KONFLIK DAN
PROSPEK PDI MENGHADAPI PEMILU 1992 (2-habis)
Oleh:
Reinhard Hutapea
Mantan
aktivis GMNI Jakarta Raya/Kelompok Study dan Komunikasi Humanitas Medan
Published; 22 November 1990, Mimbar Umum
Di atas kedua faktor itu
(struktur sosial politik dan fusi) PDI tidak memiliki ideologi sentral
sebagaimana PPP dengan Islamnya, Golkar dengan ideologi Pembangunan, yang dapat
dijadikan alat pengikat solidaritas yang bisa diterima oleh semua kelompok yang
dulunya memiliki ideologi yang berbeda-beda
Walaupun barangkali
dengan nada pesimis dan ekstrim pendapat A. Madjid mantan tokoh PNI yang
terjungkal dari PDI tentang keberadaan partai politik dewasa ini cukup mengena.
Menurut beliau partai tidak mendapat kesempatan untuk mencerdaskan dan
meningkatkan kesadaran politik dan kesadaran ideologi rakyat, kehilangan
otonomi untuk mengatur rumah tangga
sendiri, kehilangan kemerdekaan untukmemilih pimpinannya sendiri, tidak mampu
melakukan pengawasan secara teliti dan objectip terhadap pelaksana pemerintahan
dan mengalami hambatan dan sumbatan dalam melaksanakan dan mewujudkan kedaulata
anggota dengan wajar dalam tubuh sendiri.
Dalam suasana seperti itu
bagaimana PDI menyongsong Pemilu 1992 yang tinggal 20 bulan lagi. Akankah
semakin sukses, bertahan, atau malah merosot. Untuk memprediksikannya ideal
diperbandingkan dengan pemilu tahun 1987.
Sukses Pemilu 1987
Dalam pemilu 1987 yang
lalu PDI berhasil membuat sejumlah kejutan. Dalam kampnye tersebut, misalnya
PDI berhasil menarik simpati generasi muda dari lapisan masyarakat kelas bawah
sampai atas. Bahkan kampanye PDI putaran trakhir di Jakarta, 17 April 1987,
oleh banyakkalangan di nilai sebagai kampanye terbesar yang pernah terjadi di
Indonesia. Kejutan lain yang di buat PDI adalah melonjaknya secara tajam,
jumlah suara yang diperoleh partai ini dalam pemilu 1987 dibandingkan yang
mereka peoleh dalam pemilu 1982 (7,88%), tahun 1982 menjadi 10,8% tahun 1987).
Begitu pula dengan jumlah kursi parlemen yang berhasil mereka raih (tahun 1982
hanya 24 kursi), tahun 1987 menjadi 40 kursi)
Keberhasilan yang dicapai
PDI tersebut menurut Riza Sihbudi; seorang staf peneliti Puslitbang dan
Kewilayahan LIPI dilatar belakangi beberapa faktor (determinant), yakni (1)
pemanfaatan nama besar Bung Karno yang kharismatis dalam setiap kampanye, (2) materi
dan tema kampanye yang sangat menarik simpati, karena berhasil menampilkan
issu-issu segar, (3) citra kepemimpinan PDI sebagai hasil kongres ketiga, April
1986 yang dibidani Menteri Dalam Negeri, Soepardjo Rustam yang menmpilkan
sejumlah tokoh muda membawa dampak positip bagi partai ini, dalam artian
relatif lebih bersih dari friksi-friksi
selama ini menjadi sumber kemelut, (4) berkaitan dengan terjadinya perpecahan
yang berlarut-larut dalam tubuh PPP. Terutama dengan keluarnya Nahdlatul Ulama
(NU) dari partai tersebut, serta meluasnya kekecewaan warga PPP terhadap
kepemimpinannya. Sebagian bekas pendukung dan simpatisan PPP itu kemudian
mencari tempat penyaluran aspirasi politik mereka ke PDI, (5) sikap ABRI yang oleh kalangan di
nilai relatif lebih netral ketimbang pemilu-pemilu sebelumnya, sehingga membuat
massa tidak lagi merasa takut menghadiri kampanye PDI dan yang terakhir (6)
sikap media massa atau pers berpengaruh (Tempo, Kompas, Prioritas dan
lain-lain) yang menguntungkan/memihak PDI.
Prospek 1992
Berdasarkan faktor-faktor
yang melatar belakangi keberhasilan PDI dalam pemilu 1987, kiranya hanya faktor
kepemimpinan yang kompak dan utuh dapat diandalkan untuk mempertahankan, kalau
mungkin mengembangkan eksistensinya di masa depan, khususnya menghadapi pemilu
1992. Sementara faktor-faktor lainnya bersifat temporer.
Ketemporeran itu misalnya
tidak mungkin PDI terus menerus memanfaatkan karisma besar Bung Karno. Bung
Karno bukan milik segolongan, melainkan milik seluruh bangsa/rakyat indonesia,
termasuk Golkar dan PPP. Oleh karena itu bukan suatu yang mustahil dalam pemilu
yang akan datang Golkar dan PPP turut berprtisipasi memanfaatkan karisma
pemimpin besar revolusi tersebut. disamping itu konteks demikian akan
bertentangan dengan citra partai masa depan yang tengah di coba ditumbuh
kembangkan oleh para tokoh dan simpatisan serta pendukung PDI sendiri.
Begitu pula tidak mungkin
mengharapkan friksi frgamentasi yang terjadi di tubuh PPP. Dengan hengkangnya
Dr H.J. Naro dari puncak kepemimpinan dan mencuatnya buya H. Ismael Hasan
Metaurum SH sebagai penggantinya memberi kesan bahwa rekonsiliasi di tubuh
partai berlambang bintang tersebut telah berhasil (NU tidak lagi menggembos).
Demikian pula faktor yang lain, seperti tema dan program kampanye yang cukup
menawan sehingga menarik simpati ataupun keberpihakan beberapa media pers
terkemuka tidak mustakak terus menerus dapat diandalkan.
Dalam konstalasi yang
terus menerus dilanda konflik bagaimana partai ini dapat mengembangkan citranya
yang sudah membaik pada pemilu tahun 1987?. Apapun alasannya, yang pasti Suryadi,
Nico Daryanto dan kwan-kawan DPP PDI akan sibuk mempertahankan kekuasaan dari
serangan lawan-lawannya, sehingga hampir tidak ada lagi waktu mengantisipasi
aspirasi yang tumbuh di kalangan masyarakat, khususnya golongan masyarakat
kelas bawah dan generasi muda yang pada pemilu 1987 di klaim sebagai basis utama
pendukung PDI.
Atas dasar itu semua
dapatlah kita prediksikan bagaimana prospek partai ini menghadapi pemilu 1992.
Prospek yang bagaimana itu? biarlah pembaca sendiri yang menarik kesimpulan,
apakah berkembang, bertahan, atau merosot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar