploitasi yang menghasilkan akumulasi surplus, yang kemudian diekspor ke
bagian dunia lain yang kebanyakan masih berupa wilayah jajahan. Di wilayah
jajahan tadi diinvestasikan. Akan tetapi wilayah jajahan tadi mengalami
perampasan surplus ekonomi karena adanya eksploitasi, yang dilakukan oleh kaum
penjajah dengan bekerjasama dengan elit local yang disebut komprador. Proses
yang demikian inilah yang menjadikan negara kapitalis makin developed, sedang
negara bekas jajahan tadi underdeveloped. Jadi imperialisme dan kapitalisme
berfungsi sebagai promotor development dinegara-negara centre (negara-negara
kapitalis) dan creator under development dinegara-negara peripheri
(negara-negara pra kapitalis atau wilayah jajahan). Proses tadilah yang
menyebabkan timbulnya hubungan dependensi negara peripheri terhadap negara
centre.
Karena kapitalisme nasional dan
internasional melalui penetrasinya ke negara prakapitalis atau wilayah jajahan
telah menimbulkan, melestarikan, dan memperdalam underdevelopment, maka
satu-satunya jalan bagi negara prakapitalis untuk dapat membangun adalah dengan
melepaskan sama sekali keterkaitannya dengan negara-negara kapitalis.
C.Karakter Pembangunan Indonesia.
Setelah Soekarno dijatuhkan rezim
Orde Baru dari takhta kekuasaan terjadi perubahan yang sangat radikal di Indonesia.
Tatanan-tatanan yang ada sebelumnya dirubah dengan drastis. Semboyannya pada
waktu itu adalah “politik no – ekonomi yes”, atau “pembangunan yes – politik
no”. Kehidupan politik yang berlangsung dalam era Soekarno dianggap sebagai
biang kehancuran ekonomi, sehingga rakyat terus menderita, sengsara dan
kelaparan. Oleh karena itu Orde baru dibawah pimpinan jenderal Soeharto
berketetapan hati mengakhiri semua itu dengan melakukan pembangunan ekonomi.
Adapun pembanguan ekonomi yang ditempuh
pemerintahan Soeharto ini adalah
pembanguan ekonomi dengan titik sentral pertumbuhan. Artinya model
pembangunannya adalah model pertumbuhan sebagaimana yang dipersyaratkan PBB
pada tahun 1960-an. Pembanguan ini sebagaimana faktanya adalah pembangunan yang
terbuka, khususnya kepada bantuan atau modal asing. Tidak seperti yang
dilakukan pemerintahan sebelumnya yang cenderung tertutup kepada bantuan dan
modal luar negeri
Walaupun tidak pernah dikatakan secara
langsung, model pembangunan nasional seperti itu adalah model pembangunan yang
didasarkan kepada teorinya WW.Rostow, pakar sejarah ekonomi kapitalis dari
Amerika Serikat. Ia telah mempelajari atau meneliti perkembangan perekonomian
banyak negara. Ia berpendapat bahwa
perjalanan setiap kehidupan masyarakat berada dalam tahapan-tahapan
sebagai berikut
Tahap pertama adalah keadaan masyarakat yang masih tradisional.
Tahap kedua persiapan tinggal landas. Tahap ketiga, tinggal landas (take off).
Tahap empat, melaju dengan kekuatan sendiri (self sustaining growth). Tahap
kelima, dorongan menuju ke kematangan (drive to maturity) (Moeljarto, 1995:18)
Pembangunan yang dijalankan
pemerintahan Soeharto dengan trilogi pembangunannya dengan jelas mengutamakan
pertumbuahan ekonomi disamping stabilitas nasional dan pemerataan pembangunan.
Bagaimana mengejar pertumbuhan yang setinggi-tingginya menjadi tujuan utama.
Sebab dengan pertumbuhan yang tinggilah dapat dilakukan pemerataan melalui efek
tetesan kebawah (trickle down effect).
Pertumbuhan sebagaimana hakikinya
ditentukan oleh tiga faktor, yakni fungsi saving, strategi investasi dan
capital out put ratio. Sedangkan fungsi pemerintah dalam pola pertumbuahn
seperti ini adalah “memperbesar saving”, seperti perpajakan, memperbesar ekspor
non migas, bantuan luar negeri dan sebagainya. Dalam sejarahnya pemerintahan
Soeharto untuk memperbesar saving ini lebih mengutamakan bantuan luar negeri.
Pengutamaan bantuan luar negeri ini
dapat dilihat dari tahapan-tahapan pembangunan yang tercermin dalam pembangunan
lima tahun (pelita).
Dalam pelita pertama pinjaman luar negeri mencapai 55,45% dari total anggaran.
Pelita ll 36,1%, pelita lll 30,45%,
pelita lV 56,88%, pelita V rata-rata sebesar 54%, awal pelita VI 36,55% (lihat
bab lll)
Pemerintahan Soeharto berkeyakinan
bahwa apabila tahap-tahap pembangunan yang tercermin dalam pelita-pelita itu
dilaksanakan dengan baik, Indonesia
akan mencapai apa yang diinginkan, yakni masyarakat yang adil dan makmur merata
material spiritual, sebagaimana yang tertulis dalam GBHN:
Mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan
spiritual berdasarkanPancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara kesatuan
Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat
dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman tenteram, tertib, dan dinamis
dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, dan damai.
Untuk atau atas dasar inilah ditetapkan dalam pembangunan jangka panjang
tahap I (lima pelita), Indonesia sudah siap memasuki era
“tinggal landas” (take off) yang diperkirakan akan dimulai pada pembanguan
jangka panjang tahap ll, yakni permulaan pelita VI, yakni sekitar tahun
1996/1997.
Akan tetapi pengertian atau tujuan
“tinggal landas” yang dimaksudkan Indonesia mempunyai interpretasi
tersendiri. Tidak persis sama sebagaimana diteorikan oleh Rostow. Interpretasi
ini dapat dilihat dalam buku Repelita V. meskipun masih bersifat umum
pengertian proses tinggal landas itu mempunyai beberapa ciri, yakni.
Pertama, dijumpai disana pengertian
bahwa tinggal landas pada hakekatnya adalah proses transformasi jangka panjang
dan berkesinambungan yang menyangkut semua bidang pembangunan. Secara lebih
rinci ciri-ciri proses transformasi tersebut digambarkan sebagai berikut
Dari segi tingkat perkembangan dan
struktur ekonomi, proses tersebut meliputi antara lain:
·
peningkatan pendapatan nyata
perjiwa yang cukup tinggi disertai dengan pembagiannya yang makin merata
·
peranan sektor industri yang
makin dominan sebagai penggerak utama laju pembangunan
·
keterkaitan dan keterpaduan
antar sektor, terutama antara sektor pertanian dan industri, antara kegiatan
serta antar wilayah yang makin mantap, sehingga memperkokoh ketahanan nasional.
Dari segi pemanfaatan sumber daya yang dimiliki bangsa,
proses tersebut meliputi antara lain:
·
peningkatan mutu sumber daya
manusia yang dicerminkan antara lain oleh adanya peningkatan kesehatan dan
kecerdasan rakyat.
·
Partisipasi aktif yang makin
luas oleh rakyat di berbagai bidang pembangunan
·
Pemanfaatan sumber alam yang
makin rasional, efisien dan berwawasan jangka panjang.
Dari segi kelembagaan dalam arti
luas, tahap tinggal landas diwarnai oleh berkembangnya lembaga-lembaga dibidang
ekonomi, politik, hukum, sosial budaya dan pertahanan keamanan yang semakin
efektif menjalankan fungsinya dan makin peka terhadap tuntutan pembangunan.
Dari segi ideologis, mental dan
spiritual masyarakat Indonesia
yang tinggal landas diwarnai oleh:
·
Penghayatan dan pengamalan
Pancasila yang meresap, mendalam dan mengakar dalam kehidupan sehari-hari
·
Kehidupan beragama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang makin mantap dan serasi.
Kedua. Pada bagian lain dari buku repelita V tersirat
satu pengertian yang melengkapi pengertian sebelumnya. Disebutkan bahwa dalam
tahap tinggal landas, peningkatan efisiensi, produktipitas, kreatifitas dan
partisipasi sumber daya manusia akan menjadi sumber dinamika dan motor
penggerak utama pembangunan. Sedangkan ketergantungan kepada sumber alam
semakin berkurang. Sementara itu proses tersebut juga akan diiringi oleh
semakin menonjolnya sumber-sumber dinamika pembangunan yang berasal dari dalam
negeri sendiri sehingga pembangunan Indonesia semakin kurang tergantung
pada, dan semakin kurang dipengaruhi oleh perkembangan dan gejolak dari luar.
Apabila
ditelaah lebih jauh mengenai proses transformasi yang diuraikan diatas, menurut
Moeljarto Tjokrowinoto (1995:22-23) ada dua hal penting yang perlu
digarisbawahi. Pertama esensi dari proses tinggal landas adalah terjadinya
percepatan pembangunan yang mempunyai sifat khusus, yaitu percepatan
pembangunan yang bersumber dari peningkatan produktipitas dan efisiensi secara
menyeluruh. Dalam artian lain dalam proses tinggal landas terkandung pengertian
adanya transformasi kualitatif diberbagai bidang.
Yang terjadi atau yang diharapkan, bukan hanya
indikator-indikator ekonomi yang menjadi lebih besar atau menjadi lebih banyak,
tetapi juga harus menjadi lebih baik dan lebih tinggi tingkatannya secara
kualitatif. Yang di harapkan bukan hanya peningkatan produksi tetapi
peningkatan produktipitas; bukan hanya efektifitas tetapi efisiensi; bukan
hanya peningkatan investasi tetapi investasi yang semakin produktif; bukan
hanya langkah-langkah yang berupa replikasi dari apa yang telah ada tetapi
inovasi dan terobosan-terobosan baru
Ciri
kedua adalah bahwa proses tersebut harus dapat mempertahankan momentumnya
sendiri atau bersifat “self sustaining”. Ini adalah salah satu tafsiran
pengertian dari asas “tumbuh dengan kekuatan sendiri”. Konotasi lain dari dari
ciri self sustaining ini adalah bahwa proses tersebut harus semakin merupakan
interaksi dinamis dari sumber-sumber pembangunan yang berasal dari dalam
negeri. Ini antara lain berarti bahwa sumber-sumber pembiayaan dalam negeri
harus diusahakan meningkat cepat dan makin dominan, bahan-bahan mentah hasil
dalam negeri harus semakin menjadi andalan utama bagi kegiatan-kegiatan
produksi, tenaga-tenaga trampil dalam negeri harus semakin berperan dalam
kegiatan-kegiatan produksi dan sebagainya.
Akan tetapi bagaimana kenyatannya,
apakah cita-cita itu mendekati
kenyataannya? . Faktanya sangat jauh dari harapan. Cita-cita tinggal sebatas
cita-cita yang indah dan elok di atas kertas. Meminjam Mubyarto (2003) dan
Faisal Basri (2004) Yang terjadi adalah “pasak lebih besar dari tiang” .
Pertumbuhan ekonomi tetap tinggi, namun tidak dalam pemerataan. Kehidupan
rakyat tidak semakin baik, bahkan sebaliknya semakin sengsara.
Faktanya terbukti kemudian, apa yang ditulis
dengan indah dalam platform pembangunan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
, Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan lain-lainnya hanya berhasil di
atas kertas atau cetak biru (blue print). Tidak didalam realitas faktanya.
Malah sebaliknya yang terjadi yakni Indonesia
terjerumus dalam krisis moneter pertengahan tahun 1997, yang selanjutnya diikuti
dengan krisis multi dimensional, seperti krisis ekonomi, politik, social dan
kebudayaan yang belum pulih hingga saat ini. Akan tetapi sebelum sampai kepada
pembahasan krisis tersebut dalam sub bab dibawah ini akan diuraikan
kritik-kritik terhadap model pembangunan yang diterapkan Orde Baru tersebut.
D. Kritik
Terhadap Model Pembangunan Orde Baru
Sejak Orde Baru mencanangkan model
pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, sesungguhnya telah banyak
pihak tidak menyetujui. Mereka yang mengkritik itu beranggapan bahwa
pembangunan yang diadopsi dari Barat itu tidak sesuai dengan keadaan masyarakat
Indonesia.
Selain tidak mungkin mengejar yang sudah jauh di depan, masyarakat Indonesia
sebagaimana masyarakat Timur pada umumnya masih dominan atau mayoritas bersifat
kolektivist-spiritualistik, struktur sosial yang hierarkhis-vertikal tidak akan
sejalan dengan masyarakat Barat yang cenderung individualistik-materialistik
dan egaliter. Dua kutub yang saling bertolak belakang. Bagaimana mungkin
mempertemukannya?
Dalam teori mungkin dapat
dipertemukan, namun dalam kenyataannya sangatlah sukar. Jangankan meniru Barat
yang sudah sangat jauh di depan, meniru Jepang sekalipun masih sukar, sebab
lingkungan alam, komposisi penduduk negara, struktur masyarakat, aneka warna
kebudayaan, sistem nilai budaya dan agama di Indonesia berbeda dengan
negara-negara lain (Koentjaraningrat, 1984:32)
Pendapat yang lain, dan ini
kelihatannya yang dominan adalah pandangan yang menganggap bahwa Indonesia
sebagaimana negara-negara ex jajahan lainnya adalah negara-negara yang
dikategorikan terbelakang
(underdeveloped), miskin dan timpang Karena terbelakang perlu ikhtiar untuk
meningkatkan kwalitasnya supaya lebih baik, lebih makmur dan lebih demokratis.
Ikhtiar demikian apakah disadari atau tidak
adalah meniru pembangunan negara-negara Barat, yakni negara-negara ex penjajah
tersebut. Negara-negara ini entah bagaimana caranya dianggap sebagai negara
panutan, negara maju, negara yang sudah industrialized dan lain-lain gelar
kemajuan yang pantas diikuti. Aneh bin ajaib negara-negara yang pernah menjadi
negara penjajah, yang kemajuannya sudah sangat jauh, sistim sosial, politik,
ekonomi dan kebudayaannya berbeda akan dijadikan model. Tidakkah sesuatu yang
terbalik?
Namun apapun alasannya pendapat
demikian akhirnya mengungguli pendapat-pendapat yang lain, yakni bahwa Indonesia
adalah negara terbelakang, miskin dan timpang, yang untuk meningkatkan
eksistensinya diperlukan pembangunan. Pembangunan yang pada mulanya dikatakan
netral, tanpa dikaitkan dengan ideologi-ideologi tertentu, ternyata kemudian
hari terbukti adalah pembangunan yang kapitalistik. .
Pembangunan seperti itu sebagaimana
yang dahulu ditentang oleh pejuang-pejuang kemerdekaan pada akhirnya diterapkan
rezim Orde Baru dengan dan tanpa dukungan rakyat. Kebijakan tersebut sudah
ditempuh lebih dulu oleh rezim Orde Baru dan setelah itu lalu dijustifikasi
oleh DPR hasil rekayasa.
Dalam perjalanannya kemudian terlihat
bahwa kebijakan-kebijakan demikian dituangkan dalam apa yang disebut dengan
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan operasionalnya dalam “pembangunan lima tahun” (Pelita).
Dalam lima tahapan Pelita, atau awal pelita VI Indonesia direncanakan sudah
sampai pada tahap “tinggal landas”,
yakni melaju dengan kemampuan sendiri (self sustained Growth). Suatu teori
pembangunan ekonomi, Meskipun tidak pernah dikatakan dengan jelas, diadopsi
dari paradigma WW Rostow. Sebab Rostow adalah satu-satunya pakar sejarah
ekonomi yang pernah mengungkapkan istilah tersebut dalam ilmu ekonomi. Menurut
beliau “tinggal landas” akan berhasil apabila memenuhi tiga syarat, yakni:
1.
syarat pertama tingkat
investasi harus meningkat 10%. Tingkat investasi diukur sebagai proporsinya
dari pendapatan nasional harus meningkat 10% atau lebih. Hal ini dihubungkan,
khususnya dengan kenaikan jumlah penduduk. Kalau tingkat investasi itu kurang
dari 10% maka dalam kebanyakan hal hasil peningkatan atau pertumbuhan ekonomi
yang diakibatkan oleh investasi tersebut, akan habis dimakan oleh penambahan
jumlah penduduk, sehingga dengan begitu dapat dikatakan terjadi stagnasi
ekonomi
2.
syarat kedua pertumbuhan yang
tinggi pada manufaktur. Adanya pertumbuhan satu atau beberapa cabang industri dalam sector manufaktur, yang
menunjukkan laju pertumbuhan yang tinggi
3.
syarat ketiga tampilnya
kerangka politik, sosial, dan institusional yang handal. Hadirnya atau
timbulnya secara cepat kerangka politik, sosial, dan kelembagaan yang dapat
menampung dan mengembangkan denyutan-denyutan dinamika dari sector modern
maupun sector internasional sebagai akibat dari “take off”, sehingga
terdorongnya satu pertumbuhan menjadi gerakan yang tak henti-hentinya (Sumawinata, S,27 Agustus 1988, hal 2)
Dalam praktekknya Indonesia menurut Sarbini
Sumawinata (1988) dan lain-lain pengamat hanya melaksanakan syarat nomor satu,
yakni tingkat investasi dan pertumbuhan yang tinggi. Tidak nomor dua, yakni
pertumbuhan yang tinggi pada manufaktur, apalagi nomor tiga (pembangunan
sosial, politik dan kebudayaan), pada hal kedua nomor inilah yang paling
penting dalam era “tinggal landas” daripada sekedar (hanya) melaksanakan syarat
nomor satu (pertama). Indonesia
hanya sibuk mengejar pertumbuhan. Dari pertumbuhan ke pertumbuhan.
Pertumbuhan ekonomi seakan-akan (atau memang demikian)
menjadi segala-galanya. Pertumbuhan yang seharusnya untuk memakmurkan dan
mensejahterakan masyarakat, berubah menjadi masyarakat untuk
pertumbuhan.Pertumbuhan manufaktur yang mandiri atau pertumbuhan kerangka
sosial, politik dan institusional yang handal, demokratis dan pluralis, yang seharusnya menyertainya tinggal sebatas
slogan dan tinta indah diatas kertas GBHN/Pelita.
Sebelum Sarbini Sumawinata memberi kritik, demikian,
beberapa tahun sebelumnya (1983) H.W.Arndt seorang ekonom yang beraliran
“neoklasik” telah memberikan pandangan yang juga sangat ekstrim. Arndt yang
mengutif beberapa pakar sampai pada kesimpulan bahwa Indonesia adalah salah satu kasus
bangsa yang melaksanakan “pertumbuhan
yang menyengsarakan”. Pertumbuhan berjalan, namun tidak dalam pemerataan.
Masyarakat sebagaimana era-era sebelumnya tetap sengsara, tetap susah dan hampir
tidak bisa berbuat apa-apa. Yang menikmati hasil pembangunan hanya segelintir
orang. Mayoritas tetap dalam keadaan melarat.
Mengapa dan kenapa pertumbuhan yang menyengsarakan ini
terjadi Arndt melihat ada lima
faktor (determinant) penyebab. Faktor-faktor ini adalah:
1.
ekses dan konsekwensi dari
penjajahan
2.
elit nasional baru yang tampil
tidak professional
3.
ideologi yang anti kapitalis
4.
warisan (nilai) budaya yang
tidak efisien
5.
kemunduran ekonomi pasca kemerdekaan
Penjajah Belanda yang melaksanakan pemerintahan kolonial
di Indonesia
sejak lama telah mewariskan keterbelakangan yang kronis. Penjajah hanya
mengeksploitasi ekonomi, tapi tidak memberikan apa-apa bagi yang dijajahnya.
Pemerasan sumber daya Indonesia
dilaksanakan dengan sistim ekonomi yang dualistis, yakni melalui sektor
tradisional plus sektor modern. Sektor tradisional dibiarkan berkembang apa
adanya, tapi sektor modern dibatasi. Sektor-sektor ekonomi, seperti perkebunan,
transportasi, irigasi, perbankan, administrasi, manufaktur kecil berkembang
dengan pesat, tapi sebaliknya pada latihan-latihan kejuruan dan
professionalisme.
Ketika Indonesia
merdeka sosok-sosok atau elit-elit yang tampil adalah elit atau sosok yang
kurang piawai melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan, birokrasi, perekonomian
dan lain-lain dimensi kehidupan modern. Ketika penjajah sudah pergi dan tampil
putra-putri pribumi, mereka kurang handal melaksanakan fungsi-fungsi negara
modern. Kekurang professionalan sangat kasat mata ketika memimpin usaha-usaha
ekonomi yang ditinggalkan Belanda tidak bisa dikembangkan dengan baik, bahkan
sebaliknya yang terjadi, stagnasi dan mulai merebak inefisiensi-inefisiensi
ekonomi seperti korupsi dan lain-lain biaya-biaya tinggi ekonomi.
Kaum inteletual dan politisi pergerakan kemerdekaan Indonesia
sebagaimana faktanya tumbuh dan diilhami ideologi anti kapitalis. Kaum ini
melihat bahwa penjajahan muncul adalah akibat penerapan ideologi kapitalis.
Sebagai perlawanan atau antitese dari anti kapitalisme, tokoh-tokoh pergerakan
ini melihat ideologi alternative, yakni “sosialisme”. Mereka ingin menerapkan
sosialisme di Indonesia.
Suatu ideologi yang dilandasi teorinya Karl Marx. Ideologi yang muncul karena
keserakan-keserakahan dan lain-lain ekses negative kapitalisme. Oleh karena itu
para pemimpin-pemimpin pergerakan menghujat habis kapitalisme dan imperialisme,
tidak mengakui mekanisme pasar sebagaimana yang diterapkan para kapitalis.
Begitu pula untuk aktor ekonomi tidak diberikan kepada swasta, melainkan
negara, yakni dengan mendirikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Singkatnya
pola ini dianggap sebagai konsep kebersamaan yang sesuai dengan seluruh
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Faktor selanjutnya adalah faktor budaya yang tidak mendukung.
Budaya termaksud adalah tradisi masyarakat Indonesia, khususnya etnis Jawa
kepada penekanan “musyawarah untuk mufakat” dalam pengambilan keputusan Tradisi ini dianggap tidak sesuai dengan
pembangunan ekonomi yang kapitalistik, sebab terlalu menjaga harmoni dan
menjauhkan konfrontasi. Begitu pula sifat-sifat orang Indonesia yang lain seperti kurang
menghargai kerja-kerja yang didasarkan kepada fisik. Kerja-kerja fisik seperti
misalnya menjadi pedagang dianggap kurang bermartabat. Dampak kemudian adalah kurang
jiwa entrepreunership
Faktor terakhir adalah kehancuran ekonomi pasca
kemerdekaan. Indonesia
sejak memproklamirkan dirinya tidak sempat membangun perekonomian, karena satu
dan lain hal. masyarakat hidupnya tidak lebih baik dari era-era sebelumnya.
Mereka tetap susah, karena pemerintahan pasca kolonial tidak bisa berbuat
banyak dalam perkembangan perekonomian. Kemerosotan ini dapat dilihat menjelang
jatuhnya Soekarno, inflasi mencapai 650%.
Argumen Arndt
demikian menunjukkan bahwa prasyarat-prasyarat pembangunan ekonomi yang
bertumpu pada pertumbuhan, atau dalam bahasa yang umum pembangunan yang
kapitalistik belum dimiliki bangsa Indonesia. Prasyarat-prasyarat
ekonomi, seperti kemampuan wiraswasta, prasyarat politik, yakni demokrasi
liberal, prasyarat sosio kultural, yakni masyarakat yang individualistik,
egaliter dan horizontal sama sekali masih sangat jauh.
Karena prasyarat-prasyarat pendukung tidak memadai,
dapat dibayangkan seperti apa jadinya apabila pembangunan yang berfocus pada
pertumbuhan ekonomi diterapkan sudah pasti akan terjadi pembiasan. Bagaimana
pembiasan ini berlangsung sudah banyak ditulis para pakar. Yoshihara Kunio
(1984) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi yang terjadi di Indonesia dan
lain-lainnya negara Asia Tenggara adalah pembangunan ekonomi, tepatnya
kapitalisme semu (ersatz), yakni kapitalisme yang tidak sesungguhnya. Hal ini
terjadi sebagai akibat dari pola-pola yang dilaksanakan tidak sesuai dengan
hukum-hukum kapitalis sebagaimana disinggung Arndt. Perekonomian yang dipentaskan
terlalu didominasi oleh negara yang seharusnya oleh swasta dan disisi lain
adalah bahwa perekonomian yang dijalankan tersebut tidak didasarkan kepada
teknologi.
E. Teknologi Tepat Guna
Pertanyaan kemudian yang mengemuka adalah teknologi yang
seperti apa?, apakah teknologi yang sudah dijalankan oleh negara-negara yang
telah menguasai teknologi? Atau…tidakkah teknologi itu pada akhirnya menjadi
alat penjajahan dan yang mengalienasikan manusia, dari habitatnya?. ini yang
belum tuntas dijawab oleh bangsa ini.
Dampak negatif teknologi baru ketahuan setelah akibat
buruknya terjadi. Hingga masa singkat yang lampau, segala pengembangan
teknologi baru disambut dengan penuh sukacita, karena disangka akan membawa
kemajuan dan perbaikan hidup manusia
Berbagai penemuan seperti mesin uap, yang mendorong
revolusi industri di Eropa dahulu, telah merupakan pendorong besar untuk
mengembangkan berbagai perubahan tidak saja dalam cara orang bekerja, melainkan
juga gaya
hidup, dan nilai-nilai manusia dan masyarakat. Mesin uap dipasang pada
lokomotif, kapal, dan mesin-mesin pabrik dan mempunyai dampak yang luas
terhadap sistem pengangkutan darat dan
laut, dan teknologi produksi industri. Ia juga membuka kemungkinan produksi
secara lebih besar-besaran, daripada yang dapat dilakukan sebelumnya dengan
tenaga manusia
Ceritra-ceritra sukses demikian masih dapat kita uraikan
sekian panjang lagi. Namun apabila kita renungkan lebih jauh, apakah
kemajuan-kemajuan teknologis tersebut menyentuh kehidupan seluruh bangsa dan
seluruh ummat manusia? bukankah itu menguntungkan hanya segelintir bangsa,
kelompok atau orang-orang tertentu.
Sebagai kasus yang menarik dan sekaligus menyeluruh terhadap dampak teknologi
pengalaman Mohtar Lubis dibawah ini relevan kita kaji kembali:
Dimasa kecil, saya tinggal dengan orang tua saya di sebuah daerah
terpencil di Kerinci, di Sumatera Barat. Kerinci merupakan sebuah lembah tinggi
di tengah Bukit Barisan, dengan sebuah danau besar di sebuah ujungnya. Sebuah
lembah yang subur dan selalu hijau. Ketika ayah saya pertama kali dikirim pemerintah colonial Belanda bertugas ke
daerah itu, ibu berceritra bahwa mereka dari Jambi harus berjalan kaki dengan
dikawal satu regu polisi dari Jambi, dan perjalanan mencapai Kerinci memakan
waktu beberapa pecan. Ketika itu ibu berceritra orang Kerinci telah mahir
membangun rumah mereka yang besar dan panjang dari kayu beratapkan bambu
tersusun tanpa memakai sebuah paku pun jua. Mereka hidup mesra dengan alam
sekeliling mereka, membuat sendiri segala peralatan keperluan hidup mereka
dengan tangan mereka yang trampil. Kemudian pemerintah colonial membangun jalan
raya dari Padang
ke Kerinci. Sebuah ordeneming the Belanda yang besar di buka. Mobil-mobil
pertama masuk ke daerah ini. Dan dengan datangnya mobil datang pula benda-benda
keperluan hidup buatan pabrik. Paku besi dan atap seng datang pula. Dan
perlahan-lahan penduduk Kerici “dihisap
kedalam jaringan perdagangan dan konsumsi modern”. Saya meninggalkan
Kerinci sebelum Perang Dunia ll untuk melanjutkan sekolah saya ke daerah lain,
dan baru tahun 60-an saya berkesempatan kembali berkunjung kesana. Saya melihat
di pasar segala benda buatan pabrik, mulai dari barang besi, seng dan plastik
telah menggantikan barang-barang dan alat-alat yang dahulu dengan mahirnya
mereka buat sendiri. Kini rumah mereka dibangun dengan menggunakan paku, besi
dan atap seng. Para pengrajin tinggal telah
tua, dan ketrampilan serta kemahiran
tradisional mereka mulai menghilang (Lubis M, 1985:2)
Perubahan terjadi dengan sangat drastis. Rumah yang tadinya
hanya dibuat atau dikerjakan an sich dari hasil alam setempat digantikan oleh
hasil-hasil pabrik, seperti seng dan paku. Yang sebelumnya tidak pakai seng
menjadi pakai seng, analog yang sebelumnya tidak pakai paku menjadi pakai paku.
Dengan dibukanya jalan dan disediakannya kenderaan
(mobil), mobilisasi makin cepat. Bisa dibayangkan yang sebelumnya ditempuh
sekian lama, dengan adanya jalan raya dan mobil menjadi begitu cepat. Begitu
pula dengan dibangunnya pabrik (onderneming), menciptakan hal-hal yang
sebelumnya tidak ada secara alamiah menjadi
menjadi ada setelah tampilnya rekayasa. Dari “tiada menjadi ada”.
Perubahan lain, dan ini yang menjadi sangat penting
adalah tertariknya (terhisapnya) masyarakat kedalam sistim atau tatanan baru
kapitalisme. Kehidupan perdagangan yang sebelumnya sangat sederhana, alamiah
dan tradisional menjadi konsumtif/konsumerisme. Masyarakat menjadi penikmat
komoditi-komoditi hasil manufaktur. Mengutif Stiglitz (2007) telah tercipta
tradisi, tatanan dan suasana baru, yakni “membeli-membeli, membeli”. Mereka telah
konsumtif tanpa melalui “tahap produktif”
Derivasi kemudian adalah hilangnya keahlian tradisional.
Tukang-tukang yang sebelumnya mahir mengerjakan rumah tanpa seng dan tanpa paku
terpinggirkan secara sistematis setelah muncul barang-barang baru hasil
rekayasa. Mereka menjadi penonton dengan tukang-tukang baru yang mengolah
bahan-bahan bangunan hasil manufaktur. Demikian pula keahlian-keahlian lain
yang ada sebelum masuk barang-barang teknologis.. istilah sekarang adalah
hilangnya kearifan local. Apakah kehidupan setelah itu lebih bermutu? Apakah
masyarakat lebih baik dengan suasana baru ini?, Mohtar Lubis menjawab:
Saya tidak merasa mereka lebih berbahagai kini dengan segala barang
hasil teknologi yang baru ini, daripada dahulu ketika mereka lebih menyatu
dengan alam sekeliling mereka dan berhasil mengembangkan teknologi tepat guna
bagi mereka (Lubis M, 1985:2)
Pendapat demikian pula yang menjadi pendapat penulis.
Teknologi yang diimport tidak selalu membawa kemajuan. Teknologi tidak netral
sebagaimana yang banyak dikemukakan para kalangan. Menerima dan mengolah
teknologi berarti mutlak” menerima dan mengolah sikap-sikap serta
struktur-struktur “Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial dan Kebudayaan” (IPOLEKSOSBUD)
yang inheren melekat dalam proses teknologi tersebut (Mangunwijaya, YB,
1985:vii-viii)
F.Jati Diri Bangsa
Pandangan-pandangan pakar tentang bagaimana pembiasan
demikian terjadi yakni pada “pertumbuhan ekonomi yang dimotori oleh teknologi
asing tidak akan sesuai dengan Indonesia
sudah banyak diwacanakan. Indonesia
seharusnya menentukan model pembangunannya sendiri yang sesuai dengan jati diri
atau kebudayaannya. Pola, bentuk atau substansi untuk itu sudah tersedia.
Secara konstitusional sudah diatur dalam UUD 1945. Secara operasional pada
tahun 1960-an sudah dijabarkan dalam apa yang dikenal dengan “Consensus Jakarta
Model pembangunan Konsensus Jakarta ini mensyaratkan
perlunya membangun kemampuan perekonomian bangsa dengan keberpihakan mutlak
kepada kepentingan rakyat Indonesia
seperti dimanatkan oleh pasal 33 UUD 1945, tanpa tergantung kepada pihak asing
melalui kebijakan ekonomi berdikari. Peran Negara, yang berarti pemerintah,
mesti diperkuat sehingga pemerintah bersama segenap pelaku perekonomian
nasional berupa (1) BUMN/BUMD, (2) Koperasi dan (3) Swasta Nasional Domestik
dapat melaksanakan pembangunan ekonomi nasional. Modal asing, sekiranya
diperlukan, dapat diberikan tempat namun dengan rambu-rambu yang tegas sesuai
amanat Pasal 33 UUD 1945 yang asli (Wiryawan, NJ, Prof Dr, Mei 2009).
Suatu model pembangunan yang berkebalikan dengan apa
yang popular dewasa ini, yaitu Neolib (neoliberal) yang dihasilkan Consensus Washington” yang
memberikan kedaulatan penuh kepada pasar dan menghilangkan peran pemerintah
sejauh mungkin. Prinsipnya adalah:
·
deregulasi
·
privatisasi
·
liberalisasi (Stiglitz, 2003)
Meskipun tidak persis sama, banyak kalangan menengarai
bahwa pola demikian yang dijalankan pemerintahan saat ini. Mereka mementaskan
sistim ekonomi yang sungguh-sungguh propasar dan pembangunan ekonomi yang tetap
berfocus pada pertumbuhan. Tidak seperti yang diinginkan pasal 33 UUD 1945.
Acuannya adalah dikte-dikte yang dipaksakan oleh IMF, WB, WTO dan lain-lain
kepentingan kapitalis internasional.
Dalam bidang politik , sejak proklamasi kita telah
berketetapan hati melaksanakan kedaulatan rakyat yang sesuai dengan
socio-cultural Indonesia,
yakni yang didasarkan kepada paham “kebersamaan atau kolektiviteit”. Tidak
sebagaimana yang diteorikan JJ. Rousseau yang berpaham “individualistic” yang
menjadi acuan dalam demokrasi Barat, khususnya Amerika Serikat.
Penekanan demikian penting, sebab disadari atau tidak,
demokrasi yang kita pentaskan saat ini adalah demokrasi liberal yang berpaham
individualistic yang diajarkan oleh Rousseau. Ilmuwan-ilmuwan kita yang pulang
dari Barat, khususnya dari Amerika Serikat tanpa filter menerapkan begitu saja
apa yang mereka pelajari disana. Demokrasi kita sudah sangat liberal, bahkan
lebih liberal daripada di AS. Musyawarah-mufakat yang menjadi cirri khas kita
telah digantikan oleh pemilihan langsung, sistim voting dan lai-lain pola yang
sangat liberal. Sungguh-sungguh sudah sangat kebablasan. Agar tidak kebablasan
terus, ada baiknya kita simak wejangan seorang nasionalist, yang meskipun
pernah studi di AS beliau tidak setuju demokrasi liberal. Tokoh ini adalah Sri
Edi Swasono . wejangannya berbunyi:
Republik Indonesia
menjunjung tinggi demokrasi, menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Namun paham
demokrasi Indonesia
tidak berdasar pada individualisme konsepsi Rousseau, tetapi berdasar suatu
semangat persatuan sebagai bangsa, yang awalnya adalah reaksi bersama terhadap
imperialisme dan kapitalisme Barat. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi social,
berdasar kebersamaan (kolektiviteit), bukan demokrasi liberal berdasar
individualisme (Swasono, SE, 2009)
Implementasi dari pola demikian dengan terang dan sangat
jelas telah dituangkan dalam sila ke empat Pancasila, yakni kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kata
“Musyawarah” menjadi kata kunci yang membedakannya secara kontras dengan
“voting”yang menjadi pola utama demokrasi liberal.
Akhirnya sampailah kita kepada dimensi yang paling luas
dan paling substantive, yakni dimensi kebudayaan. Bidang yang seharusnya
menjadi primat utama, namun telah dikerdilkan dengan sangat sistimatis. Ia yang
dulu melekat dalam bidang Pendidikan dalam Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, sekarang hanya bagian dari bidang Pariwisata (Departemen Pariwisata
dan Kebudayaan). Begitu pula dalam pergaulan sehari-hari, ada rekayasa bahwa
kebudayaan itu hanya sebatas kesenian Pengkerdilan ini harus diakhiri, yakni
dengan mengembalikan kebudayaan kepada substansinya semula. Melalui seminar ini
kita suarakan agar Kebudayaan dikembalikan kepada Kementerian Pendidikan
Nasional. Tidak dibawah Kementerian Pariwisata sebab Kebudayaan dalam arti luas
mencakup Ilmu/Teknologi, Seni, Filsafat, Sistim Nilai, Ketrampilan,
Pertukangan, Perdagangan, Arsitektur dan sebagainya.
Walaupun belum pernah dirumuskan dengan jelas dan kongkrit
apa yang dimaksud dengan “Kebudayaan Indonesia” sebagaimana disinyalir
Kuntjaraningrat tentang bentuk masyarakat seperti apa yang ingin dicapai dalam
pembangunan tetaplah dikembalikan kepada Pancasila. Sebab Pancasila sudah merupakan
konsensus nasional, ideology, dasar Negara, way of life dan tujuan nasional . Dengan kata lain itulah kebudayaan Indonesia.
Agar lebih kongkrit, tegas dan jelas, sebagaimana kata
penggalinya (Bung Karno) Pancasila itu adalah “Gotong Royong”. Gotong Royong
adalah kebudayaan Indonesia”.
Melaksanakan gotong royong berarti melaksanakan Pancasila Nilai inilah (gotong
royong) dipadu dengan nilai “Bhinneka Tunggal Ika” plus derivasinya, yakni
“kekayaan atau kearifan lokal” akan membawa Indonesia kepada kemajuan
sebagaimana yang dicita-citakan dalam UUD 1945.
Negarawan yang Pancasilais
Untuk mewujudkan hal demikian sudah tentu dibutuhkan
pemimpin. Pemimpin yang sungguh sungguh menjadi pemimpin. Tidak sekedar menjadi
pejabat atau politisi yang mati rasa, apalagi petualang ekonomi yang berlagak
dermawan sebagaimana banyak dirasakan selama ini. Sosok untuk itu adalah pemimpin
yang berkarakter Negarawan nan Pancasilais.
Sekian dan terima kasih
Jakarta,
Agustus 2009
Reinhard Hutapea
REFERENSI
Abimanyu, A, ed, 2009, Era
Baru Kebijakan Fiscal, Kompas, Jakarta
Ali Asad Said, 2009, Negara
Pancasila, LP3ES, Jakarta
Bagun Rikard, 2009, Tuntutan
Perubahan Perilaku, dlm Kompas, Jakarta
Boediono, 2009, Ekonomi Indonesia Mau
Kemana?, KPG dan Freedom Institute Jakarta
Dicson, Anna, 1997, Development
and International Relations, Cambridge
Polity Press
Haq, Mahbub Ul, 1976, The
Poverty Curtain, Columbia
University Press
Koentjaraningrat, 1974,
Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta
Mangunwijaya, J, 1985, Teknologi
Dan Dampak Kebudayannya, Obor, Jakarta
Nafis MD, 2009, Indonesia
Terjajah, INSIDE Press, Jakarta
Perkins, J, 2007, Pengakuan
Bandit Ekonomi, Ufuk Press, Jakarta
Rendra WS, Merekalah harapan Bangsa
Ini, dlm Media Indonesia, 1 Mei 2009, Jakarta
Rodrick Dani, 2001, Development
Strategies For the 21 st Century dalam Annual World Bank Conference on Development Economics
Sen Amartya, 1999, Development as
Feedom, Oxford
University Press
Subianto, Prabowo, 2009, Membangun
Kembali Indonesia Raya,
IGN Jakarta
Soemawinata, Sarbini, 1999,
Tinggal Landas, makalah ISEI, Jakarta
Stiglitz, J, 2003, Globalization
and its Discontents, Penguin Books, London
Stiglitz, 2007, Making Globalization Work, Mizan, Jakarta
Todaro M, 1995, Pembangunan
Ekonomi di Dunia lll, Erlangga, Jakarta
Tjokrowinoto, 1995, Teori-Teori
Pembangunan, Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta
Wiryawan, Nizam Jim, Prof Ph D, 2009, Washington Consensus dan Model Pembangunan Alternatif, dalam Media
Indonesia, 28 Mei 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar