TANTANGAN DAN PELUANG INDONESIA PADA G -20
Oleh : Reinhard Hutapea
Abstract
G-20 adalah kelompok
Negara-negara baru sebagai perluasan dari G-8. Kalau G-8 adalah kelompok
Negara-negara kaya dan kuat, pada G-20 mencakup Negara-negara sedang
berkembang, seperti Argentina, Afrika Selatan, Brazilia dan atau khususnya
Indonesia. Adapun tokoh yang berjasa dalam perluasan itu adalah Barack Obama.
Pertanyaan kemudian adalah bagaimana posisi Indonesia dalam kelompok tersebut?
Untuk membahasnya digunakan pendekatan “capabilitas”, yakni kekuatan-kekuatan
yang dimiliki Indonesia
secara ekonomi politik. Capabilitas yang dimaksud adalah sistim politik yang
tidak demokratis, birokrasi yang kurang efisien, penegakan hukum yang belum
mantap, ekonomi yang masih semu dan lain-lain. Apabila capabilitas ini dapat
dibenahi, maka posisi Indonesia
dalam G-20 akan menguntungkan. Sebaliknya jika tidak dibenahi akan membuat
ketergantungan yang selama ini akan semakin berat.
Pendahuluan
G-20 adalah perluasan dari Negara-negara yang tergabung
dalam G 8. Kalau G 8 sebelumnya adalah club Negara-negara besar, kaya dan kuat,
maka pada G 20 lebih beragam dan diperluas hingga negara-negara yang
dikategorikan sedang berkembang (NSB/ Dunia lll), seperti Argentina, Brazil,
Rusia, India, China, Afsel, Turki, Meksiko dan atau khususnya Indonesia.
Indonesia bersama dengan negara-negara sedang berkembang lainnya mendapat
kehormatan masuk dalam kelompok-kelompok negara elit. Suatu hal yang surprised
tentunya. Suatu yang sangat didambakan bagi banyak negara dapat duduk
bersama-sama dengan kelompok-kelompok elit negara-negara kaya.
Akan tetapi jika dipikirkan lebih jauh, muncul beberapa
pertanyaan yang mengganggu. Pertanyaan ini antara lain adalah apakah
dikutsertakannya Indonesia
dalam kelompok tersebut, apakah karena negeri ini memang sudah layak atau sejajar
dengan kelompok-kelompok negara tersebut, khususnya negara-negara yang kaya,
kuat dan besar itu?. Atau sebaliknya, yakni hanya untuk tetap melestarikan atau
memperkuat cengkramannya terhadap Indonesia dan negara-negara sedang
berkembang lainnya? Dan sekian pertanyaan lagi
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mengemuka karena pihak
yang paling kompeten untuk menjawab itu, yakni Departemen Luar Negeri (Deplu) Republik
Indonesia
belum memberikan jawaban yang final. Deplu melihat G-20 memang suatu forum
ekonomi premiere, namun masih mencari-cari definisi yang cocok dengan
perkembangan tersebut. Lebih jelasnya ditulis:
Sekarang ini Indonesia
sudah ditetapkan menjadi negara anggota G-20, dimana G-20 menjadi premiere
forum di bidang ekonomi. Oleh karena itu memang menjadi salah satu tugas kita
untuk bagaimana mendefinisikan sosok Indonesia yang ingin kita tampilkan
di G -20 ini, sehingga kita bisa memiliki ciri keindonesiaan yang jelas dalam
G-20 ini. (Diplomasi, No 25 Tahun ll, 15 nov-14 des 2009:6)
Tidak jauh dengan pandangan Deplu, pakar politik luar
negeri (Rizal Sukma) yang biasanya memberikan pengertian yang tajam, juga tidak
dapat memberikan definisi yang pas. Rizal Sukma hanya mengatakan bahwa ada
pergeseran dari yang sebelumnya hanya dikuasai G-8 kini bergeser ke G-20,
sedangkan masalah keamanan masih seperti sebelumnya, yakni tetap dikuasai para
pemegang veto di PBB. Lebih jelasnya beliau menyatakan:
Jika dulu semua harus diputuskan oleh G-8 sekarang ada dorongan
menuju perluasan pemain global karena berbagai persoalan tidak bisa
diselesaikan hanya oleh G-8. saya kira G-20 akan semakin penting. Saya kira
pergeseran dari G-8 ke G-20 akan menjadi
trend dimasa yang akan datang. Akan tetapi pada saat yang sama struktur
keamanan masih P-5, tetap sama saja di Dewan Keamanan PBB (Sukma, R Kompas,
2009,…)
Begitu pula pendapat seorang teknokrat ekonomi, Cyrillus
Harinowo. Ia (Cyrillus) berpendapat bahwa dalam G-20 itu Indonesia dapat berperan, sebab ada
satu menteri, yakni menteri perdagangan Mari Elka yang cukup kapabel bermain di
pentas tersebut. Akan tetapi Mari Elka harus didampingi suatu tim dan lembaga
yang kuat. Tim atau lembaga demikian paling tidak ada di kementerian
Perdagangan, dan atau khususnya di Departemen Luar Negeri. (Kompas, 29 sept,
09)
Pertanyaan-pertanyaan
demikian paling tidak diutarakan melihat realitas hubungan internasional selama
ini. Pada umumnya negara-negara dapat bergabung dalam satu kelompok apabila kepentingannya sama/atau mendekati. Atau
jika meminjam pendapatnya Bruce Russett adalah adanya kedekatan atau kemiripan socio-cultural dalam arti luas.
Pendekatan-pendekatan seperti ini dalam ilmu hubungan internasional pada umumnya
dikemukakan kaum realis.
Suatu persfektif yang sangat pragmatis, yang melihat
kekinian adalah segala-galanya (yang terutama), bukan masa-masa yang akan datang
yang penuh dengan janji-janji dan harapan-harapan. Masa yang akan datang itu
tidak perlu dipikirkan jauh-jauh. Yang penting bagaimana saat ini, apa yang ada
saat ini dan segera diselesaikan pada saat ini juga.
Suatu pandangan yang
berkebalikan tentunya dengan mereka yang melihat bahwa masa depan itu itu dapat
digapai dengan tidak harus bertindak sekarang, tapi sama-sama mempersiapkan
diri ke depan. Persfektif ini dikenal dengan persfektif idealis atau liberal.
Kaum idealis pada umumnya selalu berpandangan positif dan menerawang jauh ke
depan. Selalu menekankan kerjasama dengan semua kalangan. Dengan perkataan lain
pendekatannya tidak unilateral, melainkan multilateral
Bila kalangan atau elit-elit G-20 melihat bahwa dunia
ini perlu kerjasama pada semua kalangan atau level, maka pendekatan yang muncul
mungkin adalah persfektif idealis/liberal. Masyarakat dunia pada umumnya
mengharapkan yang seperti itu, yakni ada upaya kebersamaan untuk sama-sama
memikirkan masa depan dunia yang semakin jauh dari “keamanan, ketertiban dan apalagi dari kesejahteraan”. Ketiga nilai
ini kalau tidak diwujudkan, tinggal sebatas impian yang indah yang tertulis
pada setiap konstitusi atau piagam-piagam yng lain.
Meskipun perang konvensional telah berakhir, namun
perang-perang dalam bentuk baru tetap tidak terhindarkan. Perang terhadap
terorisme adalah salah satu contohnya. Terorisme, walaupun tidak menyeluruh ,
namun telah mengganggu keamanan dan ketertiban beberapa negara atau pihak tertentu. Derivasi selanjutnya
dari ketidaknyamanan ini adalah terganggunya sendi-sendi lain, seperti dimensi
sosial dan atau khususnya dimensi pembangunan ekonomi
Dengan terganggunya pembangunan ekonomi, cita-cita untuk
mensejahterakan dunia sebagaimana yang dicanagkan kaum “neoklasik atau pihak
liberal” sejak lama semakin jauh dari kenyataan. Pertumbuhan yang diharapkan
dapat meretas kemiskinan atau kesengsaraan dengan merata, akan semakin
kehilangan momentumnya. Kesejahteraan tinggal sebatas konsep yang indah diatas
kertas, namun tidak pernah terealisasi. Apakah G-20 ada harapan untuk
perubahan? Inilah yang menjadi masalah sentral dan tujuan tulisan ini.
Keberhasilan Diplomasi
Obama?
Bagaimana G-8 berubah menjadi G-20 bukanlah kejadian
yang begitu saja terjadi. Ada
latar belakang, sejarah atau dalih mengapa perubahan itu terjadi. Bagaimana
suatu grup negara-negara elit mau bergabung dengan negara-negara grassroth
pasti ada suatu situasi yang mengkondisikan. Selain itu sudah pasti juga ada
elit atau tokoh yang berperan dibelakangnya. Situasi ini menurut Syamsul Hadi
adalah keterpurukan finansill Amerika Serikat yang sudah mencapai titik krisis.
Dan tokoh yang memperjuangkannya adalah Barack Obama, yakni Presiden Amerika
Serikat. Lebih jelasnya beliau menyatakan:
Secara khusus keputusan mengganti G-8 dengan G-20 merupakan
keberhasilan diplomasi Barack Obama yang menginginkan pembagian beban dalam
tata kelola ekonomi internasional ditengah keterpurukan ekonomi AS. Ini
sekaligus merupakan cara Obama mengimbangi Uni Eropa, khususnya Jerman dan
Perancis yang terus menekan AS agar lebih memperketat regulasi di sector
financil, dengan membatasi bonus bagi para banker dan eksekutif perusahaan dana
cegah resiko (Syamsul Hadi, KPS, 29 Sept 2009)
Keterpurukan ekonomi AS akibat krisis keuangan yang
mencekam memaksa Washington
mencari terobosan yang radikal agar perekonomian negeri itu normal kembali.
Obama yang baru terpilih memang menjadi harapan rakyat AS memperbaiki keadaan
yang sudah sangat kritis. Perusahan-perusahaan besar yang selama ini menjadi
kebanggaan negeri adikuasa itu satu persatu kollaps. Sebut saja institusi
keuangan/bank Lehman, perusahaan asuransi AIG, perusahaan otomotif General
Motors dan lain-lainnya mengalami kerugian yang sangat significan
Perusahaan-perusahaan tersebut kalau tidak dibantu sudah
jelas akan bangkrut yang berakibat akan melahirkan pengangguran yang besar.
Dengan besarnya pengangguran akan menimbulkan ekses social-politik yang cukup
serius. Pemerintahan dan administrasi Obama yang mengantisipasi bahaya demikian
mengambil kebijakan menalangi perusahan-perusahan yang terpuruk tersebut.
Kebijakan penalangan perusahaan-perusahaan demikian
dikenal dengan sebutan “bailout”. Permintaan perusahaan-perusahaan untuk di
bailout yang menjadi kebijakan Obama demikian diperkuat oleh Kongres. Kongres
dengan melalui perdebatan yang sengit akhirnya menyetujui bailout
perusahaan-perusahan yang merugi. AS yang sebelumnya dikenal sebagai pendekar
liberalisme, bahkan ada yang menyebut “neoliberal” yang artinya menolak peran
Negara dalam bidang perekonomian akhirnya menjilat air ludahnya sendiri.
Amerika Serikat berbalik arah. Kembali ke jati diri
semula, yakni kembali ke neoklasik sebagaimana yang diteorikan oleh ekonom
besar Inggris, John Maynard Keynes. Keynes sebagaimana faktanya mensarankan
pendekatan pasar, namun apabila terjadi distorsi pada pasar tersebut, Negara
dapat melakukan intervensi. Distorsi yang dimaksud adalah apabila terjadi
pengangguran, kemiskinan dan ketidakadilan terhadap mayoritas nasyarakat
Krisis moneter yang dihadapi Amerika Serikat adalah bu[1]kti
bahwa kebijakan yang dilakukan selama ini telah melahirkan distorsi yang cukup
akut. Kebijakan ekonomi yang liberal, apalagi yang neoliberal sebagaimana
dicetuskan Ronald Reagan pasca Washington Consensus[2],
menjadi fakta bahwa kebijakan demikian semakin jauh dari harapan
Meskipun Obama tidak langsung menyerang ideologi
ekonomi-politik demikian, namun dari program-programnya sangat jelas bahwa ia
(Obama) sudah meninggalkan kebijakan-kebijakan yang terlalu propasar. Mekanisme
pasar tetap dipertahankan sejauh itu mendukung cita-cita seluruh masyarakat,
tidak untuk pasar itu sendiri . pasar untuk kesejahteraan, bukan pasar untuk
pasar
Karena begitu significan program yang ditawarkan oleh Barack Obama, sampai-sampai
sebagian kalangan di AS menuduhnya sosialis. Obama diindikasikan telah
meninggalkan jati diri AS yang liberal-kapitalis Sinyalemen ini paling tidak
dapat kita lihat dari kebijakan ekonomi dan sosialnya.
Dalam bidang ekonomi, Obama dengan jelas dan terang
benderang menyatakan akan membantu perusahaan-perusahaan yang sungguh-sungguh
menyediakan lapangan kerja yang besar, seperti sektor-sektor riil. Tidak
sebagaimana yang sudah lama berlangsung , yakni sector maya, yakni sektor-sektor
keuangan, moneter atau financill. Sector-sektor maya yang punya capital besar
dalam kenyataannya telah melahirkan krisis. Krisis yang tidak hanya berlangsung
di AS , namun derivasinya menjalar ke seluruh dunia.
Negara-negara yang selama ini dikenal sebagai adikuasa
dalam bidang ekonomi, tanpa kecuali satu persatu merasakan dampaknya. Di
Jepang, Eropa muncul pengangguran sebagai akibat dari lesunya perjalanan
ekonomi. Hancurnya daya beli di AS sudah pasti akan mempengaruhi ekspor
Negara-negara lain ke Negara tersebut. Perusahaan-perusahaan di Jepang maupun
Eropa banyak yang gulung tikar.
Dengan kondisi demikian, tiada lain, tiada bukan memaksa
elit-elit Washington
mencari ikhtiar radikal. Cara-cara tambal sulam yang sudah lama berlangsung
tidak mungkin lagi ditempuh. Elit yang berhasil melakukan terobosan ini adalah
Obama. Seorang tokoh yang mungkin karena turunan Afrika/Kenya berani dan tiada
beban melakukan terobosan-terobosan yang mungkin tidak lazim dilakukan seorang kulit
putih Amerika. Terobosan ini dapat
dilihat dari pemikiran-pemikirannya sewaktu kampanye maupun setelah ia menang.
Pada waktu ia dinobatkan sebagai calon Demokrati di Denver dengan lantang ia menyerang
kebijakan-kebijakan yang dilakukan George Bush. Untuk jelasnya akan dikutif
dibawah ini:
…..ekonomi kita dalam kekacauan, dan janji Amerika sekali lagi
terancam. Malam ini, semakin banyak orang Amerika tidak bekerja dan semakin
banyak orang bekerja keras untuk hasil yang semakin berkurang. Semakin banyak
diantara anda yang telah kehilangan rumah dan bahkan semakin banyak diantara
anda yang sedang menyaksikan nilai-nilai rumah jatuh terjerembab. Semakin
banyak diantara anda yang mempunyai mobil yang tidak mampu anda gunakan.
Tagihan kartu kredit tidak mampu anda bayar, dan uang kuliah yang berada di
luar jangkauan and. Tantangan-tantangan ini tidak semua dibuat oleh pemerintah.
Tetapi kegagalan untuk menanggapinya adalah hasil langsung dari politik yang
rusak di Washington
dan kebijakan-kebijakan George Bush yang gagal (Pidato, 28 Agust 2008:1)
Kehancuran ekonomi yang derivasinya menjalar keseluruh
sendi-sendi kehidupan Amerika tersebut ditengarai dengan tegas adalah
kekelirian dari kebijakan-kebijakan George Bush sewaktu berkuasa di Washington.
Bush telah menerapkan pola yang tidak benar sehingga ekonomi Amerika ambruk.
Pola-pola yang tidak benar ini dipidatokan Obama:
Sekarang, aku tidak percaya bahwa senator Mc Cain tidak peduli
dengan apa yang sedang terjadi di dalam kehidupan orang-orang Amerika. Saya
hanya menganggap dia tidak tahu. Kalau tahu, mengapa dia mendefinisikan kelas
menengah sebagai seseorang yang menghasilkan lima juta dollar setahun?, bagaimana mungkin
dia mengusulkan ratusan milyar keringanan pajak untuk korporasi-korporasi besar
dan perusahaan-perusahaan minyak tetapi tidak satu sen dolar pun keringanan
pajak bagi lebih dari seratus juta orang Amerika?. Bagaimana mungkin dia
menawarkan rencana kesehatan yang benar-benar akan menguntungkan para pembayar
pajak, atau rencana pendidikan yang tidak akan membantu keluarga-keluarga
membayar pendidikan perguruan tinggi, atau rencana yang menswastakan jaminan
social dan menjudikan pensiun anda? (pidato, 28 Agust 2008:2)
Dengan vocal dan militant Obama menilai bahwa Mc Cain
tidak paham persoalan. Ketidakpahaman ini adalah pendapat yang mendefinisikan
kelas menengah yang berpenghasilan lima
juta dollar dengan situasi perekonomian yang terpuruk, sangat tidak rasional Pengistimewaan
perusahaan-perusahaan besar yang sudah terang-terangan menciptakan kebangkrutan,
sementara rakyat yang sudah sekarat tidak dapat bantuan adalah ahistoris.
Demikian pula swastanisasi pendidikan dan jaminan social sangat-sangat tidak
pada tempatnya. Pendidikan, khususnya jaminan social harus dikelola oleh
Negara, bukan swasta.
Suatu konsep yang berkebalikan. Kalau rezim-rezim
sebelumnya cenderung selalu memperkuat swasta, Obama sebaliknya, yakni dominant
memperkuat Negara. Pemikran ini sesuai dengan pandangan-pandangan intelektual
Amerika semisal Francis Fukuyama, Stiglitz, Krugman dan lain-lain. Meskipun
mereka mengakui pasar, tetapi mereka lebih mengutamakan kemakmuran masyarakat.
Dalam khasanah lain sering juga disebut sebagai welfare state atau Keynesian[3].
Untuk mewujudkan hal-hal seperti itu, kata kunci adalah
“perubahan”. Perubahan itu menurut Obama dimulai dari sistim perpajakan. Sistim
perpajakan yang berlangsung selama ini harus direformasi, yakni suatu aturan pajak yang tepat. Diberikan
kepada pihak yang tepat, bukan kepada pihak-pihak diluar itu. Kenyataan selama
ini adalah bahwa pelaksanaannya tidak seperti itu. Melenceng dari cita-cita
atau tujuan semula. Pihak yang seharusnya diberikan peringanan tidak
mendapatkannya. Sebaliknya pihak-pihak yang seharusnya tidak memperolehnya malah
mendapatkannya.
Mc Cain yang akan meneruskan program George Bush
memberikan keringanan pajak bukan kepada perusahaan-perusahaan kecil, tapi
sebaliknya kepada perusahaan-perusahaan besar atau korporasi yang sering
memindahkan pekerjaan ke luar negeri. Dengan seringnya korporasi-korporasi AS
melakukan pemindahan pekerjaan keluar negeri, konsekwensinya adalah akan
menimbulkan pengangguran di dalam negeri. Obama dengan tegas akan
menghentikannya. Peringanan pajak akan diberikan kepada perusahaan-perusahaan
kecil. Lebih dari situ, Obama bertekad akan menghapuskan pajak-pajak perolehan
modal untuk bisnis kecil dan para pemula bisnis yang akan menciptakan pekerjaan
berupah tinggi dan berteknologi tinggi masa depan
Peringanan pajak demikian selanjutnya akan diberikan
kepada 95% pekerja-pekerja atau para karyawan tingkat bawah. Sebaliknya kepada
pekerja kelas atas atau kelas menengah akan ditingkatkan perolehan pajaknya.
Suatu terobosan yang mungkin tidak sekedar neoklasik atau Keynesian, tapi lebih
sesuai dengan konsep-konsep nasionalisme ekonomi atau merkantilis[4].
Sebagai fakta bahwa ekonomi Obama sudah sangat
nasionalistik dapat dilihat dari rencananya yang akan menghilangkan
ketergantungan kepada minyak. Alternative penggantinya harus diciptakan.
Kecenduan kepada minyak adalah langkah sementara, bukan solusi jangka panjang,
sebab tidak menyelesaikan masalah:
Dan demi keamanan ekonomi kita, dan masa depan planet, saya akan
membuat suatu tujuan yang jelas sebagai presiden dalam 10 tahun, akhirnya kita
akan menyudahi ketergantungan kita kepada minyak dari Timur Tengah. Washington berbicara
tentang kecenduan kita kepada minyak selama tiga puluh tahun terakhir, dan John
Mc Cain sudah ada disana selama dua puluh enam tahun. selama itu, dia menolak
standar-standard efisiensi bahan baker yang lebih tinggi untuk mobil, menolak
investasi-investasi untuk energi terbarukan, menolak bahan baker terbarukan.
Dan sekarang ini, kita mengimpor tiga kali lipat jumlah minyak seperti pada
hari Senator Mc Cain memangku jabatan. Sekarang adalah waktunya mengakhiri kecvanduan
ini, dan mengerti bahwa pengeboran minyak kita adalah langkah pengganti
sementara, bukan solusi jangkla panjang. Juga bukan menyelesaikan masalah.
Sebagai presiden, saya akan membuka cadangan gas alam kita,berinvestasi di
dalam teknologi batu bara bersih, dan menemukan cara-cara untuk memanfaatkan
secara aman tenaga nuklir. Saya akan membantu pengorganisasian kembali
perusahaan-perusahaan otomobil kita, sehingga mobil-mobil irit bahan baker di
masa depan dibuat di Amerika. Saya akan mempermudah rakyat Amerika untuk
menghasilkan mobil-mobil baru ini. Dan saya akan menginvestasikan 150 milyar
dollar untuk dasawarsa berikutnya kepada sumber-sumber enerji yang dapat
dihasilkan, dapat diperbaharui – tenaga angina dan tenaga matahari dan
pembangkitan bahan baker bio selanjutnya; investasi yang akan menghasilkan
industri-industri baru dan lima juta pekerjaan baru yang memberi upah yang baik
dan tidak pernah disubordnasikan ke pihak lain
Mungkin karena program-program demikianlah Obama
sampai-sampai disebut sebagai sosialis, kalau bukan komunis. Bagi AS
mungkin itu adalah jalan keluar yang tepat, namun bagi mayoritas Negara-negara
di dunia ini akan menjadi masalah. Masalah ini paling tidak adalah berkurangnya
ekspor negara-negara lain ke AS, sebab Negara adikuasa ini telah melakukan
proteksi yang ketat.
Disisi lain untuk memperjuangkan programnya itu Obama
sudah pasti akan melobby Negara-negara yang bisa diajak kepada kepentingan
tersebut. Negara-negara demikian sudah pasti bukan mitranya selama ini, yakni yang
berkumpul dalam G-8 tetapi diluar itu. Negara-negara ini adalah yang punya
kepentingan ke AS seperti Indonesia
dan Negara-negara sejenis. Kenyataannya diplomasi Obama berhasil.
Tantangan Indonesia
G-20 jelas adalah kesempatan. Kesempatan (tentunya) dengan
tanda kutif. Apabila tanda kutif tersebut dilewati negeri ini akan mendapatkan
keuntungan. Namun apabila sebaliknya, negeri ini akan terus terjajah secara
ekonomi. Persyaratan-persyaratan untuk itu sudah harus dipenuhi. Bagaimana
persyaratan-persyaratan ini? Sebagai ilustrasi akan dikemukakan pendapat pakar
pertanian dari UGM, M..Maksum dan dari IPB., Husein Sawit
Kedua pakar tersebut menengarai apabila Indonesia tidak menyususn strategi pembangunan
industri pertanian yang terintegrsi dengan sector lain, Indonesia hanya akan jadi Negara
yang menampung produk olahan dari Negara-negara anggota G-20 (Kps, 28 sept
2009)
Sinyalemen atau tepatnya keraguan itu muncul karena
hingga saat ini pembangunan industri pertanian Indonesia belum jelas arahnya.
Pembangunan sector pertanian berjalan sendiri, terisolasi dari pembangunan
sector lain, seperti jasa, keuangan, indudtri, perdagangan dan infrastrukur
(Husein Sawit dalam Kompas, 28 Sept 2009)
Selain kedua pakar pertanian tersebut, pakar agraria,
Gunawan Wiradi menyatakan kegelisahan yang sama. Beliau melihat hingga saat ini
belum ada grand design pembangunan nasional yang menyeluruh. Jelasnya ia
mengatakan:
Namun , sejak lengsernya Soeharto sampai sekarang, saya belum
melihat adanya grand design pola pembangunan nasional yang menyeluruh. Grand
design pembangunan pertanian itu selayaknya didasarkan atas beberapa hal.
Pertama, apakah bangsa Indonesia
memang berniat untuk mengubah tata social ekonomi masyarakat atau tidak?.
Kedua, jika ya, lorong pandang yang bagaimana yang akan dianut? (Kps, 28 sept
2009)
Keraguan-keraguan demikian masih dapat dijajarkan sekian
panjang lagi, yang pasti memang ada masalah yang serius . masalah yang sangat
latent, sebab menyangkut pola, strategi atau grand design yang belum jelas.
Atau memang tidak punya.?. jika tidak jelas, apalagi tidak punya sudah dapat
dibayangkan, Indonesia
hanya akan jadi tempat pemasaran produk-produk asing
Kembali kepada pola, strategi dan grand design yang
ditengarai tidak jelas, atau mungkin tidak ada sama sekali menjadi perdebatan
yang tidak habis-habisnya. Di era Soeharto, telah dibuat Repelita, Rencana
Pembangunan Lima Tahun lengkap dengan Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas). Mengapa tidak
berhasil? Tidakkah Repelita itu sudah cukup baik?. Tidakkah itu sudah
konsepsional dan komprehensif?
Betapa konsep pembangunan Indonesia sudah cukup baik, dapat
dilihat dalam penjabarannya lebih lanjut. Dalam bidang teknologi misalnya Prof
Dr BJ.Habibie telah membuat strategi teknologi yang cukup maju. Konsep
teknologinya tidak kalah canggih dari negera-negara yang sudah tenologis atau
industrialized. Tidak ada lagi yang kurang dari konsep tersebut Untuk lebih
jelasnya akan diuraikan seperti apa konsep atau tahapan-tahapan yang akan
dilakukan:
·
Tahap pertama, strategi
transformasi industri diarahkan untuk menguasai kemampuan teknologi yang sudah
ada di Negara maju, dan dikenal sebagai progressive manufacturing plan. Tahap
ini dilakukan melalui empat fasa; pengenalan, perakitan, fabrikasi sebagian dan
diakhiri dengan fabrikasi penuh.
·
Tahap kedua, dikenal sebagai
tahap integrasi teknologi. Pada tahap ini, teknologi yang telah dikuasai
dimanfaatkan dan diintegrasikan ke dalam proses rancang bangun produk baru dari
jenis produk atau jasa yang sama. Upaya ini dapat dilaksanakan sendiri atau
dengan bekerjasama dengan mitra yang telah memiliki kemampuan teknologi maju
·
Tahap ketiga, adalah rekayasa,
perancangan, fabrikasi dan produksi produk teknologi yang sama sekali baru
dengan menggunakan teknologi yang paling mutakhir yang sudah ada di dunia.
Tahap ini dilaksanakan sendiri setelah memperoleh penguasaan teknologi rekayasa
produk, proses produksi dan fabrikasi
·
Tahap keempat, adalah tahap
diperolehnya kemampuan dalam melaksnakan penelitian dasar untuk menunjang tahap
ketiga, agar dapat diciptakan produk baru yang memiliki berbagai keunggulan
dan/ atau inovasi lainnya dan memiliki keunggulan kompetitif agar mampu
bersaing di pasaran internasional (Djojodihardjo, Haryono Prof Dr Ir, 2000:6-7)
Jelas suatu grand design yang lebih dari cukup. Apabila
tahapan-tahapan tersebut dilaksanakan dengan konsisten, Indonesia sudah berada dalam
tahapan Negara yang sudah industrialaized, sebagaimana Negara-negara lain yang
konsekwen melakukannya. Indonesia
tidak perlu ketinggalan dari Korea Selatan, China,
Brazil dan India yang relative tahun
pembangunannnya berdekatan. Atau dengan tetangga seperti Singapura dan
Malaysia.Permasalahannya adalah kenapa jauh menyimpang? Mengapa konsep yang
sangat rasional itu tidak terlaksana? Dimana letak kesalahannya? Tinjauannya
sudah pasti tidak hitam-putih, dan juga tidak sekedar teknologis,
industrialized atau ekonomis, melainkan sudah politis atau mungkin cultural.
Salah satu pakar yang melihat kelemahan ini adalah Faisal Basri. Menurut beliau
kelemahan yang diidap Indonesia
sudah sangat sistemik, sebab menyangkut semua dimensi kehidupan berbangsa
bernegara. Lebih jelasnya beliau mengatakan :
Lantas apa saja kekurangan Indonesia?. sangat banyak!. Mulai
dari sistim politik yang tertutup dan otoriter, birokrasi yang kelewat gemuk
dan korup, penegakan hukum yang sangat lemah, korupsi disegala bidang,
berkembangnya sistem kapitalisme semu yang lebih mencuatkan pola-pola ekonomi
rente, struktur perbankan yang manipulatif, sector riil yang kurang mendapatkan
perhatian, dan sebagainya (Basri, Faisal, 2009:2-3)
Meskipun Indonesia
sering dikategorikan sebagai Negara demokratis ketiga terbesar di dunia, belum
pada pengertian substansi. Baru sebatas procedural. Semua perangkat-perangkat
demokrasi sudah tersedia, namun belum dalam fungsinya. Birokrasi yang
seharusnya pelaksana teknis dan administrative dari keputusan politik belum
berujud birokrasi yang melayani, sebagaimana dikatakan Max Weber dengan
birokrasi yang legal-rasional.
Penegakan hukum yang dilaksanakan belum berfungsi
sebagaimana yang diharapkan. Penegakan hukum diharapkan akan melahirkan
keadilan pada masyarakat, nemun dalam prakteknya mereka-mereka yang kuat dan
kaya yang merasakan. Rakyat kecil masih tetap seperti dulu, yakni selalu dalam
keadaan kalah. Pencuri ayam dihukum, namun pencuri kategori kakap sering tidak
dihukum
Pemberantasan korupsi dilaksanakan. Namun dalam
aplikasinya masih dominant tebang pilih, atau membalas dendam kepada lawan
ekonomi atau lawan politiknya. Pemberantasan yang seharusnya dimulai atau
dilakukan dari hulu sebaliknya dimulai dari hilir. Yang ditangkap baru sebatas kelas
teri. Bahkan dengan sangat militant George Yunus Aditjondro (2010), menengarai
korupsi yang dilakukan rezim saat ini lebih dahsyat dari rezim sebelumnya. Pendapat
ini ditulis dalam bukunya yang cukup controversial “Membongkar Gurita Cikeas”
Seiring dengan korupsi demikian adalah pelembagaan
korupsi dalam bidang atau sistem ekonomi. Pelembagaan ini adalah dipentaskannya
pola ekonomi yang tidak sebenarnya. Melainkan maya atau ersatz. Dalam kategori
Yoshira Kunio (1990) terkenal dengan sebutan “kapitalisme semu”
Kapitalisme Semu.
Praktek perekonomian yang dipentaskan Indonesia sejak Soeharto berkuasa ternyata tidak
sesuai dengan sistim ekonomi Indonesia
sebagaimana yang ditulis dalam UUD 1945. perekonomian yang dibangun tidak
kongkrit atau nyata, melainkan semu. Dengan kata lain bukan perekonomian yang
mandiri, yang berdirti diatas kaki sendiri. Melainkan semu atau maya.
Menurut Yoshihara Kunio, kapitalisme semu adalah
kapitalisme pengganti atau substitusi, artinya bukan kapitalisme yang tulen,
melainkan kapitalisme substitusi yang lebih inferior
Dengan pandangan demikian, Yoshihara mengasumsikan vahwa
ada kapitalisme yang tidak semu. Kapitalisme seperti itu adalah adalah
kapitalisme yang dinamis yang menggejala di Eropa pada abad ke-19 dan berhasil
membawa kawasan ini keluar dari sistim feudal dan masuk ke sisitim kapitalisme
industri sehingga melahirkan kemajuan teknologi dan ekonomi yang luar biasa.
Kapitalisme dinamis juga menggejala di Amerika Serikat. Dan kemudian Jepang,
dengan hasil yang sama; kemajuan ekonomi dan teknologi yang luar biasa. Juga
banyak yang berpendapat bahwa kapitalisme dinamis juga sedang menggejala di
keempat naga Asia; Korea Selatan, Taiwan,
Hongkong dan Singapura
Kapitalisme Semu Ini terjadi menurut Yoshihara karena
dua hal. Pertama, di Indonesia campur tangan pemerintah terlalu banyak sehingga
mengganggu prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak
dinamis. Ini juga yang menimbulkan timbulnya pencari rente [5]di
kalangan birokrat pemerintah, sehingga wiraswastawan yang sesungguhnya tidak
dapat berkembang. Sebagai derivasinya pola ekonomi semu ini menimbulkan
kekuatan ekonomi pengusaha-pengusaha keturunan Cina, yang melalui koneksinya
dengan para birokrat Negara berhasil memperoleh fasilitas-fasilitas khusus bagi
usahanya.
Kedua, kapitalisme di Indonesia tidak didasarkan kepada
perkembangan teknologi yang memadai. Akibatnya tidak terjadi industrialisasi
yang mandiri. Pada hal industrialisasi merupakan yang sangat penting untuk
sebuah pembangunan ekonomi yang mandiri. Kekuatan ekonomi yang sudah berhasil,
seperti Jepang misalnya tidak terletak pada keahliannya dibidang perbankan,
atau usaha real estate, atau usaha jasa lainnya. Semua ini bisa dilakukan
secara sama baiknya oleh pengusah-pengusah Asia,
tapi pada penguasaan teknologi yang tinggi. Kapitalisme di Indonesia kebanyakan
hanya bergerak dibidang jasa. Kalaupun bergerak dibidang industri, ia hanya
berperan sebagai “kapitalisme komprador”, yakni bertindak sebagai agen industri
manufaktur asing dinegerinya sendiri. Semua ini terjadi karena tingkat
perkembangan teknologi yang masih rendah
Atas dasar pandangannya itu, maka pada prinsipnya terapi
yang ditawarkan Yoshihara adalah, pertama, memperbaiki kualitas campurtangan pemerintah di bidang
ekonomi. Kedua meningkatkan kemampuan teknologi
Peluang: Kemauan Politik
Persoalan ekonomi menjadi sangat sentral, sebab
penyakit-penyakit yang diidapnya sudah begitu akut. Masalah kapitalisme semu
mengemuka pada waktu rezim Soeharto, akan tetapi ketika Soeharto turun dari
singgsana kekuasaan, keadaan tidak berubah. Dengan tidak berlebihan dapat
dikatakan perekonomian Indonesia
pada pasca Soeharto semakin jauh terjerumus kepada ketergantungan kepada asing
Pada/Pasca krisis moneter medio 1997, entah dengan
pertimbangan apa Indonesia
mengundang IMF untuk membenahi ekonomi. Banyak kalangan sesungguhnya tidak
setuju kebijakan demikian, seperti Cyrillus Harinowo. Cyrillus dalam beberapa
tulisannya menyatakan Indonesia
tidak perlu mengundang kekuatan luar membenahi perekonomian. Namun ibarat nasi
sudah jadi bubur peringatan Cyrillus tersebut hanya sebatas angin lalu, Indonesia tetap
mengundang rezim keuangan internasional tersebut
Pada faktanya resep-resep yang dimajukan IMF tidak
membuat perekonomian Indonesia
lebih baik, malah sebaliknya semakin tergantung kepada kekuatan-kekuatan
perekonomian Asing. Ketergantungan yang sudah pasti tidak ada yang
menginginkan, namun sudah terlembaga dengan sistemik sekian dasawarsa. Para reformis yang diharapkan dapat memberikan harapan,
sebaliknya ketika mereka masuk kedalam birokrasi-pemerintah, parlemen dan
lain-lain lembaga tidak bisa berbuat apa-apa. malah yang terjadi adalah
penguatan kepada ketergantungan. Hal ini dapat dilihat dari Undang-Undang yang
muncul, banyak menguntungkan pihak asing. dengan vulgar Dradjad Wibowo
menyebutnya sebagai membabi buta[6]
mengikuti consensus Washington
plus neoliberalnya. Lalu apa yang dapat dilakukan?
Jawabannya sudah pasti tidak hitam-putih. Berbagai opsi
akan muncul. Secara umum sebagaimana diuraikan diatas, khususnya yang ditulis
Faisal Basri, maka yang dibenahi adalah sistim pemerintahan, birokrasi,
penegakan hukum, peminimalan korupsi, perubahan sistim (?) ekonomi, penyehatan
perbankan. Menurut Yoshihara Kunio, adalah perbaikan kualitas Negara dan
pembangunan teknologi
Yusuf Kalla dalam berbagai kesempatan memberi jalan
keluar yang lebih sederhana. Menurutnya yang penting adalah “keamanan”, bukan
“demokrasi”. China
yang tidak demokratis dapat membangun perekonomiannya hingga menjadi raksasa
dunia, menjadi argumentasi Kalla menyatakan pendapat tersebut.
Meskipun seakan-akan berbeda-beda, pendapat-pendapat
demikian sesungguhnya menginginkan satu kata kunci yakni “perubahan” (change).
Mungkin perubahan pada semua dimensi, sebagaimana dijabarkan Faisal Basri lebih
jauh. Semua kebijakan-kebijakan yang berlangsung selama ini sudah waktunya
dikaji ulang. Tidak cukup hanya dibidang perekonomian, tapi juga dibidang
social-budaya, politik dan lain-lainnya. Syarat untuk itu semua adalah “kemauan
politik” (political will). Bila hal itu tidak dilakukan Indonesia hanya menjadi penampungan
komoditi-komoditi olahan dari Negara-negara yang bergabung didalamnya. Artinya
sama saja melestarikan ketergantungan yang sudah berlangsung
Hal-hal lain yang menjadi catatan penting adalah,
apabila Indonesia
memang sudah mempunyai political will yang konsisten, masuk kedalam G-20 adalah
kesempatan. Kesempatan dalam segala bidang. Paling tidak untuk mendapatkan
bantuan, investasi dan kemajuan IPTEK dan Teknologi. Keragaman yang ada pada
G-20 apabila dimanfaatkan dengan baik akan mendatangkan keuntungan. Tekanan
Eropa, khususnya Jerman dan Perancis kepada AS dalam bidang finansiil, perang
dagang antara China
yang begitu expansif dengan anggota-anggota yang lain adalah peluang yang menunggu. Tinggal bagaimana diplomasi
Ekonomi-politik yang akan dipentaskan. Berkualitaskah ?
R
E F E R E N S I
Aditjondro, G J, 2010, Membongkar Gurita Cikeas, Galang Press, Yogyakarta
Basri, F, 2009, Lansekap Ekonomi Indonesia, Kencana Group, Jakarta
Djojodihardjo H,Prof Dr Ir, 2000, Visi, Strategi dan Kebijakan IPTEK,
BPPT, Jakarta
Kunio Yoshihara, 1988, The Rise of Ersatz Capitalism,, Oxford Press,
Singapore
Maksum & Husein, dlm Kompas, 28 Sept 2009
Hadi Syamsul, 29 sept 2009, dlm Kompas, Jakarta
Harinowo C, 2004, IMF, Penanganan Krisis dan Indonesia, Gramedia, Jakarta
Obama, Barack, 28 Agustus 2008, Janji Amerika, Pidato, Denver, USA
[1] Washington
consensus muncul sebagai reaksi terhadap kegagalan Negara-negara Amerika Latin
membayar utangnya. Kegagalan ini ditengarai karena campur tangan
Negara/pemerintah yang sangat besar. Sebagai reaksinya administrasi Ronald
Reagan dan Margareth Thatcher memutuskan kebijakan yang tidak mengijinkan
Negara campur tangan pada urusan-urusan ekonomi. Berikan semua itu kepada
swasta. Semboyannya adalah deregulasi-debirokratisasi, privatisasi dan
liberalisasi. Kebijakan ini ditempuh pada akhir 1970-an
[3] John Maynard Keynes adalah ekonom yang neoklasik, yakni yang
percaya kepada pasar. Namun apabila terjadi distorsi atau pembiasan dalam pasar
tersebut, maka Negara/state dapat melakukan intervensi. Pola ini menjadi
ideology IMF sejak didirikan sebelum dicetuskannya consensus Washington yang popular dengan sebutan
neoliberal. AS yang menjadi penggagas utama ideology neoliberal, di erta Obama
sudah ditinggalkan.
[4] Merkantilis dalam ilmu hubungan internasional disebut dengan
“realis”. Dianggap negative, sebab tidak mau tahu dengan pihak atau bangsa lain,
yang penting keinginan atau kepentingannya terpenuhi, terlepas apakah itu
diperoleh dengan jalan kekerasan atau cara-cara yang tidak mengikuti
kaidah-kaidah universal
[5] Untuk lebih mendalami bagaimana mencuatnya perburuan rente ini
banyak ditulis oleh Sritua Arif. Beliau sangat intens meneliti bagaimana
akhirnya sistim ekonomi Indonesia
terjebak dalam perburuan rente tersebut
[6] Drajad Wibowo menyatakan kata-kata yang keras ini ketika menanggapi
kenaikan harga BBM dua kali dalam tahun 2005. ia melihat seharusnya itu tidak
perlu terjadi, cukup dengan memperketata pembiayaan atau belanja pemerintah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar