Rabu, 11 Januari 2017

KONFLIK DAN PROSPEK PDI MENGHADAPI PEMILU 1992 (2-habis)




KONFLIK DAN PROSPEK PDI MENGHADAPI PEMILU 1992 (2-habis)
Oleh: Reinhard Hutapea
Mantan aktivis GMNI Jakarta Raya/Kelompok Study dan Komunikasi Humanitas Medan
Published; 22 November 1990, Mimbar Umum

Di atas kedua faktor itu (struktur sosial politik dan fusi) PDI tidak memiliki ideologi sentral sebagaimana PPP dengan Islamnya, Golkar dengan ideologi Pembangunan, yang dapat dijadikan alat pengikat solidaritas yang bisa diterima oleh semua kelompok yang dulunya memiliki ideologi yang berbeda-beda
Walaupun barangkali dengan nada pesimis dan ekstrim pendapat A. Madjid mantan tokoh PNI yang terjungkal dari PDI tentang keberadaan partai politik dewasa ini cukup mengena. Menurut beliau partai tidak mendapat kesempatan untuk mencerdaskan dan meningkatkan kesadaran politik dan kesadaran ideologi rakyat, kehilangan otonomi  untuk mengatur rumah tangga sendiri, kehilangan kemerdekaan untukmemilih pimpinannya sendiri, tidak mampu melakukan pengawasan secara teliti dan objectip terhadap pelaksana pemerintahan dan mengalami hambatan dan sumbatan dalam melaksanakan dan mewujudkan kedaulata anggota dengan wajar dalam tubuh sendiri.
Dalam suasana seperti itu bagaimana PDI menyongsong Pemilu 1992 yang tinggal 20 bulan lagi. Akankah semakin sukses, bertahan, atau malah merosot. Untuk memprediksikannya ideal diperbandingkan dengan pemilu tahun 1987.

Sukses Pemilu 1987
Dalam pemilu 1987 yang lalu PDI berhasil membuat sejumlah kejutan. Dalam kampnye tersebut, misalnya PDI berhasil menarik simpati generasi muda dari lapisan masyarakat kelas bawah sampai atas. Bahkan kampanye PDI putaran trakhir di Jakarta, 17 April 1987, oleh banyakkalangan di nilai sebagai kampanye terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Kejutan lain yang di buat PDI adalah melonjaknya secara tajam, jumlah suara yang diperoleh partai ini dalam pemilu 1987 dibandingkan yang mereka peoleh dalam pemilu 1982 (7,88%), tahun 1982 menjadi 10,8% tahun 1987). Begitu pula dengan jumlah kursi parlemen yang berhasil mereka raih (tahun 1982 hanya 24 kursi), tahun 1987 menjadi 40 kursi)
Keberhasilan yang dicapai PDI tersebut menurut Riza Sihbudi; seorang staf peneliti Puslitbang dan Kewilayahan LIPI dilatar belakangi beberapa faktor (determinant), yakni (1) pemanfaatan nama besar Bung Karno yang kharismatis dalam setiap kampanye, (2) materi dan tema kampanye yang sangat menarik simpati, karena berhasil menampilkan issu-issu segar, (3) citra kepemimpinan PDI sebagai hasil kongres ketiga, April 1986 yang dibidani Menteri Dalam Negeri, Soepardjo Rustam yang menmpilkan sejumlah tokoh muda membawa dampak positip bagi partai ini, dalam artian relatif lebih bersih  dari friksi-friksi selama ini menjadi sumber kemelut, (4) berkaitan dengan terjadinya perpecahan yang berlarut-larut dalam tubuh PPP. Terutama dengan keluarnya Nahdlatul Ulama (NU) dari partai tersebut, serta meluasnya kekecewaan warga PPP terhadap kepemimpinannya. Sebagian bekas pendukung dan simpatisan PPP itu kemudian mencari tempat penyaluran aspirasi politik mereka  ke PDI, (5) sikap ABRI yang oleh kalangan di nilai relatif lebih netral ketimbang pemilu-pemilu sebelumnya, sehingga membuat massa tidak lagi merasa takut menghadiri kampanye PDI dan yang terakhir (6) sikap media massa atau pers berpengaruh (Tempo, Kompas, Prioritas dan lain-lain) yang menguntungkan/memihak PDI.

Prospek 1992    
Berdasarkan faktor-faktor yang melatar belakangi keberhasilan PDI dalam pemilu 1987, kiranya hanya faktor kepemimpinan yang kompak dan utuh dapat diandalkan untuk mempertahankan, kalau mungkin mengembangkan eksistensinya di masa depan, khususnya menghadapi pemilu 1992. Sementara faktor-faktor lainnya bersifat temporer.
Ketemporeran itu misalnya tidak mungkin PDI terus menerus memanfaatkan karisma besar Bung Karno. Bung Karno bukan milik segolongan, melainkan milik seluruh bangsa/rakyat indonesia, termasuk Golkar dan PPP. Oleh karena itu bukan suatu yang mustahil dalam pemilu yang akan datang Golkar dan PPP turut berprtisipasi memanfaatkan karisma pemimpin besar revolusi tersebut. disamping itu konteks demikian akan bertentangan dengan citra partai masa depan yang tengah di coba ditumbuh kembangkan oleh para tokoh dan simpatisan serta pendukung PDI sendiri.
Begitu pula tidak mungkin mengharapkan friksi frgamentasi yang terjadi di tubuh PPP. Dengan hengkangnya Dr H.J. Naro dari puncak kepemimpinan dan mencuatnya buya H. Ismael Hasan Metaurum SH sebagai penggantinya memberi kesan bahwa rekonsiliasi di tubuh partai berlambang bintang tersebut telah berhasil (NU tidak lagi menggembos). Demikian pula faktor yang lain, seperti tema dan program kampanye yang cukup menawan sehingga menarik simpati ataupun keberpihakan beberapa media pers terkemuka tidak mustakak terus menerus dapat diandalkan.
Dalam konstalasi yang terus menerus dilanda konflik bagaimana partai ini dapat mengembangkan citranya yang sudah membaik pada pemilu tahun 1987?. Apapun alasannya, yang pasti Suryadi, Nico Daryanto dan kwan-kawan DPP PDI akan sibuk mempertahankan kekuasaan dari serangan lawan-lawannya, sehingga hampir tidak ada lagi waktu mengantisipasi aspirasi yang tumbuh di kalangan masyarakat, khususnya golongan masyarakat kelas bawah dan generasi muda  yang  pada pemilu 1987 di klaim sebagai basis utama pendukung PDI.
Atas dasar itu semua dapatlah kita prediksikan bagaimana prospek partai ini menghadapi pemilu 1992. Prospek yang bagaimana itu? biarlah pembaca sendiri yang menarik kesimpulan, apakah berkembang, bertahan, atau merosot.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar