KONFLIK DAN
PROSPEK PDI MENGHADAPI PEMILU 1992 (1)
Oleh :
Reinhard Hutapea
Mantan
aktipis GMNI Jakarta Raya/Kelompok Studi dan komunikasi Humanitas Medan
Published Harian Mimbar Umum, 21 November 1990
Keunikan partai politik di Indonesia
pernah dikemukakan Daniel S. Lev, seorang pakar ilmu politik dari Amerika
Serikat yang mengadakan penelitian di negeri
ini tahun 50-an. Menurut beliau keunikan terssebut adalah terdapatnya
partai kecil, namun berpengaruh besar. Sebaliknya ada partai besar, pengaruhnya
kecil. Kinipun bila Daniel S. Lev kembali ke Indonesia akan menemukan keunikan
dalam bentuk baru, yakni adanya partai kecil, akan tetapi sepanjang waktu terus
menerus dilanda kemelut. Partai ini adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
yang tak pernah tentram, melainkan terus menerus dirundung pertikaian intern di
kalangan elit kepemimpinannya.
Kepemimpinan Suryadi yang sempat
mendapat pujian karena berhasil menempuh beberapa inovasi, khususnya setelah
sukses menakhodai Pemilu 1987, kembali diguncang malapetaka perpecahan sesama
rekannya DPP yang berakhir dengan pemecatan Dudy Singadilaga, Marsusi dan
lain-lain (SK 121 DPP/KPTS/III/1988 tertanggal 26 Maret 1988). Merasa tidak
dapat menerima keputusan Suryadi, kelompok Dudy dan kawan-kawannya yang terjungkal
mengadakan perlawanan, seperti kudeta 8 jam pada tanggal 14 Desember 1989.
Kemelut ini semakin mekar karena
beberapa aktipis partai ini dari Medan mengadakan gerakan mogok makan di
kantor DPP bulan Agustus 1990 dengan tema “menegakkan demokrasi”
Sementara itu menurut para tokoh
pendiri/deklarator PDI perpecahan, disintegrasi, keretakan, atau konflik yang
melanda partai tersebut sekarang ini harus diselesaikan melalui kongres yang
menurut rencana diadakan pada Januari 1991 (baca Media Indonesia, 24 Oktober
1990). Mengapa PDI terus berkonflik dan bagaimana prospeknya menghadapi pemilu
1992 menjadi tujuan penulisan ini
Faktor penyebab
Bagaimana partai ini tidak
henti-hentinya dilanda kemelut telah banyak dinalaisis para pakar, atau para
demagog politik. Sekian argumen, dalih, atau teori mencuat kepermukaan,
sehingga ada instansi yang sengaja mengklippingnya menjadi suatu buku dan
terdiri dari beberapa jilid. Di sisi lain karena gemar berkelahi mendapat
predikat sebagai petinju yang mana apabila tidak berkelahi badannya gatal.
Kalau di evaluasi secara seksama,
dalam garis besarnya ada tiga faktor penyebab mengapa partai yang sering
disebut sebagai partai gurem ini terus menerus dilanda konflik, yakni
terdapatnya suasana yang tidak mengijinkan partai politik berkembang, fusi yang
tidak tuntas-tuntas dan tiadanya ideologi sentral
Terdapatnya suasana yaitu struktur
sosial politik yang tidakmengijinkan partai berkembang merupakan dalih yang
paling klasik, general, sekaligus aktual. Konteks ini sebagaimana sering
dikeluhkan adalah akibat ditempuhnya pendekatan kemanan (security approach)
oleh the rulling clash nan cenderung apolitis/depolitisasi sebagai konsekuensi
logis terhadap kebijaksanaan yang mengutamakan ekonomi sebagai primadona
pembangunan
Dengan teori ilmiahnya Liddle
menggambarkan model administratif pembangunan demikian sebagai formula segi
tiga dari para ekonom sebagai penyusun kebijaksanaan, ABRI sebagai
stabilisator, dan birokrasi sebagai pelaksana (Dr Albert Wijaya, Budaya Politik
dan Pembangunan Ekonomi, LP3ES, 1983)
Paradigma Liddle tersebut sudah
barang tentu menafikan peran dari partai politik karena campur tangannya
dianggap mengganggu. Namun kalu ditilik dari historisitasnya sah saja, sebab
penguasa mapan tidak mau terulang kegagalan partai politik pada era sebelumnya,
yakni era yang penuh dengan gontok-gontokan, jegal-menjegal, jatuh-menjatuhkan
kabinet, mosi-mosi tidak percaya dan lain-lain argumen yang tidak sempat
membuat partai menjalankan programnya
Tentang fusi, Manuel Kaisiepo
berpendapat bahwa bahwa dengan fusi tersebut akan mengaburkan basis legitimasi
identitas masing-masing unsur yang berfusi dalam PDI. Faktor-faktor pengikat
partai dengan massa pendukungnya selama ini menjadi terputus. Dan dalam keadaan
seperti itu maka kepemimpinan partai sukar diharapkan berorientasi ke bawah,
sebaliknya lebih bergantung ke atas. Komposisi kepemimpinan partai tingkat
pusat, DPP lalu ikut ditentukan oleh pemerintah. Dengan demikian pimpinan
partai selalu berorientasi ke atas – sebagai cermin struktur yang akomodatif
dan kooptatif, yang akhirnya mudah terjerumus ke krisis kepemimpinan (Prisma,
Desember, 1981)
Krisis kepemimpinan kenyataan (das
sein) tidak lagi barang baru bagi PDI. Konflik antara Isnaeni-Sunawar versus
Sanusi Hardjadinata-Usep Ranawijaya, Sunawar kontra Hardjanto dan sekarang
antara Suryadi – Nico Daryanto lawan Dudy Singadilaga-Marsusi adalah
contoh-contoh faktual disentigrasi, keretakan, konflik, atau perpecahan
seakan-akan (atau memang demikian?) menjadi citra PDI dalam pentas politik
nasional. bila sampai ke langit ketujuh pun PDI akan terus berkemelut, hal ini
kiranya merupakan fenomena baru bagi perjalanan partai politik yang pantas
diteliti sebagai sinyaliran Daniel S Lev tentang keunikan partai yang pernah
ditemuinya di negeri ini.
Di sisi lain ketiadaan wibawa PDI
dapat di lihat ketika Isnaeni yang secara aklamasi terpilih sebagai wakil ketua
DPRMPR mewakili PDI karena mendapat dukungan dari Golkar pada periode 1977 –
1982. Setting demikian merupakan contoh kongkrit, terutama jika di lihat bahwa
Isnaeni tak mendapat dukungan dari fraksinya sendiri. Kenyataan ini menunjukkan
betapa mudahnya muncul friksi dalam tubuh partai manakala muncul
kelompok-kelompok pragmatis yang memang dikehendaki oleh keadaan. Pimpinan
partai tidak lagi terlahir karena prestasi, reputasi dan ketulusannya dalam
memperjuangkan aspirasi/amanah massa yang diwakilinya. Bukan pula karena
mendapat legitimasi pemilihan melalui mekanisme pemilihan, seperti tertera
dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, melainkan banyak ditentukan
oleh dekat-tidaknya dengan pihak pengambil keputusan dalam pengangkatan
pimpinan partai pada semua tingkatan harus terlebih dahulu mendapat restu
atasan. Dari sini lahir pemimpin-pemimpinakomodatif (lihat Manuel Kaisiepo)
yang harus licik dalam membawa peta politik.
Demikianlah yang tampak dalam
rekritmen pimpinan tertinggi PDI dan rekannya PPP akhir-akhir ini. dengan
situasi seperti itu dalam tubuh partai politik tidak lagi munculpersaingan
untuk berprestasi. Bahkan sebaliknya orang berlomba mencari dukungan di luar tubuh partai. Di sisi lain kenyataan
seperti itu sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan partai dalam masa-masa
berikutnya, setelah pimpinan partai tersebut menjalankan misinya, yakni
tiadanya gairah kerja karena tidak merasa diorbitkan oleh massa (Rusli Karim,
Perjalanan Partai Politik Indonesia, Rajawali, 1983)...cat: bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar