Senin, 23 Januari 2017

PEMBANGUNAN, JATIDIRI BANGSA, DAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA




PEMBANGUNAN, JATI DIRI BANGSA
DAN  TEKNOLOGI TEPAT GUNA
Oleh: Reinhard Hutapea

ABSTRACT

Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini belum bisa mewujudkan tujuan nasionalnya sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yakni menjaga tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan sosial dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada era Soekarno telah diupayakan suatu ikhtiar yang dikenal sebagai “Pembangunan Politik” dengan tekanan kepada “Nation and character building”. Belum sempat diwujudkan, Soekarno digantikan Soeharto yang menempuh pola yang berkebalikan dengan kebijakan Soekarno. Soeharto merubah total tatanan sebelumnya. Kalau Soekarno melakukan pembangunan politik, Soeharto melakukan “Pembangunan Ekonomi” dengan titik sentral “Pertumbuhan” (Growth, GNP). Model pembangunan ekonomi ini diharapkan akan membawa kesejahteraan dan lain-lain tujuan nasional melalui strategi “tricle down effect” (penetesan kebawah). Adapun teori, landasan atau filosofinya (meskipun tidak pernah dikatakan) adalah paradigmanya WW. Rostow dengan teori pentahapannya. Akan tetapi setelah dipraktekkan sekian pelita, efek tetesan yang akan menghasilkan kesejahteraan itu tidak pernah terwujud. Malah sebaliknya yang terjadi, yaitu capital yang ada malah menguap keluar (capital flight). Pengangguran, kemiskinan dan ketidak adilanyang sejak lama menjadi musuh bersama tidak dapat diretas. Menurut para para pakar atau pemerhati pembangunan, pembiasan atau distorsi seperti itu terjadi akibat model, pola atau strategi pembangunan yang dipilih tidak tepat. Meminjam pendapatnya Mahbub Ul Haq adalah pola pembangunan yang palsu (the catching up fallacy)atau pertumbuhan yang menyengsarakan (Arndt). Suatu bentuk pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan, bukan keseluruhan dimensi (Todaro) agar tercapai kehidupan nasional yang lebih baik (Katz). Ketika reformasi bertiup suasana ini diharapkan akan berubah, yakni model pembangunannya disesuaikan dengan socio-cultural atau jati diri bangsa Indonesia. kenyatannya tetap tidak berubah. Pola, tatanan atau strategi tetap sama, yaitu melanjutkan apa yang sudah ditempuh rezim Soeharto








Hari-hari ini, dan mungkin waktu-waktu ke depan tiada saat tanpa membicarakan apa yang menjadi tema seminar kita, yakni “pembangunan”. Dari mulai warung kopi dipinggir jalan hingga café di hotel-hotel mewah, dari grasroth hingga para elite, dari anak kecil hingga aki-aki memperbincangkan masalah pembangunan. Berbagai pendapat dari mulai yang pesimis hingga optimis meramaikan blantika perdebatan, yang semakin marak karena dipublisir oleh media dengan anthusias. Media, baik cetak, khususnya audiovisual tiada hari tanpa perbincangan pembangunan Program para caleg, khususnya para Capres menjadi perbincangan yang tiada henti Istilah, konsep atau paradigma baru yang sebelumnya tidak popular mencuat kepermukaan perdebatan Neolib (neoliberal) yang tadinya hanya wacana para elit. menjadi bahasa sehari-hari
Akan tetapi dari sekian  perdebatan itu yang menarik bagi penulis adalah pendapat Abdurahman Wahid (Gus Dur), W.S.Rendra dan Rikard Bagun. Gus Dur menyeringai bahwa ketiga Capres tidak ada yang layak, sebab tidak punya konsep pembangunan yang jelas (Kompas, Juni, 2009). WS.Rendra nyeletuk bahwa pemerintah saat ini belum mempunyai program yang jelas dalam membawa agenda perubahan (Media Indonesia, 1 Mei 2009). Dengan bahasa yang lain namun substansi yang sama Rikard Bagun mempertanyakan apakah bangsa Indonesia mampu dan siap beradaptasi dengan arus perubahan (Kompas, 26 Juni 2009)
Masalah demikian kalau kita perhatikan dengan serksama sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Ia sudah ada sejak lama, khususnya sejak Orde Baru mencanangkan program pembangunan. Prof Kuntjaraningrat pada tahun 1970 dalam satu seminar menyatakan bahwa bentuk masyarakat seperti apa yang ingin dicapai dalam pembangunan belum pernah ditulis dengan jelas (Kuntjaraningrat, 1974:38) Begitu pula pakar-pakar yang lain. Sekian pendapat mungkin masih dapat kita uraikan lebih jauh
Namun apabila ditanyakan apa sebenarnya yang dimaksud dengan pembangunan, apa sasaran, hakikat dan tujuannya, bagaimana bentuknya, mengapa ia dibutuhkan, bagaimana sejarah perkembangannya, apakah dalam melakukan pembangunan harus meniru model pembangunan negara-negara maju atau tidak, membuat paradigma tersendiri dan atau khususnya apakah dalam pembangunan harus berutang sudah pasti tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan semua pihak. Masing-masing pihak atau kalangan akan mengeluarkan pendapatnya, dimana antara pendapat yang satu dan yang lain tidak jarang saling bertolak belakang. Suatu hal yang lumrah dalam kehidupan. Penulisan ini akan mencoba menelusuri hal-hal demikian menurut teori-teori tertentu yang akan dideskripsikan dalam sub-sub bab sebagai berikut. Yakni Sub bab a tentang “arti, sasaran, hakikat dan tujuan pembangunan”, sub bab b sejarah dan konsep-konsep pembangunan”, sub bab c ciri-ciri atau karakteristik pembangunan Indonesia, sub bab d, kritik terhadap model pembangunan Orde Baru,sub bab e, teknologi tepat guna, dan sub bab f ,Jati diri bangsa.

A.Arti dan Tujuan Pembangunan
Michael P.Todaro (1983) seorang pakar ekonomi pembangunan Dunia lll dalam bukunya yang terkenal, yakni “Pembanguna Ekonomi di Dunia III” sebagaimana penulis kenamaan pada umumnya tidak langsung memberikan definisi pembangunan. Dua bab sebelum sampai dalam pemberian pengertian atau suatu definisi pembangunan., Todaro terlebih dahulu memberikan berbagai ilustrasi-ilustrasi yang cukup panjang, rumit dan cenderung berat. Ilustrasi-ilustrasi ini  adalah persfektif dunia tentang kelembagaan, ekonomi dan pembangunan, pada bab satu. Berbagai struktur dan karakteristik umum negara-negara sedang berkembang, pada bab dua. Baru pada bab tiga, Todaro memberikan definisi, itupun dalam bentuk pertanyaan.
Metode ini mungkin ditempuh betapa pengertian atau definisi pembangunan itu tidak sederhana dan cukup abstrak. Tidak sebagaimana pengertian-pengertian atau konsep-konsep lain . seperti ilmu eksak yang umumnya sederhana dan kongkrit. Meminjam pendapatnya Prof Mulyarto (1995) pengertian atau definisi pembangunan bukanlah konsep yang netral, bukanlah konsep yang bebas nilai. Pembangunan adalah suatu konsep yang sarat nilai atau value loaded. Artinya pembangunan terkait dengan apa yang dianggap baik dan buruk menurut pengalaman sejarah suatu bangsa. Dengan demikian, konsep pembangunan bersifat culture specific, yakni dapat didefinisikan secara berbeda oleh dua negara yang lingkungannya berbeda. Disisi lain pembangunan juga bersifat time specific, yakni dalam suatu negara pun pembangunan dapat didefinisikan secara berbeda.
Akan tetapi meskipun tidak mungkin mendefinisikan pembangunan dengan memuaskan semua pihak, untuk kepentingan penelitian ini akan didekati dengan beberapa konsep atau persfektif yang dianggap paling netral dan mungkin bebas nilai. Pendefinisian pertama akan diambil dari pendapat Prof Saul M Katz. Kedua dari Michael P.Todaro.. Menurut Saul M.Katz pembangunan adalah:
Pergeseran dari satu kondisi nasional yang satu menuju ke kondisi nasional yang lain, yang dipandang lebih baik, tetapi apa yang disebut lebih baik/lebih berharga, berbeda dari satu negara ke negara lain atau dari satu periode ke periode lain (Katz dalam Tjokrowinoto, 1995:8)

Menurut Michael P.Todaro:
Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang menyangkut reorganisasi dan reorientasi sistim ekonomi dan sistem sosial sebagai keseluruhan. Disamping peningkatan pendapatan dan out put, pembangunan menyangkut pula perubahan radikal struktur kelembagaan, struktur sosial serta struktur administrasi serta perubahan sikap, adat kebiasaan serta kepercayaan.(Todaro dalam Tjokrowinoto, 1995:8)

Definisi demikian memberikan pengertian bahwa pembangunan itu adalah ikhtiar, reorganisasi, reorientasi atau upaya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, lebih berkualitas dan lebih sejahtera dari kehidupan-kehidupan sebelumnya.
 Akan tetapi sebagaimana dalam setiap “kebijakan” selalu ada yang diprioritaskan. Tidak mungkin semua dilakukan secara simultan. Dalam konteks pembangunan ini yang menjadi skala prioritas atau yang lebih didahulukan adalah “bidang ekonomi”, sebab bidang ini adalah dimensi yang paling mendasar  dari setiap pembangunan, sebab menyangkut kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan. Bersamaan dengan dilakukannya pengentasan terhadap ketiga penyakit masyarakat ini selanjutnya dilakukan perombakan dalam bidang-bidang yang lain, yakni struktur kelembagaan, struktur sosial, politik, administrasi hingga kebidang yang lebih luas yakni perombakan dalam sikap, adat/tradisi/kebudayaan hingga kepercayaan. Singkatnya pembangunan, membangun semua sendi-sendi kehidupan secara sistimatis, logis dan objektif.
Definisi atau Pengertian demikian dikemukakan mengingat ada pihak-pihak atau kalangan tertentu yang mengertikan pembangunan secara sempit, tidak menyeluruh, tidak konseptual atau tidak komprehensif. Pengertian pembangunan diartikan sepotong-sepotong sesuai kepentingannya, yang mana pada akhirnya justru bermuara pada “anti pembangunan” itu sendiri sebagaimana yang dititahkan oleh PBB pada tahun 1950-an.
PBB pada tahun itu mendefinisikan pembangunan hanya sebatas “pertumbuhan ekonomi” bukan dalam arti holistik. Bila pertumbuhan telah mencapai angka 5% maka pembangunan itu dianggap berhasil. Kenyataannya banyak negara yang mencapai atau bahkan melebihi angka tersebut, namun tidak menggambarkan yang sesungguhnya. Kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan bukannya semakin berkurang. Malah sebaliknya yang terjadi yakni semakin membesar.
 Dari uraian tersebut jelas dan terbukti bahwa pembangunan yang hanya mengutamakan pertumbuhan adalah penyimpangan atau kesesatan. Bagaimana ekses negative dari pola ini telah banyak diulas para pakar di seluruh dunia. Salah satunya adalah Mahbub Ul Haq, seorang ekonom yang pada mulanya sangat yakin dengan “filsafat pertumbuhan”, namun setelah melihat prakteknya tidak seperti yang diharapkan, beliau akhirnya berubah arah.
 Bagaimana akhirnya Mahbub Ul Haq melihat betapa pola pertumbuhan yang dipraktekkan di negerinya, Pakistan membuat kehidupan ekonomi semakin suram, timpang yang membuat kehidupan mayoritas masyarakat semakin sengsara dapat dibaca dibawah ini:
Saya peringatkan negeri saya terhadap gejala makin terpusatnya kekayaan dan pendapatan industri tergenggam dalam tangan hanya 2 2 kelompok keluarga. Saya kemukakan betapa kelompok keluarga ini menguasai sekitar 2/3 kekayaan perindustrian, 80% bidang perbankan, dan 70% bidang asuransi di Pakistan. Saya tekankan pula akibat politik dan akibat sosial yang terkandung dalam pola pembangunan semacam ini, pola yang selama dasawarsa sebelumnya mengakibatkan bertambah lebarnya jurang perbedaan pendapatan perkepala antara Pakistan Timur dan Pakistan Barat, dan yang mengakibatkan turunnya upah nyata pekerja industri, yang terpusat di beberapa kota besar, sebesar 1/3. Jelas sekali, bagian terbesar rakyat banyak tidak tersentuh sama sekali oleh kekuatan-kekuatan pembawa perubahan ekonomi, karena pembangunan ekonomi timpang dan menguntungkan segelintir orang saja (Haq MU, 1983:16)

Pendapat Mahbub Ul Haq ini meskipun dalam kasus Pakistan adalah cerminan umum dari seluruh negara-negara dunia ketiga yang melaksanakan pembangunan ekonomi dengan focus pertumbuhan. Kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan yang seharusnya pertama-tama dihilangkan, malah sebaliknya semakin membesar, semakin tidak terkendali yang melahirkan ekses-ekses yang lebih buruk
. Oleh karena itulah pembangunan yang titik sentralnya pertumbuhan ini akhirnya dikoreksi. Berbagai pakar mengeluarkan pendapat betapa pembangunan yang hanya berdasarkan kwantitas itu itu sangat jauh dari harapan atau kenyataan. Salah satu pakar yang paling menolak model pembanguan seperti itu adalah Dudley Seers. Beliau tidak henti-hentinya menyatakan bahwa Pembangunan akan berhasil hanya apabila kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan dapat dihilangkan.
Salah satu atau apalagi dua-duanya dari penyakit ini tidak bisa diberantas maka pembangunan gagal. Lebih jelasnya Prof Dr Dudley Seers menyatakan:
Oleh karena itu persoalan-persoalan yang perlu ditanyakan mengenai pembangunan suatu negara itu ialah, apa yang telah dilakukan terhadap kemiskinan?. Apa yang telah dilakukan terhadap pengangguran?. Apa yang telah dilakukan dengan ketimpangan?. Jika ketiga pertanyaan ini memberikan jawaban yang positif, dengan kata lain, kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan itu ada tanda-tanda menurun, maka tidak diragukan lagi bahwa pembangunan itu sudah berjalan dinegara yang bersangkutan. Jika satu atau dua dari problema sentral ini semakin jelek, apalagi kalau ketiga-tiganya, maka agak aneh untuk mengatakan pembangunan itu berhasil, kendatipun pendapatan perkapita meningkat dua kali (dalam Todaro,1983:123)

Bukan angka pertumbuhan sebagaimana yang disarankan oleh PBB, sebab angka pertumbuhan yang dimanifestasikan dengan pendapatan perkapita tidak menggambarkan kemajuan yang sesungguhnya. Disisi lain angka pertumbuhan itu adalah upaya mengejar yang palsu. Bagaimana mungkin suatu negara yang baru membangun dengan angka pertumbuhan 5% dapat mengejar kemajuan negara yang sudah maju dengan angka pertumbuhan yang juga sama-sama 5%.
Pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan semata sebagaimana yang disarankan PBB tidak akan menjawab nilai-nilai hakiki dari pembangunan itu sendiri, yakni:
1.      kebutuhan hidup
2.      harga diri dan
3.      kebebasan (Goulet dalam Todaro, 1983:125)

Sebab hanya melakukan sebagian kecil saja dari ketiga nilai itu Oleh karena itu agar pembangunan tersebut berjalan sesuai dengan yang sebenarnya, maka yang seharusnya menjadi sasaran pembangunan adalah:
1.      meningkatkan persediaan dan memperluas pembagian/pemerataan bahan-bahan pokok yang dibutuhkan untuk bisa hidup, seperti makanan, perumahan, kesehatan dan perlindungan
2.      mengangkat taraf hidup, termasuk menambah dan mempertinggi penghasilan, penyediaan lapangan kerja yang memadai, pendidikan yang lebih baik dan perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya dan manusiawi, semuanya itu bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi semata-mata, tetapi juga untuk mengangkat kesadaran akan harga diri, baik individual maupun nasional
3.      memperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi semua individual dan nasional dengan cara membebaskan mereka dari sikap-sikap budak dan ketergantungan, tidak hanya dalam hubungannya dengan orang lain dan Negara-negara lain, tetapi juga dari sumber-sumber kebodohan dan penderitaan manusia.(Todaro, 1983:128)

Indonesia yang melakukan pembangunan, khususnya sejak Orde Baru dicanangkan telah mengadopsi nilai-nilai demikian dalam blue print pembangunannya. Hal ini dapat dilihat dalam pengertian , maksud, tujuan pembangunan yang tertulis dalam GBHN/Pelita. Dalam GBHN 1993 dinyatakan bahwa pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Pengertian pembangunan dalam definisi tersebut adalah “rangkaian upaya”. Rangkaian upaya yang seperti apa? adalah pertanyaan yang kemudian mengemuka mengingat definisi itu sangat umum dan mempunyai interpretasi yang banyak. Ibarat suatu tujuan, jalan dan kenderaan yang akan digunakan mencapai tujuan tersebut dapat berbagai jenis. Untuk mengetahui jalan atau kenderaan yang digunakan Indonesia mencapai tujuan bernegaranya akan ditulis dibawah ini.

B. Model-Model Pembangunan.
            Model-model pembangunan yang ada di dunia cukup beragam. Namun kalau ditilik dengan seksama sesungguhnya model itu hanya dua jenis, yang lain adalah turunan-turunan dari kedua model tersebut. Kedua model ini adalah pembangunan yang didasarkan kepada ideologi liberal dan ideologi sosialis. Pembangunan yang didasarkan kepada ideologi liberal dikenal dengan sebutan paradigma pertumbuhan. Pembangunan yang didasarkan kepada ideologi sosialis dengan paradigma dependensi.. Berbagai paradigma ini akan dideskripsikan secara singkat berdasarkan tulisannya Prof Dr Muljarto Tjokrowinoto (1995)

B1.Model Pertumbuhan.
            Model ini memandang tujuan pembangunan nasional sebagai pertumbuhan ekonomi dalam arti sempit, yakni menyangkut kapasitas ekonomi nasional yang semula dalam jangka waktu yang lama berada dalam kondisi statis, kemudian bangkit untuk menghasilkan peningkatan GNP pertahun pada angka lima sampai tujuh persen atau lebih. PBB dalam decade Pembangunan Pertama (1960-1970) memandang pembangunan dalam arti pencapaian angka pertumbuhan per tahun GNP 6%
            Guna mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti itu, maka pemilihan struktur produksi dan kesempatan kerja yang terencana guna meningkatkan porsi industri jasa dan manufaktur, serta mengurangi porsi sektor pertanian secara berimbang, barangkali tidak dapat dihindari. Karena itu proses pembangunan, terpusat pada produksi, sedangkan penghapusan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan menduduki urutan kepentingan kedua terutama dicapai melalui “tricle down effect”
            Model ini juga mengasumsikan bahwa angka pertumbuhan suatu negara terutama tergantung pada tingkat investasi tertentu. Hal ini direalisir melalui peningkatan tabungan dalam negeri, investasi swasta asing dan atau bantuan asing. Adalah tanggung jawab pokok pemerintah untuk menciptakan suatu lingkungan yang akan memungkinkan negeri tersebut  meraih titik kritis tingkat investasi guna mendorong tinggal landas, serta untuk melampaui tahap-tahap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Karena itu peranan pemerintah sejak semula bersifat entrepreneurial
Diperlukan beberapa waktu sebelum pembuat kebijaksanaan menyadari bahwa pembangunan ekonomi seperti itu semata-mata akan gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat, kecuali sebagian kecil penduduk. Pada masa lalu, pertumbuhan telah memperkuat ketimpangan dalam distribusi pendapatan, asset dan kekuasaan yang menyebabkan tidak dimungkinkannya penyebaran keuntungan-keuntungan yang diperoleh, baik secara ekonomi maupun politis. Suatu studi komprehensif antara bangsa yang meliputi 74 negara menunjukkan bahwa kenaikan GNP cenderung diikuti oleh suatu penurunan dalam proporsi relative pendapatan nasional yang diterima oleh bagian penduduk termiskin. Hasil penelitian para ahli lainnya juga menunjukkan konklusi yang sama, demikian pula dalam cakupan ketimpangan secara global.

B2.Model Kebutuhan Dasar.
Model pembangunan nasional kebutuhan dasar atau kesejahteraan muncul untuk mengoreksi kekurangan-kekurangan model pembangunan nasional yang berorientasi pada pertumbuhan. Model ini memfokuskan diri pada bagian penduduk yang miskin dinegara-negara berkembang, dan menandaskan bahwa masalah kemiskinan dinegara-negara yang sedang berkembang pada dasarnya bukanlah merupakan kemubaziran ekonomi perse, akan tetapi masalah kemiskinan tadi pada hakekatnya merupakan pengalaman kerja keras dan tidak produktif selama berjam-jam dalam rangka membiayai kehidupan subsistensi dan marjinal mereka. Jadi problem utamanya adalah mengupayakan peningkatan kualitas kerja mereka lebih daripada kuantitas kerja mereka. Model pembangunan nasional yang berorientasi kebutuhan dasar atau kesejahteraan, mencoba memecahkan masalah kemiskinan melalui mekanisme “tricle down effect”
Pada dasarnya model ini merupakan suatu program kesejahteraan atau bantuan bagi orang yang sangat miskin melalui pemenuhan kebutuhan dasar, yang mencakup tidak hanya kesempatan memperoleh penghasilan akan tetapi juga akses terhadap pelayanan public seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, transportasi umum dan lain-lain.
Model ini didasarkan pada tiga argumentasi pokok
  1. banyak dari kaum miskin tidak memiliki asset-aset produktif selain kekuatan fisik mereka, keinginan kerja mereka dan inteleigensi dasar mereka. Pemeliharaan asset tersebut tergantung pada peningkatan akses terhadap pelayanan public seperti pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyediaan air pada umumnya.
  2. peningkatan pendapatan kaum miskin boleh jadi tidak meningkatkan standar hidup mereka kalau barang-barang dan jasa yang cocok dengan kebutuhan dan tingkat pendapatan mereka tidak tersedia
  3. peningkatan standar hidup golongan termiskin dari yang miskin melalui peningkatan produktipitas mereka memerlukan waktu yang sangat lama, dan dalam porsi tertentu karena satu dan lain hal mereka barangkali tetap tidak dapat bekerja. Paling tidak program subsidi jangka pendek, dan barangkali program subsidi permanent diperlukan agar rakyat mendapat bagian dari hasil pembangunan.
Rakyatlah yang menjadi orientasi utama model ini. Tugas pemerintah dalam model pembangunan nasional ini adalah pelayan.
      Lahir dari prakarsa Gunnar Myrdall dalam karya agungnya, Asian Drama, model kebutuhan dasar kemudian menemukan dorongan barunya dalam ILO World Employment Conference yang diselenggarakan di Jenewa tahun 1976. Konferensi ini menekankan arti penting proses pembangunan guna menemukan kebutuhan dasar dari si miskin yang mencakup persyaratan tertentu dari keluarga untuk konsumsi pribadi, yakni makanan yang layak, pemukiman, pelayanan, perkakas, rumah tangga, perabot dan lain-lain serta pelayanan esensial yang diberikan pemerintah kepada masyarakat luas, seperti air minum, sanitasi, transportasi umum, kesehatan dan fasilitas pendidikan. Konferensi ini sepakat bahwa dalam keadaan bagaimanapun kebutuhan pokok tidak boleh diartikan hanya sebagai kebutuhan minimum untuk subsistensi. Namun, konferensi ini juga menyadari bahwa konsep kebutuhan pokok ini dapat berbeda antara satu negara dengan yang lain dan bersifat dinamis. Ia harus ditempatkan di dalam suatu konteks pembangunan ekonomi dan sosial bangsa secara menyeluruh.

B3. Model Neo Ekonomi
      Sebagaimana model pembangunan kebutuhan dasar atau kesejahteraan, model neo ekonomi, juga adalah tanggapan terhadap kegagalan model pertumbuhan menciptakan pemerataan. Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dimanifestasikan dengan GNP dan derivasinya melalui tricle down effect sangat jauh dari harapan. Peningkatan pertumbuhan ekonomi, tidak hanya tumbuh sekedar 5% sebagaimana yang disarankan PBB, namun lebih dari situ, angka/jumlah kemiskinan, pengangguran atau ketimpangan  tidak pernah berkurang. Malah sebaliknya kwantitasnya bertambah. Pelencengan ini terjadi karena angka pertumbuhan ekonomi yang dimaksud oleh model pertumbuhan itu tidak pernah dirinci lebih seksama. Oleh karena itu model neo ekonomi ini tetap didasarkan kepada model pertumbuhan, namun pertumbuhan yang lebih disempurnakan
Dudley Seers salah satu tokoh model neo ekonomi, dalam rangka menanggapi kegagalan model ekonomi, memberikan pendapat atau definisi bahwa pembangunan ekonomi akan berhasil jika kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran mengalami penurunan atau penghapusan dalam konteks ekonomi yang sedang tumbuh. Mahbub Ul Haq yang sejalan dengan Dudley Seers memperkuat argumen demikian dengan jalan sebagai berikut:
1.      sasaran utamanya haruslah 40-50% penduduk termiskin. Kebutuhan pokok golongan ini haruslah mendapatkan perhatian utama. Orientasi produksi dan distribusi haruslah kebutuhan minimum kelompok sasaran ini, dan bukan permintaan pasar yang cenderung merefleksikan permintaan yang didukung oleh daya beli yang efektif
2.      perluasan kesempatan kerja harus menjadi tujuan utama pembangunan, karena kesempatan kerja ini akan mempengaruhi distribusi pendapatan dan hasil pembangunan
3.      ketergantungan kepada negara-negara asing haruslah dikurangi, dan kemandirian harus mendapat perhatian utama
4.      pemerataan pendapatan harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Pemerataan pendapatan yang efektif akan menghilangkan kemiskinan relative sebagai suatu fenomena sosial yang socially defined

B4.Model Yang Berpusat Pada Manusia
Model pembangunan nasional ini berwawasan lebih jauh daripada sekadar angka pertumbuhan GNP atau pengadaan pelayanan sosial. Peningkatan perkembangan manusia dan kesejahteraan manusia, persamaan dan suistanability manusia menjadi focus sentral proses pembangunan, pelaksana pembangunan yang menentukan tujuan, sumber-sumber pengawasan dan untuk mengarahkan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Persfektif baru pembangunan tersebut memberikan peranan yang khusus kepada pemerintah, yang jelas berbeda dengan peranan pemerintah pada dua model pembangunan nasional yang pertama. Peranan pemerintah dalam hal ini adalah menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan untuk berkembang, yaitu lingkungan sosial yang mendorong perkembangan manusia dan aktualisasi potensi manusia secara lebih besar.
Penciptaan lingkungan sosial memerlukan sistim belajar mengorganisasikan diri, yakni dengan mengorientasikan jaringan informasi informal dan arus komunikasi pada kebutuhan dan variasi local sebagai pelengkap dari sistim komando yang lebih formal. Berfungsinya pengaturan strauktural tersebut sangat tergantung pada inisiatif rakyat untuk berkreasi pada sumber informasi yang tidak pernah kering. Keduanya menentukan input-input sumber utama model tersebut.

B5.Model Dependensia
Model pembangunan ini bertolak belakang dengan keempat model pembangunan sebelumnya. Kalau keempat model sebelumnya berasal dari satu ideologi, model dependensia ini berasal dari ideologi lain. Dua aliran, filsafat atau model yang saling berlawanan dan tak mungkin diketemukan
Salah satu tesis utama paradigma dependencia adalah bahwa keterbelakangan (underdevelopment) bukanlah suatu kondisi asli yang harus diakhiri melalui proses pembangunan, akan tetapi merupakan suatu proses yang berkelanjutan yang merupakan akibat dari penetrasi kapitalis dikawasan tadi. Negara atau kawasan tadi mungkin mempunyai kondisi awal “underdeveloped” akan tetapi bukan “underdeveloped” (Paul Baran dalam Tjokrowinoto, 1995:51).
Model dependensia dengan demikian, melihat development dan underdevelopment bukan merupakan produk proses sosial yang berbeda, akan tetapi merupakan dua sisi dari proses sosial yang sama, yang berawal dari diintegrasikannya negara atau kawasan pra kapitalis ke dalam sistem kapitalisme internasional. Baik melalui kolonialisme maupun melalui perdagangan internasional. Proses development dan under development berawal pada waktu negara-negara Eropa melakukan ekspansi merkantilis dan kapitalisnya ke berbagai dunia lain.
Sistem kapitalisme yang diterapkan dinegara-negara Barat telah menghasilkan “actual surplus” melalui proses eksploitasi yang menghasilkan akumulasi surplus, yang kemudian diekspor ke bagian dunia lain yang kebanyakan masih berupa wilayah jajahan. Di wilayah jajahan tadi diinvestasikan. Akan tetapi wilayah jajahan tadi mengalami perampasan surplus ekonomi karena adanya eksploitasi, yang dilakukan oleh kaum penjajah dengan bekerjasama dengan elit local yang disebut komprador. Proses yang demikian inilah yang menjadikan negara kapitalis makin developed, sedang negara bekas jajahan tadi underdeveloped. Jadi imperialisme dan kapitalisme berfungsi sebagai promotor development dinegara-negara centre (negara-negara kapitalis) dan creator under development dinegara-negara peripheri (negara-negara pra kapitalis atau wilayah jajahan). Proses tadilah yang menyebabkan timbulnya hubungan dependensi negara peripheri terhadap negara centre.
Karena kapitalisme nasional dan internasional melalui penetrasinya ke negara prakapitalis atau wilayah jajahan telah menimbulkan, melestarikan, dan memperdalam underdevelopment, maka satu-satunya jalan bagi negara prakapitalis untuk dapat membangun adalah dengan melepaskan sama sekali keterkaitannya dengan negara-negara kapitalis.
C.Karakter Pembangunan Indonesia.
Setelah Soekarno dijatuhkan rezim Orde Baru dari takhta kekuasaan terjadi perubahan yang sangat radikal di Indonesia. Tatanan-tatanan yang ada sebelumnya dirubah dengan drastis. Semboyannya pada waktu itu adalah “politik no – ekonomi yes”, atau “pembangunan yes – politik no”. Kehidupan politik yang berlangsung dalam era Soekarno dianggap sebagai biang kehancuran ekonomi, sehingga rakyat terus menderita, sengsara dan kelaparan. Oleh karena itu Orde baru dibawah pimpinan jenderal Soeharto berketetapan hati mengakhiri semua itu dengan melakukan pembangunan ekonomi.
Adapun pembanguan ekonomi yang ditempuh pemerintahan Soeharto ini  adalah pembanguan ekonomi dengan titik sentral pertumbuhan. Artinya model pembangunannya adalah model pertumbuhan sebagaimana yang dipersyaratkan PBB pada tahun 1960-an. Pembanguan ini sebagaimana faktanya adalah pembangunan yang terbuka, khususnya kepada bantuan atau modal asing. Tidak seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya yang cenderung tertutup kepada bantuan dan modal luar negeri
 Walaupun tidak pernah dikatakan secara langsung, model pembangunan nasional seperti itu adalah model pembangunan yang didasarkan kepada teorinya WW.Rostow, pakar sejarah ekonomi kapitalis dari Amerika Serikat. Ia telah mempelajari atau meneliti perkembangan perekonomian banyak negara. Ia berpendapat bahwa  perjalanan setiap kehidupan masyarakat berada dalam tahapan-tahapan sebagai berikut
Tahap pertama adalah keadaan masyarakat yang masih tradisional. Tahap kedua persiapan tinggal landas. Tahap ketiga, tinggal landas (take off). Tahap empat, melaju dengan kekuatan sendiri (self sustaining growth). Tahap kelima, dorongan menuju ke kematangan (drive to maturity) (Moeljarto, 1995:18)

Pembangunan yang dijalankan pemerintahan Soeharto dengan trilogi pembangunannya dengan jelas mengutamakan pertumbuahan ekonomi disamping stabilitas nasional dan pemerataan pembangunan. Bagaimana mengejar pertumbuhan yang setinggi-tingginya menjadi tujuan utama. Sebab dengan pertumbuhan yang tinggilah dapat dilakukan pemerataan melalui efek tetesan kebawah (trickle down effect).
Pertumbuhan sebagaimana hakikinya ditentukan oleh tiga faktor, yakni fungsi saving, strategi investasi dan capital out put ratio. Sedangkan fungsi pemerintah dalam pola pertumbuahn seperti ini adalah “memperbesar saving”, seperti perpajakan, memperbesar ekspor non migas, bantuan luar negeri dan sebagainya. Dalam sejarahnya pemerintahan Soeharto untuk memperbesar saving ini lebih mengutamakan bantuan luar negeri.
Pengutamaan bantuan luar negeri ini dapat dilihat dari tahapan-tahapan pembangunan yang tercermin dalam pembangunan lima tahun (pelita). Dalam pelita pertama pinjaman luar negeri mencapai 55,45% dari total anggaran. Pelita ll  36,1%, pelita lll 30,45%, pelita lV 56,88%, pelita V rata-rata sebesar 54%, awal pelita VI 36,55% (lihat bab lll) 
Pemerintahan Soeharto berkeyakinan bahwa apabila tahap-tahap pembangunan yang tercermin dalam pelita-pelita itu dilaksanakan dengan baik, Indonesia akan mencapai apa yang diinginkan, yakni masyarakat yang adil dan makmur merata material spiritual, sebagaimana yang tertulis dalam GBHN:
Mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkanPancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman tenteram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, dan damai.

  Untuk atau atas dasar inilah ditetapkan dalam pembangunan jangka panjang tahap I (lima pelita), Indonesia sudah siap memasuki era “tinggal landas” (take off) yang diperkirakan akan dimulai pada pembanguan jangka panjang tahap ll, yakni permulaan pelita VI, yakni sekitar tahun 1996/1997.
Akan tetapi pengertian atau tujuan “tinggal landas” yang dimaksudkan Indonesia mempunyai interpretasi tersendiri. Tidak persis sama sebagaimana diteorikan oleh Rostow. Interpretasi ini dapat dilihat dalam buku Repelita V. meskipun masih bersifat umum pengertian proses tinggal landas itu mempunyai beberapa ciri, yakni.
Pertama, dijumpai disana pengertian bahwa tinggal landas pada hakekatnya adalah proses transformasi jangka panjang dan berkesinambungan yang menyangkut semua bidang pembangunan. Secara lebih rinci ciri-ciri proses transformasi tersebut digambarkan sebagai berikut
Dari segi tingkat perkembangan dan struktur ekonomi, proses tersebut meliputi antara lain:
·         peningkatan pendapatan nyata perjiwa yang cukup tinggi disertai dengan pembagiannya yang makin merata
·         peranan sektor industri yang makin dominan sebagai penggerak utama laju pembangunan
·         keterkaitan dan keterpaduan antar sektor, terutama antara sektor pertanian dan industri, antara kegiatan serta antar wilayah yang makin mantap, sehingga memperkokoh ketahanan nasional.

Dari segi pemanfaatan sumber daya yang dimiliki bangsa, proses tersebut meliputi antara lain:
·         peningkatan mutu sumber daya manusia yang dicerminkan antara lain oleh adanya peningkatan kesehatan dan kecerdasan rakyat.
·         Partisipasi aktif yang makin luas oleh rakyat di berbagai bidang pembangunan
·         Pemanfaatan sumber alam yang makin rasional, efisien dan berwawasan jangka panjang.

Dari segi kelembagaan dalam arti luas, tahap tinggal landas diwarnai oleh berkembangnya lembaga-lembaga dibidang ekonomi, politik, hukum, sosial budaya dan pertahanan keamanan yang semakin efektif menjalankan fungsinya dan makin peka terhadap tuntutan pembangunan.
Dari segi ideologis, mental dan spiritual masyarakat Indonesia yang tinggal landas diwarnai oleh:
·         Penghayatan dan pengamalan Pancasila yang meresap, mendalam dan mengakar dalam kehidupan sehari-hari
·         Kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang makin mantap dan serasi.

Kedua. Pada bagian lain dari buku repelita V tersirat satu pengertian yang melengkapi pengertian sebelumnya. Disebutkan bahwa dalam tahap tinggal landas, peningkatan efisiensi, produktipitas, kreatifitas dan partisipasi sumber daya manusia akan menjadi sumber dinamika dan motor penggerak utama pembangunan. Sedangkan ketergantungan kepada sumber alam semakin berkurang. Sementara itu proses tersebut juga akan diiringi oleh semakin menonjolnya sumber-sumber dinamika pembangunan yang berasal dari dalam negeri sendiri sehingga pembangunan Indonesia semakin kurang tergantung pada, dan semakin kurang dipengaruhi oleh perkembangan dan gejolak dari luar.
            Apabila ditelaah lebih jauh mengenai proses transformasi yang diuraikan diatas, menurut Moeljarto Tjokrowinoto (1995:22-23) ada dua hal penting yang perlu digarisbawahi. Pertama esensi dari proses tinggal landas adalah terjadinya percepatan pembangunan yang mempunyai sifat khusus, yaitu percepatan pembangunan yang bersumber dari peningkatan produktipitas dan efisiensi secara menyeluruh. Dalam artian lain dalam proses tinggal landas terkandung pengertian adanya transformasi kualitatif diberbagai bidang.
 Yang terjadi atau yang diharapkan, bukan hanya indikator-indikator ekonomi yang menjadi lebih besar atau menjadi lebih banyak, tetapi juga harus menjadi lebih baik dan lebih tinggi tingkatannya secara kualitatif. Yang di harapkan bukan hanya peningkatan produksi tetapi peningkatan produktipitas; bukan hanya efektifitas tetapi efisiensi; bukan hanya peningkatan investasi tetapi investasi yang semakin produktif; bukan hanya langkah-langkah yang berupa replikasi dari apa yang telah ada tetapi inovasi dan terobosan-terobosan baru
            Ciri kedua adalah bahwa proses tersebut harus dapat mempertahankan momentumnya sendiri atau bersifat “self sustaining”. Ini adalah salah satu tafsiran pengertian dari asas “tumbuh dengan kekuatan sendiri”. Konotasi lain dari dari ciri self sustaining ini adalah bahwa proses tersebut harus semakin merupakan interaksi dinamis dari sumber-sumber pembangunan yang berasal dari dalam negeri. Ini antara lain berarti bahwa sumber-sumber pembiayaan dalam negeri harus diusahakan meningkat cepat dan makin dominan, bahan-bahan mentah hasil dalam negeri harus semakin menjadi andalan utama bagi kegiatan-kegiatan produksi, tenaga-tenaga trampil dalam negeri harus semakin berperan dalam kegiatan-kegiatan produksi dan sebagainya.
Akan tetapi bagaimana kenyatannya, apakah cita-cita itu  mendekati kenyataannya? . Faktanya sangat jauh dari harapan. Cita-cita tinggal sebatas cita-cita yang indah dan elok di atas kertas. Meminjam Mubyarto (2003) dan Faisal Basri (2004) Yang terjadi adalah “pasak lebih besar dari tiang” . Pertumbuhan ekonomi tetap tinggi, namun tidak dalam pemerataan. Kehidupan rakyat tidak semakin baik, bahkan sebaliknya semakin sengsara.
 Faktanya terbukti kemudian, apa yang ditulis dengan indah dalam platform pembangunan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) , Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan lain-lainnya hanya berhasil di atas kertas atau cetak biru (blue print). Tidak didalam realitas faktanya.
Malah sebaliknya yang terjadi yakni Indonesia terjerumus dalam krisis moneter pertengahan tahun 1997, yang selanjutnya diikuti dengan krisis multi dimensional, seperti krisis ekonomi, politik, social dan kebudayaan yang belum pulih hingga saat ini. Akan tetapi sebelum sampai kepada pembahasan krisis tersebut dalam sub bab dibawah ini akan diuraikan kritik-kritik terhadap model pembangunan yang diterapkan Orde Baru tersebut.

D. Kritik Terhadap Model Pembangunan Orde Baru
Sejak Orde Baru mencanangkan model pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, sesungguhnya telah banyak pihak tidak menyetujui. Mereka yang mengkritik itu beranggapan bahwa pembangunan yang diadopsi dari Barat itu tidak sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia. Selain tidak mungkin mengejar yang sudah jauh di depan, masyarakat Indonesia sebagaimana masyarakat Timur pada umumnya masih dominan atau mayoritas bersifat kolektivist-spiritualistik, struktur sosial yang hierarkhis-vertikal tidak akan sejalan dengan masyarakat Barat yang cenderung individualistik-materialistik dan egaliter. Dua kutub yang saling bertolak belakang. Bagaimana mungkin mempertemukannya?
Dalam teori mungkin dapat dipertemukan, namun dalam kenyataannya sangatlah sukar. Jangankan meniru Barat yang sudah sangat jauh di depan, meniru Jepang sekalipun masih sukar, sebab lingkungan alam, komposisi penduduk negara, struktur masyarakat, aneka warna kebudayaan, sistem nilai budaya dan agama di Indonesia berbeda dengan negara-negara lain (Koentjaraningrat, 1984:32)
Pendapat yang lain, dan ini kelihatannya yang dominan adalah pandangan yang menganggap bahwa Indonesia sebagaimana negara-negara ex jajahan lainnya adalah negara-negara yang dikategorikan terbelakang (underdeveloped), miskin dan timpang Karena terbelakang perlu ikhtiar untuk meningkatkan kwalitasnya supaya lebih baik, lebih makmur dan lebih demokratis.
 Ikhtiar demikian apakah disadari atau tidak adalah meniru pembangunan negara-negara Barat, yakni negara-negara ex penjajah tersebut. Negara-negara ini entah bagaimana caranya dianggap sebagai negara panutan, negara maju, negara yang sudah industrialized dan lain-lain gelar kemajuan yang pantas diikuti. Aneh bin ajaib negara-negara yang pernah menjadi negara penjajah, yang kemajuannya sudah sangat jauh, sistim sosial, politik, ekonomi dan kebudayaannya berbeda akan dijadikan model. Tidakkah sesuatu yang terbalik?
Namun apapun alasannya pendapat demikian akhirnya mengungguli pendapat-pendapat yang lain, yakni bahwa Indonesia adalah negara terbelakang, miskin dan timpang, yang untuk meningkatkan eksistensinya diperlukan pembangunan. Pembangunan yang pada mulanya dikatakan netral, tanpa dikaitkan dengan ideologi-ideologi tertentu, ternyata kemudian hari terbukti adalah pembangunan yang kapitalistik.  .
Pembangunan seperti itu sebagaimana yang dahulu ditentang oleh pejuang-pejuang kemerdekaan pada akhirnya diterapkan rezim Orde Baru dengan dan tanpa dukungan rakyat. Kebijakan tersebut sudah ditempuh lebih dulu oleh rezim Orde Baru dan setelah itu lalu dijustifikasi oleh DPR hasil rekayasa.
Dalam perjalanannya kemudian terlihat bahwa kebijakan-kebijakan demikian dituangkan dalam apa yang disebut dengan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan operasionalnya dalam “pembangunan lima tahun” (Pelita). Dalam lima tahapan Pelita, atau awal pelita VI Indonesia direncanakan sudah sampai pada tahap  “tinggal landas”, yakni melaju dengan kemampuan sendiri (self sustained Growth). Suatu teori pembangunan ekonomi, Meskipun tidak pernah dikatakan dengan jelas, diadopsi dari paradigma WW Rostow. Sebab Rostow adalah satu-satunya pakar sejarah ekonomi yang pernah mengungkapkan istilah tersebut dalam ilmu ekonomi. Menurut beliau “tinggal landas” akan berhasil apabila memenuhi tiga syarat, yakni:
1.      syarat pertama tingkat investasi harus meningkat 10%. Tingkat investasi diukur sebagai proporsinya dari pendapatan nasional harus meningkat 10% atau lebih. Hal ini dihubungkan, khususnya dengan kenaikan jumlah penduduk. Kalau tingkat investasi itu kurang dari 10% maka dalam kebanyakan hal hasil peningkatan atau pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh investasi tersebut, akan habis dimakan oleh penambahan jumlah penduduk, sehingga dengan begitu dapat dikatakan terjadi stagnasi ekonomi
2.      syarat kedua pertumbuhan yang tinggi pada manufaktur. Adanya pertumbuhan satu atau beberapa cabang  industri dalam sector manufaktur, yang menunjukkan laju pertumbuhan yang tinggi
3.      syarat ketiga tampilnya kerangka politik, sosial, dan institusional yang handal. Hadirnya atau timbulnya secara cepat kerangka politik, sosial, dan kelembagaan yang dapat menampung dan mengembangkan denyutan-denyutan dinamika dari sector modern maupun sector internasional sebagai akibat dari “take off”, sehingga terdorongnya satu pertumbuhan menjadi gerakan yang tak henti-hentinya  (Sumawinata, S,27 Agustus 1988, hal 2)

Dalam praktekknya Indonesia menurut Sarbini Sumawinata (1988) dan lain-lain pengamat hanya melaksanakan syarat nomor satu, yakni tingkat investasi dan pertumbuhan yang tinggi. Tidak nomor dua, yakni pertumbuhan yang tinggi pada manufaktur, apalagi nomor tiga (pembangunan sosial, politik dan kebudayaan), pada hal kedua nomor inilah yang paling penting dalam era “tinggal landas” daripada sekedar (hanya) melaksanakan syarat nomor satu (pertama). Indonesia hanya sibuk mengejar pertumbuhan. Dari pertumbuhan ke pertumbuhan.
Pertumbuhan ekonomi seakan-akan (atau memang demikian) menjadi segala-galanya. Pertumbuhan yang seharusnya untuk memakmurkan dan mensejahterakan masyarakat, berubah menjadi masyarakat untuk pertumbuhan.Pertumbuhan manufaktur yang mandiri atau pertumbuhan kerangka sosial, politik dan institusional yang handal, demokratis dan pluralis, yang  seharusnya menyertainya tinggal sebatas slogan dan tinta indah diatas kertas GBHN/Pelita.
Sebelum Sarbini Sumawinata memberi kritik, demikian, beberapa tahun sebelumnya (1983) H.W.Arndt seorang ekonom yang beraliran “neoklasik” telah memberikan pandangan yang juga sangat ekstrim. Arndt yang mengutif beberapa pakar sampai pada kesimpulan bahwa Indonesia adalah salah satu kasus bangsa yang melaksanakan “pertumbuhan yang menyengsarakan”. Pertumbuhan berjalan, namun tidak dalam pemerataan. Masyarakat sebagaimana era-era sebelumnya tetap sengsara, tetap susah dan hampir tidak bisa berbuat apa-apa. Yang menikmati hasil pembangunan hanya segelintir orang. Mayoritas tetap dalam keadaan melarat.
Mengapa dan kenapa pertumbuhan yang menyengsarakan ini terjadi Arndt melihat ada lima faktor (determinant) penyebab. Faktor-faktor ini adalah:
1.      ekses dan konsekwensi dari penjajahan
2.      elit nasional baru yang tampil tidak professional
3.      ideologi yang anti kapitalis
4.      warisan (nilai) budaya yang tidak efisien
5.      kemunduran ekonomi pasca kemerdekaan

Penjajah Belanda yang melaksanakan pemerintahan kolonial di Indonesia sejak lama telah mewariskan keterbelakangan yang kronis. Penjajah hanya mengeksploitasi ekonomi, tapi tidak memberikan apa-apa bagi yang dijajahnya. Pemerasan sumber daya Indonesia dilaksanakan dengan sistim ekonomi yang dualistis, yakni melalui sektor tradisional plus sektor modern. Sektor tradisional dibiarkan berkembang apa adanya, tapi sektor modern dibatasi. Sektor-sektor ekonomi, seperti perkebunan, transportasi, irigasi, perbankan, administrasi, manufaktur kecil berkembang dengan pesat, tapi sebaliknya pada latihan-latihan kejuruan dan professionalisme.
Ketika Indonesia merdeka sosok-sosok atau elit-elit yang tampil adalah elit atau sosok yang kurang piawai melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan, birokrasi, perekonomian dan lain-lain dimensi kehidupan modern. Ketika penjajah sudah pergi dan tampil putra-putri pribumi, mereka kurang handal melaksanakan fungsi-fungsi negara modern. Kekurang professionalan sangat kasat mata ketika memimpin usaha-usaha ekonomi yang ditinggalkan Belanda tidak bisa dikembangkan dengan baik, bahkan sebaliknya yang terjadi, stagnasi dan mulai merebak inefisiensi-inefisiensi ekonomi seperti korupsi dan lain-lain biaya-biaya tinggi ekonomi.
Kaum inteletual dan politisi pergerakan kemerdekaan Indonesia sebagaimana faktanya tumbuh dan diilhami ideologi anti kapitalis. Kaum ini melihat bahwa penjajahan muncul adalah akibat penerapan ideologi kapitalis. Sebagai perlawanan atau antitese dari anti kapitalisme, tokoh-tokoh pergerakan ini melihat ideologi alternative, yakni “sosialisme”. Mereka ingin menerapkan sosialisme di Indonesia. Suatu ideologi yang dilandasi teorinya Karl Marx. Ideologi yang muncul karena keserakan-keserakahan dan lain-lain ekses negative kapitalisme. Oleh karena itu para pemimpin-pemimpin pergerakan menghujat habis kapitalisme dan imperialisme, tidak mengakui mekanisme pasar sebagaimana yang diterapkan para kapitalis. Begitu pula untuk aktor ekonomi tidak diberikan kepada swasta, melainkan negara, yakni dengan mendirikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Singkatnya pola ini dianggap sebagai konsep kebersamaan yang sesuai dengan seluruh masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. 
Faktor selanjutnya adalah faktor budaya yang tidak mendukung. Budaya termaksud adalah tradisi masyarakat Indonesia, khususnya etnis Jawa kepada penekanan “musyawarah untuk mufakat” dalam pengambilan keputusan  Tradisi ini dianggap tidak sesuai dengan pembangunan ekonomi yang kapitalistik, sebab terlalu menjaga harmoni dan menjauhkan konfrontasi. Begitu pula sifat-sifat orang Indonesia yang lain seperti kurang menghargai kerja-kerja yang didasarkan kepada fisik. Kerja-kerja fisik seperti misalnya menjadi pedagang dianggap kurang bermartabat. Dampak kemudian adalah kurang jiwa entrepreunership
Faktor terakhir adalah kehancuran ekonomi pasca kemerdekaan. Indonesia sejak memproklamirkan dirinya tidak sempat membangun perekonomian, karena satu dan lain hal. masyarakat hidupnya tidak lebih baik dari era-era sebelumnya. Mereka tetap susah, karena pemerintahan pasca kolonial tidak bisa berbuat banyak dalam perkembangan perekonomian. Kemerosotan ini dapat dilihat menjelang jatuhnya Soekarno, inflasi mencapai 650%.
 Argumen Arndt demikian menunjukkan bahwa prasyarat-prasyarat pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan, atau dalam bahasa yang umum pembangunan yang kapitalistik belum dimiliki bangsa Indonesia. Prasyarat-prasyarat ekonomi, seperti kemampuan wiraswasta, prasyarat politik, yakni demokrasi liberal, prasyarat sosio kultural, yakni masyarakat yang individualistik, egaliter dan horizontal sama sekali masih sangat jauh.
Karena prasyarat-prasyarat pendukung tidak memadai, dapat dibayangkan seperti apa jadinya apabila pembangunan yang berfocus pada pertumbuhan ekonomi diterapkan sudah pasti akan terjadi pembiasan. Bagaimana pembiasan ini berlangsung sudah banyak ditulis para pakar. Yoshihara Kunio (1984) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi yang terjadi di Indonesia dan lain-lainnya negara Asia Tenggara adalah pembangunan ekonomi, tepatnya kapitalisme semu (ersatz), yakni kapitalisme yang tidak sesungguhnya. Hal ini terjadi sebagai akibat dari pola-pola yang dilaksanakan tidak sesuai dengan hukum-hukum kapitalis sebagaimana disinggung Arndt. Perekonomian yang dipentaskan terlalu didominasi oleh negara yang seharusnya oleh swasta dan disisi lain adalah bahwa perekonomian yang dijalankan tersebut tidak didasarkan kepada teknologi.

E. Teknologi Tepat Guna
Pertanyaan kemudian yang mengemuka adalah teknologi yang seperti apa?, apakah teknologi yang sudah dijalankan oleh negara-negara yang telah menguasai teknologi? Atau…tidakkah teknologi itu pada akhirnya menjadi alat penjajahan dan yang mengalienasikan manusia, dari habitatnya?. ini yang belum tuntas dijawab oleh bangsa ini.
Dampak negatif teknologi baru ketahuan setelah akibat buruknya terjadi. Hingga masa singkat yang lampau, segala pengembangan teknologi baru disambut dengan penuh sukacita, karena disangka akan membawa kemajuan dan perbaikan hidup manusia
Berbagai penemuan seperti mesin uap, yang mendorong revolusi industri di Eropa dahulu, telah merupakan pendorong besar untuk mengembangkan berbagai perubahan tidak saja dalam cara orang bekerja, melainkan juga gaya hidup, dan nilai-nilai manusia dan masyarakat. Mesin uap dipasang pada lokomotif, kapal, dan mesin-mesin pabrik dan mempunyai dampak yang luas terhadap sistem  pengangkutan darat dan laut, dan teknologi produksi industri. Ia juga membuka kemungkinan produksi secara lebih besar-besaran, daripada yang dapat dilakukan sebelumnya dengan tenaga manusia
Ceritra-ceritra sukses demikian masih dapat kita uraikan sekian panjang lagi. Namun apabila kita renungkan lebih jauh, apakah kemajuan-kemajuan teknologis tersebut menyentuh kehidupan seluruh bangsa dan seluruh ummat manusia? bukankah itu menguntungkan hanya segelintir bangsa, kelompok atau  orang-orang tertentu. Sebagai kasus yang menarik dan sekaligus menyeluruh terhadap dampak teknologi pengalaman Mohtar Lubis dibawah ini relevan kita kaji kembali:
Dimasa kecil, saya tinggal dengan orang tua saya di sebuah daerah terpencil di Kerinci, di Sumatera Barat. Kerinci merupakan sebuah lembah tinggi di tengah Bukit Barisan, dengan sebuah danau besar di sebuah ujungnya. Sebuah lembah yang subur dan selalu hijau. Ketika ayah saya pertama kali dikirim pemerintah colonial Belanda bertugas ke daerah itu, ibu berceritra bahwa mereka dari Jambi harus berjalan kaki dengan dikawal satu regu polisi dari Jambi, dan perjalanan mencapai Kerinci memakan waktu beberapa pecan. Ketika itu ibu berceritra orang Kerinci telah mahir membangun rumah mereka yang besar dan panjang dari kayu beratapkan bambu tersusun tanpa memakai sebuah paku pun jua. Mereka hidup mesra dengan alam sekeliling mereka, membuat sendiri segala peralatan keperluan hidup mereka dengan tangan mereka yang trampil. Kemudian pemerintah colonial membangun jalan raya dari Padang ke Kerinci. Sebuah ordeneming the Belanda yang besar di buka. Mobil-mobil pertama masuk ke daerah ini. Dan dengan datangnya mobil datang pula benda-benda keperluan hidup buatan pabrik. Paku besi dan atap seng datang pula. Dan perlahan-lahan penduduk Kerici “dihisap kedalam jaringan perdagangan dan konsumsi modern”. Saya meninggalkan Kerinci sebelum Perang Dunia ll untuk melanjutkan sekolah saya ke daerah lain, dan baru tahun 60-an saya berkesempatan kembali berkunjung kesana. Saya melihat di pasar segala benda buatan pabrik, mulai dari barang besi, seng dan plastik telah menggantikan barang-barang dan alat-alat yang dahulu dengan mahirnya mereka buat sendiri. Kini rumah mereka dibangun dengan menggunakan paku, besi dan atap seng. Para pengrajin tinggal telah tua, dan ketrampilan serta kemahiran tradisional mereka mulai menghilang (Lubis M, 1985:2)

Perubahan terjadi dengan sangat drastis. Rumah yang tadinya hanya dibuat atau dikerjakan an sich dari hasil alam setempat digantikan oleh hasil-hasil pabrik, seperti seng dan paku. Yang sebelumnya tidak pakai seng menjadi pakai seng, analog yang sebelumnya tidak pakai paku menjadi pakai paku.
Dengan dibukanya jalan dan disediakannya kenderaan (mobil), mobilisasi makin cepat. Bisa dibayangkan yang sebelumnya ditempuh sekian lama, dengan adanya jalan raya dan mobil menjadi begitu cepat. Begitu pula dengan dibangunnya pabrik (onderneming), menciptakan hal-hal yang sebelumnya tidak ada secara alamiah menjadi  menjadi ada setelah tampilnya rekayasa. Dari “tiada menjadi ada”.
Perubahan lain, dan ini yang menjadi sangat penting adalah tertariknya (terhisapnya) masyarakat kedalam sistim atau tatanan baru kapitalisme. Kehidupan perdagangan yang sebelumnya sangat sederhana, alamiah dan tradisional menjadi konsumtif/konsumerisme. Masyarakat menjadi penikmat komoditi-komoditi hasil manufaktur. Mengutif Stiglitz (2007) telah tercipta tradisi, tatanan dan suasana baru, yakni “membeli-membeli, membeli”. Mereka telah konsumtif tanpa melalui “tahap produktif”
Derivasi kemudian adalah hilangnya keahlian tradisional. Tukang-tukang yang sebelumnya mahir mengerjakan rumah tanpa seng dan tanpa paku terpinggirkan secara sistematis setelah muncul barang-barang baru hasil rekayasa. Mereka menjadi penonton dengan tukang-tukang baru yang mengolah bahan-bahan bangunan hasil manufaktur. Demikian pula keahlian-keahlian lain yang ada sebelum masuk barang-barang teknologis.. istilah sekarang adalah hilangnya kearifan local. Apakah kehidupan setelah itu lebih bermutu? Apakah masyarakat lebih baik dengan suasana baru ini?, Mohtar Lubis menjawab:
Saya tidak merasa mereka lebih berbahagai kini dengan segala barang hasil teknologi yang baru ini, daripada dahulu ketika mereka lebih menyatu dengan alam sekeliling mereka dan berhasil mengembangkan teknologi tepat guna bagi mereka (Lubis M, 1985:2)

Pendapat demikian pula yang menjadi pendapat penulis. Teknologi yang diimport tidak selalu membawa kemajuan. Teknologi tidak netral sebagaimana yang banyak dikemukakan para kalangan. Menerima dan mengolah teknologi berarti mutlak” menerima dan mengolah sikap-sikap serta struktur-struktur “Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial dan Kebudayaan” (IPOLEKSOSBUD) yang inheren melekat dalam proses teknologi tersebut (Mangunwijaya, YB, 1985:vii-viii)

F.Jati Diri Bangsa
Pandangan-pandangan pakar tentang bagaimana pembiasan demikian terjadi yakni pada “pertumbuhan ekonomi yang dimotori oleh teknologi asing tidak akan sesuai dengan Indonesia sudah banyak diwacanakan. Indonesia seharusnya menentukan model pembangunannya sendiri yang sesuai dengan jati diri atau kebudayaannya. Pola, bentuk atau substansi untuk itu sudah tersedia. Secara konstitusional sudah diatur dalam UUD 1945. Secara operasional pada tahun 1960-an sudah dijabarkan dalam apa yang dikenal dengan “Consensus Jakarta
Model pembangunan Konsensus Jakarta ini mensyaratkan perlunya membangun kemampuan perekonomian bangsa dengan keberpihakan mutlak kepada kepentingan rakyat Indonesia seperti dimanatkan oleh pasal 33 UUD 1945, tanpa tergantung kepada pihak asing melalui kebijakan ekonomi berdikari. Peran Negara, yang berarti pemerintah, mesti diperkuat sehingga pemerintah bersama segenap pelaku perekonomian nasional berupa (1) BUMN/BUMD, (2) Koperasi dan (3) Swasta Nasional Domestik dapat melaksanakan pembangunan ekonomi nasional. Modal asing, sekiranya diperlukan, dapat diberikan tempat namun dengan rambu-rambu yang tegas sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945 yang asli (Wiryawan, NJ, Prof Dr, Mei 2009).
Suatu model pembangunan yang berkebalikan dengan apa yang popular dewasa ini, yaitu Neolib (neoliberal) yang dihasilkan Consensus Washington” yang memberikan kedaulatan penuh kepada pasar dan menghilangkan peran pemerintah sejauh mungkin. Prinsipnya adalah:
·         deregulasi
·         privatisasi
·         liberalisasi (Stiglitz, 2003)

Meskipun tidak persis sama, banyak kalangan menengarai bahwa pola demikian yang dijalankan pemerintahan saat ini. Mereka mementaskan sistim ekonomi yang sungguh-sungguh propasar dan pembangunan ekonomi yang tetap berfocus pada pertumbuhan. Tidak seperti yang diinginkan pasal 33 UUD 1945. Acuannya adalah dikte-dikte yang dipaksakan oleh IMF, WB, WTO dan lain-lain kepentingan kapitalis internasional.
Dalam bidang politik , sejak proklamasi kita telah berketetapan hati melaksanakan kedaulatan rakyat yang sesuai dengan socio-cultural Indonesia, yakni yang didasarkan kepada paham “kebersamaan atau kolektiviteit”. Tidak sebagaimana yang diteorikan JJ. Rousseau yang berpaham “individualistic” yang menjadi acuan dalam demokrasi Barat, khususnya Amerika Serikat.
Penekanan demikian penting, sebab disadari atau tidak, demokrasi yang kita pentaskan saat ini adalah demokrasi liberal yang berpaham individualistic yang diajarkan oleh Rousseau. Ilmuwan-ilmuwan kita yang pulang dari Barat, khususnya dari Amerika Serikat tanpa filter menerapkan begitu saja apa yang mereka pelajari disana. Demokrasi kita sudah sangat liberal, bahkan lebih liberal daripada di AS. Musyawarah-mufakat yang menjadi cirri khas kita telah digantikan oleh pemilihan langsung, sistim voting dan lai-lain pola yang sangat liberal. Sungguh-sungguh sudah sangat kebablasan. Agar tidak kebablasan terus, ada baiknya kita simak wejangan seorang nasionalist, yang meskipun pernah studi di AS beliau tidak setuju demokrasi liberal. Tokoh ini adalah Sri Edi Swasono . wejangannya berbunyi:
Republik Indonesia menjunjung tinggi demokrasi, menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Namun paham demokrasi Indonesia tidak berdasar pada individualisme konsepsi Rousseau, tetapi berdasar suatu semangat persatuan sebagai bangsa, yang awalnya adalah reaksi bersama terhadap imperialisme dan kapitalisme Barat. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi social, berdasar kebersamaan (kolektiviteit), bukan demokrasi liberal berdasar individualisme (Swasono, SE, 2009)

Implementasi dari pola demikian dengan terang dan sangat jelas telah dituangkan dalam sila ke empat Pancasila, yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kata “Musyawarah” menjadi kata kunci yang membedakannya secara kontras dengan “voting”yang menjadi pola utama demokrasi liberal.
Akhirnya sampailah kita kepada dimensi yang paling luas dan paling substantive, yakni dimensi kebudayaan. Bidang yang seharusnya menjadi primat utama, namun telah dikerdilkan dengan sangat sistimatis. Ia yang dulu melekat dalam bidang Pendidikan dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sekarang hanya bagian dari bidang Pariwisata (Departemen Pariwisata dan Kebudayaan). Begitu pula dalam pergaulan sehari-hari, ada rekayasa bahwa kebudayaan itu hanya sebatas kesenian Pengkerdilan ini harus diakhiri, yakni dengan mengembalikan kebudayaan kepada substansinya semula. Melalui seminar ini kita suarakan agar Kebudayaan dikembalikan kepada Kementerian Pendidikan Nasional. Tidak dibawah Kementerian Pariwisata sebab Kebudayaan dalam arti luas mencakup Ilmu/Teknologi, Seni, Filsafat, Sistim Nilai, Ketrampilan, Pertukangan, Perdagangan, Arsitektur dan sebagainya.
Walaupun belum pernah dirumuskan dengan jelas dan kongkrit apa yang dimaksud dengan “Kebudayaan Indonesia” sebagaimana disinyalir Kuntjaraningrat tentang bentuk masyarakat seperti apa yang ingin dicapai dalam pembangunan tetaplah dikembalikan kepada Pancasila. Sebab Pancasila sudah merupakan konsensus nasional, ideology, dasar Negara, way of life dan  tujuan  nasional . Dengan kata lain itulah kebudayaan Indonesia.
Agar lebih kongkrit, tegas dan jelas, sebagaimana kata penggalinya (Bung Karno) Pancasila itu adalah “Gotong Royong”. Gotong Royong adalah kebudayaan Indonesia”. Melaksanakan gotong royong berarti melaksanakan Pancasila Nilai inilah (gotong royong) dipadu dengan nilai “Bhinneka Tunggal Ika” plus derivasinya, yakni “kekayaan atau kearifan lokal” akan membawa Indonesia kepada kemajuan sebagaimana yang dicita-citakan dalam UUD 1945.

Negarawan yang Pancasilais
Untuk mewujudkan hal demikian sudah tentu dibutuhkan pemimpin. Pemimpin yang sungguh sungguh menjadi pemimpin. Tidak sekedar menjadi pejabat atau politisi yang mati rasa, apalagi petualang ekonomi yang berlagak dermawan sebagaimana banyak dirasakan selama ini. Sosok untuk itu adalah pemimpin yang berkarakter Negarawan  nan Pancasilais. Sekian dan terima kasih
                                                                                              
                                                                                              Jakarta, Agustus 2009


                                                                                                    Reinhard Hutapea






















REFERENSI

Abimanyu, A, ed, 2009, Era Baru Kebijakan Fiscal, Kompas, Jakarta
Ali Asad Said, 2009, Negara Pancasila, LP3ES, Jakarta
Bagun Rikard, 2009, Tuntutan Perubahan Perilaku, dlm Kompas, Jakarta
Boediono, 2009, Ekonomi Indonesia Mau Kemana?, KPG dan Freedom Institute Jakarta
Dicson, Anna, 1997, Development and International Relations, Cambridge Polity Press
Haq, Mahbub Ul, 1976, The Poverty Curtain, Columbia University Press
Koentjaraningrat, 1974, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta
Mangunwijaya, J, 1985, Teknologi Dan Dampak Kebudayannya, Obor, Jakarta
Nafis MD, 2009, Indonesia Terjajah, INSIDE Press, Jakarta
Perkins, J, 2007, Pengakuan Bandit Ekonomi, Ufuk Press, Jakarta
Rendra WS, Merekalah harapan Bangsa Ini, dlm Media Indonesia, 1 Mei 2009, Jakarta
Rodrick Dani, 2001, Development Strategies For the 21 st Century dalam Annual World           Bank Conference on Development Economics
Sen Amartya, 1999, Development as Feedom, Oxford University Press
Subianto, Prabowo, 2009, Membangun Kembali Indonesia Raya, IGN Jakarta
Soemawinata, Sarbini, 1999, Tinggal Landas, makalah ISEI, Jakarta
Stiglitz, J, 2003, Globalization and its Discontents, Penguin Books, London
Stiglitz, 2007,  Making Globalization Work, Mizan, Jakarta
Todaro M, 1995, Pembangunan Ekonomi di Dunia lll, Erlangga, Jakarta
Tjokrowinoto, 1995, Teori-Teori Pembangunan, Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta
Wiryawan, Nizam Jim, Prof Ph D, 2009, Washington Consensus dan Model Pembangunan Alternatif, dalam Media Indonesia, 28 Mei 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar