Minggu, 08 Januari 2017

TANTANGAN DAN PELUANG INDONESIA PADA G-20




TANTANGAN DAN PELUANG INDONESIA PADA G -20
Oleh : Reinhard Hutapea

Abstract
G-20 adalah kelompok Negara-negara baru sebagai perluasan dari G-8. Kalau G-8 adalah kelompok Negara-negara kaya dan kuat, pada G-20 mencakup Negara-negara sedang berkembang, seperti Argentina, Afrika Selatan, Brazilia dan atau khususnya Indonesia. Adapun tokoh yang berjasa dalam perluasan itu adalah Barack Obama. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana posisi Indonesia dalam kelompok tersebut? Untuk membahasnya digunakan pendekatan “capabilitas”, yakni kekuatan-kekuatan yang dimiliki Indonesia secara ekonomi politik. Capabilitas yang dimaksud adalah sistim politik yang tidak demokratis, birokrasi yang kurang efisien, penegakan hukum yang belum mantap, ekonomi yang masih semu dan lain-lain. Apabila capabilitas ini dapat dibenahi, maka posisi Indonesia dalam G-20 akan menguntungkan. Sebaliknya jika tidak dibenahi akan membuat ketergantungan yang selama ini akan semakin berat.

Pendahuluan
G-20 adalah perluasan dari Negara-negara yang tergabung dalam G 8. Kalau G 8 sebelumnya adalah club Negara-negara besar, kaya dan kuat, maka pada G 20 lebih beragam dan diperluas hingga negara-negara yang dikategorikan sedang berkembang (NSB/ Dunia lll), seperti Argentina, Brazil, Rusia, India, China, Afsel, Turki, Meksiko dan atau khususnya Indonesia.
Indonesia bersama dengan negara-negara sedang berkembang lainnya mendapat kehormatan masuk dalam kelompok-kelompok negara elit. Suatu hal yang surprised tentunya. Suatu yang sangat didambakan bagi banyak negara dapat duduk bersama-sama dengan kelompok-kelompok elit negara-negara kaya.
Akan tetapi jika dipikirkan lebih jauh, muncul beberapa pertanyaan yang mengganggu. Pertanyaan ini antara lain adalah apakah dikutsertakannya Indonesia dalam kelompok tersebut, apakah karena negeri ini memang sudah layak atau sejajar dengan kelompok-kelompok negara tersebut, khususnya negara-negara yang kaya, kuat dan besar itu?. Atau sebaliknya, yakni hanya untuk tetap melestarikan atau memperkuat cengkramannya terhadap Indonesia dan negara-negara sedang berkembang lainnya? Dan sekian pertanyaan lagi
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mengemuka karena pihak yang paling kompeten untuk menjawab itu, yakni Departemen Luar Negeri (Deplu) Republik Indonesia belum memberikan jawaban yang final. Deplu melihat G-20 memang suatu forum ekonomi premiere, namun masih mencari-cari definisi yang cocok dengan perkembangan tersebut. Lebih jelasnya ditulis:

Sekarang ini Indonesia sudah ditetapkan menjadi negara anggota G-20, dimana G-20 menjadi premiere forum di bidang ekonomi. Oleh karena itu memang menjadi salah satu tugas kita untuk bagaimana mendefinisikan sosok Indonesia yang ingin kita tampilkan di G -20 ini, sehingga kita bisa memiliki ciri keindonesiaan yang jelas dalam G-20 ini. (Diplomasi, No 25 Tahun ll, 15 nov-14 des 2009:6)
Tidak jauh dengan pandangan Deplu, pakar politik luar negeri (Rizal Sukma) yang biasanya memberikan pengertian yang tajam, juga tidak dapat memberikan definisi yang pas. Rizal Sukma hanya mengatakan bahwa ada pergeseran dari yang sebelumnya hanya dikuasai G-8 kini bergeser ke G-20, sedangkan masalah keamanan masih seperti sebelumnya, yakni tetap dikuasai para pemegang veto di PBB. Lebih jelasnya beliau menyatakan:
Jika dulu semua harus diputuskan oleh G-8 sekarang ada dorongan menuju perluasan pemain global karena berbagai persoalan tidak bisa diselesaikan hanya oleh G-8. saya kira G-20 akan semakin penting. Saya kira pergeseran dari G-8  ke G-20 akan menjadi trend dimasa yang akan datang. Akan tetapi pada saat yang sama struktur keamanan masih P-5, tetap sama saja di Dewan Keamanan PBB (Sukma, R Kompas, 2009,…)

Begitu pula pendapat seorang teknokrat ekonomi, Cyrillus Harinowo. Ia (Cyrillus) berpendapat bahwa dalam G-20 itu Indonesia dapat berperan, sebab ada satu menteri, yakni menteri perdagangan Mari Elka yang cukup kapabel bermain di pentas tersebut. Akan tetapi Mari Elka harus didampingi suatu tim dan lembaga yang kuat. Tim atau lembaga demikian paling tidak ada di kementerian Perdagangan, dan atau khususnya di Departemen Luar Negeri. (Kompas, 29 sept, 09)
 Pertanyaan-pertanyaan demikian paling tidak diutarakan melihat realitas hubungan internasional selama ini. Pada umumnya negara-negara dapat bergabung dalam satu kelompok apabila kepentingannya sama/atau mendekati. Atau jika meminjam pendapatnya Bruce Russett adalah adanya kedekatan atau kemiripan socio-cultural dalam arti luas. Pendekatan-pendekatan seperti ini dalam ilmu hubungan internasional pada umumnya dikemukakan kaum  realis.
Suatu persfektif yang sangat pragmatis, yang melihat kekinian adalah segala-galanya (yang terutama), bukan masa-masa yang akan datang yang penuh dengan janji-janji dan harapan-harapan. Masa yang akan datang itu tidak perlu dipikirkan jauh-jauh. Yang penting bagaimana saat ini, apa yang ada saat ini dan segera diselesaikan pada saat ini juga.
 Suatu pandangan yang berkebalikan tentunya dengan mereka yang melihat bahwa masa depan itu itu dapat digapai dengan tidak harus bertindak sekarang, tapi sama-sama mempersiapkan diri ke depan. Persfektif ini dikenal dengan persfektif idealis atau liberal. Kaum idealis pada umumnya selalu berpandangan positif dan menerawang jauh ke depan. Selalu menekankan kerjasama dengan semua kalangan. Dengan perkataan lain pendekatannya tidak unilateral, melainkan multilateral
Bila kalangan atau elit-elit G-20 melihat bahwa dunia ini perlu kerjasama pada semua kalangan atau level, maka pendekatan yang muncul mungkin adalah persfektif idealis/liberal. Masyarakat dunia pada umumnya mengharapkan yang seperti itu, yakni ada upaya kebersamaan untuk sama-sama memikirkan masa depan dunia yang semakin jauh dari “keamanan, ketertiban dan apalagi dari kesejahteraan”. Ketiga nilai ini kalau tidak diwujudkan, tinggal sebatas impian yang indah yang tertulis pada setiap konstitusi atau piagam-piagam yng lain.
Meskipun perang konvensional telah berakhir, namun perang-perang dalam bentuk baru tetap tidak terhindarkan. Perang terhadap terorisme adalah salah satu contohnya. Terorisme, walaupun tidak menyeluruh , namun telah mengganggu keamanan dan ketertiban beberapa negara  atau pihak tertentu. Derivasi selanjutnya dari ketidaknyamanan ini adalah terganggunya sendi-sendi lain, seperti dimensi sosial dan atau khususnya dimensi pembangunan ekonomi
Dengan terganggunya pembangunan ekonomi, cita-cita untuk mensejahterakan dunia sebagaimana yang dicanagkan kaum “neoklasik atau pihak liberal” sejak lama semakin jauh dari kenyataan. Pertumbuhan yang diharapkan dapat meretas kemiskinan atau kesengsaraan dengan merata, akan semakin kehilangan momentumnya. Kesejahteraan tinggal sebatas konsep yang indah diatas kertas, namun tidak pernah terealisasi. Apakah G-20 ada harapan untuk perubahan? Inilah yang menjadi masalah sentral dan tujuan tulisan ini.

Keberhasilan Diplomasi Obama?
Bagaimana G-8 berubah menjadi G-20 bukanlah kejadian yang begitu saja terjadi. Ada latar belakang, sejarah atau dalih mengapa perubahan itu terjadi. Bagaimana suatu grup negara-negara elit mau bergabung dengan negara-negara grassroth pasti ada suatu situasi yang mengkondisikan. Selain itu sudah pasti juga ada elit atau tokoh yang berperan dibelakangnya. Situasi ini menurut Syamsul Hadi adalah keterpurukan finansill Amerika Serikat yang sudah mencapai titik krisis. Dan tokoh yang memperjuangkannya adalah Barack Obama, yakni Presiden Amerika Serikat. Lebih jelasnya beliau menyatakan:
Secara khusus keputusan mengganti G-8 dengan G-20 merupakan keberhasilan diplomasi Barack Obama yang menginginkan pembagian beban dalam tata kelola ekonomi internasional ditengah keterpurukan ekonomi AS. Ini sekaligus merupakan cara Obama mengimbangi Uni Eropa, khususnya Jerman dan Perancis yang terus menekan AS agar lebih memperketat regulasi di sector financil, dengan membatasi bonus bagi para banker dan eksekutif perusahaan dana cegah resiko (Syamsul Hadi, KPS, 29 Sept 2009)

Keterpurukan ekonomi AS akibat krisis keuangan yang mencekam memaksa Washington mencari terobosan yang radikal agar perekonomian negeri itu normal kembali. Obama yang baru terpilih memang menjadi harapan rakyat AS memperbaiki keadaan yang sudah sangat kritis. Perusahan-perusahaan besar yang selama ini menjadi kebanggaan negeri adikuasa itu satu persatu kollaps. Sebut saja institusi keuangan/bank Lehman, perusahaan asuransi AIG, perusahaan otomotif General Motors dan lain-lainnya mengalami kerugian yang sangat significan
Perusahaan-perusahaan tersebut kalau tidak dibantu sudah jelas akan bangkrut yang berakibat akan melahirkan pengangguran yang besar. Dengan besarnya pengangguran akan menimbulkan ekses social-politik yang cukup serius. Pemerintahan dan administrasi Obama yang mengantisipasi bahaya demikian mengambil kebijakan menalangi perusahan-perusahan yang terpuruk tersebut.
Kebijakan penalangan perusahaan-perusahaan demikian dikenal dengan sebutan “bailout”. Permintaan perusahaan-perusahaan untuk di bailout yang menjadi kebijakan Obama demikian diperkuat oleh Kongres. Kongres dengan melalui perdebatan yang sengit akhirnya menyetujui bailout perusahaan-perusahan yang merugi. AS yang sebelumnya dikenal sebagai pendekar liberalisme, bahkan ada yang menyebut “neoliberal” yang artinya menolak peran Negara dalam bidang perekonomian akhirnya menjilat air ludahnya sendiri.
Amerika Serikat berbalik arah. Kembali ke jati diri semula, yakni kembali ke neoklasik sebagaimana yang diteorikan oleh ekonom besar Inggris, John Maynard Keynes. Keynes sebagaimana faktanya mensarankan pendekatan pasar, namun apabila terjadi distorsi pada pasar tersebut, Negara dapat melakukan intervensi. Distorsi yang dimaksud adalah apabila terjadi pengangguran, kemiskinan dan ketidakadilan terhadap mayoritas nasyarakat
Krisis moneter yang dihadapi Amerika Serikat adalah bu[1]kti bahwa kebijakan yang dilakukan selama ini telah melahirkan distorsi yang cukup akut. Kebijakan ekonomi yang liberal, apalagi yang neoliberal sebagaimana dicetuskan Ronald Reagan pasca Washington Consensus[2], menjadi fakta bahwa kebijakan demikian semakin jauh dari harapan
Meskipun Obama tidak langsung menyerang ideologi ekonomi-politik demikian, namun dari program-programnya sangat jelas bahwa ia (Obama) sudah meninggalkan kebijakan-kebijakan yang terlalu propasar. Mekanisme pasar tetap dipertahankan sejauh itu mendukung cita-cita seluruh masyarakat, tidak untuk pasar itu sendiri . pasar untuk kesejahteraan, bukan pasar untuk pasar
Karena begitu significan program yang  ditawarkan oleh Barack Obama, sampai-sampai sebagian kalangan di AS menuduhnya sosialis. Obama diindikasikan telah meninggalkan jati diri AS yang liberal-kapitalis Sinyalemen ini paling tidak dapat kita lihat dari kebijakan ekonomi dan sosialnya.
Dalam bidang ekonomi, Obama dengan jelas dan terang benderang menyatakan akan membantu perusahaan-perusahaan yang sungguh-sungguh menyediakan lapangan kerja yang besar, seperti sektor-sektor riil. Tidak sebagaimana yang sudah lama berlangsung , yakni sector maya, yakni sektor-sektor keuangan, moneter atau financill. Sector-sektor maya yang punya capital besar dalam kenyataannya telah melahirkan krisis. Krisis yang tidak hanya berlangsung di AS , namun derivasinya menjalar ke seluruh dunia.
Negara-negara yang selama ini dikenal sebagai adikuasa dalam bidang ekonomi, tanpa kecuali satu persatu merasakan dampaknya. Di Jepang, Eropa muncul pengangguran sebagai akibat dari lesunya perjalanan ekonomi. Hancurnya daya beli di AS sudah pasti akan mempengaruhi ekspor Negara-negara lain ke Negara tersebut. Perusahaan-perusahaan di Jepang maupun Eropa banyak yang gulung tikar.
Dengan kondisi demikian, tiada lain, tiada bukan memaksa elit-elit Washington mencari ikhtiar radikal. Cara-cara tambal sulam yang sudah lama berlangsung tidak mungkin lagi ditempuh. Elit yang berhasil melakukan terobosan ini adalah Obama. Seorang tokoh yang mungkin karena turunan Afrika/Kenya berani dan tiada beban melakukan terobosan-terobosan yang mungkin tidak lazim dilakukan seorang kulit putih Amerika. Terobosan  ini dapat dilihat dari pemikiran-pemikirannya sewaktu kampanye maupun setelah ia menang. Pada waktu ia dinobatkan sebagai calon Demokrati di Denver dengan lantang ia menyerang kebijakan-kebijakan yang dilakukan George Bush. Untuk jelasnya akan dikutif dibawah ini:
…..ekonomi kita dalam kekacauan, dan janji Amerika sekali lagi terancam. Malam ini, semakin banyak orang Amerika tidak bekerja dan semakin banyak orang bekerja keras untuk hasil yang semakin berkurang. Semakin banyak diantara anda yang telah kehilangan rumah dan bahkan semakin banyak diantara anda yang sedang menyaksikan nilai-nilai rumah jatuh terjerembab. Semakin banyak diantara anda yang mempunyai mobil yang tidak mampu anda gunakan. Tagihan kartu kredit tidak mampu anda bayar, dan uang kuliah yang berada di luar jangkauan and. Tantangan-tantangan ini tidak semua dibuat oleh pemerintah. Tetapi kegagalan untuk menanggapinya adalah hasil langsung dari politik yang rusak di Washington dan kebijakan-kebijakan George Bush yang gagal (Pidato, 28 Agust 2008:1)

Kehancuran ekonomi yang derivasinya menjalar keseluruh sendi-sendi kehidupan Amerika tersebut ditengarai dengan tegas adalah kekelirian dari kebijakan-kebijakan George Bush sewaktu berkuasa di Washington. Bush telah menerapkan pola yang tidak benar sehingga ekonomi Amerika ambruk. Pola-pola yang tidak benar ini dipidatokan Obama:
Sekarang, aku tidak percaya bahwa senator Mc Cain tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi di dalam kehidupan orang-orang Amerika. Saya hanya menganggap dia tidak tahu. Kalau tahu, mengapa dia mendefinisikan kelas menengah sebagai seseorang yang menghasilkan lima juta dollar setahun?, bagaimana mungkin dia mengusulkan ratusan milyar keringanan pajak untuk korporasi-korporasi besar dan perusahaan-perusahaan minyak tetapi tidak satu sen dolar pun keringanan pajak bagi lebih dari seratus juta orang Amerika?. Bagaimana mungkin dia menawarkan rencana kesehatan yang benar-benar akan menguntungkan para pembayar pajak, atau rencana pendidikan yang tidak akan membantu keluarga-keluarga membayar pendidikan perguruan tinggi, atau rencana yang menswastakan jaminan social dan menjudikan pensiun anda? (pidato, 28 Agust 2008:2)

Dengan vocal dan militant Obama menilai bahwa Mc Cain tidak paham persoalan. Ketidakpahaman ini adalah pendapat yang mendefinisikan kelas menengah yang berpenghasilan lima juta dollar dengan situasi perekonomian yang terpuruk, sangat tidak rasional Pengistimewaan perusahaan-perusahaan besar yang sudah terang-terangan menciptakan kebangkrutan, sementara rakyat yang sudah sekarat tidak dapat bantuan adalah ahistoris. Demikian pula swastanisasi pendidikan dan jaminan social sangat-sangat tidak pada tempatnya. Pendidikan, khususnya jaminan social harus dikelola oleh Negara, bukan swasta.
Suatu konsep yang berkebalikan. Kalau rezim-rezim sebelumnya cenderung selalu memperkuat swasta, Obama sebaliknya, yakni dominant memperkuat Negara. Pemikran ini sesuai dengan pandangan-pandangan intelektual Amerika semisal Francis Fukuyama, Stiglitz, Krugman dan lain-lain. Meskipun mereka mengakui pasar, tetapi mereka lebih mengutamakan kemakmuran masyarakat. Dalam khasanah lain sering juga disebut sebagai welfare state atau Keynesian[3].
Untuk mewujudkan hal-hal seperti itu, kata kunci adalah “perubahan”. Perubahan itu menurut Obama dimulai dari sistim perpajakan. Sistim perpajakan yang berlangsung selama ini harus direformasi, yakni  suatu aturan pajak yang tepat. Diberikan kepada pihak yang tepat, bukan kepada pihak-pihak diluar itu. Kenyataan selama ini adalah bahwa pelaksanaannya tidak seperti itu. Melenceng dari cita-cita atau tujuan semula. Pihak yang seharusnya diberikan peringanan tidak mendapatkannya. Sebaliknya pihak-pihak yang seharusnya tidak memperolehnya malah mendapatkannya.
Mc Cain yang akan meneruskan program George Bush memberikan keringanan pajak bukan kepada perusahaan-perusahaan kecil, tapi sebaliknya kepada perusahaan-perusahaan besar atau korporasi yang sering memindahkan pekerjaan ke luar negeri. Dengan seringnya korporasi-korporasi AS melakukan pemindahan pekerjaan keluar negeri, konsekwensinya adalah akan menimbulkan pengangguran di dalam negeri. Obama dengan tegas akan menghentikannya. Peringanan pajak akan diberikan kepada perusahaan-perusahaan kecil. Lebih dari situ, Obama bertekad akan menghapuskan pajak-pajak perolehan modal untuk bisnis kecil dan para pemula bisnis yang akan menciptakan pekerjaan berupah tinggi dan berteknologi tinggi masa depan
Peringanan pajak demikian selanjutnya akan diberikan kepada 95% pekerja-pekerja atau para karyawan tingkat bawah. Sebaliknya kepada pekerja kelas atas atau kelas menengah akan ditingkatkan perolehan pajaknya. Suatu terobosan yang mungkin tidak sekedar neoklasik atau Keynesian, tapi lebih sesuai dengan konsep-konsep nasionalisme ekonomi atau merkantilis[4].
Sebagai fakta bahwa ekonomi Obama sudah sangat nasionalistik dapat dilihat dari rencananya yang akan menghilangkan ketergantungan kepada minyak. Alternative penggantinya harus diciptakan. Kecenduan kepada minyak adalah langkah sementara, bukan solusi jangka panjang, sebab tidak menyelesaikan masalah:
Dan demi keamanan ekonomi kita, dan masa depan planet, saya akan membuat suatu tujuan yang jelas sebagai presiden dalam 10 tahun, akhirnya kita akan menyudahi ketergantungan kita kepada minyak dari Timur Tengah. Washington berbicara tentang kecenduan kita kepada minyak selama tiga puluh tahun terakhir, dan John Mc Cain sudah ada disana selama dua puluh enam tahun. selama itu, dia menolak standar-standard efisiensi bahan baker yang lebih tinggi untuk mobil, menolak investasi-investasi untuk energi terbarukan, menolak bahan baker terbarukan. Dan sekarang ini, kita mengimpor tiga kali lipat jumlah minyak seperti pada hari Senator Mc Cain memangku jabatan. Sekarang adalah waktunya mengakhiri kecvanduan ini, dan mengerti bahwa pengeboran minyak kita adalah langkah pengganti sementara, bukan solusi jangkla panjang. Juga bukan menyelesaikan masalah. Sebagai presiden, saya akan membuka cadangan gas alam kita,berinvestasi di dalam teknologi batu bara bersih, dan menemukan cara-cara untuk memanfaatkan secara aman tenaga nuklir. Saya akan membantu pengorganisasian kembali perusahaan-perusahaan otomobil kita, sehingga mobil-mobil irit bahan baker di masa depan dibuat di Amerika. Saya akan mempermudah rakyat Amerika untuk menghasilkan mobil-mobil baru ini. Dan saya akan menginvestasikan 150 milyar dollar untuk dasawarsa berikutnya kepada sumber-sumber enerji yang dapat dihasilkan, dapat diperbaharui – tenaga angina dan tenaga matahari dan pembangkitan bahan baker bio selanjutnya; investasi yang akan menghasilkan industri-industri baru dan lima juta pekerjaan baru yang memberi upah yang baik dan tidak pernah disubordnasikan ke pihak lain

Mungkin karena program-program demikianlah Obama sampai-sampai disebut sebagai sosialis, kalau bukan komunis. Bagi AS mungkin itu adalah jalan keluar yang tepat, namun bagi mayoritas Negara-negara di dunia ini akan menjadi masalah. Masalah ini paling tidak adalah berkurangnya ekspor negara-negara lain ke AS, sebab Negara adikuasa ini telah melakukan proteksi yang ketat.
Disisi lain untuk memperjuangkan programnya itu Obama sudah pasti akan melobby Negara-negara yang bisa diajak kepada kepentingan tersebut. Negara-negara demikian sudah pasti bukan mitranya selama ini, yakni yang berkumpul dalam G-8 tetapi diluar itu. Negara-negara ini adalah yang punya kepentingan ke AS seperti Indonesia dan Negara-negara sejenis. Kenyataannya diplomasi Obama berhasil.

Tantangan Indonesia
G-20 jelas adalah kesempatan. Kesempatan (tentunya) dengan tanda kutif. Apabila tanda kutif tersebut dilewati negeri ini akan mendapatkan keuntungan. Namun apabila sebaliknya, negeri ini akan terus terjajah secara ekonomi. Persyaratan-persyaratan untuk itu sudah harus dipenuhi. Bagaimana persyaratan-persyaratan ini? Sebagai ilustrasi akan dikemukakan pendapat pakar pertanian dari UGM, M..Maksum dan dari IPB., Husein Sawit
Kedua pakar tersebut menengarai apabila Indonesia tidak menyususn strategi pembangunan industri pertanian yang terintegrsi dengan sector lain, Indonesia hanya akan jadi Negara yang menampung produk olahan dari Negara-negara anggota G-20 (Kps, 28 sept 2009)
Sinyalemen atau tepatnya keraguan itu muncul karena hingga saat ini pembangunan industri pertanian Indonesia belum jelas arahnya. Pembangunan sector pertanian berjalan sendiri, terisolasi dari pembangunan sector lain, seperti jasa, keuangan, indudtri, perdagangan dan infrastrukur (Husein Sawit dalam Kompas, 28 Sept 2009)
Selain kedua pakar pertanian tersebut, pakar agraria, Gunawan Wiradi menyatakan kegelisahan yang sama. Beliau melihat hingga saat ini belum ada grand design pembangunan nasional yang menyeluruh. Jelasnya ia mengatakan:
Namun , sejak lengsernya Soeharto sampai sekarang, saya belum melihat adanya grand design pola pembangunan nasional yang menyeluruh. Grand design pembangunan pertanian itu selayaknya didasarkan atas beberapa hal. Pertama, apakah bangsa Indonesia memang berniat untuk mengubah tata social ekonomi masyarakat atau tidak?. Kedua, jika ya, lorong pandang yang bagaimana yang akan dianut? (Kps, 28 sept 2009)

Keraguan-keraguan demikian masih dapat dijajarkan sekian panjang lagi, yang pasti memang ada masalah yang serius . masalah yang sangat latent, sebab menyangkut pola, strategi atau grand design yang belum jelas. Atau memang tidak punya.?. jika tidak jelas, apalagi tidak punya sudah dapat dibayangkan, Indonesia hanya akan jadi tempat pemasaran produk-produk asing
Kembali kepada pola, strategi dan grand design yang ditengarai tidak jelas, atau mungkin tidak ada sama sekali menjadi perdebatan yang tidak habis-habisnya. Di era Soeharto, telah dibuat Repelita, Rencana Pembangunan Lima Tahun lengkap dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional  (Bappenas). Mengapa tidak berhasil? Tidakkah Repelita itu sudah cukup baik?. Tidakkah itu sudah konsepsional dan komprehensif?
Betapa konsep pembangunan Indonesia sudah cukup baik, dapat dilihat dalam penjabarannya lebih lanjut. Dalam bidang teknologi misalnya Prof Dr BJ.Habibie telah membuat strategi teknologi yang cukup maju. Konsep teknologinya tidak kalah canggih dari negera-negara yang sudah tenologis atau industrialized. Tidak ada lagi yang kurang dari konsep tersebut Untuk lebih jelasnya akan diuraikan seperti apa konsep atau tahapan-tahapan yang akan dilakukan:
·         Tahap pertama, strategi transformasi industri diarahkan untuk menguasai kemampuan teknologi yang sudah ada di Negara maju, dan dikenal sebagai progressive manufacturing plan. Tahap ini dilakukan melalui empat fasa; pengenalan, perakitan, fabrikasi sebagian dan diakhiri dengan fabrikasi penuh.
·         Tahap kedua, dikenal sebagai tahap integrasi teknologi. Pada tahap ini, teknologi yang telah dikuasai dimanfaatkan dan diintegrasikan ke dalam proses rancang bangun produk baru dari jenis produk atau jasa yang sama. Upaya ini dapat dilaksanakan sendiri atau dengan bekerjasama dengan mitra yang telah memiliki kemampuan teknologi maju
·         Tahap ketiga, adalah rekayasa, perancangan, fabrikasi dan produksi produk teknologi yang sama sekali baru dengan menggunakan teknologi yang paling mutakhir yang sudah ada di dunia. Tahap ini dilaksanakan sendiri setelah memperoleh penguasaan teknologi rekayasa produk, proses produksi dan fabrikasi
·         Tahap keempat, adalah tahap diperolehnya kemampuan dalam melaksnakan penelitian dasar untuk menunjang tahap ketiga, agar dapat diciptakan produk baru yang memiliki berbagai keunggulan dan/ atau inovasi lainnya dan memiliki keunggulan kompetitif agar mampu bersaing di pasaran internasional (Djojodihardjo, Haryono Prof Dr Ir, 2000:6-7)
Jelas suatu grand design yang lebih dari cukup. Apabila tahapan-tahapan tersebut dilaksanakan dengan konsisten, Indonesia sudah berada dalam tahapan Negara yang sudah industrialaized, sebagaimana Negara-negara lain yang konsekwen melakukannya. Indonesia tidak perlu ketinggalan dari Korea Selatan, China, Brazil dan India yang relative tahun pembangunannnya berdekatan. Atau dengan tetangga seperti Singapura dan Malaysia.Permasalahannya adalah kenapa jauh menyimpang? Mengapa konsep yang sangat rasional itu tidak terlaksana? Dimana letak kesalahannya? Tinjauannya sudah pasti tidak hitam-putih, dan juga tidak sekedar teknologis, industrialized atau ekonomis, melainkan sudah politis atau mungkin cultural. Salah satu pakar yang melihat kelemahan ini adalah Faisal Basri. Menurut beliau kelemahan yang diidap Indonesia sudah sangat sistemik, sebab menyangkut semua dimensi kehidupan berbangsa bernegara. Lebih jelasnya beliau mengatakan :
Lantas apa saja kekurangan Indonesia?. sangat banyak!. Mulai dari sistim politik yang tertutup dan otoriter, birokrasi yang kelewat gemuk dan korup, penegakan hukum yang sangat lemah, korupsi disegala bidang, berkembangnya sistem kapitalisme semu yang lebih mencuatkan pola-pola ekonomi rente, struktur perbankan yang manipulatif, sector riil yang kurang mendapatkan perhatian, dan sebagainya (Basri, Faisal, 2009:2-3)
           
Meskipun Indonesia sering dikategorikan sebagai Negara demokratis ketiga terbesar di dunia, belum pada pengertian substansi. Baru sebatas procedural. Semua perangkat-perangkat demokrasi sudah tersedia, namun belum dalam fungsinya. Birokrasi yang seharusnya pelaksana teknis dan administrative dari keputusan politik belum berujud birokrasi yang melayani, sebagaimana dikatakan Max Weber dengan birokrasi yang legal-rasional.
Penegakan hukum yang dilaksanakan belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Penegakan hukum diharapkan akan melahirkan keadilan pada masyarakat, nemun dalam prakteknya mereka-mereka yang kuat dan kaya yang merasakan. Rakyat kecil masih tetap seperti dulu, yakni selalu dalam keadaan kalah. Pencuri ayam dihukum, namun pencuri kategori kakap sering tidak dihukum
Pemberantasan korupsi dilaksanakan. Namun dalam aplikasinya masih dominant tebang pilih, atau membalas dendam kepada lawan ekonomi atau lawan politiknya. Pemberantasan yang seharusnya dimulai atau dilakukan dari hulu sebaliknya dimulai  dari hilir. Yang ditangkap baru sebatas kelas teri. Bahkan dengan sangat militant George Yunus Aditjondro (2010), menengarai korupsi yang dilakukan rezim saat ini lebih dahsyat dari rezim sebelumnya. Pendapat ini ditulis dalam bukunya yang cukup controversial “Membongkar Gurita Cikeas”
Seiring dengan korupsi demikian adalah pelembagaan korupsi dalam bidang atau sistem ekonomi. Pelembagaan ini adalah dipentaskannya pola ekonomi yang tidak sebenarnya. Melainkan maya atau ersatz. Dalam kategori Yoshira Kunio (1990) terkenal dengan sebutan “kapitalisme semu”

Kapitalisme Semu.
Praktek perekonomian yang dipentaskan Indonesia sejak Soeharto berkuasa ternyata tidak sesuai dengan sistim ekonomi Indonesia sebagaimana yang ditulis dalam UUD 1945. perekonomian yang dibangun tidak kongkrit atau nyata, melainkan semu. Dengan kata lain bukan perekonomian yang mandiri, yang berdirti diatas kaki sendiri. Melainkan semu atau maya.
Menurut Yoshihara Kunio, kapitalisme semu adalah kapitalisme pengganti atau substitusi, artinya bukan kapitalisme yang tulen, melainkan kapitalisme substitusi yang lebih inferior
Dengan pandangan demikian, Yoshihara mengasumsikan vahwa ada kapitalisme yang tidak semu. Kapitalisme seperti itu adalah adalah kapitalisme yang dinamis yang menggejala di Eropa pada abad ke-19 dan berhasil membawa kawasan ini keluar dari sistim feudal dan masuk ke sisitim kapitalisme industri sehingga melahirkan kemajuan teknologi dan ekonomi yang luar biasa. Kapitalisme dinamis juga menggejala di Amerika Serikat. Dan kemudian Jepang, dengan hasil yang sama; kemajuan ekonomi dan teknologi yang luar biasa. Juga banyak yang berpendapat bahwa kapitalisme dinamis juga sedang menggejala di keempat naga Asia; Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura
Kapitalisme Semu Ini terjadi menurut Yoshihara karena dua hal. Pertama, di Indonesia campur tangan pemerintah terlalu banyak sehingga mengganggu prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis. Ini juga yang menimbulkan timbulnya pencari rente [5]di kalangan birokrat pemerintah, sehingga wiraswastawan yang sesungguhnya tidak dapat berkembang. Sebagai derivasinya pola ekonomi semu ini menimbulkan kekuatan ekonomi pengusaha-pengusaha keturunan Cina, yang melalui koneksinya dengan para birokrat Negara berhasil memperoleh fasilitas-fasilitas khusus bagi usahanya.
Kedua, kapitalisme di Indonesia tidak didasarkan kepada perkembangan teknologi yang memadai. Akibatnya tidak terjadi industrialisasi yang mandiri. Pada hal industrialisasi merupakan yang sangat penting untuk sebuah pembangunan ekonomi yang mandiri. Kekuatan ekonomi yang sudah berhasil, seperti Jepang misalnya tidak terletak pada keahliannya dibidang perbankan, atau usaha real estate, atau usaha jasa lainnya. Semua ini bisa dilakukan secara sama baiknya oleh pengusah-pengusah Asia, tapi pada penguasaan teknologi yang tinggi. Kapitalisme di Indonesia kebanyakan hanya bergerak dibidang jasa. Kalaupun bergerak dibidang industri, ia hanya berperan sebagai “kapitalisme komprador”, yakni bertindak sebagai agen industri manufaktur asing dinegerinya sendiri. Semua ini terjadi karena tingkat perkembangan teknologi yang masih rendah
Atas dasar pandangannya itu, maka pada prinsipnya terapi yang ditawarkan Yoshihara adalah, pertama, memperbaiki  kualitas campurtangan pemerintah di bidang ekonomi. Kedua meningkatkan kemampuan teknologi

Peluang: Kemauan Politik
Persoalan ekonomi menjadi sangat sentral, sebab penyakit-penyakit yang diidapnya sudah begitu akut. Masalah kapitalisme semu mengemuka pada waktu rezim Soeharto, akan tetapi ketika Soeharto turun dari singgsana kekuasaan, keadaan tidak berubah. Dengan tidak berlebihan dapat dikatakan perekonomian Indonesia pada pasca Soeharto semakin jauh terjerumus kepada ketergantungan kepada asing
Pada/Pasca krisis moneter medio 1997, entah dengan pertimbangan apa Indonesia mengundang IMF untuk membenahi ekonomi. Banyak kalangan sesungguhnya tidak setuju kebijakan demikian, seperti Cyrillus Harinowo. Cyrillus dalam beberapa tulisannya menyatakan Indonesia tidak perlu mengundang kekuatan luar membenahi perekonomian. Namun ibarat nasi sudah jadi bubur peringatan Cyrillus tersebut hanya sebatas angin lalu, Indonesia tetap mengundang rezim keuangan internasional tersebut
Pada faktanya resep-resep yang dimajukan IMF tidak membuat perekonomian Indonesia lebih baik, malah sebaliknya semakin tergantung kepada kekuatan-kekuatan perekonomian Asing. Ketergantungan yang sudah pasti tidak ada yang menginginkan, namun sudah terlembaga dengan sistemik sekian dasawarsa. Para reformis yang diharapkan dapat memberikan harapan, sebaliknya ketika mereka masuk kedalam birokrasi-pemerintah, parlemen dan lain-lain lembaga tidak bisa berbuat apa-apa. malah yang terjadi adalah penguatan kepada ketergantungan. Hal ini dapat dilihat dari Undang-Undang yang muncul, banyak menguntungkan pihak asing. dengan vulgar Dradjad Wibowo menyebutnya sebagai membabi buta[6] mengikuti consensus Washington plus neoliberalnya. Lalu apa yang dapat dilakukan?
Jawabannya sudah pasti tidak hitam-putih. Berbagai opsi akan muncul. Secara umum sebagaimana diuraikan diatas, khususnya yang ditulis Faisal Basri, maka yang dibenahi adalah sistim pemerintahan, birokrasi, penegakan hukum, peminimalan korupsi, perubahan sistim (?) ekonomi, penyehatan perbankan. Menurut Yoshihara Kunio, adalah perbaikan kualitas Negara dan pembangunan teknologi
Yusuf Kalla dalam berbagai kesempatan memberi jalan keluar yang lebih sederhana. Menurutnya yang penting adalah “keamanan”, bukan “demokrasi”. China yang tidak demokratis dapat membangun perekonomiannya hingga menjadi raksasa dunia, menjadi argumentasi Kalla menyatakan pendapat tersebut.
Meskipun seakan-akan berbeda-beda, pendapat-pendapat demikian sesungguhnya menginginkan satu kata kunci yakni “perubahan” (change). Mungkin perubahan pada semua dimensi, sebagaimana dijabarkan Faisal Basri lebih jauh. Semua kebijakan-kebijakan yang berlangsung selama ini sudah waktunya dikaji ulang. Tidak cukup hanya dibidang perekonomian, tapi juga dibidang social-budaya, politik dan lain-lainnya. Syarat untuk itu semua adalah “kemauan politik” (political will). Bila hal itu tidak dilakukan Indonesia hanya menjadi penampungan komoditi-komoditi olahan dari Negara-negara yang bergabung didalamnya. Artinya sama saja melestarikan ketergantungan yang sudah berlangsung
Hal-hal lain yang menjadi catatan penting adalah, apabila Indonesia memang sudah mempunyai political will yang konsisten, masuk kedalam G-20 adalah kesempatan. Kesempatan dalam segala bidang. Paling tidak untuk mendapatkan bantuan, investasi dan kemajuan IPTEK dan Teknologi. Keragaman yang ada pada G-20 apabila dimanfaatkan dengan baik akan mendatangkan keuntungan. Tekanan Eropa, khususnya Jerman dan Perancis kepada AS dalam bidang finansiil, perang dagang antara China yang begitu expansif dengan anggota-anggota yang lain adalah peluang  yang menunggu. Tinggal bagaimana diplomasi Ekonomi-politik yang akan dipentaskan. Berkualitaskah ?


R E F E R E N S I
Aditjondro, G J, 2010, Membongkar Gurita Cikeas, Galang Press, Yogyakarta
Basri, F, 2009, Lansekap Ekonomi Indonesia, Kencana Group, Jakarta
Djojodihardjo H,Prof Dr Ir,  2000, Visi, Strategi dan Kebijakan IPTEK, BPPT, Jakarta
Kunio Yoshihara, 1988, The Rise of Ersatz Capitalism,, Oxford Press, Singapore
Maksum & Husein, dlm Kompas, 28 Sept 2009
Hadi Syamsul, 29 sept 2009, dlm Kompas, Jakarta
Harinowo C, 2004, IMF, Penanganan Krisis dan Indonesia, Gramedia, Jakarta
Obama, Barack, 28 Agustus 2008, Janji Amerika, Pidato, Denver, USA



[1] Washington consensus muncul sebagai reaksi terhadap kegagalan Negara-negara Amerika Latin membayar utangnya. Kegagalan ini ditengarai karena campur tangan Negara/pemerintah yang sangat besar. Sebagai reaksinya administrasi Ronald Reagan dan Margareth Thatcher memutuskan kebijakan yang tidak mengijinkan Negara campur tangan pada urusan-urusan ekonomi. Berikan semua itu kepada swasta. Semboyannya adalah deregulasi-debirokratisasi, privatisasi dan liberalisasi. Kebijakan ini ditempuh pada akhir 1970-an
[2]
[3] John Maynard Keynes adalah ekonom yang neoklasik, yakni yang percaya kepada pasar. Namun apabila terjadi distorsi atau pembiasan dalam pasar tersebut, maka Negara/state dapat melakukan intervensi. Pola ini menjadi ideology IMF sejak didirikan sebelum dicetuskannya consensus Washington yang popular dengan sebutan neoliberal. AS yang menjadi penggagas utama ideology neoliberal, di erta Obama sudah ditinggalkan.
[4] Merkantilis dalam ilmu hubungan internasional disebut dengan “realis”. Dianggap negative, sebab tidak mau tahu dengan pihak atau bangsa lain, yang penting keinginan atau kepentingannya terpenuhi, terlepas apakah itu diperoleh dengan jalan kekerasan atau cara-cara yang tidak mengikuti kaidah-kaidah universal
[5] Untuk lebih mendalami bagaimana mencuatnya perburuan rente ini banyak ditulis oleh Sritua Arif. Beliau sangat intens meneliti bagaimana akhirnya sistim ekonomi Indonesia terjebak dalam perburuan rente tersebut
[6] Drajad Wibowo menyatakan kata-kata yang keras ini ketika menanggapi kenaikan harga BBM dua kali dalam tahun 2005. ia melihat seharusnya itu tidak perlu terjadi, cukup dengan memperketata pembiayaan atau belanja pemerintah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar