Senin, 09 Januari 2017

KONFLIK DAN PROSPEK PDI MENGHADAPI PEMILU 1992 (1)




KONFLIK DAN PROSPEK PDI MENGHADAPI PEMILU 1992 (1)
Oleh : Reinhard Hutapea
Mantan aktipis GMNI Jakarta Raya/Kelompok Studi dan komunikasi Humanitas Medan
Published Harian Mimbar Umum, 21 November 1990

Keunikan partai politik di Indonesia pernah dikemukakan Daniel S. Lev, seorang pakar ilmu politik dari Amerika Serikat yang mengadakan penelitian di negeri  ini tahun 50-an. Menurut beliau keunikan terssebut adalah terdapatnya partai kecil, namun berpengaruh besar. Sebaliknya ada partai besar, pengaruhnya kecil. Kinipun bila Daniel S. Lev kembali ke Indonesia akan menemukan keunikan dalam bentuk baru, yakni adanya partai kecil, akan tetapi sepanjang waktu terus menerus dilanda kemelut. Partai ini adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang tak pernah tentram, melainkan terus menerus dirundung pertikaian intern di kalangan elit kepemimpinannya.
Kepemimpinan Suryadi yang sempat mendapat pujian karena berhasil menempuh beberapa inovasi, khususnya setelah sukses menakhodai Pemilu 1987, kembali diguncang malapetaka perpecahan sesama rekannya DPP yang berakhir dengan pemecatan Dudy Singadilaga, Marsusi dan lain-lain (SK 121 DPP/KPTS/III/1988 tertanggal 26 Maret 1988). Merasa tidak dapat menerima keputusan Suryadi, kelompok Dudy dan kawan-kawannya yang terjungkal mengadakan perlawanan, seperti kudeta 8 jam pada tanggal 14 Desember 1989. Kemelut ini semakin mekar karena  beberapa aktipis partai ini dari Medan mengadakan gerakan mogok makan di kantor DPP bulan Agustus 1990 dengan tema “menegakkan demokrasi”
Sementara itu menurut para tokoh pendiri/deklarator PDI perpecahan, disintegrasi, keretakan, atau konflik yang melanda partai tersebut sekarang ini harus diselesaikan melalui kongres yang menurut rencana diadakan pada Januari 1991 (baca Media Indonesia, 24 Oktober 1990). Mengapa PDI terus berkonflik dan bagaimana prospeknya menghadapi pemilu 1992 menjadi tujuan penulisan ini

Faktor penyebab
Bagaimana partai ini tidak henti-hentinya dilanda kemelut telah banyak dinalaisis para pakar, atau para demagog politik. Sekian argumen, dalih, atau teori mencuat kepermukaan, sehingga ada instansi yang sengaja mengklippingnya menjadi suatu buku dan terdiri dari beberapa jilid. Di sisi lain karena gemar berkelahi mendapat predikat sebagai petinju yang mana apabila tidak berkelahi badannya gatal.
Kalau di evaluasi secara seksama, dalam garis besarnya ada tiga faktor penyebab mengapa partai yang sering disebut sebagai partai gurem ini terus menerus dilanda konflik, yakni terdapatnya suasana yang tidak mengijinkan partai politik berkembang, fusi yang tidak tuntas-tuntas dan tiadanya ideologi sentral
Terdapatnya suasana yaitu struktur sosial politik yang tidakmengijinkan partai berkembang merupakan dalih yang paling klasik, general, sekaligus aktual. Konteks ini sebagaimana sering dikeluhkan adalah akibat ditempuhnya pendekatan kemanan (security approach) oleh the rulling clash nan cenderung apolitis/depolitisasi sebagai konsekuensi logis terhadap kebijaksanaan yang mengutamakan ekonomi sebagai primadona pembangunan
Dengan teori ilmiahnya Liddle menggambarkan model administratif pembangunan demikian sebagai formula segi tiga dari para ekonom sebagai penyusun kebijaksanaan, ABRI sebagai stabilisator, dan birokrasi sebagai pelaksana (Dr Albert Wijaya, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi, LP3ES, 1983)
Paradigma Liddle tersebut sudah barang tentu menafikan peran dari partai politik karena campur tangannya dianggap mengganggu. Namun kalu ditilik dari historisitasnya sah saja, sebab penguasa mapan tidak mau terulang kegagalan partai politik pada era sebelumnya, yakni era yang penuh dengan gontok-gontokan, jegal-menjegal, jatuh-menjatuhkan kabinet, mosi-mosi tidak percaya dan lain-lain argumen yang tidak sempat membuat partai menjalankan programnya
Tentang fusi, Manuel Kaisiepo berpendapat bahwa bahwa dengan fusi tersebut akan mengaburkan basis legitimasi identitas masing-masing unsur yang berfusi dalam PDI. Faktor-faktor pengikat partai dengan massa pendukungnya selama ini menjadi terputus. Dan dalam keadaan seperti itu maka kepemimpinan partai sukar diharapkan berorientasi ke bawah, sebaliknya lebih bergantung ke atas. Komposisi kepemimpinan partai tingkat pusat, DPP lalu ikut ditentukan oleh pemerintah. Dengan demikian pimpinan partai selalu berorientasi ke atas – sebagai cermin struktur yang akomodatif dan kooptatif, yang akhirnya mudah terjerumus ke krisis kepemimpinan (Prisma, Desember, 1981)
Krisis kepemimpinan kenyataan (das sein) tidak lagi barang baru bagi PDI. Konflik antara Isnaeni-Sunawar versus Sanusi Hardjadinata-Usep Ranawijaya, Sunawar kontra Hardjanto dan sekarang antara Suryadi – Nico Daryanto lawan Dudy Singadilaga-Marsusi adalah contoh-contoh faktual disentigrasi, keretakan, konflik, atau perpecahan seakan-akan (atau memang demikian?) menjadi citra PDI dalam pentas politik nasional. bila sampai ke langit ketujuh pun PDI akan terus berkemelut, hal ini kiranya merupakan fenomena baru bagi perjalanan partai politik yang pantas diteliti sebagai sinyaliran Daniel S Lev tentang keunikan partai yang pernah ditemuinya di negeri ini.
Di sisi lain ketiadaan wibawa PDI dapat di lihat ketika Isnaeni yang secara aklamasi terpilih sebagai wakil ketua DPRMPR mewakili PDI karena mendapat dukungan dari Golkar pada periode 1977 – 1982. Setting demikian merupakan contoh kongkrit, terutama jika di lihat bahwa Isnaeni tak mendapat dukungan dari fraksinya sendiri. Kenyataan ini menunjukkan betapa mudahnya muncul friksi dalam tubuh partai manakala muncul kelompok-kelompok pragmatis yang memang dikehendaki oleh keadaan. Pimpinan partai tidak lagi terlahir karena prestasi, reputasi dan ketulusannya dalam memperjuangkan aspirasi/amanah massa yang diwakilinya. Bukan pula karena mendapat legitimasi pemilihan melalui mekanisme pemilihan, seperti tertera dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, melainkan banyak ditentukan oleh dekat-tidaknya dengan pihak pengambil keputusan dalam pengangkatan pimpinan partai pada semua tingkatan harus terlebih dahulu mendapat restu atasan. Dari sini lahir pemimpin-pemimpinakomodatif (lihat Manuel Kaisiepo) yang harus licik dalam membawa peta politik.
Demikianlah yang tampak dalam rekritmen pimpinan tertinggi PDI dan rekannya PPP akhir-akhir ini. dengan situasi seperti itu dalam tubuh partai politik tidak lagi munculpersaingan untuk berprestasi. Bahkan sebaliknya orang berlomba mencari dukungan  di luar tubuh partai. Di sisi lain kenyataan seperti itu sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan partai dalam masa-masa berikutnya, setelah pimpinan partai tersebut menjalankan misinya, yakni tiadanya gairah kerja karena tidak merasa diorbitkan oleh massa (Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik Indonesia, Rajawali, 1983)...cat: bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar